"Lalu apa yang akan Kamu lakukan selanjutnya? Apakah Kamu memiliki pekerjaan?" tanya Eddy ingin tahu.
Tiba-tiba Eddy merasa bersalah karena telah mengusir Milla setelah melihat raut kesedihan di wajah cantiknya.
Namun, dia juga merasa bingung apa yang harus dilakukannya untuk Milla, saat vila tersebut dijual kepada orang lain.
"Apa urusannya itu denganmu?" tanya Milla acuh tak acuh.
Dia kini merasa hidup sangat tidak adil dan tidak berpihak kepadanya.
Saat dia balita ibunya meninggal, ketika dia kuliah ayahnya juga meninggal dalam kecelakaan yang juga telah menewaskan sahabat baiknya.
Milla benar-benar merasa sebatang kara hidup di dunia yang keras ini.
Eddy terdiam.
'Dia benar, apa urusannya masalah itu denganku,' batin Eddy merasa aneh dengan dirinya sendiri.
"Aku seorang arsitek, walau pun baru lulus Aku pasti bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih menjanjikan dari yang sebelumnya," kata Milla seolah menyemangati diri sendiri.
"Oh?!"
Eddy mengangkat alisnya terkejut mendengar pengakuan Milla yang menyebutkan bahwa dia adalah seorang arsitek.
Milla menatap Eddy kesal karena berpikir dia tidak percaya anak sopir sepertinya bisa menjadi arsitek.
"Ini benar-benar suatu kebetulan yang amat sangat menyenangkan. Kalau benar Kamu adalah seorang arsitek, mari kita bekerja sama," kata Eddy antusias.
Dia memang sedang memikirkan tentang segala kemungkinan mengambil gadis di hadapannya itu menjadi karyawan di perusahaan miliknya sebagai bentuk penghargaan atas kesetiaan ayahnya yang sudah lama mengabdi kepada papanya.
Milla tertegun mendengar antusiasme Eddy yang mengajak dirinya untuk bekerja sama, padahal sebelumnya pria ini dengan keras kepala ingin mengusirnya.
"Kamu bisa tinggal di sini, makan dan minum gratis, asalkan Kamu mau bekerja untukku. Merancang pembangunan vila ini kembali," tawar Eddy.
"Kamu gila? Penawaran itu harusnya diberikan kepada arsitek yang lebih berpengalaman dari Aku," kata Milla merasa rendah diri.
Bagaimana mungkin arsitek baru lulus kemarin sore seperti dirinya disuruh merancang renovasi sebuah villa elite seperti ini.
"Apakah Kamu takut menerima tantangan dariku?" tanya Eddy setengah mencemooh.
Dia tahu Milla adalah seorang arsitek yang baru lulus tapi Eddy merasa sangat yakin kalau gadis yang ada di hadapannya ini pasti memiliki selera yang bagus soal hunian.
"Mengapa Kamu meminta bantuan ku?" Milla balik bertanya tanpa menghiraukan pertanyaan Eddy sebelumnya.
"Karena Aku harus secepatnya menjual vila ini dan tidak ada waktu untuk mencari arsitek lain," jawab Eddy terus terang.
"Kamu yakin ingin menjual vila ini?" tanya Milla kaget.
Dia sama sekali tidak menyangka kalau Eddy akan menjual vila warisan dari orangtuanya yang memiliki sejuta kenangan ini.
Bahkan Milla saja yang hanya merupakan bagian kecil dari vila ini merasa sangat sayang ketika mendengar vila ini akan dijual.
"Yakin," Jawab Eddy acuh tak acuh.
Dia tahu apa yang ada di dalam pikiran Milla pasti tidak jauh berbeda dengan apa yang dipikirkan sahabatnya Guntur.
"Mengapa?" tanya Milla merasa tidak habis pikir dan tidak mengerti dengan apa yang ada di dalam pikiran pria tampan di hadapannya itu.
Dalam pandangan Milla, Eddy sudah lama sekali menghilang dan hanya vila inilah satu satunya yang masih menyimpan kenangan tentang orang tua dan adiknya.
Kebanyakan orang pasti akan lebih menghargai kenangan yang ditinggalkan oleh keluarga dekatnya yang sudah meninggal.
Eddy terdiam.
Dia mulai bertanya-tanya di dalam hatinya.
Apakah keputusannya untuk menjual vila ini adalah suatu hal yang salah?
Mengapa semua orang yang diberitahu olehnya bahwa vila ini akan dijual pasti akan bereaksi terkejut dan merasa aneh.
