Steve tidak bisa membuang tatapannya dari memperhatikan Rucita yang asik sekali berbincang dengan Tangguh, seraya menikmati aneka kue yang ia bawakan. Pria dewasa itu melihat Rucita dan Tangguh adalah adik-kakak yang cukup dekat. Tawa gadis itu selalu saja mekar saat menceritakan keseruan persiapan pernikahannya yang akan berlangsung empat puluh lima hari lagi.
Masih sangat muda dan mungkin saja jika ia punya anak, maka anaknya sudah seumuran Rucita. Steve sengaja pura-pura sibuk dengan ponselnya, padahal sedari tadi ia sudah sangat tertarik pada Rucita.
Tubuhnya memang tidak setinggi Linda yang memiliki tungkai kaki panjang. Jika tinggi istrinya seratus tujuh puluh senti meter, maka Rucita mungkin hanya seratus lima puluh meter saja. Wajahnya sangat imut dengan rambut lurus sepundak.
Tubuh gadis itu laksana gitar Rhoma Irama yang padat dan setiap petikannya membuat semua orang ingin berdendang, seperti dirinya, tiba-tiba menjadi penasaran baga
"Maaf, Mbak, saya hanya sedang melihat isi lemari baju Tangguh, apakah ada pakaian yang bisa saya pakai," ujar Steve salah tingkah saat Rucita membuka pintu kamarnya dan ia belum juga selesai dengan urusannya. Untung saja posisi tubuhnya memunggungi pintu kamar, sehingga Rucita tidak tahu apa yang ia lakukan di depannya."I-itu, Tuan, kamar mandi sudah kosong kalau Tuan mau mandi," ujar Rucita sambil menunduk."Baik, terima kasih. Kalau boleh, saya pinjam handuknya ya.""Baik, Tuan, nanti saya ambilkan handuk bersih." Rucita segera beranjak dari tempatnya berdiri, sedangkan Steve segera mengancing kembali celananya dan bergegas berjalan menuju kamar mandi.Sayup-sayup ia mendengar suara Tangguh tengah berbincang dengan anggota keluarga di teras rumah. Steve langsung saja masuk ke kamar mandi dan menuntaskan apa yang belum sempat ia tuntaskan tadi.Masih dengan membayangkan wajah Rucita, Steve yang sudah polos mulai kembali m
Steve tersentak kaget saat pintu kamarnya diketuk berkali-kali. Suara panggilan di balik pintu yang terdengar sangat halus dan seksi di telinga pria dewasa itu membuat Steve yang masih malas bangun, akhirnya mau tidak mau turun juga dari tempat tidur milik Tangguh.Sedikit sempoyongan ia berjalan mendekati pintu, lalu memutar anak kunci. Rucita si Kembang desa tengah tersenyum di depannya dengan rambut yang dikepang dua."Saya kirain Tuan mati," ujar Rucita dengan polosnya. Steve tersenyum masih dengan mata yang setengah terbuka."Ini sudah jam setengah dua belas siang, Tuan. Apa Tuan tidak lapar?""Hah?! Jam dua belas siang?" Steve melotot tidak percaya. Ia menoleh ke dalam untuk melihat jam di dinding yang sudah mendekati angka dua belas."Ya ampun, pantas saja kamu mengira saya mati, tidur saya lama sekali ya. Maaf ya, Cita.""Tidak apa-apa, Tuan, makan siangnya sudah saya siapkan. Mandi dulu saja, baru setel
"Jika kamu dan Reni ingin membeli sesuatu, beli saja! Nanti saya yang bayar. Soal harga tidak perlu dikhawatirkan. Pilih yang mana yang kalian suka," ujar Steve begitu baiknya. Ia menunjuk jejeran tas mahal dari kulit asli yang ada di etalase. Mempersilakan Reni dan Rucita untuk berbelanja.Mereka sudah tiba di pusat toko yang menjual aneka kerajinan dari kulit sapi asli, yang hanya memakan waktu sepuluh menit saja dari rumah Rucita. "Jangan, Tuan, di sini harganya mahal semua. Lagian saya jadi merepotkan Tuan. Biar kami temani Tuan saja tidak apa-apa," sahut Rucita sungkan."Tidak apa-apa. Masa saya saja yang berbelanja kalian tidak. Kalau kalian tidak jadi belanja, saya pun tidak jadi." Steve mengancam sambil menaruh kembali tas kecil yang sudah ia pilih untuk Linda. Sebenarnya ia enggan membelikan barang untuk istrinya itu, tetapi karena meluluskan niatannya mencari perhatian dari Rucita, maka ia harus mau melakukannya."Tuan kenapa sepert
