Emma menoleh ke belakang. Dia melihat Dakota berdiri dengan wajah penasaran. Dengan tergesa-gesa, Emma lalu berdiri.
“Kamu udah dapet rantingnya kah?” tanya Ema. Dia berharap Dakota tidak melihat apa yang dia temukan."Kamu ngapain di sini?" tanya Dakota, dia terlihat kesal. “Kita diberi tugas buat cari ranting, bukan duduk diam di tengah hutan.”"Ini ranting-rantingnya. Aku udah dapet kok," kata Emma sambil menunjuk ranting-ranting yang tadi dia letakkan di tanah."Kalau kamu udah dapet, kenapa kamu nggak nemuin aku di tempat yang tadi?" tanya Dakota, "aku kayak orang gila nyariin kamu di seluruh hutan."Emma tersenyum canggung, dia merasa bersalah. “Maaf, aku tiba-tiba capek banget,” jawabnya, “jadi aku mutusin buat duduk sebentar. Sekarang badan aku udah entengan sih. Ayo balik ke perkemahan."Dakota mengangguk. Setelah Emma mengambil ranting-ranting yang dikumpulkannya, keduanya berjalan beriringan menuju lokasi perkemahan.Di tengah perjalanan, Emma melihat seorang dosen dan beberapa mahasiswa, termasuk Tony. Mereka terlihat panik. Emma bingung ketika Tony berlari ke arahnya."Kamu nggak apa-apa kan?" tanya Tony.Emma mengangguk. “Ya, gak apa-apa,” katanya, “kami baik-baik aja.”"Kami?" ulang Tony."Ya, aku sama ..." Emma menoleh ke belakang. Dia kemudian melihat sekeliling."Kamu cari siapa?" tanya Tony."Aku tadi jalan sama Dakota deh," kata Emma.Tony tertawa. Dia kemudian merangkul Emma dan mengajak gadis itu berjalan bersamanya. “Kamu capek deh kayaknya. Ayo kita balik ke perkemahan dan istirahat di tenda,” ajaknya."Aku nggak apa-apa," kata Emma. Dia menepis lengan Tony, "kamu ngomong gitu kayak aku habis pergi seharian."Dosen yang berdiri agak jauh kemudian menghampiri Tony dan Emma. “Kamu memang pergi sepanjang hari, Emma?” kata dosen itu."Apa maksud Ibu?" tanya Ema.“Kamu tidak sadar apa kalau hari sudah gelap?” kata dosen itu.Emma tertawa. “Dari awal kita dateng juga udah gelap,” katanya, “ini hutan, Bu.”“Maksudku sekarang sudah menjelang malam, Emma,” kata si dosen lagi.Emma lalu menatap ke langit. Gelap saat dia mulai mencari ranting dan gelap sekarang berbeda. Ini sudah malam. Tiba-tiba Emma merinding. Dia kemudian menatap Tony."Jam berapa sekarang?" tanya Emma. Suaranya begitu pelan.Tony melihat arlojinya. "Jam enam sore," jawabnya.Tubuh Emma mendadak lemas. Dia merinding. Dia pernah mendengar cerita aneh tentang orang tersesat di hutan atau semacamnya dari kakeknya ketika dia masih kecil. Tapi, dia tidak pernah menyangka dia akan mengalaminya sendiri. Bagaimana dia bisa menghilang sepanjang hari padahal dia hanya pergi sebentar? Sejauh yang dia ingat, dia hanya pergi kurang dari satu jam.“Semuanya ... tolong kembali ke perkemahan!” teriak si dosen, membuyarkan lamunan Emma."Kalian berdua juga," ucap sang dosen saat melihat Emma dan Tony.Emma dan Tony mengangguk hampir bersamaan. Setelah Tony mengambil ranting yang dibawa Emma, keduanya lalu berjalan beriringan.Emma tidak mengucapkan sepatah kata pun saat dia berjalan menuju perkemahan. Dia masih memikirkan apa yang terjadi padanya dan mencoba mencernanya.“Emma, kamu nggak apa-apa kan?” Dakota bertanya ketika dia melihat Emma datang. Dia kemudian memeluk gadis itu.Saat Dakota melepaskan pelukannya, Emma tidak langsung menjawab. Dia memandang Dakota dengan hati-hati dari ujung kaki sampai kepala. Jika Dakota sudah lama berada di sini, lalu siapa yang menemaninya berjalan dan berbicara dengannya tadi?“Maaf,” Dakota berkata lagi, “Aku coba cari kamu, tapi aku nggak bisa nemuin kamu. Jadi, aku balik ke perkemahan terus ngasih tau orang-orang.”"Dakota, cukup," kata Tony, "Emma perlu istirahat."Dakota mengangguk mengerti. “Oh, iya,” katanya, “bawa aja dia ke dalam tenda. Kasih ke aku rantingnya, biar aku yang masak.”"Ya," kata seorang anak laki-laki di tim yang berambut keriting, "Thomas dan aku akan membantu Dakota memasak."