Semuanya terjadi begitu cepat. Bahkan Uzy saja belum sempat untuk berpikir matang. Tahu-tahu saja, ia sudah dipaksa untuk menikahi gadis secantik Naura. Kalau mau jujur, sebetulnya Uzy tidak merasa terpaksa. Gadis secantik Naura, siapa yang bisa menolak? Paling-paling Uzy hanya bisa berlari ke pelukan gadis itu.
“Jadi, kapan kamu mau mengajak keluargamu melamar Naura, Mas Uzy?” desak ibunya Naura, Sofia.
Saat ini, Uzy dan Pak Chandra sudah berada di rumah Naura. Selepas kejadian memalukan di pantai itu, Uzy dan Pak Chandra terpaksa pulang mendahului teman-temannya. Mereka berdua memutuskan buat tidak ikut acara menyaksikan matahari terbenam. Keluarga Naura mendesak Uzy untuk ikut pulang bersama mereka.
“Secepatnya, Bu. Saya harus mengabari ibu saya dulu di Klaten.” Uzy menjawab takzim, seperti dia apa adanya.
“Coba ceritakan tentang keluarga Nak Uzy,” pinta Sofia p
Kedatangan Uzy disambut suka cita oleh ibunya dan Lilis.“Alhamdulillah, Ibu senang kamu sudah sampai, Zy.” Ibu memeluk Uzy dengan penuh rasa syukur.Setelah saling melepas rindu dengan bertanya kabar, Uzy pun dituntun ibunya untuk duduk di ruang keluarga sekaligus ruang tamu rumah.“Cepat ambilkan jajan pasar yang sudah Ibu siapkan, Lis. Jangan lupa suguhkan tehnya,” titah Ibu kepada Lilis.Lilis patuh. Ia masuk ke dalam untuk melaksanakan semua perintah ibunya. Berdua saja duduk bersama ibunya, Uzy memutuskan untuk langsung mengungkapkan maksud kepulangannya.“Ibu, aku mau memberitahukan sesuatu yang penting. Begini, Bu … aku akan melamar seorang gadis bernama Naura.”Mata Ibu membulat lantaran tak menduga kabar penting yang disampaikan secara mendadak. Namun, Uzy menangkap nada senang ketika ibunya bertanya, &ldqu
“Selama kuliah di kota, jangan macam-macam ya, Zy. Ingat, belajar yang serius agar cepat lulus dan cepat kerja,” pesan Ibu dengan penekanan suara pada Uzy.“Iya, Bu,” jawab Uzy takzim.“Kamu beruntung Paman Ali mau membiayai kuliah di kota, jadi kamu bisa cari kerja yang lebih baik. Jangan sekadar jadi buruh pabrik macam teman-temanmu,” Ibu mengingatkan kembali.Uzy mengangguk-angguk paham. Sambil memberi petuah, tangan Ibu cekatan memasukkan hasil panen kebun kecil mereka ke dalam kotak kardus bekas air mineral. Ada pisang, sawi, dan salak. Semua itu oleh-oleh yang akan dibawa Uzy untuk Paman Ali di kota.Lilis, adik Uzy yang berumur empat belas tahun, dengan cekatan membantu Ibu memasukkan barang-barang ke dalam kardus. Gadis remaja tanggung itu adik Uzy satu-satunya. Ayah Uzy meninggal ketika Lilis berusia dua tahun.“Ingat, selama tin
Uzy meneguk ludah. Ia sudah bisa menangkap maksud Paman Ali yang tersamar. Kampus yang mereka tuju nanti merupakan kampus buat orang miskin.Getir terasa di hati Uzy. Memang sudah nasibnya seperti ini. Siapa yang tak ingin kuliah di kampus terkenal yang mentereng? Apa daya orangtuanya hanya janda dan bukan orang kaya. Bisa kuliah saja Uzy sudah sangat bersyukur.Sepeda motor tiba-tiba berhenti secara mendadak. Hampir saja kepala Uzy menyundul helm Paman Ali di depannya. Mata Uzy membelalak, ketika mengamati sekelilingnya.Mereka berhenti di sebuah halaman yang sangat luas berumput pendek. Di sekelilingnya ada dua buah bangunan sangat besar yang mengapit lapangan. Bangunan yang dilihatnya kini tak semegah bangunan-bangunan yang telah dilihatnya sepanjang jalan tadi. Bukan saja tak megah, bahkan bangunan itu terlihat kuno.“Ayo,” ajak Paman Ali pada Uzy yang terbengong di depan sepeda motor
“Perlu apa buat dapetin Candy, Yan?” desak Uzy, mulai tak sabar dengan gaya Yandi.“Cukup ini aja, Bro,” senyum Yandi bertambah lebar. Satu tangannya terangkat, lalu ibu jari dan telunjuknya digesekkan satu sama lain.Uzy terpana.“Uang maksudmu?” tegas Uzy.Yandi mengangguk, senyumnya lebar tersungging.“A—apa Candy ...” Uzy tergagap.Sekali lagi, Yandi mengangguk.“Ya. Candy bisa diajak kencan asal ada ini.” Yandi kembali menggesekkan jempol dan telunjuknya.Suara Yandi lirih saja, namun akibatnya laksana bom atom yang jatuh di dada Uzy. Gemuruhnya melebihi riuh suara para mahasiswa baru yang diminta meneriakkan yel-yel kesetiaan pada kampus tercinta.Mata Uzy terbelalak, setengah tak percaya ia menatap sosok cantik di depan sana.