"Apakah Kamu menyalahkan orangtuamu karena sudah lalai ...."
"Cukup! Nona Milla imajinasi Kamu terlalu berlebihan, Aku menjual vila ini karena terlalu besar untuk Aku tempati sendirian," potong Eddy tak terima atas prasangka Milla.
"Kamu pada akhirnya akan menikah juga, mengapa tidak disimpan saja sebagai investasi untuk anak dan istrimu nanti?" tanya Milla tetap tidak bisa mengerti jalan pikiran Eddy.
Eddy terdiam.
Apa yang disampaikan Milla ada benarnya, bisa saja dia menyimpan vila ini sebagai investasi untuk diberikan kepada anak dan istrinya kelak.
Tapi masalahnya Eddy saat ini belum menikah dan Nining -tunangannya- sudah menyatakan keberatannya untuk tinggal di Puncak karena jauh dari stasiun televisi tempatnya bekerja.
"Apakah Kamu kehabisan uang?" tanya Milla lagi dengan suara pelan.
Dia takut pertanyaannya ini akan menyinggung harga diri Eddy.
"Ck, apakah Aku terlihat sedang bangkrut?" tanya Eddy bosan.
"Tapi Kamu berniat menjual rumah ini secepatnya kalau Kamu tidak butuh uang, apalagi alasan yang lebih masuk akal dari itu?" tanya Milla sambil menatap wajah Eddy aneh.
"Aku hanya tidak ingin melihat vila ini kosong dan terbengkalai seperti sekarang karena Aku tidak ada waktu untuk mengurusnya," jelas Eddy.
Milla terdiam, alasan Eddy ini benar-benar jauh di luar perkiraannya.
"Lagi pula siapa juga wanitanya yang mau tinggal di sini? Tempat ini jauh dari mana-mana, kecuali Aku menikah denganmu," seloroh Eddy sambil memandang gadis di hadapannya dengan jahil.
"Omong kosong!" sela Milla dengan wajah merona merah antara malu dan kesal.
Eddy tertawa tanpa suara, mentertawakan sikap Milla yang pemalu.
Dia kemudian kembali memusatkan perhatian serta pandangannya ke seluruh ruang pondok.
Hanya ada satu meja dan dua kursi untuk makan, kelihatan sekali kalau sebelumnya Milla hanya tinggal berdua saja dengan sang ayah.
Kemudian Eddy menatap ke sudut ruangan yang menjorok ke depan, di situ ada sebuah sofa kecil dengan gaya minimalis dan rak buku yang terisi penuh.
'Kelihatannya sopir papaku itu seorang kutu buku,' pikir Eddy sambil terus mengamati pondok kecil tersebut.
Dia melihat ke arah tangga besi di pojok ruangan dan mengerutkan kening ketika melihat salah satu pijakannya yang patah.
"Apa yang Kamu lihat?!" tanya Milla merasa sangat terganggu dengan sikap menyelidik Eddy terhadap pondokannya.
"Sudah larut, Aku kembali ke vila dulu ... di sini masih berantakan, bagaimana kalau Kamu menginap di vila utama bersama ku?" tawar Eddy ramah.
"Mimpi!" kata Mila ketus.
"Baiklah, terserah Kamu saja jika ingin tetap di pondok rusak ini, jangan lupa memperlihatkan rancangan awal mu kepadaku besok," kata Eddy sambil berbalik pergi ke luar pondok.
Milla menghela nafas lega. Dia merasa berbicara lama dengan Eddy hanya akan menguras tenaganya.
Padahal, datang ke tempat ini saja sudah sangat melelahkan baginya. Belum lagi dia juga harus membereskan pondok kecil ini secepatnya agar bisa ditinggali dengan nyaman, sambil membantu Eddy merenovasi vila utama.
Sementara itu Eddy yang saat ini sudah berada di vila utama, memutuskan untuk mencari tahu lebih banyak soal Milla.
Dia mulai mencari dari kamar adiknya karena tadi Milla sendiri yang mengatakan bahwa mereka bersahabat akrab sejak kecil.
