"Gimna Mas, kamu udah dapet kerja belum? Kenapa kamu pulang jam segini!" protes Elisa saat menyadari bahwa suaminya telah kembali.
"Udah, tapi aku butuh modal buat beli baju yang bagus-bagus, aku nggak mungkin kerja pakek baju gembel kayak gini. Elisa, apa bisa kamu membuat ruangan ini menjadi sedikit tenang, dan menghentikan tangisan anak kita, aku benar-benar lelah," celetuk Bima yang menarik kaos yang ia kenakan, pria itu juga menatap sinis ke arah Elisa yang justru mengerutkan kening kala mendengarnya."Baju Bagus? Memangnya kamu bekerja sebagai apa Mas? Kenapa harus pakai baju bagus?" tanya Elisa penasaran. Tanpa mengindahkan permintaan suaminya yang kedua."Aku dapat kerjaan di klup malam, Elisa. Dan salah satu syarat masuk ke sana ya berpenampilan menarik juga rapi, sekarang aku nggak mau tahu, kamu yang nyariin aku modalnya, kamu kan yang menyuruhku untuk kerja." celetuk pria itu menyerahkan semua tanggung jawab pada Elisa.Wanita yang berusia dua puluh tiga tahun itupun nampak kebingungan setelah mendapatkan tugas yang cukup berat baginya, darimana ia mendapatkan uang untuk membeli modal suaminya, sementara di rumah beras saja sudah tidak ada.Elisa meraih ponselnya, berniat untuk menghubungi sang mama, namun niat itu ia urungkan, bagaimana mungkin ia menceritakan kisah pernikahan yang tak direstui itu kepada sang mama yang memutuskan untuk tidak mau menganggapnya sebagai anak lagi, setelah tahu jika Elisa hamil dengan laki-laki yang tidak ia sukai. Rasa bingung terus melanda hatinya, sementara Bima sama sekali tidak mau berusaha untuk membantu."Terpaksa, aku harus menjual cincin kawin ini, paling tidak nanti aku akan minta ganti saat mas Bima sudah memiliki pekerjaan tetap." desis wanita itu membelai lembut harta satu-satunya yang ia miliki itu.Mendapati putrinya sedang tertidur dengan lelap, Elisa segera melancarkan aksinya, pergi ke sebuah toko perhiasan yang tidak jauh dari kontrakan untuk menukarnya dengan uang. Tibanya di sana, wanita tersebut nampak sedang melakukan tawar menawar dengan si pemilik toko."Bang, sejuta lah Bang,""Aduh nggak bisa kalau segitu Neng, paling mentok tujuh ratus ribu,""Emm, ya udah lapan ratus rebu. Ya, ya,""Hem, oke lah, deal."Pemilik toko tersebut pun akhirnya menuruti permintaan Elisa yang memaksa untuk menjual harta satu-satunya itu dengan harga yang ia inginkan, paling tidak uang yang saat ini sudah ada di tangannya itu bisa ia belikan kebutuhan pokok dan modal untuk suaminya.Pergi ke pasar, bagaimana pun Elisa harus mengatur uang itu, agar cukup sampai ia benar-benar merasakan gaji suami. Membeli baju dan celana yang tidak begitu mahal adalah hal yang harus Elisa lakukan, agar uang yang ia miliki bisa terbagi.***Terdengar suara tangisan dari kamar sebelah, sehingga membuat Bima seketika terganggu dan bangkit dari tempat tidurnya. Menyadari jika Gendhis seorang diri, pria itu segera masuk dan meraih buah cintanya dengan Elisa tersebut lalu membawanya keluar."Ibu... Ibu..."Bocah berusia tiga tahun lebih itu menangis memanggil ibunya, Bima terus membujuk dan membawanya ke teras, berniat untuk mencari Elisa yang tidak ada di rumah.Tak lama kemudian sebuah sepeda motor melaju pelan dan