Eddy berpikir pasti adiknya banyak menyimpan berbagai informasi tentang Milla.
Krieet...!!!
Eddy menghela napas mendengar suara berderit dari pintu yang dibukanya.
'Sepertinya semua pintu di vila ini juga memerlukan pembaharuan,' pikirnya sambil memasuki kamar mendiang adiknya yang bernuansa merah muda.
Dia lalu melihat ke arah dinding kamar dan mendapati ada foto dua orang gadis cantik usia remaja tanggung saling rangkul sambil tersenyum lebar menghadap ke kamera.
"Wajahnya tidak banyak perubahan," gumam Eddy sambil memandang foto Milla dengan cermat.
Kemudian dia membuka laci meja belajar milik adiknya dan menemukan banyak sekali surat dari Milla untuk adiknya.
"Aneh sekali, zaman sudah maju begini mereka masih berkirim surat," kata Eddy sambil tersenyum lebar menggelengkan kepalanya merasa tidak habis pikir.
Setelah Eddy membaca surat milik Milla, dia baru mengetahui kalau almarhum adik perempuannya suka sekali mengoleksi perangko.
Jadi itu sebabnya kemanapun Milla pergi, dia pasti akan berusaha mengirim surat kepada Shasha, agar adiknya itu bisa menambah koleksi perangkonya.
'Adikku sangat beruntung karena telah mendapatkan seorang sahabat yang sangat setia seperti Milla. Walau kelihatannya Dia sibuk dengan pekerjaan seperti yang terlihat di foto tapi Dia masih menyempatkan diri untuk mengirimkan surat dengan perangko dari berbagai tempat,' batin Eddy sambil tersenyum simpul.
persahabatan antara adiknya Shasha dan Milla mengingatkan Eddy kepada persahabatannya sendiri bersama Guntur yang sekarang telah berjalan selama puluhan tahun.
Mereka sudah bersahabat sejak Eddy masih tinggal di panti asuhan.
Saat itu Guntur dan orangtuanya rajin mengunjungi panti dan memberikan sumbangan.
Orang Tua Guntur merasa heran melihat wajah Eddy yang sangat mirip dengan papanya yang kebetulan adalah sahabat kedua orangtua Guntur.
"Aku rasa Papa dan Mama mengetahui panti asuhan itu juga dari kedua orangtua Guntur," gumam Eddy sambil tersenyum simpul.
Singkatnya, Eddy merasa telah banyak berutang Budi kepada sahabat dan kedua orangtuanya itu.
Eddy terus membuka surat-surat yang dikirimkan Milla dan dengan serius memperhatikan foto-foto gadis itu. Eddy merasa wajah serius Milla sangat menarik hatinya.
Eddy membolak-balik amplop surat Milla. Merujuk dari perangkonya, tempat-tempat yang Milla kunjungi sebelumnya sepertinya berada di luar negeri.
Kalau dilihat dari foto-fotonya, Eddy menduga itu semua dalam rangka kunjungan kerja Milla pada waktu itu.
Dia merasa heran di dalam hatinya. Mengapa Milla yang seharusnya bisa lebih sukses di Jakarta malah memilih pulang ke tempat terpencil seperti ini?
Apalagi villa ini sebentar lagi akan dia jual.
Bagaimana gadis itu akan menjalani hari-harinya di luar sana tanpa tempat pulang yang akrab dengannya, sebagaimana vila ini.
Sraakk ...!
Eddy melemparkan surat-surat yang sudah dibacanya ke atas kasur lalu dia dengan santainya merebahkan diri di atas kasur milik Shasha.
'Apa yang harus Aku lakukan jika vila ini telah direnovasi dan terjual sementara gadis itu tidak punya tempat untuk menetap?' pikir Eddy bingung.
Sejujurnya Eddy tidak ingin memiliki urusan dengan gadis itu karena urusannya sendiri saat ini sudah teramat banyak dan menyita perhatian.
Untuk mengurus renovasi vila saja dia harus meninggalkan usaha yang ada di Jakarta untuk sementara waktu.
"Ini benar-benar merepotkan! Untuk pekerjaan saja Aku sampai harus menyerahkannya kepada Guntur. Bagaimana mungkin Aku masih punya tenaga untuk mengurus di mana gadis itu seharusnya tinggal?" gerutu Eddy kesal pada dirinya sendiri yang berubah-ubah dan mudah kasihan kepada siapa saja.
Bagaimana mungkin dia masih memiliki waktu untuk memikirkan nasib gadis yang sama sekali tidak ada hubungan kekerabatan dengannya itu.
