Tavisha Putri Tandjung, mahasiswi jurnalistik dengan semangat bebas dan rasa ingin tahu yang tajam, mendadak dijodohkan oleh sang ayah–seorang Menteri Pertahanan—dengan Kapten Baratayudha Dirgantara, prajurit elit TNI AU yang dingin, disiplin, dan tidak percaya pada cinta. Pernikahan yang awalnya tampak seperti kesepakatan antara dua keluarga terhormat ternyata menyimpan maksud tersembunyi. Di balik senyum politik dan seragam kehormatan, ada rahasia yang harus dikubur rapat—skandal militer diam-diam mengancam nama baik serta keselamatan keduanya. Tavisha mulai menerima ancaman misterius, sementara Baratayudha nyaris kehilangan nyawa dalam misi penting. Di tengah ketegangan dan kecurigaan, mereka perlahan menemukan bahwa apa yang mereka jalani bukan sekadar pernikahan politik, melainkan satu-satunya jalan untuk melindungi satu sama lain. Mampukah cinta tumbuh dari pernikahan yang dipaksa? Atau justru rahasia masa lalu akan menghancurkan segalanya?
Lihat lebih banyak"Nona Tavisha ...."
Dua orang pria berbadan besar lengkap dengan pakaian serba hitam berdiri di hadapan seorang wanita dengan rambut dicepol asal, pakaian kasual—celana jeans, kaos oversize polos serta sepatu kets putih. Tak lupa, shoulder bag berwarna senada dengan sepatunya. "Sudah saya bilang, jangan menunjukkan eksistensi kalian di lingkungan kampus. Kenapa—" "Maaf, Nona. Bapak ingin bertemu Anda." Salah seorang pria berwajah bulat memotong ucapan perempuan tersebut hingga tampak begitu kesal. Perempuan itu memutar bola matanya malas. "Saya masih ada tugas, minggir!" "Maaf, Nona. Bapak bilang kalau Nona tidak mau datang baik-baik, kami terpaksa—" Belum genap ucapan itu terlontar, Tavisha langsung berdecak sinis. Melihat lingkungan sekitar, dimana beberapa orang menatap ke arahnya dengan pandangan tak suka. Membuat Tavisha menjatuhkan pilihan untuk melangkah secara sukarela. "Oke ... oke!" Perempuan itu menghentakkan kaki, melangkah lebih dulu menuju mobil MV3 dengan plat nomor merah. Tentu saja hal itu membuat Tavisha semakin dongkol. Apa yang akan teman-temannya pikirkan jika mobil yang dibeli dari uang rakyat dipakai untuk menjemputnya? Ah! Memikirkannya saja membuat perempuan itu kesal sendiri. "Kalian tahu kenapa Papa panggil saya?" Di tengah hening dalam perjalanan, Tavisha menatap dua pria dari pantulan spion. "Maaf, Nona. Kami tidak tahu." Sampai akhirnya, mobil tersebut berhasil mengantarkannya ke kediaman Tandjung yang sangat megah bak istana negara. Bahkan dari gerbang menuju pintu utama saja, harus melewati halaman seluas satu hektar. Sungguhan, meski terlahir sebagai putri dari orang berpengaruh senusantara, Tavisha tetap tidak menyukainya. Sebab, itu menjadi alasan mengapa dirinya selalu jadi bulan-bulanan teman kampusnya. Sebagian mereka menganggap bahwa pemerintah hanya bisa menyakiti rakyat. Hidup bergelimang harta, sementara masih banyak rakyat yang hidup dibawah kolong jembatan. Kesenjangan sosial itu juga telah melukai harga diri Tavisha sebagai seseorang yang vokal terhadap hak asasi manusia. Setelah melewati pintu utama, ia langsung disambut oleh beberapa pelayan. "Papa dimana?" tanya Tavisha begitu lolos dari ambang pintu. "Di ruang kerja, Non. Mari saya antar." Tavisha hanya mengangguk lalu mengekori langkah kaki Kepala Pelayan tersebut. Begitu tiba di depan pintu ruang kerja sang ayah, entah mengapa jantungnya berdebar kencang. Kepala Pelayan itu mengetuk pintu sebelum mengatakan bahwa sosok yang dicari sudah