Adnessa yang baru saja membuka pintu kamarnya, heran melihat keberadaan Axcel dan Revan berdiri di depan kamarnya, "Kalian, ngapain di sini?"
Revan dan Axcel memang bersahabat, tidak heran jika melihat dosen muda itu berada di kediaman Hansel. Tapi, melihat dua pria ini berdiri di depan pintu kamarnya dengan nafas yang naik turun, membuat Adnessa bertanya-tanya.
"Saya? Saya mengkhawatirkan kamu," sahut Revan to the poin.
Adnessa semakin binggung, "Hah? Apa anda salah bicara, Pak?"
Maksudnya, dirinya tidak sepenting itu kenapa seorang dosen seperti Revan bisa mengkhawatirkannya?! Apa aku membuat masalah? Adnessa mencoba untuk mengingat apa yang ia lakukan, yang mungkin membuat masalah tanpa ia sadari.
Melihat pakaian yang di kenakan Adnessa sedikit terbuka, Axcel segera melepaskan jas yang ia kenakan untuk Adnessa.
'Astaga. Malu sekali,' batin Adnessa yang baru saja menyadari pakaiannya.
"Maksud saya, tadi Axcel datang ke kampus untuk menjemput kamu, dan saya teringat jika kamu sudah pulang terlebih dulu. Jadi saya khawatir, biar bagaimana pun kamu adalah mahasiswi saya," jelas Revan.
Adnessa mengangguk, "Maaf, pak, saya jadi merepotkan anda. Tadi memang saya berniat pulang bersama Axcel, tapi karena lama, akhirnya saya memutuskan untuk pulang nebeng mobil Laluna dan Fransisca!" sahut Adnessa yang merasa tidak enak hati.
"Tidak masalah!" sahut Revan dengan senyum leganya.
Adnessa tersenyum. Di perhatikan dua pria tampan seperti ini ternyata tidak seindah di novel-novel, justru membuatnya canggung.
"Van?!" panggil Axcel, melihat sahabatnya ini tidak kunjung pulang, dan justru berdiri mematung menatap ke arah Adnessa dengan mata berbinar.
"Hmmm?" sahut Revan.
"Lo, nggak pulang?"
"Bisa nggak? Kalau gue nginep aja di rumah, Lo?!" sahut Revan dengan tatapan yang tidak beralih dari Adnessa.
"Nggak. Pulang sana, Lo!" sahut Axcel seraya menyeret paksa sahabatnya itu untuk pulang.
Adnessa yang masih berdiri di sana dan menyaksikan tingkah aneh dua pria di depannya, membuat gadis itu bergidik ngeri. Apalagi melihat bagaimana cara dosen tampan itu menatapnya, "Dihhh. Kok jadi seram, ya? tampang-tampang pedofil."
***
"Pelit banget, Lo, jadi orang," protes Revan ketika Axcel tidak mengizinkannya untuk menginap di rumahnya.
"Sorry, demi keselamatan adek gue, untuk sementara gue tidak bisa membiarkan reptil berbahaya untuk tinggal," sahut Axcel.
"Astaga, Xel. Lo kira gue apaan? Buaya?"
Axcel terkekeh, "Kurang lebihnya seperti itu!"
Walaupun kesal, Revan akhirnya setuju untuk pulang. Lagi pula, hari ini masih banyak pekerjaan yang harus ia selesaikan, "Kalau begitu, besok gue balik lagi!"
Dengan semangat, Revan melangkahkan kakinya menuju mobil miliknya. Sebisa mungkin, Revan akan mengusahakan untuk segera menyelesaikan pekerjaannya. Dan meluangkan waktu untuk mengajak Adnessa pergi, entah hanya sekedar makan malam, yang pasti ia ingin mengenal lebih dekat dengan Adnessa, 'Kadang, ugal-ugalan seperti ini juga perlu. Sebelum keduluan orang lain!'
Axcel hanya bisa menggeleng, melihat betapa semangat sahabatnya ini. Tapi, dirinya juga tidak ingin mengalah ataupun kalah bersaing dengannya.
TOK ... TOK ... TOK.
Setelah kepergian Revan, Axcel kembali menghampiri Adnessa. Ada sesuatu yang ingin ia sampaikan kepada gadis itu.
"Ness, apa kamu di dalam?"
"Ness?" karena tidak ada sahutan dari dalam, akhirnya Axcel memutuskan untuk masuk kedalam kamar Adnessa, mencari gadis itu.
Krietttt.
"Ness, apa kamu di dalam? saya ada perlu dengan-" baru saja Axcel berbalik badan bahkan belum sempat menyelesaikan kalimatnya, ia sudah dikejutkan dengan suara melengking gadis itu.