“Terima kasih ya, Guys,” kata Tony. Dia kemudian mengajak Emma berjalan menuju tenda.Sesampainya di tenda, Emma langsung duduk karena tubuhnya terasa sangat lemas. “Tolong ambilin aku air minum dong?” katanya pada Tony.“Boleh-boleh. Bentar,” kata Tony, “dia mengambil sebotol kecil air mineral dari ranselnya dan memberikannya kepada Emma.“Ceritain dong apa yang terjadi pas kamu di hutan?” Tony bertanya setelah Emma selesai minum.Emma tersenyum. Dia kemudian menggelengkan kepalanya. “Nggak ada apa-apa,” katanya, “aku cuman nyasar dan nggak tahu arah jalan balik ke perkemahan?”Bukan berarti Emma tidak mau mengatakan yang sebenarnya kepada Tony. Dia hanya tidak ingin laki-laki itu merasa khawatir. Dia juga tidak ingin temannya merasakan ketakutan yang sama seperti yang dia rasakan."Kamu yakin?" Tony meminta konfirmasi. Lalu dia duduk tepat di sebelah Emma.“Iya yakin,” kata Emma, dia tertawa kecil, “buat apa aku bohong.”"Emma, aku kenal banget sama kamu," kata Tony pelan. Dia mendekatkan wajahnya ke wajah Emma dan menyentuh pipi gadis itu dengan sangat pelan. "Kita udah temenan dari kita masih balita. Kamu pikir kamu bisa bohongin aku setelah kedekatan kita yang sekian lama?"Emma gugup. Detak jantungnya semakin cepat karena kening Tony menyentuh keningnya. Jarak antara bibirnya dengan bibir Tony juga sangat dekat.Hari pertama menjalani kegiatan di kampus Emma merasa sangat tidak nyaman. Dia tidak mudah berkenalan dengan orang baru karena tidak semua orang bisa memahaminya. Akibatnya, Emma jadi sering menyendiri. Baik di kelas, perpustakaan atau di kantin, dia jarang terlihat berbaur dan mengobrol dengan mahasiswa lain. Keadaan itu membuat banyak mahasiswa di kampus yang menganggap Emma sombong. Sehingga akhirnya ada banyak mahasiswa di kampus yang membenci Emma. Banyak yang memusuhi Emma secara diam-diam. Tapi tak sedikit juga yang memusuhi Emma secara terang-terangan. Akibatnya, hampir setiap hari ada saja yang membuat Emma marah dan mengamuk karena selalu ada yang mengganggunya. Puncaknya adalah saat ada yang menganggu Emma saat gadis itu makan siang sendirian di kantin.“Sombong banget sih ke mana-mana sendiri terus,” kata seorang gadis berambut sebahu.“Mungkin dia ngerasa paling cantik kali di sekolah ini. Atau dia kayak gini biar banyak yang ngedeketin. Ala-ala misterius,” kata gadis y
Karena tak ada respon setelah mengetuk pintu beberapa kali, Anne memutuskan untuk menelepon Desy. Setelah panggilan keempat baru teleponnya direspon.“Ada apa, Anne?” tanya Desy dari seberang. Suaranya terdengar sangat pelan.“Kamu ada di rumah?” tanya Anne.“Iya,” sahut Desy.“Kok ...,” Anne menghentikan kalimatnya karena dia melihat seorang bapak-bapak keluar dari rumah Desy. Sebatas yang dia ingat, itu bukan Ayah Desy. Apakah orang itu kerabatnya Desy yang dia tidak kenal sebelumnya?“Kamu masuk aja,” kata Desy.Anne seketika memutuskan sambungan telepon dan masuk ke melewati pintu yang terbuka. Setelah menutup pintu, dia berjalan ke tengah bagian rumah. Tempat yang dia tuju tentu saja kamar Desy.Anne mengerutkan kening saat masuk ke kamar Desy dan melihat ranjang gadis itu berantakan. Dia takut terjadi apa-apa dengan Desy.“Desy, kamu di mana?” tanya Anne. Dia menghembuskan napas lega saat mendegar suara keran dari kamar mandi.“Orang laki-laki yang tadi keluar dari rumah kamu si
