Revin membuka suaranya. "Biar kau tahu, aku tidak mencintai putrimu sama sekali.""Aku tahu. Tapi putriku mencintaimu. Berikanlah dia kesempatan dan buka hatimu sedikit untuknya. Kalian akan memiliki bayi, dan saat kau melihat langsung darah dagingmu nanti kau akan merasa takjub," ucap Hendra membujuk."Aku masih tidak tahu apa janin itu darah dagingku atau bukan.""Lho, bukankah Lisa sudah melakukan tes DNA?" tanya Hendra terkejut. Hendra berpikir bahwa tidak ada keributan berarti masalah tes DNA berjalan dengan baik."Belum. Kandungannya lemah. Dokter melarang untuk melakukan tes DNA. Mungkin di bulan keempat atau kelima baru bisa melakukannya," jelas Revin apa adanya.Setelah makan siang dan berbincang sebentar di ruang keluarga, Revin dan Lisa pun pamit pulang. Saat mereka beranjak dari sofa, Hendra dan Nafa ikut berdiri."Kenapa terburu-buru? Bagaimana kalau kalian menginap malam ini? Bukankah besok hari Minggu?" ucap Hendra sambil merangkul lembut putrinya. Tubuh Lisa yang kurus
Di tengah malam, Revin menjadi cacing kepanasan. Bagaimana tidak kepanasan? AC ruangan dimatikan. Dia duduk dan membuka kausnya, memampangkan dada berototnya yang seksi."Hah! Gerah!" keluh Revin. Kaus itu digunakannya untuk mengelap seluruh keringat di tubuhnya. Setelah sedikit tenang, matanya menoleh pada Lisa yang sedang meringkuk menghadapnya. Dia menjamah punggung tangan Lisa yang terasa sejuk."Dia masih terasa dingin. Apa ini tidak berbahaya? Sepertinya sejak hamil dia menjadi tidak sehat," ucap Revin dalam hati dengan kening mengerut.Tanpa sadar Revin mengenang masa pertemanannya dengan Lisa. Lisa begitu ceria, manja dan energik. Tubuhnya seksi dan sangat pintar membangkitkan gairahnya. Lisa adalah tempat yang sangat pas untuknya melepas segala penat yang membuatnya stres."Sayangnya ternyata kau adalah wanita penipu yang licik. Kau memanfaatkan rasa percayaku dengan cara yang kotor, menodai pertemanan kita. Aku benar-benar membencimu kalau mengingat bagaimana dirimu sudah mem
Lisa bangun dan mendapati Revin bertelanjang dada tanpa memakai selimut. "Pasti Kak Revin kepanasan tadi malam," ucap Lisa dengan rasa bersalah. Dia memakaikan selimut yang saat ini ia pakai ke tubuh Revin, lalu beranjak ke toilet.Saat menyikat gigi, perhatian Lisa teralihkan pada bekas cupang di lehernya. "Apa ini? Seperti bekas....dicium?" ucapnya dalam hati. Lisa menggelengkan kepala atas pikirannya yang ngawur.Setelah menyelesaikan sikat giginya, dia kembali memeriksa lehernya. Ternyata bukan hanya satu, tapi ada beberapa. Semakin diperiksa ke bawah semakin banyak. Di dada lebih banyak! "Apa ini?" Wajah Lisa memerah. "Mana mungkin ini ulah Kak Revin?" gumamnya dalam hati."Ini bekas apa sebenarnya? Tidak ada rasa gatal." Lisa menyentuh bekas-bekas itu. Malah ada bekas yang terasa sedikit perih. Kening Lisa mengerut bingung."Apa ini efek samping obat?" Lisa menggeleng. "Tidak, kenapa cuma di sebelah sini saja ruamnya?"Setelahnya Lisa memakai baju yang lumayan menutupi tubuhnya y
"Kau bertanya seolah kau tidak tahu!" Revin tampak kesal."Sudah kuduga dia mencoba untuk mengejekku," ucap Revin dalam hati."Aku sungguh tidak tahu. Aku takut ini efek samping dari obat yang diberikan dokter padaku, tetapi ternyata tidak. Aku merasa lega," ucap Lisa dengan wajah polos. Dia benar-benar merasa lega. Tadi dia sempat sangat khawatir, dan berencana akan berkonsultasi pada Dokter Sinta dan Dokter Inggrid. Tetapi sekarang itu tidak perlu lagi."Berhentilah berbicara omong kosong. Tadi malam jelas-jelas kau yang merayuku. Sekarang tidak ada yang perlu dibahas lagi." Revin langsung masuk ke ruang pakaian meninggalkan Lisa.Lisa mematung dengan kening mengerut, penuh tanda tanya. "Merayunya? Mana mungkin aku berani melakukan itu? Kenapa aku sama sekali tidak ingat apa-apa?""Waktu itu juga, saat Kak Revin menuduhku bertelepon diam-diam karena cekikikan tengah malam. Aku juga tidak bisa mengingat soal cekikikan itu." Lisa memegang pelipisnya yang berdenyut. "Kenapa aku tambah a