berhenti tepat di rumah kontrakan mereka, Bima nampak bingung dengan barang-barang yang Elisa bawa, cukup banyak, bahkan kebutuhan dapur sudah hampir tercukupi berkat uang hasil dari penjual cincin."Makasih ya Bang," ucap Elisa setelah membayar kang ojek nya."Iya Neng, sama-sama." jawabnya gegas melanjutkan perjalanan.Elisa mengulas senyum, hendak membawa semua barang yang sudah ia beli ke dalam, namun langkahnya terhenti begitu saja saat Bima berdiri tegap di hadapannya. Menanyakan bahagaimana Elisa bisa berbelanja cukup banyak itu sementara tadi pagi ia mengeluh tidak memiliki uang.Namun nampaknya Elisa enggan menjawab langsung, ia ingin semua belanjaan nya masuk ke rumah terlebih dahulu, karena mendengar Gendhis terus menangis di gendongan ayahnya."Elisa, kamu belum jawab pertanyaanku, dari mana kamu mendapatkan uang untuk membeli semua barang-barang ini?" ulang Bima tak sabar."Aku menjual cincin kawin ku Mas, dan ini modal yang kamu inginkan, kamu mau baju dan celana baru kan? Ini!" Ucap Elisa segera menyerahkan barang yang diinginkan oleh suaminya."Apa, kenapa kamu harus menjual cincin kawin itu," marah Bima tak terima."Terus, aku harus membeli kebutuhan rumah tangga kita dan juga modal yang kamu inginkan itu dari mana, Mas? Paling nggak saat kamu gajian nanti, kamu bisa belikan cincin itu lagi untukku. Mas, tolong jangan selalu mengeraskan suara padaku, aku istrimu, bukan musuhmu."Elisa berlalu pergi setelah menyerahkan apa yang diinginkan oleh suaminya, mendekap erat kembali gadis kecil yang saat ini ada di pelukannya, sampai akhirnya bocah itu kembali tertidur dengan sangat lelap.Gegas Elisa pergi ke dapur untuk memask, seharian menahan lapar rupanya membuat wanita itu tidak tahan, sehingga memutuskan untuk membuat makanan."Mau ke mana, Mas?" tanya Elisa saat tatapan matanya mengarah pada sang suami."Kamu lupa, kalau aku sudah mulai bekerja," celetuk Bima yang sudah berdandan sangat rapi.Pria itu melenggang pergi begitu saja meninggalkan Elisa dan juga Gendhis yang sedang menikmati makan malam, tidak ada keharmonisan dalam rumah tangga Elisa dan Bima dua tahun belakangan ini, karena kebutuhan yang mencekik, serta tidak ada dukungan dari masing-masing orang tua. Mengharuskan mereka harus merantau jauh ke kota demi menutup rasa malu.Di sebuah klup, Bima turun dari sepeda motor yang telah mengantar dirinya sampai di lokasi, menggunakan ojek yang mangkal di depan gang.Hiruk pikuk dunia malam sudah terlihat begitu menyala, meskipun tempat itu belum seberapa ramai, namun para pekerja sudah mempersiapkan diri untuk menyambut kedatangan para tamu, baik waiters maupun wanita panggilan lainnya, sudah mempercantik diri masing-masing.'Ya ampun, surga dunia banget di sini, aku nggak nyangka kalau perjalanan ku mencari kerja mengantarkan aku ke tempat seperti ini.' batin Bima dengan tatapan berbinar.Malam pertama berkeja, Bima nampak bingung harus melakukan apa, karena tugasnya belum di serahkan padanya, sampai akhirnya seorang pria mendatangi dan mengajaknya masuk menuju sebuah ruangan.Saat itu Bima berbeda dari pertama kali ia datang sebagai orang yang sedang mencari kerja, tak beberapa lama setelah itu, datang seorang wanita yang