Detik jam terus bergulir, tanpa terasa waktu sudah semakin sore. Tapi Damar dan para pekerja kebun lainnya masih sibuk mengolah perkebunan untuk menjadi lebih baik lagi.Begitu pula dengan Danu dan rekan-rekannya, masih sibuk menyelesaikan pembaharuan tembok keliling dan juga pintu tembusan dari perkebunan menuju rumah nyonya bos.“Apa-apaan ini? Kenapa tembok kelilingnya dijebol? Terus ini pupuk apa yang digunakan? Kok beda sama yang aku berikan dulu?”Sebuah suara membuat Damar, Danu dan para pekerja lainnya berhenti dari kegiatan. Mereka dengan kompak menoleh ke arah sumber suara.“Juragan Sono?”Sontak Damar menoleh pada Danu yang memanggil pria berbadan gempal dengan tas pinggang yang melekat di tubuhnya itu. “Juragan Sono?” ulang Damar dengan mengernyitkan dahi.Beberapa hari yang lalu Damar memang melihat Laksono saat berkunjung ke rumah nyonya bos pagi hari, hanya saja karena saat itu terlalu singkat waktunya, Damar tidak begitu memperhatikan dan lupa dengan sosok mantan suami
“El-Eliana?” ucap Sono dengan suara yang cukup gemetar.Sepertinya kehadiran sang mantan istri cukup memberikan rasa takut pada pria bertubuh tambun itu. Percuma saja berlagak sok berkuasa di depan para pegawai, tapi giliran sang pemilik perkebunan aslinya datang nyalinya langsung ciut.“Apa yang membuatmu tiba-tiba datang kesini lagi, Mas? Urusan kita sudah selesai, bahkan sejak perceraian itu.”Suasana mendadak tegang saat tiba-tiba Eliana datang dan meluapkan segala emosinya pada sang mantan suami. Sungguh di luar nalar. Laksono sudah lama tidak datang ke kediaman Eliana dan juga perkebunan, bahkan sejak ketok palu sidang perceraian. Jika dia mendadak mendekati mantan istrinya lagi, itu artinya ada maksud dan tujuan tertentu.“Eliana, Sayang. Ayolah. Kita berdamai. Aku tau kita sudah bercerai, tapi bukan berarti kita tidak bisa bekerja sama dalam bisnis pertanian ini bukan?”Laksono berjalan mendekati wanita cantik yang pernah dia miliki itu. Mungkin rasa penyesalan menghinggapi be
Braakkk…Suara keras berasal dari pot jatuh dan menyebabkan sepatu flat seorang wanita yang sudah bersih dan berwarna putih menjadi kotor. Belum lagi lantai yang semula bersih dan mengkilap kini turut kotor akibat tanah berserakan."Ya ampun, Damar! Bisa nggak sih kamu berguna sedikit? Tiap hari cuma main tanah sama tanaman!"Wanita pemilik sepatu tersebut meradang. Setelah bersiap cukup lama di dalam kamar, tiba-tiba saja usahanya yang memakan waktu harus sia-sia akibat insiden pagi ini.Namun si pria muda berambut ikal yang mana tadi tengah membawa pot tersebut membulatkan netranya. Kata maaf yang sudah berada di ujung lidah pun dia urungkan."Maksud Mba Tari Apa? Mba pikir bercocok tanam seperti ini tidak ada gunanya? Mba Tari salah besar!""Halah. Kalau ada gunanya, apa selama kamu bermain tanah dan tanaman seperti itu sudah menghasilkan duit? Tidak 'kan?!"Baru saja Damar mengayunkan tangannya hendak menampar wanit
Laju motor Damar perlahan memelan saat melihat wanita yang sempat diteriaki tadi berhenti di depan green house terbesar di Jakarta."Wah, dia pecinta tanaman? Menarik."Damar memutuskan untuk ikut masuk ke green house tadi, kebetulan disitu sepertinya sedang diadakan sebuah acara besar karena banyak orang yang lalu lalang keluar masuk. Netra pria beriris hitam itu membulat saat membaca banner yang terpampang. 'Seminar dan Peresmian Greenhouse untuk Menanggulangi Polusi di Ibukota'."Loh, ini acara yang aku sempat daftar bulan lalu 'kan? Aku daftar sebagai salah satu pelaksana di greenhouse nantinya. Kenapa aku tidak dapat kabar apapun?"Damar bertanya-tanya sambil menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal. Mendadak dia seperti orang yang linglung, karena tiket untuk pembuktian kepada keluarga adalah Greenhouse tersebut. Greenhouse dengan nama "Downtown Greenhouse" itu telah menambah beberapa ruang baru.Pria dengan gelar s