Eddy berpikir pasti adiknya banyak menyimpan berbagai informasi tentang Milla. Krieet...!!! Eddy menghela napas mendengar suara berderit dari pintu yang dibukanya. 'Sepertinya semua pintu di vila ini juga memerlukan pembaharuan,' pikirnya sambil memasuki kamar mendiang adiknya yang bernuansa merah muda. Dia lalu melihat ke arah dinding kamar dan mendapati ada foto dua orang gadis cantik usia remaja tanggung saling rangkul sambil tersenyum lebar menghadap ke kamera. "Wajahnya tidak banyak perubahan," gumam Eddy sambil memandang foto Milla dengan cermat. Kemudian dia membuka laci meja belajar milik adiknya dan menemukan banyak sekali surat dari Milla untuk adiknya. "Aneh sekali, zaman sudah maju begini mereka masih berkirim surat," kata Eddy sambil tersenyum lebar menggelengkan kepalanya merasa tidak habis pikir. Setelah Eddy membaca surat milik Milla, dia baru mengetahui kalau almarhum adik perempuannya suka sekali mengoleksi perangko. Jadi itu sebabnya kemanapun Milla pergi,
Eddy hanya menggelengkan kepalanya ketika melihat pada akhirnya gadis itu benar-benar tertidur pulas dengan posisi duduk melorot bersandar di kursi taman. "Sudah kuduga," kata Eddy terkekeh geli ketika melihat Milla yang tertidur pulas di kursi taman. Milla sama sekali tidak menyadari kalau kelakuannya saat ini sedang diperhatikan oleh Eddy. Pria tampan itu hanya mengamati wajah Milla dari balik jendela sambil menghabiskan kopi dan sarapannya yang saat ini ada di atas meja. Sesekali dia melihat wajah Milla yang tertidur pulas dan terlihat sangat polos. Entah mengapa Eddy merasa dengan mengamati wajah tersebut bisa memberikan efek menenangkan buatnya. Selesai sarapan Eddy memutuskan untuk keluar vila dan berjalan-jalan di sekitar taman. Dia mendekati kursi taman tempat di mana Milla tertidur pulas. Eddy melipat tangannya di depan dada ketika tiba di hadapan gadis yang tertidur pulas sambil tersenyum dan menggelengkan kepalanya. Dia merasa kagum dan takjub melihat Milla yang ma
Milla memang tidak percaya kalau ayahnya telah meninggalkan harta warisan untuknya ketika dia masih hidup, sebagaimana yang dikatakan oleh Eddy. 'Kalau Aku punya harta warisan, Aku tidak akan bekerja pontang panting hanya untuk membiayai kuliahku di Jakarta,' batin Milla sinis. Dia masih mengingat dengan jelas bagaimana susahnya kehidupan setelah ayahnya meninggal. Kuliah sambil bekerja, kepala jadi kaki, kaki jadi kepala. Tidak seperti teman-temannya yang bisa masuk kuliah dengan santai tanpa harus terbebani dengan biaya hidup dan biaya kuliah, Milla malah sibuk mendampingi bosnya yang juga kekasihnya itu keliling daerah dan luar negeri. Beruntung dosennya adalah seorang yang pengertian, dia mengizinkan Milla untuk tetap mengikuti kuliah secara daring melalui video. "Aku tidak berbicara omong kosong, almarhum ayahmu memang memiliki bagian dalam harta warisan papaku, Aku juga baru melihatnya tadi pagi," jelas Eddy serius. Eddy memaklumi kenapa Milla tidak mempercayai kabar yang d
"Karena ada perubahan ini, maka renovasi vila juga akan berubah. Antara vila ini dan pondok milikmu akan dipisahkan oleh tembok tinggi agar Kamu maupun pemilik vila ini nantinya tidak akan merasa saling terganggu," ujar Eddy bijak. Milla terdiam, sepertinya kekhawatiran tidak dapat lagi melihat kenangan sahabatnya dari dekat memang tidak bisa lagi dihindari olehnya. "Apakah Kamu tidak apa-apa?" tanya Eddy ketika melihat Milla tampak melamun. "Aku baik-baik saja ... tapi barang-barang Shasha dapatkah Kamu memberikan padaku agar Aku dapat terus menyimpannya sebagai kenangan?" tanya Milla ragu khawatir Eddy marah dan menuduhnya serakah. "Tidak masalah ... tadi di taman Kamu bilang ada kerusakan yang harus di perbaiki dan diubah total, Aku ingin rincian jelasnya sekarang juga," kata Eddy kepada Milla sambil bersandar di sofa dengan gaya elegan. "Semua tanaman mawar itu harus diganti karena sudah rusak dan pohon akasia itu juga perlu di tebang beberapa dahannya yang sudah kering agar b
