Upnya masih bisa cuma segini, Kak. Happy Reading! ^^
Ben segera tersadar dan matanya beralih pada Revin yang sedang menatapnya tajam."Suaramu keras sekali, Revin. Ada apa?" tanya Alex agak kesal karena terkejut. Renata dan Lisa juga menatap Revin dengan wajah bingung."Tanyakan saja pada Om Ben," jawab Revin dengan nada dingin."Bukankah tadi kalian baik-baik saja? Ada apa tiba-tiba, Ben?" Alex menatap Ben dengan wajah heran.Ben tahu apa yang membuat Revin marah, tapi tadi itu dia juga tidak sadar melakukannya. Lalu dengan nada tenang dia berkata, "Erwin, kau sepertinya salah paham.""Salah paham atau tidak, yang pasti aku tidak suka kalau Om menatap istriku seperti itu, apa pun alasannya!" lugas Revin."Apa?" Renata terkejut masih bercampur dengan rasa bingung. Begitu pula Alex dan Lisa.Ben mendesah pelan. Dia sendiri bingung kenapa tanpa sadar ia terus-terusan menatap Lisa hingga lagi-lagi tertangkap oleh Revin. "Apa mungkin aku tertarik pada Lisa?" ucapnya dalam hati. "Hah...Mana mungkin?" tolaknya dengan cepat.Alex membuka suara.
"Aku tidak akan ikut campur, Pa. Asalkan Liliana itu adalah perempuan yang baik."Hati Lisa sangat berat tapi dia tulus mengucapkannya. Perempuan baik akan menjadi ibu yang tepat untuk bayinya nanti.'Kalau dipikir-pikir justru bagus jika mereka menjodohkan Kak Revin sekarang. Jadi aku bisa sempat menilai sifat calon ibu untuk bayiku nanti.' Lisa mencoba menghibur hatinya sendiri.Di lantai atas saat Lisa hendak memasuki kamar, Ben menahannya."Lisa!" serunya pelan.Lisa menoleh. "Ada apa, Om?" tanya Lisa sedikit tak tenang."Ada yang ingin kubicarakan padamu," ucap Ben."Maaf, Om kan tahu sendiri, Kak Revin melarang kita mengobrol berdua. Lebih baik bicara saat ada Kak Revin.""Tidak, jika Om bicara saat ada dia, dia akan berpikir kalau Om tidak percaya padanya. Om hanya ingin tahu apakah yang dikatakan Erwin itu benar atau tidak, cerita tentangmu.""Untuk apa Om tahu? Apa dengan bercerita Om akan lebih percaya padaku daripada Kak Revin?"Ben diam."Tidak, kan?" ucap Lisa lagi."Meman
Ben telah kehilangan satu kesempatan untuk memiliki seorang anak yang selama ini ia impikan dan itu semua karena dia adalah seorang bajingan! Pemikiran itu yang membuat Ben merasa tertusuk."Lisa...," ucapnya tapi tidak tahu harus berkata apa. Ben lalu mengatupkan mulutnya dengan wajah penyesalan."Apa Om percaya yang kukatakan?" tanya Lisa melihat Ben sepertinya memang bersimpati padanya."Aku percaya padamu," jawab Ben masih dengan raut yang sama. Meyakini fakta bahwa Lisa pernah mengandung anaknya, Ben memutuskan untuk tidak memasang jarak. Mulai di sini, dia tidak lagi menggunakan kata om untuk menyebut dirinya sendiri."Walaupun aku tidak memiliki bukti?" tanya Lisa dengan mata melebar."Iya, walaupun begitu.""Kenapa?" Lisa merasa tak percaya akan apa yang ia dengar. Bahkan saat Damian berkata bahwa ia percaya padanya dan membuatnya langsung tersentuh, tetap saja Lisa tidak bisa percaya sepenuhnya. Lisa berpikir mungkin saja Damian berbicara manis dengan tujuan untuk mendapatkan
"Lili, nanti pulangnya dijemput sama Pak Mardi, ya?" ucap Nenek Salwa. Pak Mardi adalah salah satu pekerja di rumah nenek Salwa. "Iya, Nek!" jawab Lisa yang saat ini memakai baju seragam sekolah dasar, putih dan merah. Sudah seminggu Lisa bersekolah di kampung seperti permintaan neneknya. Entah Lisa betah atau tidak, neneknya berharap cucunya itu betah karena Nenek Salwa merasa kesepian di kampung. Tetapi Nenek Salwa juga tidak suka jika harus pindah ke ibu kota. Dia lebih suka tinggal di kampung, di rumahnya sendiri, rumah peninggalan suaminya. Lisa lalu mencium tangan neneknya, dan hendak turun dari mobil. "Eh, tunggu dulu, Sayang. Ini kok nggak dibawa?" Nenek Salwa memberi kotak berisi bermacam kue. "Oh iya lupa! Hehe!" "Nenek nggak mau Lili jajan sembarangan." "Iya, Nek," jawab Lisa. Setelahnya Lisa berjalan memasuki kelas. Semua anak di kelas Lisa, sangat ramah padanya. Itu karena Lisa paling cantik di kelas. Lisa merasa senang karena dia cepat punya banyak teman. Namun har
