🙏🙏🙏
"Akui dengan jujur, apa kau tadinya berniat membawa kabur istri orang?""Apa maksudmu?" tanggap Damian tak paham.Revin segera membuka halaman terakhir dari tulisan Lisa di buku harian yang sedari tadi ada di genggamannya. "Lihat ini! Kau berniat membawa kabur Lisa, kan?"Damian membungkuk membaca isi buku itu sekilas. "Ini....buku hariankah?""Ya! Kenapa Lisa menulis seperti itu. Kalian pasti sudah berencana kabur!" seru Revin sambil menahan emosi, tetapi tanpa permisi Damian langsung merampas buku itu dan membaca lebih seksama halaman terakhir dari tulisan Lisa."Kalian membenciku, kan? Aku pun membenci kalian semua! Papa, Mama Nafa, Kak Revin, kalian pasti ingin menyiksa bayiku! Tak akan kubiarkan kalian melakukan itu! Dasar Iblis.""Aku akan menitipkan bayiku pada Damian supaya kalian tidak bisa mengganggu bayiku.""Damian, ayo kita pergi!"Damian terdiam dengan kening mengerut. Dia masih ingat pembicaraan terakhirnya dengan Lisa lewat telepon siang itu saat dia masih berada di sek
"Kenapa kaget begitu? Wajar dong dia membencimu, Papa Mertua," ucap Revin sambil memungut diary itu dengan cepat dari lantai.Hendra menatap Revin dengan wajah muram. "Bukankah di situ namamu juga tertera? Putriku juga membencimu!""Iya, aku tahu," jawab Revin dengan mata meredup."Apa buku itu memang...buku harian milik Lisa?""Iya."Tangan Hendra terulur. "Berikan buku harian itu, aku ingin membaca isi lainnya.""Tidak. Aku tidak bisa memberikannya padamu," lugas Revin.Kening Hendra mengerut. "Kenapa? Aku papanya. Aku berhak mengetahui seluruh isinya.""Aku yang duluan menemukan buku ini. Jadi aku punya hak untuk tidak meminjamkanmu, Papa Mertua!" tegas Revin.Mata Hendra menyipit. "Jangan kau panggil aku 'papa mertua' lagi.""Kenapa? Aku suami Lisa, jadi kau ini siapaku kalau bukan papa mertua?""Bukankah sebelumnya kau sudah berencana untuk bercerai dengan Lisa? Aku juga sangat menginginkan hal itu. Lebih baik kau ceraikan putriku sekarang.""Aku tidak akan menceraikannya," lugas
Saat ini operasi sedang berlangsung. Selain Revin dan kedua orang tuanya, di sana juga ada Hendra dan Salwa.Revin tampak duduk dengan tubuh lunglai. Tadi dia begitu tegang hingga rasanya energinya terkuras semua karena rasa takut. Matanya terus menatap pintu ruang operasi, melihat lampu yang menyala di sana kapan akan padam."Lisa, bertahanlah. Kumohon.... Asalkan kau bisa bertahan, itu saja sudah cukup bagiku," ucap Revin di dalam hati dengan rasa takut yang masih setia menggelutinya. Pikirannya sama sekali tidak berfokus pada bayi mereka. Dia hanya memikirkan Lisa.Berbeda dengan Revin, Alex dan Renata justru berfokus pada keselamatan bayi. Mereka sangat gelisah karena calon cucu mereka akan lahir prematur."Nyonya Salwa, sudah berapa lama Lisa dioperasi?" tanya Damian yang baru saja hadir. Wajahnya terlihat sangat cemas. Tadi dia hendak menjenguk Lisa, tapi seorang perawat memberitahunya bahwa Lisa sedang menjalani operasi karena mengalami pendarahan."Sudah dua jam," jawab Salw
"Mungkin saja dia sibuk," jawab Hendra asal menebak.Sebenarnya Liliana sedang pulang kampung karena adiknya akan melakukan operasi jantung. Ben-lah yang membiayai pengobatan adik Liliana. Sesuai dengan janji, Liliana harus selalu berada di sisi Revin. Dia adalah pilihan Renata dan Alex untuk menjadi pasangan Revin nanti.Di tempat lain, masih di rumah sakit itu, Alex dan Renata sedang membuka surat hasil tes DNA. Revin memang mengatakan bahwa tes DNA tidak perlu dilakukan karena dia yakin pada Lisa. Tapi Alex dan Renata tetap bersikeras untuk melakukannya."Apa itu hasil tes DNA?" tanya Revin sambil melangkah ke arah mereka."Iya," jawab Alex singkat. Dia membuka surat itu dan membacanya dengan raut serius. Tidak lama kemudian, sebuah senyuman terukir di wajahnya. "Ren, bayi itu memang darah daging Revin. Kita benar-benar sudah menjadi kakek dan nenek sekarang!" seru Alex dengan wajah berbinar. Renata dengan cepat merebut surat itu dan membacanya. Wajahnya pun berubah cerah saat meli