Sriiiittttt…Mobil yang semula diikuti Damar mengerem mendadak saat Damar menghadang di depannya. Pria yang juga memiliki hobi touring tersebut seakan sudah bersahabat dengan keadaan jalanan, hingga ada celah sedikit dia bisa mengambil kendali dan bisa menyalip dengan lihai.Damar menghadang mobil tersebut tepat di arah pintu tol menuju Bogor. Sungguh di luar nalar, ini masih hari kerja dan kantor Rania tidak berada di Bogor. Kenapa mereka malah pergi keluar kota?Pria berbadan jangkung itu berusaha menahan emosi, padahal dalam lubuk hatinya sudah bertumpuk-tumpuk kedongkolan dengan banyak penyebabnya. Kini harus ditambah lagi dengan tingkah kekasih yang sudah menemaninya sejak masa kuliah."Rania! Keluar!" seru Damar seraya menunjuk wanita yang masih duduk di kursi penumpang.Damar pun masih berada di atas kuda besinya, akan tetapi netranya menatap tajam ke arah dua manusia yang duduk di dalam mobil. Sambil turun dari motor, Damar masih
Pertanyaan Guntur bagaikan angin lalu. Damar masih terus memukuli samsak bertubi-tubi, layaknya memukul musuh yang paling dia benci.Buggg…buggg buggg buggg…"Ini untuk keluargaku yang selalu menyalahkan karena ambil jurusan pertanian!" desis Damar dengan deru nafas yang memburu, setelah melayangkan pukulan bertubi-tubi.Buggg…"Ini untuk Rania yang ternyata juga pengkhianat!"Buggg… Pakkk… buggg… buggg…"Ini untuk pria yang sudah berani merebut Rania dariku dan mempengaruhinya!" pungkas Damar di pukulan terakhir yang disertai tendangan pula.Setelah puas melampiaskan semua amarahnya, Damar terduduk lemas di rerumputan. Guntur yang mulai paham dengan pokok permasalahan dan penyebab sahabatnya emosi sepagi ini, pergi mengambilkan air minum di dapur umum."Kadang hidup memang sekejam itu. Ada banyak orang yang membenci dan memojokkan kita, walaupun mereka adalah orang-orang terdekat kita."Guntur berucap
Pasca Damar meminta izin pada ibunya untuk bekerja di perkebunan alias jadi tukang kebun, malam harinya di kediaman Adiwangsa diadakan sidang keluarga. Mungkin terkesan terlalu formal jika dibilang sidang, tapi itu memang suatu kegiatan dimana Damar dipojokan oleh semua anggota keluarga.Sebelumnya makan malam keluarga yang biasanya diwarnai dengan canda tawa Damar dengan Yoga, keponakannya yang masih duduk di bangku kelas lima SD. Malam ini cukup berbeda. Dari awal hingga akhir tidak ada yang berani bersuara hanya dentingan piring dan sendok yang sesekali bersahutan menggema di ruang makan.Kini Pak Aji, Bu Diyah bersama kedua anaknya duduk bersama di ruang tengah. Yoga telah diajak papanya menuju kamar. Selain ada tugas sekolah, tidak mungkin juga anak sekecil Yoga dilibatkan dalam urusan keluarga yang cukup serius."Ibu sudah bilang semuanya sama Ayah. Jadi bener kamu mau jadi tukang kebun di desa terpencil itu?" tanya Pak Aji membuka suara.Da
"Kita langsung berangkat?" tanya seorang pria yang mengendarai kuda besi yang mirip dengan punya Damar, hanya saja beda merek dan warna."Terserah, yang penting aku keluar dulu dari rumah. Sebelum ayahku berubah pikiran."Damar menyahut sambil terburu-buru naik di jok belakang. Seketika itu juga kuda besi melesat keluar pekarangan kediaman Adiwangsa. Sedikit tercubit hati Damar karena pergi dari tempat dimana dia lahir dan dibesarkan. Tapi kepergiannya ini memiliki maksud dan tujuan yang tidak kalah penting untuk sejarah hidupnya kedepan.Mengingat waktu sudah malam dan jalur yang akan dilalui cukup jauh dan sepi, Damar tidak langsung pergi ke Desa Pendul. Dia menginap dulu di kost Guntur satu malam."Kamu udah yakin dan pikirin ini mateng-mateng, Bro? Setelah ini kita tidak bisa bertemu untuk jarak yang lama dong? Bahkan komunikasi pun bakalan susah."Keesokan paginya, disaat Damar dan Guntur tengah bersiap untuk keberangkatan menuju Desa Pendul, Guntur meyakinkan lagi keputusan sang