Revinlah yang saat ini berdiri di hadapannya. Walaupun Lisa mengenali suara Revin saat Revin memanggilnya tadi, tapi tetap saja dia terkejut mendapati Revin ada di depannya."Kak Revin? Kenapa Kakak cepat sekali pulang?""Ada barang yang ketinggalan," jawab Revin, langsung masuk ke dalam kamar."Oh! Kenapa kakak tidak suruh orang saja mengambilnya?" tanya Lisa sambil mengekori Revin."Aku tidak suka ada orang asing masuk ke dalam kamarku.""Kalau begitu, Kakak kan bisa suruh aku mengantarnya. Kakak nggak perlu capek-capek pulang ke rumah terus kembali lagi ke kantor," ucap Lisa dengan suara lembut.Revin membuka laci lalu mengambil flashdisk berisi data penting. Saat tanpa sengaja matanya melihat kunci lemari yang ia simpan berada di atas meja, dia langsung memungutnya dengan cepat lalu mengantonginya.Kemudian ia menoleh menatap Lisa. "Bagaimana aku bisa menyuruhmu? Kau mudah capek. Tadi malam saja kau langsung kelelahan padahal cuma sebentar."Lisa diam. "Apa tadi malam Kak Revin tid
"Halo, Damian?" sapa Lisa ketika mengangkat telepon."Kak Lisa," lirih Damian enggan.'Tumben Damian memanggilku kakak? Apa gara-gara peringatan papa waktu itu, ya?'"Ada apa?" sahut Lisa."Itu...um, tolong datang ke sekolahku sekarang. Kalau tidak, guru BK akan membuatku terus berdiri di ruang ini entah sampai kapan," ucap Damian tak bersemangat sambil melirik bapak guru yang sedang bersedekap memelototinya."Apa? Ulah apa lagi yang kau lakukan, Damian? Dan kenapa kau malah meneleponku? Bukankah harusnya kau menelepon mama atau papa?" Lisa tak habis pikir melihat tingkah Damian.Damian mendesah malas. "Aku mohon, Kak Lisa," ucapnya memelas. Sebenarnya tadi walaupun terpaksa, Damian sudah mencoba menghubungi Nafa, tetapi nomor Nafa tidak aktif. Saat Damian menelepon ke rumah, asisten rumah tangga mengatakan bahwa Nafa tidak sedang berada di rumah. Sedangkan menelepon Hendra sama sekali tidak ingin ia lakukan. Hendra bukan ayah kandungnya! Selain itu, Hendra pasti akan marah besar padan
'Suami?' Damian terkejut mendengar dugaan pria asing itu. Dia kemudian menoleh melihat Lisa. 'Apa aku dan Lisa terlihat serasi sehingga dia berpikir seperti itu?' Telinga Damian memerah."Nick, hal konyol apa yang kau katakan? Apa mungkin aku menikah dengan anak lelaki yang masih berseragam SMA?" tanya Lisa dengan nada malas. Damian pun tersadar bahwa dia masih memakai seragam SMA."Ya, aku tahu itu jelas tidak mungkin. Yang kutanyakan apa bocah ini yang mengaku-ngaku sebagai suamimu di telepon waktu itu?""Siapa bocah maksudmu?" ucap Damian tersinggung."Ya kau bocah, siapa lagi?" jawab Nick ringan sambil bersedekap."Kau!" bentak Damian mengulurkan sebelah tangannya hendak mendorong Nick kembali."Damian," hardik Lisa dengan suara rendah. Segera tangan Damian mengambang di udara. Dia langsung menariknya kembali."Nick, walaupun ini sangat aneh, tapi aku minta kau jangan kemari lagi. Masih banyak kafe lain yang bisa kau kunjungi," ucap Lisa."Hah? Masa kau melarang pelanggan kafemu se
"Apa lelaki itu bernama Nick?" tanya Revin menduga."Iya betul! Kok tahu?"Wajah Revin menggelap. "Dasar brengsek!" gumamnya dengan gigi merapat."Hah? Siapa maksudnya brengsek?" Damian heran."Tentu saja si binatang itu," jawab Revin."Em? Iya...binatang...lebah," sahut Damian bergumam tak jelas. Melihat Lisa tampak cemas, Damian lalu berkata, "Tapi sepertinya sih, lelaki itu datang hanya untuk memastikan apakah Lisa memang benar sudah menikah atau tidak. Begitu Lisa memberitahunya bahwa dia sudah menikah, lelaki itu pergi dengan wajah kecewa. Jadi, kurasa tidak ada yang perlu kau khawatirkan, Kak.""Sebelumnya aku sudah memperingatinya untuk menjauhi istriku, tetapi ternyata dia tetap mengganggu!" bentak Revin kesal.Damian berdehem merasakan aura posesif dari Revin. "Em, menurut penilaianku tadi, lelaki itu terlihat sangat menyukai Lisa. Jadi, wajar saja jika dia perlu memastikan secara langsung kebenarannya dari Lisa," ucap Damian. "Selain itu, dari cara dia pergi, aku rasa dia tid