tidak asing, ia duduk bersebrangan dengan Bima."Halo Hanny, kita bertemu lagi," sapa Jolien menyesap putung rokok ke mulutnya."Nona, kenapa aku diantar ke ruang ini? Bukan kah pekerjaan ku sebagai pelayan di klup ini?" tanya Bima nampak bingung."Aku berubah pikiran setelah melihat mu malam ini, kau sangat tampan, Hanny," puji wanita itu, tiba-tiba Jolien berdiri dan langsung duduk di pangkuan Bima. Sehingga membuat pria itu seketika terbelalak.Elisa melangkah dengan semangat baru, di mana ia memberikan senyuman terbaiknya saat memasuki wilayah kantor, dengan memakai dress berwarna hitam, dan hills berwarna senada ia pun dengan percaya diri mengayunkan kedua kakinya. Tak hanya karyawan, bahkan Elisa membagikan senyumannya pada semua pekerja di kantor itu, mulai OB dan OG yang ia temui di jalanan menuju ruangannya, beberapa menit sudah berlalu, kini wanita tersebut membuka pintu ruangan setelah menoleh ke ruangan Hendy, namun rupanya pria itu belum datang. "Salamat pagi, semoga hari ini tetap semangat sampai sore." Begitu lah cara Elisa membahagiakan diri, mengucapkan kalimat positif saat ia memasuki ruangannya, tak lama setelah itu ia pun menutup kembali pintu dan berjalan menuju tempat duduk. Saat tiba di sana, Elisa dikejutkan dengan kehadiran setangkai bunga mawar yang masih segar, menoleh ke kanan dan ke kiri, lalu mulai ingat jika dirinya sedang berada di ruangan sendiri. "Eh, ini bunga siapa, kok ada di m
"Elisa, tunggu!"Sebuah suara menghentikan langkah kaki Elisa yang sengaja pergi dari tempat itu, karena ia mengenali suara yang memanggilnya beberapa detik yang lalu, akhirnya ia pun memutar tubuh lalu berhadapan langsung dengan Bima. Sebuah senyuman diberikan oleh Bima pada saat melihat wajah cantik Elisa yang telah berubah, wanita tersebut nampak sangat terurus setelah mereka resmi berpisah. "Ada apa Mas?" tanya Elisa menegur Bima yang terpaku dalam diam. "Emm, Elisa ... Kamu apa kabar? Lama kita tidak berjumpa," sapa Bima mengulas senyum salah tingkah. "Kabarku baik." jawab Elisa singkat. Bima yang tak mendapatkan senyuman penuh cinta seperti yang selalu Elisa berikan dulu, membuat pria itu menyadari jika wanita yang kini berada di hadapannya sudah bukan Elisa yang ia kenal, hingga membuatnya terlihat bingung akan membuka pembicaraan seperti apa. Meskipun tak dapat dipungkiri jika sebenarnya Bima sangat merindukan Elisa. "Emm, Elisa, sekarang kamu tinggal di mana?" tanya Bim
"Sayang, lebih baik sekarang kamu ke kantornya Hendy, bawa makan siang kek, atau segelas kopi, Mama pikir dia akan senang dan kebiakanmu akan terkesan di hatinya," usul Karin, wanita itu tidak hanya sudah jatuh hati pada Hendy, tetapi ada niat lain yang terselubung di hatinya. "Emangnya nggak papa ya Ma, seorang perempuan mendatangi laki-laki? Kayaknya kurang pantas, Ma," ucap Dewi yang merasa keberatan. "Sayang, kesempatan emas seperti ini jangan dilewatkan, nggak perlu takut atau gengsi, lagi pula keluarga Hendy itu udah seneng banget sama kamu, tinggal kamu taklukin hatinya Hendy," sahut Karin meyakinkan. "Ya udah, aku harus bawa apa, Ma." jawab wanita itu akhirnya setuju. Senyum pun terpancar, dengan semangat Karin mengajak Dewi pergi ke dapur, lalu mengajaknya untuk mengolah beberapa menu masakan yang akan ia bawa ke kantor, dan setelah selesai, Karin pun meminta Dewi untuk berdandan. Hampir menghabiskan waktu satu jam, kini Dewi sudah berpenampilan sangat cantik d