Uzy khawatir kuliahnya terbengkalai jika bekerja. Ia tak mau mengecewakan Ibu di kampung. Terbayang wajah ibunya yang penuh harapan pada dirinya.Milo terbahak. Dia mulai menebak-nebak, bahwa Uzy belum pernah makan di warung lesehan.“Bisa. Kan warung pecelnya buka sore menjelang magrib. Tutup sekitar pukul sepuluh malam,” jelas Milo.Uzy tersenyum. Sekarang hatinya lega. Ia dapat kerja sambil kuliah. Ilmu dapat, uang pun diperoleh. Bayangan Candy tersenyum di pelupuk mata. Eh ...Cepat Uzy mengusir sosok cantik itu dengan mengibaskan tangan.“Kenapa, Zy?” heran Milo.Dahinya mengernyit. Milo bingung melihat Uzy mengibaskan tangan di depan wajah, padahal tidak ada lalat atau nyamuk yang lewat.“Nggak apa-apa, Mil. Aku mau kalau nggak mengganggu kuliah. Apa aku bisa langsung kerja?” harap Uzy
Uzy memberanikan diri melirik pamannya, sebelum bertanya.“I—iya, Paman. Boleh, kan?” tanya Uzy. Suaranya gemetar.Tiba-tiba Paman Ali tersenyum, membuat dada Uzy lega seketika.“Boleh, boleh sekali. Tadi Paman hanya kaget kamu punya inisiatif untuk kerja sambil kuliah. Bagus!” puji Paman.Kedua jempol Paman teracung ke arah Uzy. Perasaan Uzy bertambah lega. Senyumnya ikut tersungging di bibir.“Kamu punya kemauan untuk mandiri, itu bagus. Paman salut pada tekadmu. Jangan seperti kebanyakan mahasiswa sekarang yang bermalas-malasan. Setelah lulus, bingung mau kerja apa,” cela Paman.Hidung Uzy kembang kempis. Ia bangga dipuji oleh pamannya.“Nah, kamu kerja apa dan di mana?” lanjut Paman.“Bantu-bantu di warung lesehan milik teman, Paman. Hanya .
Sudah hampir sebulan Uzy bekerja membantu warung lesehan “Mas Ngganteng”. Ia mulai terbiasa dengan irama hidup yang baru ini. Siang kuliah, sedangkan malam bekerja.Awal-awal bekerja, badannya memang pegal semua. Sakit dan ngilu rasanya di pinggang. Bahkan, Uzy sering kedapatan mengantuk saat mengikuti pembelajaran di kelas. Beberapa kali Uzy kena tegur oleh dosen, sampai ia malu karena ditertawakan oleh teman-temannya.Akan tetapi, semua itu hanya berlangsung dua minggu. Setelah itu, badannya terbiasa dan tak lagi terasa sakit. Uzy juga sudah pandai menyiasati waktu agar tidak kurang tidur dan kelelahan.Caranya, ia tidur siang sebelum berangkat kerja pada sore hari. Pada malam harinya, ia pergi bekerja sambil membawa buku dan tugas kuliah. Di sela-sela waktu sepi pengunjung di warung, Uzy manfaatkan untuk mengerjakan tugas atau membaca buku kuliah.“Rajin kamu, Zy,&r
Uzy ketiduran dibuai khayalan. Sampai azan Asar berkumandang, ia tak terbangun maupun terganggu. Sepertinya kupingya sudah dikencingi oleh setan.Hanif memasuki ruangan tepat pada pukul empat. Ia menggeleng-gelengkan kepala melihat Uzy yang tertidur pulas, bahkan ilernya sampai jatuh ke pipi dan leher.“Zy, Uzy. Bangun, Zy.”Hanif menggoyang-goyangkan tubuh Uzy.“Kamu harus kerja, Zy!” seru Hanif. Ia berspekulasi bahwa kalimat itu akan membuat Uzy segera sadar.Betul dugaannya. Demi mendengar kata ‘kerja’, sontak mata Uzy terbuka seketika.“Jam berapa sekarang?” tanyanya kaget.Ia menghapus iler dengan ujung lengan baju, lalu mengucek-ngucek mata yang masih buram. Lalu ia celingukan ke kanan dan kiri, mencari tas ransel andalan. Di dalam tas itu ponselnya yang jadul berada.