Halo, Readers, maaf author belum bisa double up. 🙏 Happy Reading! ^^
Walaupun Revin menjawab dengan mantap bahwa sampai kapanpun ia tidak akan memiliki rasa cinta pada Lisa, tetap saja Ben tidak percaya akan jawaban itu. Kecemburuan Revin begitu kental terhadap Lisa. Ben bisa merasakannya dengan jelas. Itu adalah kecemburuan seorang pria, bukan emosi yang muncul hanya karena masalah harga diri. Untuk itu, untuk memastikan perceraian Revin dan Lisa benar-benar akan terjadi ke depannya, Ben memutuskan untuk mendatangkan Liliana dua bulan lebih cepat.Liliana adalah gadis yang cantik dan cerdas, dia juga pintar memasak, dan yang pasti bukan perempuan murahan. Ben yakin Liliana akan mampu menaklukkan Revin. Semakin banyak waktu yang digunakan oleh Liliana untuk dekat dengan Revin, maka semakin cepat Revin akan ditaklukkan."Aku menyayangi Erwin. Lisa kotor dan tidak pantas untuk Erwin. Liliana-lah gadis yang tepat untuknya. Dan karena aku yang menghancurkan kehidupan Lisa, memang sebaiknya aku yang bertanggung jawab padanya," ucap Ben pada dirinya sendiri s
"Kau memang orang yang tidak tahu bersyukur." Revin segera menjauhkan dirinya dari Lisa dengan rasa kesal di dalam dada. Dia menghela napas. "Kalau kau memang memiliki otak, harusnya kau terima saja segala kebaikan dan perhatian yang kuberikan. Bukan sok menolak seperti yang kau lakukan sekarang, padahal jelas-jelas kau butuh," ucapnya dengan nada rendah.Lisa sedikit mengerutkan keningnya. Butuh apa yang dimaksud Revin? Lisa memutuskan untuk perlahan kembali duduk lalu menoleh menatap Revin yang ternyata juga ikut beranjak duduk sepertinya."Aku bukannya tidak bersyukur, Kak. Aku hanya tidak mau merepotkanmu karena melakukan hal yang sebenarnya tidak Kakak sukai. Aku tahu kakak tidak suka memelukku, jadi jangan lakukan. Dalam surat perjanjian aku meminta ketenangan dan kenyamanan selama hamil, itu maksudnya aku hanya ingin Kakak berhenti untuk terus menekanku seperti sebelum-sebelumnya. Untuk hal-hal lain seperti memberikan perhatian padaku, itu sebenarnya tidak perlu. Itu bukan kewaj
"Benar-benar tidak penting," ucapnya kembali dalam hati sambil menggulir layar. Tetapi saat menemukan ada foto Nick di sana, Revin berubah pikiran. Ia memutuskan untuk menelepon balik Cherrine."Halo, Mas?" sapa Cherrine dengan bersemangat. Tidak sia-sia dia menyuruh orang untuk membuntuti Lisa. Akhirnya dia memiliki kesempatan untuk menjelekkan Lisa kembali di hadapan Revin."Iya, halo. Apa maksudmu mengirim foto-foto semacam itu?" tanya Revin tenang tanpa basa-basi sambil keluar dari kamar dan menutup pintunya.Lisa yang sebenarnya tidak tidur menolehkan kepalanya pada pintu yang ditutup. Dia penasaran pada siapa Revin bertelepon? Kenapa Revin sampai harus keluar dari kamar untuk berbicara dengan si penelepon itu? Ini kesannya seolah Revin tidak ingin dia tahu. "Bahkan jika itu dengan Liliana, kenapa sampai harus keluar kamar. Bukankah aku juga sudah tahu tentang Liliana?" tanyanya dalam hati. Rasa penasaran menggelayuti Lisa.•"Jadi begitulah, Mas. Dua lelaki itu nyaris saja berke
Lisa segera mundur tiga langkah saat Revin turun dari ranjang. Dengan tangan bersedekap, Revin melirik ponsel di lantai lalu kembali menatap Lisa dengan tajam."Jadi ini yang kau lakukan diam-diam saat aku tidur?"Lisa diam seribu bahasa."Jawab!" ucap Revin tegas menuntut.Lisa menatap Revin dengan mata berkaca-kaca. "Memangnya kenapa?" ucapnya tiba-tiba menantang, membuat Revin tak percaya."Apa kau bilang?"Kedua tangan Lisa mengepal. "Memangnya kenapa kalau aku melihat ponselmu?" tanyanya lagi dengan nada menantang. Tetapi suara itu terdengar agak bergetar seperti sedang menahan gejolak emosi."Kau tanya kenapa? Apa kau tidak sadar perbuatanmu itu tercela? Memeriksa ponsel orang tanpa izin pemiliknya?" tanya Revin dengan kening mengerut."Apa aku harus izin melihat ponsel suamiku sendiri?" tanggap Lisa dengan kepala mendongak. Lisa terlihat keras kepala saat ini."Apa?""Apa aku harus izin melihat ponsel suamiku sendiri?" ucap Lisa meninggikan suaranya.Mulut Revin sedikit terbuka