"Untuk apa aku bersedih Hen, semua sudah hancur, kehilangan suami tidak sebanding dengan kehilangan seorang anak, aku bisa melewati masa sulit di saat aku kehilangan anakku, dan sekarang aku yakin, jika aku juga pasti akan bisa melewati masa sulit saat kehilangan suami," ucap wanita itu dengan tegarnya. "Kamu memang hebat Elisa, tidak salah Tuhan memilihmu untuk menerima ujian seperti, karena Tuhan tahu, kau sangat kuat dan berhati besar." tandas Hendy memberikan pujian. Elisa hanya mengulas senyum kecil kala mendengar segelintir pujian yang diucapkan tulus dari Hendy, seorang pria yang sudah menemaninya sejauh ini. Tanpa pamrih dan tanpa mengharap imbalan apapun. Wanita itu kini meminta Hendy untuk mengantarkannya ke rumah, ia ingin istirahat setelah melewati hari-hari yang cukup panjang nan melelahkan itu. ***Tibanya di rumah, Hendy sama sekali tidak menyadari jika di rumah mewah milik kedua orang tuanya itu sudah hadir seorang tamu yang sejak tadi menunggu kedatangannya, d
Langkah kaki Bima kini tiba di rumah yang selama ini ia banggakan, di mana dulu ia yakin bahwa rumah itu akan mengantarkan kebahagiaan baginya pada pernikahannya dengan Elisa. Sampai ia lupa bahwa wanita yang ia nikahi tiga tahun yang lalu bukan lah wanita yang menggila akan harta dan kemewahan. "Bima, dari mana saja kamu?" Tiba-tiba sebuah pertanyaan menghentikan langkah kaki pria itu, menoleh ke belakang dan menyadari siapa yang telah menegurnya, siapa lagi kalau bukan Margaret. "Aku sedang mencari keberadaan Elisa Ma, dan aku berhasil menemukan dia tadi," ucap Bima mengulas senyum, pria itu bahkan lupa bahwa saat ini ia sedang berbicara dengan siapa. "Oh ya, lalu apa katanya?" tanya Margaret basa basi. "Aku ingin mengajaknya Elisa pulang, tapi Elisa tidak mau, aku juga sebenarnya ingin tahu di mana tempat tinggalnya, tapi Elisa juga menyembunyikannya dariku, bahkan Elisa bilang kalau dia sudah mengajukan gugatan cerai ke pengadilan." papar Bima merasa sangat kecewa.
Elisa kembali ke kantor dengan perasaan yang tidak karuan, pertemuan tak sengaja dengan Bima membuat moodnya tiba-tiba berantakan. Ia sampai tidak sadar jika saat ini ada seorang pria yang sedang memperhatikan raut wajahnya yang ayu itu. Pria itu adalah Hendy, ia datang berniat untuk mengajak makan siang bersama, namun yang ia temui justru terlihat begitu banyak pikiran. Sampai tidak menyadari bahwa di ruangannya ada tamu. "Ehem!" Suara deheman akhirnya menyadarkan Elisa yang saat itu tengah menatap ke arah jendela dengan tatapan kosong, wanita itu mengulas senyum, setelah mengetahui jika Hendy sast ini sudah ada di hadapannya. "Hen, kamu dari tadi di sini?" tanya wanita itu. "Kurang lebih hampir lima menitan si, nggak dari tadi banget," ucap Hendy mengulas senyum. "Ada apa? Apa kita punya kerjaan hari ini?" tanya Elisa kembali. "Nggak ada, aku ke sini mau ngajak kamu makan siang, kamu belum makan, kan?!" tandas pria itu menatap Elisa dalam. Elisa yang menggeleng