disana. "Bapak, Nona Putri sudah datang." Putri adalah panggilan Tavisha di kediaman tersebut. Namun, ia merasa tidak menyukai panggilan itu. Karena setiap kali orang menyebutnya 'putri', seolah-olah ia benar tuan putri yang selalu ayahnya elukan. Padahal ... tidak seperti itu. "Masuk." Kala pintu terbuka, Tavisha menghampiri sang ayah lalu mencium tangannya. "Duduk," ucap pria berusia lebih setengah abad itu. Tatapannya begitu tajam, menunjukkan bahwa ia sosok yang berwibawa. Dan kini, di ruang kerja sang ayah yang dingin dan sunyi, Tavisha duduk diam, mencoba membaca situasi dari wajahnya. Menteri Pertahanan. Pria yang selalu bicara soal prinsip, strategi, dan loyalitas, tapi tak pernah paham caranya mendengarkan isi hati putrinya sendiri. "Papa mau ngomong a—" "Papa mau kamu menikah," ucapnya datar, seperti sedang menyusun strategi militer, bukan masa depan anaknya. Tavisha lantas memalingkan wajah, mencoba menahan tawa yang mulai tertahan. "Menikah? Tapi Tavisha masih kuliah, Pa!" "Itu tidak jadi masalah." Aura dingin memancar ke seluruh penjuru ruangan. Tavisha hanya mampu tertawa pahit. "Dengan siapa? Atlet? Pejabat partai? Atau ... anak kolega Papa demi memperluas aliansi?" Pria itu tak menjawab. Ia hanya menggeser map biru tua ke arahnya. "Kapten Barathayudha Dirgantara. Pasukan elit TNI AU. Usianya tiga puluh lima tahun. Lulusan terbaik AAU dan satuan elit lintas udara. Putra dari Panglima TNI." Tavisha tak percaya dengan penuturan sang ayah. Begitu percaya diri bahwa putrinya akan menerima. Tapi, sebenarnya ia juga tak punya kendali untuk menolak. Usia mereka jelas terpaut jauh. Tavisha baru menginjak 22 tahun. Bagaimana mungkin menikahi pria tak dikenal yang usianya saja lebih pantas disebut om? "Papa jual Tavisha?" tanya perempuan itu, matanya menatap tajam tapi sedikit berkaca-kaca. "Putri, ini bukan transaksi. Tapi, aliansi," jawab sang ayah dengan tegas. "Keluarga kita butuh tameng. Politik itu kejam. Dunia militer punya kehormatan untuk bisa melindungi." Tavisha berdiri. Tangannya gemetar, tapi suaranya tidak. "Tavisha bukan tameng, Pa! Tavisha anak perempuan Papa!" "Rendahkan suara kamu, Putri!" Tavisha hanya mampu membisu. Tanpa menunggu lebih lama lagi, akhirnya Tavisha meninggalkan ruangan. Hatinya terluka dan penuh amarah. Ia seolah tak percaya apa yang baru sang ayah lontarkan. Ia bahkan masih kuliah dan ingin menikmati masa muda meskipun dengan kesendirian seperti yang selalu dilakukan selama ini. Tapi, sifat keras sang ayah selalu tak bisa dibantah. "Anak itu," gumam Manggala, tak percaya. *** Di markas TNI AU, seorang pria berdiri di seberang meja kebesaran Panglima. Tubuh mereka masih berbalut seragam kebanggaan. Namun, ada atmosfer lain yang tercipta kala itu. Entah bisa diartikan sebagai apa. "Tavisha Putri Tandjung, putri Menteri Pertahanan. Usianya dua puluh dua tahun—perempuan ini akan jadi istri kamu." Sebuah pernyataan yang begitu mengejutkan. Wajah datar pria muda disana bahkan sampai mengeras mendengar hal tersebut. Sementara pria tua yang duduk di kursi kehormatannya, menyodorkan sebuah map berwarna biru, menampakkan sosok perempuan dengan senyum yang menawan. Tapi, hal itu sama sekali tak menarik perhatian. "Bapak dan Ibu sudah sepakat untuk menerima. Pak Menhan sendiri yang meminta agar putri semata wayangnya ini menikah dengan kamu." "Skandal apa lagi yang berusaha Bapak tutupi?" tanya pria dengan name tag Kapten Barathayudha Dirgantara. "Jaga bicara kamu, Yudha," tegas pria itu