"AAAAAAAA. Kenapa kamu disini?" tanya Adnessa seraya merapatkan handuk yang membalut tubuhnya.
Melihat keaaan Adnessa sekarang, Axcel sempat terdiam. Hingga sebuah bantal melayang ke arahnya, yang membuat pria 26 tahun itu akhirnya tersadar.
"So-sorry, saya tidak bermaksud!" Axcel yang baru selangkah dari pintu kamar itu segera memutar tubuhnya dan keluar dari kamar Adnessa.
Axcel langsung menyandarkan tubuhnya di dinding yang berada di sebrang pintu kamar Adnessa. Ia memegang dadanya yang bedenyut tidak beraturan, antara terkejut dan terpaku melihat kemolekan tubuh sang adik tiri, "Sebentar lagi bisa terkena serangan jantung," gumam Axcel.
Sedangkan di sisi lain, Adnessa sama berdebarnya dengan Axcel. Bahkan, selesai bersiap, gadis itu justru berdiam di dalam kamar, bimbang dengan perasaannya. keluar atau tidak? Tapi, tidak mungkin juga ia berada di dalam kamar sepanjang hari, mengingat dirinya juga belum makan sejak pulang dari kampus tadi.
"Anggap saja, semua itu tidak pernah terjadi," gumam Adnessa memberanikan diri untuk keluar dari kamarnya.
Krietttttt.
Baru saja Adnessa membuka pintu, hal pertama yang terlihat di matanya adalah Axcel. Membuat Adnessa semakin canggung, 'Sapa atau tidak, ya?'
Bimbang dengan keputusannya, akhirnya Adnessa memilih untuk berlalu tanpa menyapa Axcel, seolah tidak melihat keberadaan pria itu.
Apa aku tidak terlihat? Axcel terlihat tengah bersedekap dada, dengan santai memperhatikan Adnessa yang mengabaikannya. Tanpa bersuara, Axcel menarik tangan Adnessa begitu saja, "Ada yang ingin saya katakan!"
Melihat dari ekspresi wajah Axcel, sepertinya ada hal serius yang ingin pria itu katakan, membuat Adnessa sedikit gugup dan juga penasaran, 'Apa yang ingin dia katakan?'
"Sekarang?" tanya Adnessa seraya melangkahkan kakinya menuruni anak tangga, di ikuti oleh Axcel di belakangnya.
"Kalau kamu tidak sibuk, kita bicara sekarang!"
Adnessa mengangguk, "Boleh."
Hingga sampai di dapur pun, Axcel masih saja mengikuti Adnessa dan tidak kunjung berbicara, membuat Adnessa sedikit terganggu dengan ulah Axcel, "Apa kamu tidak bisa duduk?"
Axcel menghentikan langkahnya, "Apa saya bisa berbicara sekarang?"
"Tidak ada yang melarang," sahut Adnessa yang sibuk memasak mie instan.
Axcel menarik nafas dan membuangnya dengan kasar, seolah tengah membuang kegugupannya, "Apa jawan kamu tentang pengakuan saya kemarin?"
***
Sore itu, Adnessa berdiri di teras kediaman Hansel, menatap mobil Revan yang kian menjauh, menelan kesepian yang tiba-tiba menyeruak setelah kepergian pria itu."Anak ini milik saya!"Adnessa terperagah, jantungnya mencelos mendengar suara berat yang tiba-tiba membisikkan kalimat itu tepat di belakangnya. Sebuah tangan kekar melingkari pinggangnya, menariknya mendekat hingga punggungnya membentur dada bidang seorang pria."Axcel?!" lirih Adnessa, terkejut bukan kepalang. Spontan ia meronta, mencoba melepaskan diri dari cengkeraman itu. Namun, tangan Axcel justru mengerat, memeluknya seolah tak ingin melepaskan.Axcel menghela napas panjang, aroma maskulinnya menusuk indra penciuman Adnessa. "Apa saya seperti hantu? Kenapa kamu begitu ketakutan melihatku?" tanyanya datar, perlahan membalikkan tubuh Adnessa hingga tatapan mereka bertemu. "Jangan lagi menghindariku, jangan lagi mencari alasan untuk menjauh. Aku sudah mengetahui semuanya, Ness. Jika... ini adalah darah dagingku!" lanjutny
Adnessa menghela napas, bayangan dirinya di cermin pagi itu tak ubahnya hantu pucat. Mata sayunya, lingkar hitam di bawahnya, saksi bisu malam tanpa lelap. Kata-kata Axcel semalam berputar-putar di kepalanya, racun yang menggerogoti ketenangannya."Dari mana dia tahu?" bisiknya, dahinya berkerut dalam.Gemericik air dari wastafel kamar mandi menjadi latar sunyi lamunannya. Namun, ketenangan itu pecah saat sepasang tangan kekar melingkar posesif di perutnya, membuatnya tersentak keras."Axcel!" serunya, mendorong tubuh itu menjauh. Matanya menyala marah, suaranya bergetar. "Apa yang kau lakukan di sini?!"Perlahan, Axcel mengulurkan tangannya, meraih jemari Adnessa dengan cengkeraman penuh keyakinan. "Menikahlah denganku, Ness," ucapnya, suaranya serak namun tegas. Mata elangnya, yang biasa memancarkan dominasi, kini redup, penuh permohonan."Kau gila!" Adnessa mendesis, menarik tangannya dengan kasar. "Di saat tunanganmu mengandung anakmu, kau malah mengajakku menikah? Lucu sekali!""