Belum lagi dia juga harus mencari pembeli yang benar-benar mau membeli vila sesuai dengan harga yang ditawarkan olehnya.
Tiba-tiba saja Eddy merasa mulai mengantuk dan tertidur di atas kasur milik adiknya dengan surat-surat yang berserakan di sekelilingnya.
Lucunya, Eddy tidak lagi merasakan kesulitan untuk tidur. Mungkin itu disebabkan karena dia tidur di kamar adiknya atau karena keberadaan Milla yang masih di lingkungan vila ini yang membuat Eddy merasa aman.
Seolah-olah dia memiliki keluarga dekat yang akan selalu siap untuk menolongnya kapanpun juga.
Pagi hari yang cerah, Milla sudah bangun dan bersiap untuk mulai bekerja. Dia mengamati dan mencatat apa saja yang perlu ditambah dan dikurangi dalam pembangunan vila milik orang tua Eddy tersebut.
Milla menyeduh sebungkus kopi yang dia bawa dari Jakarta untuk menghilangkan rasa kantuk yang masih menyelimutinya dan membuat sarapan pagi berupa roti panggang polos menggunakan teflon.
Selesai sarapan, Milla berjalan di jalan berbatu koral di sepanjang taman yang sudah hampir tenggelam dalam tanah dan lumut serta ilalang, karena sudah lama tidak dibersihkan.
"Ck! Kondisi taman ini benar-benar sangat memprihatinkan!" gerutu Milla cemberut.
Milla merasa serba salah karena baru memeriksa urusan taman saja sudah membuatnya pusing tujuh keliling.
Dia merasa lebih baik disuruh merancang pembangunan rumah yang masih baru dari pada merenovasi pembangunan rumah yang sudah lama berdiri dan memiliki nilai sejarah dalam hati pemiliknya.
Milla ingin sebisa mungkin memberikan hasil yang terbaik dalam merenovasi vila dengan harapan jika hasilnya memuaskan, Eddy mau berubah pikiran dan tidak jadi menjual vila warisan yang menyimpan begitu banyak kenangan ini.
Tidak hanya kenangan keluarga Eddy tapi juga kenangan keluarga kecil Milla sendiri.
Dia melihat ke sekeliling taman, tanah yang sebelumnya hanya ditumbuhi tanaman bunga mawar dan dirawat dengan baik, kini tidak lagi kelihatan bentuknya karena tertutup rumput liar yang mulai meninggi.
'Serius, ini benar-benar bukan pekerjaan yang bisa dibilang mudah jika harus merenovasi taman ini terlebih dahulu,' keluh Milla dalam hati sambil menggaruk-garuk kepala tidak gatal.
Dia memandang taman mawar bercampur rumput, yang luasnya kurang lebih tujuh puluh dua meter persegi di tambah beberapa pohon akasia dengan daun yang mulai menguning di sana sini.
Milla terus meneliti taman tersebut hingga dia menemukan sebuah kursi taman dan memutuskan untuk duduk di atasnya.
Dia menaruh buku catatan di atas lututnya dan mulai mencatat apa-apa yang perlu diperbaiki dan diubah total untuk bagian taman di vila tersebut.
Dari balik jendela vila, Eddy mengamati kegiatan Milla dengan penuh minat, sambil menyesap kopi panas yang baru saja dibuatnya.
Di hadapannya ada surat penyerahan hak milik tanah dimana pondok tempat tinggal Milla berdiri.
Surat itu baru saja Eddy temukan di antara berkas-berkas kepemilikan vila.
Tadinya dia hanya sekadar iseng ingin mengetahui seberapa luas tanah vila yang tertera di dalam akta sertifikat.
Sebab, selama ini dia hanya mengetahuinya dari kata-kata kakek dan pengacaranya.
Melihat kembali ke luar jendela, Eddy terkekeh geli melihat Milla yang saat ini sedang terkantuk-kantuk duduk di kursi di bawah pohon akasia di tengah taman dengan notes yang berkali-kali hampir tergelincir dari lututnya.
"Dia pasti akan ketiduran," gumamnya sambil tersenyum menatap ke arah Milla penuh arti.
