Share

Bidadari

Uzy meneguk ludah. Ia sudah bisa menangkap maksud Paman Ali yang tersamar. Kampus yang mereka tuju nanti merupakan kampus buat orang miskin.

Getir terasa di hati Uzy. Memang sudah nasibnya seperti ini. Siapa yang tak ingin kuliah di kampus terkenal yang mentereng? Apa daya orangtuanya hanya janda dan bukan orang kaya. Bisa kuliah saja Uzy sudah sangat bersyukur.

Sepeda motor tiba-tiba berhenti secara mendadak. Hampir saja kepala Uzy menyundul helm Paman Ali di depannya. Mata Uzy membelalak, ketika mengamati sekelilingnya.

Mereka berhenti di sebuah halaman yang sangat luas berumput pendek. Di sekelilingnya ada dua buah bangunan sangat besar yang mengapit lapangan. Bangunan yang dilihatnya kini tak semegah bangunan-bangunan yang telah dilihatnya sepanjang jalan tadi. Bukan saja tak megah, bahkan bangunan itu terlihat kuno.

“Ayo,” ajak Paman Ali pada Uzy yang terbengong di depan sepeda motor.

Uzy melangkah beriringan dengan Paman Ali. Mereka berjalan memasuki bagian depan salah satu bangunan yang tadi Uzy lihat. Spanduk iklan pendaftaran kuliah terpasang di salah satu dindingnya. Uzy mengikuti langkah Paman Ali yang berbelok ke suatu arah.

Tanpa diduga, seorang gadis muncul dari belokan jalan yang Uzy ambil. Hampir saja mereka bertabrakan, tapi tak terjadi karena Uzy secara refleks menghindar ke arah kiri.

Gadis itu tersenyum meminta maaf, sebelum berlalu pergi. Uzy terpana. Senyum itu senyum termanis yang pernah Uzy dapati dari seorang wanita. Seolah dunia terasa tak lagi suram, bersinar dalam cahaya.

Uzy menoleh ke belakang, ingin sekali lagi melihat gadis itu. Dari belakang, rambutnya yang lurus panjang melewati bahu berkibar lembut terkena angin. Sosoknya terlihat sempurna, bentuk tubuh dan warna kulitnya tak tercela.

“Ayo, Zy. Ini ruangan tempat pendaftarannya,” panggil Paman Ali dari depan sebuah ruangan besar dengan pintu yang terbuka.

Uzy mengalihkan pandang dari gadis itu, lalu menatap Paman Ali yang berada tiga meter di depannya sejenak. Saat ia menoleh lagi, gadis itu sudah menghilang entah ke mana. Ingin rasanya Uzy menyusul gadis itu, melihatnya sekali lagi dan mengajak berkenalan. Tapi semua itu hanya dalam angan-angan. Kenyataannya, Uzy tak punya cukup nyali untuk berbuat liar.

“Cepat, Zy!” panggil Paman Ali sekali lagi, suaranya lebih keras dari sebelumnya.

Uzy tersentak, lalu setengah berlari mendekati Paman Ali yang terlihat jelas sudah tak sabar.

“Apa yang kamu lihat tadi?” tanya Paman Ali, agak gusar dengan kelambanan Uzy memenuhi panggilannya.

“Oh, anu ... ada cewek cakep banget, Paman,” jawab Uzy dengan wajah yang terasa memanas.

Paman Ali tergelak, lupa akan kemarahan yang sempat mampir barusan.

“Pantas kamu sampai linglung begitu,” seloroh Paman Ali.

Uzy cengengesan tak jelas antara malu dan salah tingkah.

“Ini map pendaftaranmu. Cepat masuk, Paman tunggu di luar,” pungkas Paman Ali.

Seberkas map berwarna biru dialihtangankan oleh Paman Ali kepada Uzy. Map tebal itu Uzy sambut dengan kedua tangan.

“Baik, Paman,” sahut Uzy sopan.

Setengah jam kemudian semua urusan administrasi dan pembayaran beres dilakukan oleh Uzy.

“Bagaimana, Zy?” tanya Paman Ali ketika melihat Uzy menghampirinya yang sedang duduk di kursi taman.

“Beres, Paman. Tinggal datang lagi tanggal 20 buat ikut orientasi mahasiswa baru,” lapor Uzy setelah berada di dekat Paman Ali yang duduk sambil merokok.

“Bagus. Jadi dari sini kamu sudah bisa urus sendiri, kan?” tegas Paman Ali.

“Bisa, Paman,” angguk Uzy mantap.