pelan namun penuh penekanan. "Siapa yang diuntungkan dari pernikahan ini, Pak?" "..." Laksamana Dirgantara—nama yang terpampang di meja kehormatannya. Sosok itu menatap sang putra tanpa berbicara. Akan tetapi, tatapan itu sudah menjelaskan segalanya. Bahwa, Dirga bukan sosok yang bisa diintervensi secara langsung. "Persiapkan saja dirimu dengan baik. Bulan depan kalian menikah." Satu kalimat itu menutup perbincangan mereka. Tak ada negosiasi. Dirga langsung beranjak meninggalkan ruangan. Ia memang sosok yang tidak bisa dibantah. Titik pandang Yudha mengekori punggung sang ayah yang mulai menjauhi ruangan. Ketika pria itu menghilang, Yudha menarik map biru yang tergeletak di meja. Ia mengamati foto yang beserta biodata calon istrinya. Tidak ada yang memberatkan selain usia mereka yang terpaut jauh. "Tavisha ... Putri ... Tandjung ...," gumamnya sambil menarik secarik foto perempuan berambut panjang tersebut. ***Dahlia keluar dari kamar setelah berhasil menenangkan sang menantu dan memberinya makan. Hormon yang dialami Tavisha memang tidak biasa. Perempuan itu sangat rapuh. Seolah jika dipegang sedikit saja mampu menghancurkannya. Setelah pintu kembali tertutup, Yudha langsung menghampiri. Ada kecemasan di wajah yang tak bisa ia tutupi. “Bagaimana Tavisha, Bu?"“Dia tidur lagi setelah makan dan minum vitamin.”Terdengar hela nafas lega setelahnya. Dahlia lantas menyelipkan tangannya di sela lengan putranya sambil membawa pria itu untuk duduk di sofa. “Duduk sini, kita ngobrol sebentar.”Yudha hanya mengangguk pelan. “Jangan terlalu keras dengan Tavisha, Nak,” nasehat sang ibu setelah berhasil duduk di sofa ruang tamu bersama putranya. Namun, tidak ada sahutan yang berarti dari bibir Yudha. Pria itu hanya bergeming, seakan berpikir apa benar ia terlalu keras pada istrinya? Padahal, ia sudah berusaha untuk bisa menahan semua ego dan amarah yang terpendam di kepala hanya demi tidak menyakiti
Yudha membiarkan tangis itu pecah. Ia membiarkan perempuan rapuh dan tak berdaya itu meluapkan segala kesedihannya melalui tangisan. Ibunya bilang, perempuan hamil itu perasaannya sangat sensitif. Ia bisa menangis hal-hal bahkan sekecil apapun. Apalagi Tavisha yang tengah menghadapi badai besar dalam hidupnya. Setelah lama menunggu, tangis itu akhirnya berubah jadi sebuah keheningan. Yudha menilik sang perempuan yang tengah berada dalam pelukan. Tak ada suara selain deru napas teratur. Yudha bisa menebak bahwa perempuan itu sudah tertidur. Ia pun menyelipkan tangannya ke celah leher dan kaki sang perempuan. Kemudian berdiri membopongnya menuju ranjang.Dengan sangat hati-hati, Yudha meletakkan sang istri, seakan takut membuatnya terbangun. Setelahnya, ia menyingkap rambut dan mengusap sisa air mata yang ada di kelopaknya.“Maafkan saya Tavisha.”“…”“Saya menyayangi kamu lebih dari apapun.”“…”Ungkapan hati seorang Yudha yang tak pernah secara jelas terucap di hadapan istrinya. Ia s
Ketika kembali ke kediamannya, Yudha mendapati sang istri lagi-lagi merenung di ujung jendela kamar. Tatapannya kosong sambil memeluk kedua kakinya. Ada perasaan sesak saat dirinya harus melihat keadaan Tavisha yang semakin hari semakin menyedihkan. Ia tidak ingin psikologis perempuan itu terganggu. Terlebih ada bayi dalam kandungannya yang harus mendapatkan perhatian lebih. “Tavisha?” Yudha mendekat, duduk di hadapan perempuan itu. Jemarinya menarik sofa sang istri agar lebih dekat. Kemudian menelaah setiap guratan yang tampak di wajah. “Ada apa?” tanya Yudha, suaranya rendah nyaris tanpa ekspresi. “...” Namun yang ditanya lagi-lagi tak memberinya jawaban. Yudha hampir frustasi. Ia tidak pernah melihat sisi Tavisha yang sebegini rapuh. Dan itu—membuat dirinya merasa bersalah. Bukan hanya karena ia tidak bisa menenangkan hati perempuannya. Tapi, ia sadar. Sebagai abdi negara, ia tidak bisa selalu menemani Tavisha. Bahkan, jika ada operasi yang mengharuskannya pergi, ia tidak bi