["Cepatlah pulang! Aku merindukanmu."] ["Hei, kok nangis?"] ["Siapa yang nangis? Air matanya aja keluar gak permisi."] Tangguh tertawa mendengar alasan Linda. Jujur ia pun sangat merindukan wanita itu. Bukan karena kenikmatan yang selalu diberikan oleh Linda, tetapi memang hatinya juga sangat membutuhkan Linda. ["Acara Rucita baru saja selesai. Mungkin besok kami pulang. Sabar ya."] ["Iya, aku tunggu ya. Ya sudah, ini sudah malam. Kepalaku juga sakit dari semalam. Untung lagi nginep di rumah mama. Kalau kamu dan Steve sudah dalam perjalanan pulang ke Tangerang, kabari aku ya."] ["Baik, Sayang. Istirahat ya. I love you."] ["Love you banyak-banyak."] Tangguh memutus panggilan teleponnya dengan Linda. Ia menoleh ke dinding dan melihat jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, tetapi di luar kamarnya masih terdengar suara Rucita dan Steve berbincang. Hal yang sangat jarang ia temui pada adiknya. Rucita
Keesokan harinya, Steve tidak bisa bangun dari tempat tidur. Seluruh tubuhnya sakit dan terasa menggigil. Pria dewasa itu hanya bisa meringkuk sambil ditutupi selimut hello Kitty milik Cita. Tangguh pun ikut turun tangan mengerok tubuh Steve, tetapi pria dewasa itu masih sangat lemah dan panas badannya juga cukup tinggi.Rucita masuk ke dalam kamar yang pintunya tidak tertutup rapat. Gadis itu membawakan teh hangat dan juga bubur ayam buatannya yang baru saja matang. Aroma bawang goreng yang melewati indera penciuman Steve, membuat lelaki itu membuka mata, lalu menoleh pelan pada Rucita yang berjalan perlahan menuju meja kecil yang ada di dalam kamar."Apa itu?" tanya Steve dengan suara serak."Ini bubur ayam, Tuan. Makanlah sedikit agar lekas sembuh. Kang Tangguh sedang ke apotek membeli obat untuk Tuan Steve." Rucita menaruh nampan di meja kecil, lalu mengambil mangkuk berisi bubur ayam sekaligus dengan sendoknya.Gadis itu berja
"Tuan, ada apa?" Rucita menggerakkan tangannya ke kanan dan ke kiri saat Steve terus saja memandanginya tanpa berkedip."Ah, tidak apa-apa. Terima kasih, Rucita. Maaf saya sudah sangat merepotkan kamu dan Tangguh. Semoga setelah minum obat, kondisi saya lebih baik. Apa saya boleh tidur sebentar?""Oh, baik, Tuan, istirahatlah. Saya keluar dulu." Rucita menepuk pelan dua kali pundak Steve, lalu berjalan keluar kamar. Tak lupa gadis itu menutup pintu kamar, membiarkan Steve untuk tidur beberapa jam lamanya.Tangguh sedang berada di pos ronda di dekat rumahnya. Ia sedang melepas rindunya dengan Linda lewat pesawat telepon. Ini hari kelima mereka tidak bertemu dan rasa rindu itu semakin menggunung. Bukan hanya Linda, Tangguh pun sudah tak sabar ingin memeluk kekasih hatinya itu.["Jadi, apa Steve sakitnya cukup parah? Kenapa kalian tidak membawanya ke dokter?"]["Pak Steve tidak mau, Sayang. Pak Steve hanya minum obat dari apote
"T-tuan, apa Tuan baik-baik saja?" tanya Rucita gugup masih dengan tubuh yang dipeluk Steve."Maaf, saya mengatakan yang sebenarnya. Maaf, Rucita." Wajah pria dewasa itu merah padam karena malu. Hal yang baru pernah ia alami seumur hidup adalah pipi yang menghangat sampai daun telinga karena menyatakan perasaan pada wanita. Saat bersama Linda saja ia tidak merasakan sensasi aneh seperti ini. Apakah ini yang dinamakan puber kedua?"Tuan, saya susah bernapas," lirih Rucita saat Steve semakin mengeratkan pelukannya."Ah, maaf." Pria dewasa itu tersadar dan segera mengurai pelukan."Sepertinya Tuan sedang tidak baik-baik saja, saya permisi!""Tunggu!" Steve menarik Rucita masuk ke dalam kamarnya. Pria itu menutup pintu, lalu menguncinya."Apa yang Tuan lakukan? Jangan seperti ini! Tuan sudah punya istri," ujar Rucita mulai ketakutan."T-tidak, jangan takut, saya tidak akan berani berbuat jahat sama kamu. Saya
Rucita merasa Steve benar-benar tidak waras. Gadis itu syok bukan main saat pria bule dewasa memintanya untuk jadi istri kedua. Sampai pukul dua belas malam, Rucita tak juga bisa terlelap. Pertanyaan Steve begitu mengganggunya.Ia sudah memiliki pacar, bukan sekedar pacar, tetapi calon suami dan tiga puluh delapan hari lagi akan segera menjadi suami sahnya. Lalu haruskah perkataan Steve mengganggunya? Apakah ini yang dinamakan ujian sebelum menikah? Rucita menatap ponselnya yang sepi hari ini. Arnan belum membalas pesan WA-nya sejak tadi pagi.Entah apa yang terjadi dengan pacarnya itu, sehingga seharian ini ia tak disapa. Hal yang belum pernah dilakukan Arnan bahkan sejak awal mereka kenal.Rucita memilih keluar dari kamar untuk mengambil air minum. Ekor matanya melirik kamar Steve yang sepi. Mungkin saja pria itu sudah tidur karena memang belum terlalu sehat.Rucita meneruskan langkahnya ke dapur untuk mengambil air minum. Samar-samar