Eddy hanya menggelengkan kepalanya ketika melihat pada akhirnya gadis itu benar-benar tertidur pulas dengan posisi duduk melorot bersandar di kursi taman. "Sudah kuduga," kata Eddy terkekeh geli ketika melihat Milla yang tertidur pulas di kursi taman. Milla sama sekali tidak menyadari kalau kelakuannya saat ini sedang diperhatikan oleh Eddy. Pria tampan itu hanya mengamati wajah Milla dari balik jendela sambil menghabiskan kopi dan sarapannya yang saat ini ada di atas meja. Sesekali dia melihat wajah Milla yang tertidur pulas dan terlihat sangat polos. Entah mengapa Eddy merasa dengan mengamati wajah tersebut bisa memberikan efek menenangkan buatnya. Selesai sarapan Eddy memutuskan untuk keluar vila dan berjalan-jalan di sekitar taman. Dia mendekati kursi taman tempat di mana Milla tertidur pulas. Eddy melipat tangannya di depan dada ketika tiba di hadapan gadis yang tertidur pulas sambil tersenyum dan menggelengkan kepalanya. Dia merasa kagum dan takjub melihat Milla yang ma
Milla memang tidak percaya kalau ayahnya telah meninggalkan harta warisan untuknya ketika dia masih hidup, sebagaimana yang dikatakan oleh Eddy. 'Kalau Aku punya harta warisan, Aku tidak akan bekerja pontang panting hanya untuk membiayai kuliahku di Jakarta,' batin Milla sinis. Dia masih mengingat dengan jelas bagaimana susahnya kehidupan setelah ayahnya meninggal. Kuliah sambil bekerja, kepala jadi kaki, kaki jadi kepala. Tidak seperti teman-temannya yang bisa masuk kuliah dengan santai tanpa harus terbebani dengan biaya hidup dan biaya kuliah, Milla malah sibuk mendampingi bosnya yang juga kekasihnya itu keliling daerah dan luar negeri. Beruntung dosennya adalah seorang yang pengertian, dia mengizinkan Milla untuk tetap mengikuti kuliah secara daring melalui video. "Aku tidak berbicara omong kosong, almarhum ayahmu memang memiliki bagian dalam harta warisan papaku, Aku juga baru melihatnya tadi pagi," jelas Eddy serius. Eddy memaklumi kenapa Milla tidak mempercayai kabar yang d
"Karena ada perubahan ini, maka renovasi vila juga akan berubah. Antara vila ini dan pondok milikmu akan dipisahkan oleh tembok tinggi agar Kamu maupun pemilik vila ini nantinya tidak akan merasa saling terganggu," ujar Eddy bijak. Milla terdiam, sepertinya kekhawatiran tidak dapat lagi melihat kenangan sahabatnya dari dekat memang tidak bisa lagi dihindari olehnya. "Apakah Kamu tidak apa-apa?" tanya Eddy ketika melihat Milla tampak melamun. "Aku baik-baik saja ... tapi barang-barang Shasha dapatkah Kamu memberikan padaku agar Aku dapat terus menyimpannya sebagai kenangan?" tanya Milla ragu khawatir Eddy marah dan menuduhnya serakah. "Tidak masalah ... tadi di taman Kamu bilang ada kerusakan yang harus di perbaiki dan diubah total, Aku ingin rincian jelasnya sekarang juga," kata Eddy kepada Milla sambil bersandar di sofa dengan gaya elegan. "Semua tanaman mawar itu harus diganti karena sudah rusak dan pohon akasia itu juga perlu di tebang beberapa dahannya yang sudah kering agar b
"Selain itu Aku sibuk bekerja, besok pun Aku harus pergi ke luar negeri untuk urusan pekerjaan. Apakah Kamu tidak apa-apa jika Aku tinggal dan mengerjakan semua ini sendiri?" kata Eddy lagi bertanya pada Milla. "Tidak masalah," jawab Milla datar. Bagaimana pun itu memang sudah menjadi tugasnya, semenjak Eddy memilih untuk tidak ikut campur tangan dan menyerahkan semua masalah yang terkait dengan urusan renovasi vila kepada dirinya. "Kalau begitu semuanya beres," kata Eddy lega. Tadinya Eddy sempat merasa tidak enak hati untuk menyampaikan kepada Milla bahwa dia akan pergi sementara dari tempat ini untuk membereskan pekerjaan yang sempat terbengkalai dan dia tinggalkan di Jakarta. "Lalu kapan Kamu akan kembali? Soalnya untuk pemotongan pohon dan pembangunan taman Aku butuh persetujuan darimu," kata Milla serius. Bagaimana pun tidak mungkin baginya mengambil keputusan sendiri tentang renovasi pembangunan ulang vila, karena vila ini bukan milik pribadinya. "Kamu bisa memutuskannya