Revin diam mengingat-ingat kapan ia mengirim pesan seperti itu pada Evans. Dia bahkan tidak mengingat entah berapa kali dia mengatai Lisa jalang kepada Evans saat bertemu langsung. Sepertinya sudah berkali-kali."Kau bilang kau melakukan itu saat hubungan kita masih sangat baik?" tanya Revin tampak masih berpikir. "Jadi sejak dulu kau memang suka memeriksa isi ponselku?""Tidak juga. Tapi saat itu aku sangat penasaran akan hubunganmu dengan Anna. Itu sebabnya aku memeriksa ponselmu. Tahu-tahu aku malah mendapati pesan obrolanmu dengan Kak Evans! Hubungan kita sangat baik waktu itu, tapi kau ternyata tega menghinaku di belakangku. Kau bilang aku yang merusak pertemanan kita tapi justru kau yang melakukannya. Jadi siapa sekarang yang bersalah? Kau kan sebenarnya yang jahat!" bentak Lisa. Revin mengatupkan mulutnya. Ada rasa tidak nyaman yang ia rasakan. Biar bagaimanapun Revin memang bersalah karena mengatai Lisa secara negatif saat hubungan mereka masih baik!"Memangnya kenapa? Kan, apa
Revin keluar dari kamar. Dengan rasa kesal ia menuruni tangga. Dia lalu menghubungi Evans."Ada apa, Vin?" sahut Evans dengan suara berat."Halo, Van! Kau sudah tidur jam segini?" tanya Revin dengan nada sedikit heran."Mmh, begitulah. Ada apa?""Ayo ke klub! Sudah lama kita nggak nongkrong di sana.""Malam begini?""Iya, masa siang?" sahut Revin sedikit jengkel."Kau kenapa lagi?" tanya Evans agak malas."Biasa, mau cari hiburan. Jenuh," sahut Revin."Kau jenuh atau sedang kesal dengan Lisa?""Huft! Dua-duanya.""Aku tidak bisa. Aku belum mengabarimu, ya? Erika hamil. Tiap malam aku harus memeluknya supaya dia bisa tidur. Dia sangat suka mencium aroma tubuhku saat tidur hehehe. Kalau aku tidak di sisinya, dia tidak akan bisa tidur. Kasihan, kan?""Ck," decak Revin. "Sejak menikah, kau menjadi tidak setia kawan.""Aku benar-benar sibuk, Vin. Besok aku juga harus menemani istriku ke dokter untuk pemeriksaan kandungan.""Hmmm, baiklah kalau begitu. Selamat ya, karena kau akan menjadi seo
Damian berhasil mencari alamat orang tua Revin saat Revin balik meneleponnya. Ia langsung menyahut dengan bersemangat. "Iya, halo! Apa kau berubah pikiran? Aku nyaris akan ke sana sekarang juga untuk memastikan...""Apa yang kalian bicarakan tadi? Kenapa kau sampai mencemaskan Lisa?" tanya Revin menyela.Damian berpikir sejenak. "Tadi Dia terlihat panik, lalu marah dan mematikan ponsel saat aku menanyakan kebenaran soal rencanamu untuk menceraikannya. Padahal dia sendiri yang memberi tahuku bahwa kalian akan bercerai tetapi kemudian ia juga yang langsung menyangkalnya."Langsung menyangkal? Revin mengerutkan keningnya tampak berpikir. "Selain itu, apa lagi yang kalian bicarakan?" tanya Revin mengorek dengan wajah ketat."Memangnya kenapa? Tolong biarkan aku berbicara pada Lisa terlebih dahulu, nanti aku akan menjawab pertanyaanmu," ucap Damian kesal."Lisa tidak ada di rumah," ucap Revin."Apa? Jadi dia ada di mana sekarang malam begini?" tanya Damian cemas."Hmmpth! Cara kau bertanya
Revin melangkah cepat menghampiri ranjang. Matanya menatap lekat-lekat sosok Lisa yang saat ini sedang berbaring di ranjang seperti kucing malas. Rasa cemas, rasa tertekan, rasa sesak, hingga rasa nyeri yang tak bisa dijelaskan seketika sirna, terangkat begitu saja dari dalam dada Revin. Dia lega, dia sangat lega! Tanpa sadar dia menghembuskan napas leganya itu.Revin mendudukkan diri di sofa dan terus menatap Lisa di sana. Suara dengkuran halus yang terdengar di telinganya, menunjukkan bahwa Lisa sedang tertidur nyenyak saat ini. Wajah Revin perlahan berubah menjadi semakin rumit saat pikirannya mulai menyadari bahwa dia begitu sangat mengkhawatirkan Lisa. Ia cemas dengan begitu berlebihan hanya karena tidak ada yang melihat Lisa keluar rumah. Padahal ia hanya tinggal memeriksa cctv saja, bukan? Tetapi saking cemasnya, dia jadi tidak berpikir ke arah sana. Dia berubah menjadi bodoh, dan akibatnya dengan konyol ia menghabiskan waktu dan tenaganya selama berjam-jam lamanya dengan sia-si