Bondan menghela napas berat sebelum menjawab pertanyaan Sarah. “Untuk sekarang, jangan lakukan apa pun, Sarah. Percayakan semuanya ke saya. Kamu harus ingat, sedikit saja salah langkah, bisa-bisa malah memperburuk keadaan Adit.”Sarah menatapnya tak rela. “Tapi aku nggak bisa cuma diam …."“Aku tahu. Aku tahu kamu ingin berbuat sesuatu. Tapi justru karena itulah, mereka menunggu celah itu. Kamu harus kuat menahan diri. Doakan saja, biar kebenaran segera terungkap.”Sarah terdiam. Hanya suara detak jantungnya yang terasa bergema di telinganya. Ia menunduk, menutup wajah dengan kedua tangannya. Doa—itu satu-satunya hal yang bisa ia lakukan sekarang.***Mobil Sarah berbelok masuk ke halaman rumah. Lampu teras menyala hangat, menyorot satu mobil lain yang sudah terparkir rapi. Sarah mengenali mobil itu seketika. Mobil Jesica. Ia menarik napas panjang, sedikit terkejut.Begitu turun dari mobil, suara tawa samar terdengar dari dalam rumah. Tawa yang jarang ia dengar belakangan. Hatinya se
Sarah buru-buru menggeleng. "Yuli itu karyawati di MIMPI MEDIA, dan dulu dia mantannya Adit. Tapi walau Yuli sangat menyebalkan dan dia terobsesi untuk menghancurkan aku dan juga Adit, tapi aku rasa dia tidak memiliki kapasitas sampai ke kepolisian,” jelasnya. “Aku merasa … Ini ulah Damar. Yuli kayaknya gak bisa mengendalikan polisi. Uang dari mana dia?”“Bisa jadi Pak Indra kan?”“Tapi Indra gak akan ngasih uang banyak ke Yuli. Kamu pikir nyuap polisi itu pake duit sedikit? Kan nggak mungkin … Aku merasa ini ulah Damar. Ingat gak, waktu dia keluar dari rumah, Damar bersumpah mau bales kita?”Adit langsung teringat. Apa yang dikatakan Sarah memang masuk akal. Sepertinya apa yang terjadi ini adalah ulah Damar.”Bondan maju perlahan, menatap Adit dari luar jeruji. “Adit, dengarkan saya. Ini memang strategi kotor mereka. Mereka tahu video itu bisa jadi bukti penting, jadi mereka putar balik situasi. Tapi tenang, saya akan urus. Penahanan tanpa bukti kuat bisa kita lawan. Kamu harus sabar
Lorong panjang menuju ruang tahanan terasa sepi, tapi setiap langkah Sarah terdengar seperti dentuman di telinganya. Ia berjalan cepat, Bondan di sisinya, sampai akhirnya mereka dihentikan oleh seorang polisi berbadan besar yang berdiri di depan pintu besi.“Maaf, Bu. Tidak bisa masuk sekarang. Jam besuk tahanan sudah lewat,” katanya datar, tanpa sedikit pun empati.Sarah terbelalak. “Apa maksudmu?! Aku bukan mau besuk biasa. Aku mau ketemu Adit, yang ditahan tanpa alasan jelas!”Polisi itu menegakkan tubuh, berusaha tetap formal. “Aturan tetap aturan, Bu. Kalau ingin bertemu tahanan, harus ada izin tertulis dari atasan. Besok pagi baru bisa diurus.”Sarah hampir meledak. Nafasnya tersengal, matanya berkilat marah. “Besok pagi?! Kamu kira aku bisa tenang semalaman, sementara Adit terkunci sendirian di dalam sana, dituduh sesuatu yang bukan kesalahannya?!”Bondan segera maju setapak, menengahi. Suaranya tenang tapi tajam. “Pak, kami tidak bicara soal kunjungan biasa. Klien saya punya h
Mobil Sarah berhenti mendadak di pelataran parkiran kantor polisi. Ban mobil nyaris berdecit, menandakan betapa paniknya ia membawa kendaraan sepanjang jalan. Tanpa menunggu sedetik pun, ia langsung membuka pintu dan berlari keluar.Tumit sepatunya beradu dengan lantai semen, langkahnya tergesa penuh amarah. Nafasnya tersengal, rambutnya berantakan ditiup angin malam, namun matanya hanya fokus pada satu hal—Adit.Begitu masuk ke ruang utama kantor polisi, matanya langsung tertumbuk pada sosok yang membuat darahnya mendidih: Bripka Surya.Polisi korup itu berdiri dengan tangan di saku celana, wajahnya santai seolah sedang menonton sandiwara yang sengaja diciptakan. Senyumnya miring, penuh ejekan.“Surya!!” teriak Sarah dengan suara bergetar karena amarah.Semua orang di ruangan itu sontak menoleh. Sarah melangkah cepat, hampir menerjang. Tangannya sudah terangkat, nyaris menghantam dada Surya, namun sebuah genggaman kuat menarik lengannya dari belakang.“Sarah, jangan!” suara berat dan
Begitu membaca chat dari Erni, Sarah tidak berpikir panjang. Kursi kerjanya langsung berderit ketika ia berdiri dengan tergesa. Jantungnya berdegup begitu keras, seakan menghantam dinding dada.Ia hampir berlari menuju lift, menekan tombol turun berulang-ulang dengan jemari yang gemetar. Setiap detik terasa seperti siksaan.Begitu pintu terbuka, Sarah melangkah masuk, menekan tombol Lantai Dasar. Nafasnya terengah, kedua tangannya saling meremas. “Adit … apa yang terjadi sama kamu …,” bisiknya lirih, matanya mulai berair.***Sesampainya di lobi, Sarah langsung terhenti. Suasana masih dipenuhi bisik-bisik karyawan yang tidak jadi buru-buru pulang. Beberapa berdiri bergerombol, wajah mereka menyiratkan rasa penasaran sekaligus ketegangan.Erni, yang berdiri dekat pilar marmer, begitu melihat Sarah langsung menghampiri. “Bu Sarah!” panggilnya.Sarah berbalik cepat, wajahnya pucat. “Erni, apa betul … Adit … dibawa polisi barusan?”Erni mengangguk panik. “Iya, Bu. Tadi ada empat orang pol
Suasana kantor MIMPI MEDIA kembali normal secara kasat mata, namun hawa tegang yang menggantung seolah tak mau bubar. Para karyawan memang sudah mulai merapikan barang-barang di meja kerja mereka, menunggu hitungan menit menuju jam pulang. Tetapi, bagi Adit, detik-detik itu justru terasa lambat, terlalu lambat, hingga pikirannya bekerja jauh lebih keras daripada tangannya yang mengetik di laptop.Ketika Yuli kembali ke meja sekretariat, pandangan Adit langsung terpaku. Dari balik layar monitornya, ia mengawasi langkah Yuli yang masuk dengan wajah masih sedikit pucat. Yuli duduk seperti biasa, menyibukkan diri dengan lembaran berkas. Namun tatapan mata mereka bertemu sepersekian detik.Tatapan itu tajam. Ada sesuatu di balik sorot Yuli, seakan ia membawa beban rahasia besar yang tak boleh diketahui orang lain. Adit bisa merasakannya.Tanpa berkata sepatah kata pun, Yuli buru-buru memalingkan wajah, bersikap seolah baru saja kembali dari toilet. Ia menyalakan komputer, membuka file, me