Tiga hari setelah demo terakhir dilakukan, kedua orang tua Emma dipanggil ke kampus. Mereka berdua diminta untuk bertemu dengan Bu Marta langsung di ruangannya. “Selamat pagi,” kata Tony sambil mengetuk pintu ruangan Bu Marta ketika langkahnya terhenti di depan ruangan kepala sekolah itu.Bu Marta menatap ke arah pintu. “Selamat pagi,” katanya, “silakan masuk.”Bu Marta mengambil napas dalam sebelum berbicara dengan Robin dan Lily. “Sebelumnya saya mewakili pihak sekolah ingin mengucapkan maaf yang sebesar-besarnya,” kata Bu Marta.“Apa tidak bisa dinegosiasikan lagi, Bu?” tanya Robin, “kita semua sama-sama tahu kan kalau semua kekacauan yang Emma perbuat bukan murni keinginan Emma. Ada mahluk astral yang mengendalikannya.”Bu Marta mengangguk. “Kami sudah berusaha semaksimal mungkin menjelaskan kepada para orangtua mahasiswa itu. Tapi mereka tak ada yang mau peduli. Alasan mereka, mereka tidak mau kekacauan itu terulang terus. Mereka tidak mau kalau nanti anak mereka dan yang lainny
Orang tua Yosi dan Burhan kompak mengajak puluhan orang tua mahasiswa lain untuk melakukan demo ke kampus. Mereka semua menuntut agar Emma dikeluarkan karena tingkahnya yang sangat meresahkan. Mereka tak hanya melakukan demo sekali, tetapi sebanyak tiga kali dalam seminggu.Fakta itu tentu saja membuat pihak sekolah bimbang. Di satu sisi, mereka tidak bisa mengabaikan permintaan wali murid. Tapi, di sisi lain, mengeluarkan Emma dari kampu begitu saja juga bukan pilihan yang paling tepat. Bagaimana pun juga, Emma adalah salah satu mahasiswa yang cukup berprestasi. Mereka bahkan mempunya beberapa rencana untuk mengikuti lomba dalam kurun waktu beberapa bulan ke depan. Dan salah satu mahasiswa yang akan mereka ikutkan untuk lomba itu adalah Emma.Tak hanya pihak sekolah yang dibuat pusing oleh demo yang dilakukan para orang tua mahasiswa itu. Emma dan orang tuanya juga dibuat pusing. Yang paling tertekan dengan kedaan itu tentu saja Emma. Hampir setiap hari dia menangis karena lelah meng
Sabrina tak peduli jika pada akhirnya Desy muak dengan sikapnya dan gadis itu meninggalkannya. Dia tetap fokus pada niatnya untuk membuat Emma dikeluarkan dari sekolah. Maka dia mencari tahu dua mahasiswa yang kemarin menjadi korban amukan Emma di kantin. Dari informasi yang berhasil Sabrina himpun dari orang-orang suruhannya. Dia menemukan nama dan kelas dua mahasiswa itu. Bahkan Sabrina juga tahu alamat rumah mereka. Tapi sebelum memutuskan untuk mendatangi orang tua mereka di rumah mereka, Sabrina memutuskan untuk menghampiri mereka di kelasnya terlebih dahulu. Yang pertama Sabrina datangi adalah Yosi. Laki-laki berpostur jangkung itu tengah duduk di kursi yang ada di depan kelas ketika Sabrina datang. “Hei, gimana kabarnya?” kata Sabrina. Dia duduk di samping Yosi, “luka kamu yang kena amukan Emma kemarin masih sakit?” “Lumayan sih. Ada beberapa luka gosong kebiruan dan luka goresan karena kena lantai dan bangku kantin,” kata Yosi, “ini masih mendingan. Si Burhan malah hari ini
Emma pikir, Sabrina memang akan benar-benar berubah. Dia pikir gadis itu akan menepati janjinya. Tapi ternyata tidak. Pada akhirnya gadis itu berulang lagi. Entah disengaja atau tidak, saat berad di kantin, tiba-tiba saja Sabrina menjatuhkan minuman yang masih agak panas dari belakang. Cairan kopi itu mengenai punggung Emma, mengenai kemejanya dan tembus hingga ke kulitnya.Emma merasakan rasa skit dan panas doi punggungnya. Seharusnya dia pergi ke toilet. Dan memang sebenarnya dia berniat pergi ke toilet. Namun, Emosinya lebih dulu meledak. Seperti biasa, mahluk astral itu menguasainya lagi. Membuatnya lepas kendali.Sadar berhasil memancing Emma, Sabrina pun tersenyum-senyum. Tetapi sebisa mungkin dia berusaha meminta maaf agar segalanya tak terlihat mencolok.“Maaf ya, Emma,” katanya kepada Emma.Emma tak menyahut. Dia mengerang dan mencengkeram pergelangan tangan Sabrina. Matanya melotot dan bola matanya berputar-putar. Dia mengerang. Lalu kuku-kukunya yang panjang mencakar kulit