Paman Ali tersenyum senang. Ia bangkit dari duduk, lalu mematikan bara di ujung puntung pada dudukan kursi. Puntung yang sudah mati baranya dibuang ke dalam tong sampah di dekat kursi.

“Ayo, pulang,” ajak Paman Ali.

Uzy berjalan bersama Paman Ali, melewati ruang-ruang kosong di bangunan besar untuk menuju tempar parkir sepeda motor. Sampai di ujung bangunan, Uzy melihat satu ruangan besar terbuka pintunya. Dari dalam ruangan, terdengar gelak tawa dan obrolan riuh.

Ada kertas di dinding depan ruangan, betulisan “RUANG PANITIA MABA”. Uzy tertegun saat lewat di depan ruangan. Bukan lantaran tulisan di kertas yang tertempel itu, tapi karena gadis berambut lurus mengilap yang sedang duduk tepat di ambang pintu. Pandangan si gadis lurus ke arah dalam ruangan, dengan senyum yang semakin menambah manis dan lembut wajahnya.

Gadis itu. Ya, itu dia yang telah membuat Uzy terpana di kelokan jalan.

***

Orientasi mahasiswa baru mungkin terasa menyebalkan bagi kebanyakan orang, begitu pula dengan Uzy. Akan tetapi, sosok cantik yang berdiri jauh di depan sana membuat Uzy berubah pikiran tentang kegiatan ini.

Mata Uzy tak lepas memandang sosok cantik itu. Dia yang telah memikat hatinya sejak pertama kali menginjakkan kaki di kampus ini.

“Cantik, ya?” ujar seorang pemuda di samping Uzy.

Uzy menoleh. Pemuda berbibir hitam dan berambut acak-acakan tersenyum ramah ke arahnya.

“Cantik banget. Kamu kenal?” tanya Uzy.

Pemuda itu menggeleng.

“Tapi aku tahu namanya, Candy. Dia panitia maba paling populer,” senyumnya lagi.

“Oh iya, kita belum kenalan. Aku Uzy,” kata Uzy. Ia mengulurkan tangan untuk dijabat.

“Yandi,” balas Yandi singkat. Jabatan tangan Uzy diterimanya dengan hangat.

“Kamu suka Candy ya, Zy? Mau kenalan?” seloroh Yandi.

“Hahahaaa, andai bisa jadi pacarnya,” jawab Uzy disela tawa.

“Kamu beneran suka sama Candy?” tanya Yandi sambil tersenyum miring, membuat siapapun yang melihatnya diliputi rasa curiga.

Uzy merasa ada sesuatu yang disembunyikan oleh kawan barunya itu di balik senyuman. Uzy menepis rasa yang hinggap, lalu menjawab dengan sungguh-sungguh.

“Iya,Yan. Candy itu cewek tercantik yang pernah aku lihat. Dia seperti ... bidadari,” ujar Uzy penuh perasaan.

Yandi terbahak. Mereka berdua memandang sekali lagi ke arah sosok wanita di depan. Ia sedang menemani lelaki kawannya sesama panitia yang memberi penjelasan kepada para mahasiswa baru. Topik yang dibahas lelaki itu tak dihiraukan Uzy dan Yandi, karena perhatian mereka tertuju pada Si Cantik di sebelahnya.

Wanita itu berwajah bulat lembut dan berkulit halus. Bibirnya dipoles tipis dengan lipstik warna pink. Saat ini, ia mengempit map di ketiak sebelah kiri. Rambutnya yang lurus tergerai jatuh sebagian menutupi wajah, berkilau ditimpa sinar matahari siang. Dengan tangan kanan yang bebas, ia mengibaskan rambut itu ke belakang, kemudian melenggang dan menghilang di balik bangunan utama kampus.

“Kalau menurutku, Candy itu bukan cantik, tapi sensual,” cetus Yandi lagi.

Uzy mengamati Yandi yang tengah menggigiti sebatang ranting.

“Kamu mau jadi pacarnya?” tanya Yandi serius. Bahkan ia sengaja melirik Uzy dengan dahi mengernyit.

Uzy terdiam. Baru juga ia menjadi mahasiswa baru di kampus ini. Siapkah ia untuk memiliki pacar? Tiba-tiba wajah Ibu berkelebat di benak Uzy. Ia teringat pesan Ibu saat ia hendak berangkat ke kota.

“Kalau mau jalan dengannya nggak perlu jadi pacar, kok,” tambah Yandi.

“Maksud kamu apa, Yan?” tanya Uzy dengan tatapan kebingungan, sementara alisnya terangkat sebelah.

Yandi tersenyum tipis.

“Kamu hanya perlu ...” Yandi menggantung ucapannya.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status