Milla akhirnya memutuskan untuk menelpon tukang pangkas pohon itu untuk menanyakan alasan dan sebab keterlambatannya datang. "Maaf, Non Milla, Saya tadi malam sudah telpon ke vila untuk mengonfirmasi ke pemilik vila tersebut dan memastikan soal pekerjaan yang kita sepakati kemarin untuk pekerjaan hari ini tetapi saat telpon diangkat oleh pemilik vila, katanya Dia sedang ada di luar dan membatalkan kesepakatan kerja hari ini karena Dia sedang tidak berada di vila," kata sang tukang pangkas pohon itu kepada Milla sopan. "Siapa yang membatalkannya, Pak?" tanya Milla merasa heran. Pikirannya langsung mendarat pada sosok Eddy. Namun, kemudian dia tepis, sebab Milla sendiri tidak merasa yakin apakah orang yang dimaksud oleh tukang pangkas pohon itu adalah Eddy. "Orang itu mengaku sebagai pemilik vila, Non," sahut tukang pangkas pohon itu tegas. Milla langsung paham siapa yang dimaksud tukang pangkas pohon tersebut. Siapa lagi kalau bukan Eddy? Awalnya Milla memang meragukan bahwa Ed
Gadis itu kemudian membaringkan tubuhnya yang lelah sehabis bekerja dan panas-panasan di taman dengan perasaan nyaman. Milla membentangkan tangan dan kakinya di atas kasur yang telah biasa dia gunakan untuk tidur sejak dia masih kecil. "Akhirnya bisa istirahat dengan nyaman di rumah," gumam Milla sambil berguling ke sana ke mari merasa bahagia. Dia memejamkan matanya dan tersenyum. Milla merasa beruntung sekali karena ayahnya telah menyediakan kasur ukuran besar dan tahan lama seperti yang ditidurinya saat ini sehingga sampai sekarang kondisi kasur tersebut masih tetap layak untuk dipakai olehnya. Dia tidak dapat membayangkan bagaimana jika harus membeli kasur baru sedangkan wilayah ini sangat jauh dari manapun. Kalau dia harus membeli kasur sekarang pasti akan sangat menyita waktu dan menguras dompet. "Ayah memang yang terbaik!" gumam Milla sambil terus tersenyum dan merasa penuh syukur. Tiba-tiba lampu berkedip-kedip dan padam di saat gadis itu membuka matanya untuk meliha
"Apa yang Kamu lakukan? Apakah Kamu tidak apa-apa?" tanya Eddy sambil menahan pinggang Milla dengan salah satu tangannya. Eddy merasa aneh melihat Milla yang hampir jatuh jika tidak dia tahan. Kalau hanya mengetuk pintu, tidak mungkin gadis itu sampai hampir terjatuh ketika pintu dibukanya. 'Sepertinya Dia mengetuk pintu sambil bersandar,' tebak Eddy dalam hati. "Tidak, Aku tidak apa-apa," kata Milla dengan wajah merah merona karena malu sambil berusaha menegakan tubuhnya dibantu oleh Eddy. Milla benar-benar merasa malu sekali dengan kejadian yang telah dialaminya tadi. Rasanya dia ingin sekali membenturkan kepalanya dan pura-pura pingsan karena merasa malu menghadapi Eddy. "Apakah ada masalah?" tanya Eddy perhatian. Eddy pikir tidak mungkin gadis di hadapannya ini menerobos kegelapan kalau tidak ada hal yang benar-benar serius untuk disampaikan. "Kenapa Kamu lama sekali membuka pintunya?" tanya Milla lebih seperti keluhan di wajah cemberutnya. "Aku baru saja selesai mandi," ja
'Barang kali setelah semuanya dibicarakan, Eddy mau kembali menghidupkan listrik di pondok aku,' harap Milla dalam hati. Eddy mengajak Milla masuk ke dalam vila dan mengajaknya ke dapur untuk duduk di meja kopi yang berada di dapur. Meja itu hanya berukuran enam puluh kali seratus dua puluh sentimeter persegi menyambung dengan kitchen set yang terletak di antara dapur dan ruang makan. "Silakan," kata Eddy mempersilakan Milla agar duduk di kursi yang ada di seberangnya. Lalu Eddy sibuk memasak air dan menyeduh kopi untuk dua orang. Milla hanya diam memperhatikan kegiatan Eddy memasak air dan menyeduh kopi. Dari gerakannya Milla bisa melihat kalau pria itu sudah terbiasa melakukan kegiatan itu seorang diri. "Cream or sugar?" tanya Eddy kepada Milla ketika dia sudah menuangkan kopi ke dalam gelas kopi. "Sugar, please," sahut Milla sambil bertopang dagu. "Silakan," kata Eddy sambil meletakan kopi di hadapan Milla dan duduk di seberangnya. Eddy menyeruput kopinya dengan santai sam