Setelah melihat keadaan istrinya, Yudha memutuskan untuk secara terang-terangan mendatangi sang ayah di kediamannya. Sore itu, Yudha tiba di kediaman Dirgantara ketika langit mulai meredup. Hanya menyisakan cahaya jingga yang mengitari halaman. Lantas, ia turun dari mobil, menutup pintu tanpa suara berlebih.Kali ini, langkahnya terasa begitu berat. Terlebih, saat ia mulai melewati pintu utama. Yudha kembali berpikir, kapan terakhir dirinya berbicara serius empat mata dengan sang ayah? Ah, ia pun teringat saat makan malam terakhir di kediamannya. Ketika, Tavisha pertama kali menyebut operasi langit merah dalam acara makan malam tersebut. Bagi Yudha, sang ayah bak bayangan tegas dalam hidupnya. Pria penuh wibawa itu, nyaris tak tersentuh oleh apapun. Pintu dibuka oleh seorang asisten rumah tangga. Begitu melihat Yudha, wanita paruh baya itu buru-buru menunduk. “Selamat sore, Tuan Muda.” “Bapak ada di dalam?” “Ada. Beliau di ruang kerja.”Yudha mengangguk, lalu melangkah masuk. Ruma
Setelah semua riuh pertengkaran mereda malam itu, rumah besar keluarga Tandjung tenggelam dalam kesunyian. Dokter sudah pulang, meninggalkan pesan agar Tavisha banyak beristirahat. Seisi rumah pun berangsur hening. Namun, Yudha tidak lekas meninggalkan kediaman itu. Ia duduk di ruang tamu cukup lama, punggungnya bersandar pada sofa dengan pandangan kosong. Rasanya ia masih mendengar suara lirih Tavisha, kalimat-kalimat getir yang menuduh sekaligus menolak kehadirannya. Kepalanya berat, tapi setiap kali menutup mata, wajah pucat istrinya yang tak sadarkan diri kembali muncul. Akhirnya, Yudha memilih tidur di kamar tamu. Lampu sengaja tidak dimatikan. Tubuhnya berbaring, tetapi pikiran terus berkelana. Tentang rahasia yang belum ia buka, tentang kenyataan kehamilan yang baru diketahuinya, juga tentang kemungkinan kehilangan kepercayaan Tavisha sepenuhnya. Di kamar utama, Tavisha terjaga. Tubuhnya lemah, tapi ia tidak bisa memejamkan mata. Pandangannya sering beralih ke pintu, menunggu
“Jawab aku, Mas! Bapak kamu yang ngebunuh Mama, ‘kan?!” tanya Tavisha dengan nada berapi-api. Tatapannya menusuk tajam. Suaranya menggelegar hebat dengan sisa tangisan yang belum sepenuhnya reda. Yudha menahan napas. Tubuhnya kaku seolah terhantam oleh kenyataan. Kata-kata itu terlalu berat untuk dijawab, tapi diam justru membuatnya terlihat lebih bersalah. “Itu tidak benar,” ucap Yudha, lirih. “Kalau nggak benar, mana buktinya?!” Tavisha menekan suaranya. “Kenapa kamu selama ini nutup-nutupin, Mas? Kenapa kamu melarang aku buat cari tahu? Apa karena takut aku bongkar aib keluarga kamu?” “Bukan begitu.” Yudha menggeleng cepat, mencoba mendekat. “Saya cuma—” “Cuma apa?” Tavisha mundur selangkah. “Cuma memilih jadi anak baik buat bapaknya, sementara aku kehilangan Mama tanpa tahu siapa yang membunuhnya?!” Nada getir itu menggema di ruangan kaca. Napas Tavisha memburu, dadanya naik turun tak teratur. Sedangkan Yudha berusaha menjaga nada suaranya tetap rendah. “Saya tidak perna
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen