Di lain tempat dan waktu yang jauh berbeda.
Seorang pria berjas menerima panggilan masuk dari telepon kantornya, dia tengah mengusahakan sesuatu.
"Ada apa? Tumben sekali kamu meminta saya menelepon jam segini," ucap pria berkacamata di seberang telepon.
Pria berjas memperbaiki posisi duduknya. "Kamu bisa bantu saya tidak?"
"Saya selalu bisa membantumu, kawan. Katakan saja."
"Tetapi masalah kali ini lebih besar dan berat."
"Oh, apa ini berkaitan dengan kasus korupsi yang kamu lakukan?"
"Iya. Tolong saya, ini yang terakhir."
"Jangan berkata seperti itu, kawan. Saya siap membantumu kapan saja. Apa yang kamu ingin saya lakukan?"
"Apa kamu bisa membuat berita yang meliput kasus saya terkubur oleh berita yang lebih panas secepat mungkin?"
"Kami ingin saya membuat
"Luther!" Yonna berlari ke dalam pelukan Luther usai pacarnya itu sampai untuk menjemputnya. Tanpa berkata apa-apa, Luther melayangkan pelukan terhangat yang dapat dia berikan. Mengecup puncak kepala Yonna, dan mengelus lembut punggung gadisnya. "Kamu mau kita pergi ke mana sekarang?" Luther bertanya lembut sembari menatap teduh Yonna. "Aku mau minta tolong sama kamu Luther," pinta Yonna dengan kedua tangannya memeras erat kedua tepi jaket Luther. "Katakan kamu mau apa?" "Bantu aku melupakan kejadian tadi untuk hari ini saja, Luther." "Tentu, aku bisa melakukannya, sayang. Kamu mau apa? Jalan ke mana?" "Aku mau kita melakukan itu," lirih Yonna Yang masih dapat didengar Luther. "Itu ... Apa?" Mendapati Luther yang tidak mengerti maksudnya, ia berjinjit untuk meraih tel
"Aku yakin, Luther." "Maaf, sayang." Tanpa membuang waktu, Luther langsung kembali menyerbu bibir Yonna yang membengkak akibat ulahnya. Kedua tangannya pun mulai bergerak menangkup tubuh bagian atas Yonna, sebab tidak ingin diam saja. Suara kecapan diiringi erangan, memenuhi seisi ruangan yang memang dibangun kedap suara. Menambah sisi nakal mereka makin menguasai tindakan. Menurunkan tubuhnya, Luther mengecup leher diiringi gigitan-gigitan kecil. Kemudian turun menuju d**a Yonna yang masih terbungkus pakaian. Sadar tatapan Luther, Yonna secepat mungkin melepaskan atasannya, menampilkan tubuh atasnya yang hanya tertutupi dalaman bagian d**a. Memancing Luther untuk segera meninggalkan sejumlah tanpa kepemilikan di sana. Kecupan itu pun mulai turun ke perut. Menggesekkan hidungnya di perut rata Yonna, membuat perempuan itu te
Terbangun dari tidur, Yonna membenarkan letak selimut yang sedikit merosot dari badannya.Hingga kini tubuh keduanya masih tidak tertutupi apa pun selain selembar kain tersebut. Melirik sekilas dari jendela kamar, Yonna menduga kalau langit di luar sudah gelap sepenuhnya. Dirinya merasa nyaman ketika satu tangan Luther masih memeluk erat pinggangnya, dan yang satu lagi sebagai bantalan kepala Yonna. Menatap wajah tenang Luther saat tertidur, Yonna tersenyum manis mengingat beberapa saat lalu mereka sudah melakukan hubungan yang sangat intim, apalagi ini kali pertama untuknya. Di mana Yonna merasakan perlakuan Luther yang terbilang sangat lembut, sangat mengutamakan kenyamanan Yonna sendiri daripada mengejar kehendak nafsu semata. Menelusuri tajamnya lonjakan hidung Luther, Yonna memberi tiupan kecil ke kelopak mata pacarnya tersebut dengan pelan. Tiba-tiba Luther membuka kedua matanya, menahan tang
"Iya, kepala sekolah memberi pesan untuk setiap siswa diliburkan dulu selama masa penyelidikan berlangsung," jelas Luther seadanya. "Tapi, kok, sampai dua minggu?" "Keluarga korban yang minta kasus ini diselidiki dengan teliti dan serius, mangkanya mereka minta sekolah tutup sebentar. Kalau nggak, sekolah yang akan dituntut." "Loh? Iya sih, memang lagi berduka dan kita semua juga terluka apalagi hampir semua murid yang menyaksikan. Tapi, rasanya aneh kalau sekolah yang dituntut." "Aku juga nggak tahu, tapi demi kenyamanan keluarga korban akhirnya kepala sekolah turutin aja. Daripada ribet urusannya." "Hm, betul juga. Pasti Rasia terpukul banget, apalagi mereka sudah kenal lama." Luther merespons dengan dehaman. "Menurut kamu, apa yang mendorong Gisel untuk bertindak senekat itu?" tanya Yonna sambil memakan makanannya.
Ucapan Luther yang ingin menyambung kegiatan mereka sebelumnya hanya candaan semata. Sesampainya di kamar, mereka justru asyik menonton drama dari layar laptop. Sebenarnya Luther tidak begitu tertarik, dia lebih suka bermain game, tetapi demi menemani Yonna dia ikut menonton dan malah terbawa suasana. Pasalnya, kini hanya Luther seorang yang masih terjaga di tengah malam menonton episode terakhir drama tersebut, sedangkan Yonna sudah tertidur pulas dalam pelukannya. Dia tidak menyangka sebuah drama bisa semenarik itu untuk disaksikan, Yonna memang tidak salah dalam memilih judul. Setelah cerita berakhir, Luther mematikan layar laptop. Menyisihkan ke atas nakas, dan memperbaiki letak kepala Yonna. Mata perempuan itu bengkak, karena menangis. Meskipun Yonna mengaku dirinya menangis karena menyaksikan salah satu adegan di drama, Luther paham bahwa bukan itu alasan sebenarnya. "Kamu jangan ke mana-mana, di
Mendengar teriakan melengking nyaring, mereka bertiga langsung menghadap ke sumber suara. Di sana, di luar pintu masuk restoran, seorang wanita terlihat berjongkok sembari melindungi bayi di dalam gendongan. Tepat tak jauh dari wanita tersebut, berdiri seorang pria dengan pakaian serba hitam. Bagian wajah tertutup masker, topi jaket, dan setiap masing-masing tangan terbungkus oleh kaus. "Ada apa ini?" tanya Yonna kebingungan. Akia sebagai karyawan di restoran tersebut mengambil langkah maju, bermaksud mendekati wanita dengan bayi di gendongannya. Tetapi seorang pramusaji laki-laki menahan tangan Akia untuk berhenti. "Kita harus membantunya, menanyakan apa yang terjadi," ucap Akia penuh khawatir. Sekali lagi wanita itu berteriak, makin keras. Sang bayi pun turut menangis. "Lepaskan!" Akia menghempaskan tangannya.
Tak jauh dari mobil yang menabrak penembak, motor Luther berhenti mendadak ikut kaget saat kendaraan di sampingnya melempar tubuh seseorang dengan jauh. Mengetahui di mana dia berhenti, Luther menolehkan kepalanya cepat ke arah kiri. Di mana restoran tempat Yonna berkumpul berada. Mengerutkan keningnya, Luther kebingungan menyaksikan keadaan restoran yang terlihat berbeda. Sebuah mobil kepolisian di belakangnya pun memarkirkan diri di depan restoran. Seisi pengunjung restoran berlari keluar, Luther melihat beberapa di antara mereka langsung menaiki kendaraan tetapi ditahan oleh petugas polisi. Khawatir dengan keadaan Yonna, Luther ikut parkir ke depan restoran, berlari masuk dan mendapati pacarnya berdiri sambil menggendong bayi. Terkejut melihat ada mayat, Luther meraih lengan Yonna. "Kamu nggak papa?" "Nggak papa, cuma syok aja," jawab Yonna lemah. "Sebenarnya a
Merasa pergerakannya tertahan, Luther melirik tangan Yonna yang satunya ditahan oleh Malilah. "Kenapa?" "Tadi Yonna datang ke sini bareng aku, berarti pulangnya juga bareng aku!" "Siapa yang buat aturan itu?" "Aku!" Malilah meletakkan kedua tangannya di pinggang. "He-em. Aku tadi ke sini sama Malilah, masa pulangnya diantar kamu? Nggak adil." "Kan, nggak salah?" "Iya, nggak salah tapi bisa jadi salah. Aku juga nggak mau. Lagian kamu 'kan, mau ambil pesanan mama kamu. Pasti Tante sudah menunggu, kamu duluan aja. Aku sama Malilah." Meratakan dahinya yang sempat berkerut, Luther akhirnya setuju. Usai meminta agar Malilah hati-hati dalam mengemudi, Luther melenggang pergi ke luar restoran lebih dahulu. "Hati-hati!" tukas Yonna. "Kau masih di sini, Ki?" tanya Malilah sambi