"Selain itu Aku sibuk bekerja, besok pun Aku harus pergi ke luar negeri untuk urusan pekerjaan. Apakah Kamu tidak apa-apa jika Aku tinggal dan mengerjakan semua ini sendiri?" kata Eddy lagi bertanya pada Milla. "Tidak masalah," jawab Milla datar. Bagaimana pun itu memang sudah menjadi tugasnya, semenjak Eddy memilih untuk tidak ikut campur tangan dan menyerahkan semua masalah yang terkait dengan urusan renovasi vila kepada dirinya. "Kalau begitu semuanya beres," kata Eddy lega. Tadinya Eddy sempat merasa tidak enak hati untuk menyampaikan kepada Milla bahwa dia akan pergi sementara dari tempat ini untuk membereskan pekerjaan yang sempat terbengkalai dan dia tinggalkan di Jakarta. "Lalu kapan Kamu akan kembali? Soalnya untuk pemotongan pohon dan pembangunan taman Aku butuh persetujuan darimu," kata Milla serius. Bagaimana pun tidak mungkin baginya mengambil keputusan sendiri tentang renovasi pembangunan ulang vila, karena vila ini bukan milik pribadinya. "Kamu bisa memutuskannya
Milla akhirnya memutuskan untuk menelpon tukang pangkas pohon itu untuk menanyakan alasan dan sebab keterlambatannya datang. "Maaf, Non Milla, Saya tadi malam sudah telpon ke vila untuk mengonfirmasi ke pemilik vila tersebut dan memastikan soal pekerjaan yang kita sepakati kemarin untuk pekerjaan hari ini tetapi saat telpon diangkat oleh pemilik vila, katanya Dia sedang ada di luar dan membatalkan kesepakatan kerja hari ini karena Dia sedang tidak berada di vila," kata sang tukang pangkas pohon itu kepada Milla sopan. "Siapa yang membatalkannya, Pak?" tanya Milla merasa heran. Pikirannya langsung mendarat pada sosok Eddy. Namun, kemudian dia tepis, sebab Milla sendiri tidak merasa yakin apakah orang yang dimaksud oleh tukang pangkas pohon itu adalah Eddy. "Orang itu mengaku sebagai pemilik vila, Non," sahut tukang pangkas pohon itu tegas. Milla langsung paham siapa yang dimaksud tukang pangkas pohon tersebut. Siapa lagi kalau bukan Eddy? Awalnya Milla memang meragukan bahwa Ed
Gadis itu kemudian membaringkan tubuhnya yang lelah sehabis bekerja dan panas-panasan di taman dengan perasaan nyaman. Milla membentangkan tangan dan kakinya di atas kasur yang telah biasa dia gunakan untuk tidur sejak dia masih kecil. "Akhirnya bisa istirahat dengan nyaman di rumah," gumam Milla sambil berguling ke sana ke mari merasa bahagia. Dia memejamkan matanya dan tersenyum. Milla merasa beruntung sekali karena ayahnya telah menyediakan kasur ukuran besar dan tahan lama seperti yang ditidurinya saat ini sehingga sampai sekarang kondisi kasur tersebut masih tetap layak untuk dipakai olehnya. Dia tidak dapat membayangkan bagaimana jika harus membeli kasur baru sedangkan wilayah ini sangat jauh dari manapun. Kalau dia harus membeli kasur sekarang pasti akan sangat menyita waktu dan menguras dompet. "Ayah memang yang terbaik!" gumam Milla sambil terus tersenyum dan merasa penuh syukur. Tiba-tiba lampu berkedip-kedip dan padam di saat gadis itu membuka matanya untuk meliha
"Apa yang Kamu lakukan? Apakah Kamu tidak apa-apa?" tanya Eddy sambil menahan pinggang Milla dengan salah satu tangannya. Eddy merasa aneh melihat Milla yang hampir jatuh jika tidak dia tahan. Kalau hanya mengetuk pintu, tidak mungkin gadis itu sampai hampir terjatuh ketika pintu dibukanya. 'Sepertinya Dia mengetuk pintu sambil bersandar,' tebak Eddy dalam hati. "Tidak, Aku tidak apa-apa," kata Milla dengan wajah merah merona karena malu sambil berusaha menegakan tubuhnya dibantu oleh Eddy. Milla benar-benar merasa malu sekali dengan kejadian yang telah dialaminya tadi. Rasanya dia ingin sekali membenturkan kepalanya dan pura-pura pingsan karena merasa malu menghadapi Eddy. "Apakah ada masalah?" tanya Eddy perhatian. Eddy pikir tidak mungkin gadis di hadapannya ini menerobos kegelapan kalau tidak ada hal yang benar-benar serius untuk disampaikan. "Kenapa Kamu lama sekali membuka pintunya?" tanya Milla lebih seperti keluhan di wajah cemberutnya. "Aku baru saja selesai mandi," ja