Jalanan macat berlangsung tidak lama. Revin pun langsung melajukan mobilnya dengan cepat. Tapi baru setengah menit saja dia menambah kecepatan, kecelakaan pun terjadi! Mobil itu menyerempet tiang. Syukurnya tidak ada korban dalam kecelakaan itu. Tapi kepala Revin terbentur cukup keras hingga darahnya mengalir membasahi pelipisnya."Ughh..." Revin meringis kesakitan.Dalam keadaan seperti itu, Revin kembali mencoba melajukan mobilnya sebelum orang-orang mulai mengerumuni mobilnya itu. Walau kepalanya terasa sangat pusing ia dengan keras kepala tetap memaksakan dirinya untuk mengemudi. Di dalam otaknya saat ini adalah bagaimana caranya agar ia cepat sampai di rumah sakit. Jika ia berada di sana segera untuk menemani Lisa, mungkin Lisa juga tidak akan tega untuk 'pergi'. Pemikiran yang agak aneh tapi selalu berhasil menguasai Revin.Sampai di rumah sakit, Revin berlari terhuyung-huyung, membuat orang-orang yang melihatnya terheran-heran karena darah mengalir jatuh membasahi lantai."Bapak
Revin membuka matanya saat hari sudah kembali siang. Dia merintih pelan merasakan kepalanya yang sakit terasa berputar-putar."Lisa...," erangnya begitu bangun."Dokter, putraku sudah sadar!" seru Alex ketika mendapati Revin akhirnya bangun setelah sehari semalaman tidak sadarkan diri, membuat Alex dan Renata merasa cemas setengah mati sepanjang waktu dan sama sekali tidak tidur. Pasalnya dokter sempat mengatakan bahwa ada kemungkinan pasien mengalami pendarahan di otak, dan harus dioperasi. Jika pasien tidak juga sadar hingga keesokan harinya, maka akan dilakukan CT scan untuk memastikan benar adanya pendarahan tersebut.Dokter yang memang berjaga di ruang ICU segera menghampiri pasien bersama perawat.Revin mengalami cedera kepala dan kumat asam lambung, itu yang membuatnya muntah dan tidak sadarkan diri hingga cukup lama. Dan karenanya dia berada di ruang ICU, menjalani observasi selama 24 jam penuh. Kecelakaan itu membuat Revin mendapat empat jahitan di kepalanya."Bagaimana Dokte
"Revin, tapi ini sudah jam makan siang. Sudah waktunya kau makan biar cepat sembuh," ucap Renata. Makan siang dari rumah sakit sudah diantar ke ruangannya tapi Revin belum menyentuhnya sedikitpun walaupun Renata sudah beberapa kali membujuknya untuk makan.Mendengar kalimat itu, Liliana berinisiatif membuka makanan yang dia bawa."Mungkin makanan rumah sakit kurang enak ya, Mas? Coba lihat dulu masakanku. Kalau tetap tidak suka ya tidak apa-apa."Revin menatap masakan Liliana. Dulu Lisa suka membuatkannya makanan, dan ia selalu lahap memakan masakannya. Sekarang sudah tidak ada kesempatan lagi baginya untuk memakan masakan Lisa. Bola mata Revin meredup. 'Lisa, apa jangan-jangan kau pergi meninggalkanku karena marah melihatku memakan masakan Liliana?' Revin memejamkan matanya saat ia berpikir seperti itu. Sebenarnya ia menyadari betul bahwa pikirannya benar-benar kacau saat ini. Tapi dia lebih suka mengikuti apa yang dia pikirkan walaupun itu mungkin tidak masuk akal. Dia pun kembali me
Revin mengusap batu nisan itu perlahan. "Sayang...," ucapnya dengan tenggorokan tercekat karena begitu kata itu keluar dari bibirnya, dia langsung tersadar bahwa itulah pertama kalinya ia memanggil Lisa dengan sebutan sayang. Revin mengerutkan kening, mencoba mengingat-ingat mungkin saja dia pernah memakai kata itu pada Lisa, tapi kenyataannya ia tidak pernah menggunakannya bahkan pada saat hubungan mereka masih sangat baik sebagai partner ranjang. Pada masa-masa itu, Lisa cukup sering memanggilnya sayang. Dia begitu ceria, sehat dan cantik.Mengingat itu, Revin hanya bisa menghela napas berat dengan wajah nanar. 'Aku sungguh ingin memperbaiki semuanya, Lisa. Aku sungguh ingin menebus semua kesalahanku dan membahagiakanmu. Aku selalu membisikkannya di telingamu terus menerus, berulangkali selama hampir tiga bulan, tapi kenyataannya kau lebih memilih pergi!"Revin kembali teringat isi buku harian Lisa di mana Lisa mengatakan bahwa ia membencinya. 'Apa karena kau membenciku? Tapi terakh