Mata Axcel terbelalak setelah membaca laporan yang baru saja diberikan oleh kaki tangannya beberapa saat lalu. Tangannya bergetar, mata dan wajahnya memerah seperti menahan sebuah rasa yang tiba-tiba saja menggebu. "Adnessa hamil?!" lirihnya.Axcel terdiam, menatap beberapa lembar kertas di tangannya. Baru kali ini ia tahu alasan kenapa Adnessa beberapa saat lalu tiba-tiba ingin bersekolah di luar negeri dan sekarang justru ingin menikah, ternyata gadis itu tengah mengandung. Mengetahui fakta ini, masih ada sedikit pertanyaan yang mengganjal di hatinya. Siapa ayah anak ini?!"Jangan-jangan ayah anak ini..." Axcel segera melangkahkan kakinya terburu-buru menuju kamar Adnessa, memastikan siapa sebenarnya ayah dari anak yang dikandungnya. Jika di lihat dari laporan ini, mungkin saja anak itu miliknya.Pria tampan bermata biru dengan postur tubuh atletis itu melangkahkan kakinya lebar, seluruh tubuhnya berdesir merasakan sesuatu yang sulit dijelaskan, membayangkan kenyataan ini. Ia memoho
"Aku memilih..." Adnessa menatap ke arah Revan dengan perasaan ragu. "Aku lebih memilih Pak Revan," ucapnya mantap. Dari semua pilihan yang ada di dalam otaknya, sepertinya ini adalah pilihan yang terbaik. Mengingat Axcel yang telah bertunangan dan bahkan segera memiliki keturunan dari Erika. Untuk apa lagi dirinya bimbang? Sudah jelas, jika bersama Revan jauh lebih baik.Revan tersenyum. Kebahagiaan di wajahnya, tidak bisa lagi disembunyikan. "Terima kasih karena sudah percaya dengan saya, sayang!" sahutnya seraya menggenggam tangan Adnessa erat."Tidak mungkin," lirih Axcel, tidak percaya. Perlahan ia melepaskan genggaman tangannya di tangan Adnessa. Menatap kearah Adnessa dan Revan dengan tatapan sulit di jelaskan."Gue harap, ini yang terakhir kalinya lo ganggu Adnessa seperti ini, Xel!" ucap Revan datar, suaranya terdengar tegas memperingatkan Axcel. Pelukannya juga terlihat posesif kepada Adnessa, seolah memberitahu jika Adnessa telah menjadi miliknya. "Sebentar lagi, kami juga
Mobil yang dikendarai oleh Revan telah berhenti di pelataran kediaman Hansel. Seulas senyuman tersungging menghiasi wajah tampannya melihat Adnessa yang masih tertidur pulas, bersandar di bahunya.Revan yang tadinya ingin membangunkan Adnessa, mengurungkan niatnya. Ia memutuskan untuk menunggu sampai gadis itu terbangun sendiri. "Apakah hari ini begitu melelahkan, sayang?" lirih Revan, merapikan anak rambut Adnessa yang sedikit berantakan dengan lembut. Dengan hati-hati, Revan membenarkan jas miliknya yang ia gunakan untuk menyelimuti Adnessa, tidak ingin mengganggu tidur gadis itu."Sudah bangun, sayang?" tanya Revan, ketika melihat Adnessa mengerjap.Dengan mata memerah khas bangun tidur, Adnessa terlihat bingung. Gadis itu mengedarkan pandangannya ke arah sekitar."Sudah sampai dari tadi?""Hmmm," sahut Revan dengan lembut.Adnessa menegakkan tubuhnya, "Kenapa tidak membangunkan ku?!""Kamu terlihat begitu lelah, sayang. Saya tidak tega untuk membangunkanmu!" sahut Revan.Adnessa m
'Adnessa?' batin Axcel bimbang, melihat siluet yang sangat mirip dengan Adnessa. Apakah yang ia lihat tadi benar-benar Adnessa atau hanya orang yang mirip saja dengan gadis itu?Tanpa sadar Axcel melangkah, mengikuti gadis yang terlihat mirip dengan Adnessa, membuat Erika yang tengah bersamanya menatap bingung ke arah Axcel yang tiba-tiba pergi."Axcel? Ada apa denganmu?" Erika, yang merasa diabaikan, menatap Axcel dengan kesal. Sedari tadi ia berbicara, namun Axcel hanya diam, dan sekarang justru meninggalkannya.Axcel tersadar, ia menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Erika yang tergopoh-gopoh mengikuti langkahnya. "Tidak ada. Saya hanya ingin mencari ruang untuk merokok!" sahutnya beralasan.Erika menatapnya curiga, tapi kemudian mengangguk. "Ya sudah, tapi cepat kembali! Sebentar lagi giliranku dan kamu harus menemaniku, Axcel!"Axcel mengangguk, ia segera melangkahkan kakinya keluar, mencari jejak gadis yang sangat mirip dengan Adnessa tadi.Sesampainya di depan rumah sakit
Adnessa menumpahkan segalanya kepada Laluna dan Fransisca. Ia menceritakan kehamilannya, sosok Axcel yang penuh misteri, dan keputusan Revan yang tiba-tiba untuk menikahinya. Air mata mengalir di pipinya, membasahi kisah yang selama ini ia simpan rapat-rapat.Laluna dan Fransisca mendengarkan dengan seksama, mata mereka membulat karena terkejut, air mata menetes karena simpati. Mereka merasa kasihan pada Adnessa, tetapi juga kagum dengan kekuatan dan ketegarannya."Gue nggak nyangka lo ngalamin semua ini, Ness," ucap Laluna, suaranya bergetar, memeluk Adnessa erat. "Kenapa lo nggak cerita sama kita, sih?""Iya, Ness," timpal Fransisca, mengangguk setuju. "Kuat banget lo nyimpan masalah serumit ini sendirian," lanjutnya, memeluk Adnessa erat, menyalurkan kekuatan kepada sahabatnya."Mau bagaimana lagi?" sahut Adnessa sendu, mengusap perutnya yang masih rata. "Sebenarnya gue juga nggak ingin berada di situasi seperti ini. Tapi... gue takut kalian akan marah dan menjauh setelah tahu masa
Fransisca dan Laluna yang penasaran degan hubungan mereka, akhirnya "Ness, tunggu!" teriak Laluna, mencoba menghentikan langkah Adnessa."Kalian kenapa?" tanya Adnessa. Menatap bingung ke arah dua sahabatnya bergantian, melihat dua sahabatnya berdiri di belakangnya dengan napas terengah-engah.Dengan napas tersenggal-senggal karena habis berlari mengejar langkah Adnessa, Laluna dan Fransisca saling menatap. Mereka sedikit ragu ingin bertanya tentang hubungan sahabatnya ini dengan dosen mereka, melihat Revan yang masih berada di sana.Laluna menyenggol bahu Fransisca, meminta agar gadis itu yang menanyakannya."Apaan sih, lo?" gumam Fransisca, "Lo takut?""Bukannya gue takut, hanya saja gue tidak memiliki banyak energi untuk mendengar kebenarannya nanti!" sahut Laluna beralasan."Ckkk," decak Fransisca kesal dengan sikap Laluna.Adnessa mengerutkan kening, melihat gelagat aneh dua sahabatnya ini. "Apa yang tengah kalian diskusikan?"Fransisca dan Laluna terkesiap mendengar pertanyaan
"Saya... saya akan pergi, Pak," ucap Adnessa, suaranya bergetar. "Saya akan pindah sekolah ke luar negeri.""Pindah sekolah?" ulang Revan, alisnya terangkat. "Kenapa tiba-tiba?""Saya... saya ingin mencari pengalaman baru, Pak," jawab Adnessa, berbohong. Ia tidak ingin Revan tahu tentang kehamilannya."Pengalaman baru?" gumam Revan, menatap Adnessa dengan tatapan curiga. "Atau kamu ingin menghindar dari saya?"Adnessa terdiam, ia tidak tahu harus menjawab apa. Ia merasa takut jika Revan akan marah atau kecewa."Saya... saya tidak menghindar dari Anda, Pak," jawab Adnessa akhirnya, berbohong lagi. "Saya hanya ingin mencari pengalaman baru."Revan menghela napas panjang, "Lalu, apa Axcel mengetahui hal ini?!" Tanyanya dengan kening berkerut, berfikir jika Adnessa telah memberitahukan kehamilannya kepada Axcel."Tahu," singkat Adnessa. Memang Axcel mengetahui niatnya yang ingin berseklah di luar negeri.Revan mengangguk, ia mengerti kenapa Adnessa tiba-tiba ingin pindah ke luar negeri. P