Ben terkekeh pelan. Dia merasa lucu melihat ekspresi Alex dan Revin saat menatapnya dengan kejelian tingkat tinggi."Benar, kau benar-benar Ben!" seru Alex saat dia mulai yakin bahwa yang berdiri di hadapannya saat ini memang benar Ben. "Bagaimana bisa kau berubah sedrastis ini?" ucapnya kemudian sambil mendekat ke arah Ben dan menggenggam dua sisi bahunya."Tidak drastis, Kak. Butuh waktu tiga tahun lho," jawab Ben dengan senyuman lebar.Alex menatap wajahnya lekat-lekat. "Kau terlihat sangat tampan, Ben." Alex terpukau. Ben tertawa kecil"Benarkah kau om-ku?" tanya Revin masih meragu. Dia ikut maju selangkah mendekati Ben.Ben menoleh. "Tentu saja aku om-mu!" ucapnya sambil mengacak rambut Revin.Revin menepis tangan Ben. "Berikan kartu identitasmu biar aku percaya!"Alex menggeleng mendengar ucapan Revin. "Masa kau tidak bisa mengenali om-mu sendiri, Revin?""Beda, Pa! Dia sama sekali tidak mirip dengan Om Ben Gendut!" tegas Revin."Apanya yang tidak mirip? Hanya lemaknya sekarang s
Ben menatap lekat-lekat perempuan muda yang meletakkan cangkir teh dengan hati-hati di hadapan mereka masing-masing.'Perempuan ini, bagaimana bisa dia ada di sini? Apa dia mengenaliku?' Ben bertanya-tanya dalam hati."Tentu saja kan, Ben!" ucap Alex sambil menepuk pundak Ben, membuat Ben terkesiap."Apa?" sahut Ben dengan wajah agak terperangah."Kau melamun?" tebak Alex. "Belum ada sepuluh menit di rumah, kau sudah melamun. Ck, ck, ck!" Alex menggeleng."Tidak, tadi apa yang barusan Kakak katakan?" tanya Ben."Tadi kita membahas soal kue. Bukankah kau menjaga pola makan?""Iya, tapi tidak masalah jika memakannya dengan ukuran segini." Ben menatap cake di hadapannya."Baguslah kalau begitu," sahut Renata lega."Silakan diminum, Om," ucap Lisa tiba-tiba saat ia meletakkan satu cangkir berisi teh di hadapan Ben. Lisa tersenyum lembut pada Ben membuat bulu kuduk Ben meremang. Ben diam tidak menyahuti Lisa, tapi matanya menatap lekat pada perempuan itu, membuat Revin yang sedari tadi memp
Lisa menatap punggung pria itu bersama Revin yang berjalan meninggalkan ruang depan."Pria bernama Ben itu kenapa rasanya familiar?" Lisa bertanya-tanya dalam hati."Lisa," panggil Alex."Iya, Pa?" sahut Lisa."Saya setuju dengan permintaan yang kau ajukan pada Renata. Saya dan Renata tidak akan merestui hubungan Revin dengan Cherrine."Lisa menyunggingkan senyum. "Terima kasih, Pa," ucapnya tulus."Iya, sama-sama. Saya harap hubungan kalian tetap baik walaupun nanti sudah bercerai dan menemukan pasangan masing-masing.""Baik, Pa," jawab Lisa tersenyum hampa.Setelah tidak ada yang ingin dibicarakan, Lisa pamit hendak beristirahat sebentar di kamar."Erwin," gumam Lisa saat dia menaiki tangga."Erwin adalah nama yang cukup akrab di telingaku. Dulu sewaktu masih kecil, aku sempat memiliki sahabat bernama Erwin di sekolah dasar, di kampung. Iya, aku sempat sekolah di kampung lantaran memenuhi permintaan Nenek Salwa. Tetapi baru beberapa bulan, aku langsung jatuh sakit karena merindukan P
"Itu...perceraian kita saja bahkan sudah diketahui kedua orang tua Kakak. Jadi sebenarnya bagi keluarga Abimana, aku hanya keluarga di atas kertas. Ikut dalam perkumpulan keluarga, hanya membuatku menjadi pengganggu saja, kan?" Lisa menunduk tidak tahan menatap mata Revin yang menelisik tajam."Memang! Hadirmu di rumah ini memang cukup mengganggu di keluarga kami. Tapi aku tidak mengizinkanmu pulang karena aku tahu, kau akan bertingkah bebas selama aku tak ada di sana."Kening Lisa mengerut, lagi-lagi tuduhan semacam itu. "Bertingkah bebas bagaimana maksud Kakak? Kalau Kakak curiga, Kakak bisa bertanya pada Bibi Ema tentang keseharianku.""Kau bisa menyuapnya, lalu membawa Nick Angkasa Raya itu ke rumah," jawab Revin ringan."Apa?" Lisa terdiam. Tidak tahu harus berkata apa. Ingin rasanya Lisa berteriak bahwa yang dicintainya hanyalah Revin. Mana mungkin dia sanggup berselingkuh? Tapi Revin pasti tidak akan pernah percaya sedikitpun. Justru hanya akan memperparah keadaan."Kenapa diam?