Emma memeriksa kembali semua keperluan yang perlu dibawanya. Dia membuka tasnya dan memastikan semua pakaian yang dibutuhkannya sudah lengkap. Dia juga memastikan membawa tenda, makanan, dan air minum yang cukup. Setelah memastikan tidak ada yang tertinggal, Emma membawa ranselnya dan berjalan menuju ruang makan.
"Pagi semuanya," kata Emma sambil menyeret salah satu kursi. Dia kemudian duduk."Pagi, Sayang," sapa kedua orang tua Emma hampir bersamaan.“Gimana tidurnya semalem?” tanya Lily, ibu Emma sambil mengoles selai di atas roti."Aku bisa ngolesin roti sendiri, Bu," kata Emma. Dia tidak ingin diperlakukan seperti siswa sekolah dasar lagi karena dia sudah masuk universitas. Lily geleng-geleng kepala mendengar protes anak gadisnya. Dia lalu meletakkan roti itu di depan Emma. Wanita itu kemudian menuangkan jusnya dan menaruhnya di hadapan Emma juga."Aku yakin putrimu ini tidak bisa tidur tadi malam," kata Robin, ayah Emma.Emma tertawa. “Sok tahu banget, Ayah, kayak cenayang,” kata Emma setelah tawanya reda, dia tidak terima, "ini kan bukan pengalaman perkemahan pertamaku."Lily tersenyum. Dia kemudian meminum satu teguk jus. "Kata ayahmu, saat pertama kali pergi berkemah sepertimu di universitas, dia tidak bisa tidur karena tidak sabar bertemu denganku," ucapnya setelah meletakkan gelas di atas meja.Emma menelan rotinya dengan tergesa-gesa. Dia kemudian tertawa lagi, lebih keras dari sebelumnya. “Ayah lebay,” katanya, “Aku nggak akan jadi kayak Ayah karena aku nggak suka siapa-siapa di kampus.”Robin membalas, "Bukannya kamu punya pacar, ya?"Emma menjawab dengan cepat, "Apa yang Ayah maksud tuh si Tony?" Robin mengangguk. Emma menggelengkan kepalanya, “Dia bukan pacarku. Kita cuma temen baik.”“Orang yang kita bicarain dateng tuh,” kata Lily.” Dia tersenyum pada seseorang yang berdiri di depan pintu.Emma menoleh ke pintu juga. Ada Tony. "Tuh anak rajin banget sih," kata Emma pelan. Dia kemudian menghabiskan jusnya dan berpamitan pada Lily dan Robin.Mereka berdua berangkat ke kampus dengan mobil Tony. Anak laki-laki itu mengemudi dengan sangat cepat. Dia mengaku tak sabar bertemu banyak orang setelah libur panjang."Kenapa kamu kelihatan nggak semangat gitu?" tanya Tony, “kamu masih laper ya? Maaf deh udah ganggu sarapan kamu."Emma menggeleng, "Nggak," katanya, "Aku takut aja terjadi sesuatu yang nggak diinginkan di hutan.""Kamu nggak usah khawatir," kata Tony sambil menepuk dadanya, "Ada aku di sini."Mobil Tony memasuki halaman kampus ketika para mahasiswa sedang berjalan menuju bus mereka. Usai memarkir mobil, Emma dan Tony segera menyusul mahasiswa lainnya masuk ke dalam bus.Perjalanan dari kampus menuju hutan tempat diadakannya camping memakan waktu sekitar dua jam. Selama perjalanan, Tony tidak banyak bicara. Dia merasa tidak nyaman. Perasaan tidak nyaman itu semakin besar ketika bus tiba dan berhenti di hutan.Setelah seluruh mahasiswa turun dari bus, dua orang dosen yang bertugas sebagai dosen pembimbing menjelaskan jadwal dan peraturan perkemahan selama berada di dalam hutan. Mereka mengingatkan semua siswa tentang satu hal penting di akhir. Siswa tidak boleh berjalan terlalu jauh dari lokasi perkemahan agar tidak tersesat.Setelah pembekalan selesai, para siswa mempersiapkan tenda sesuai tim yang telah dibagikan. Emma satu tim dengan Tony dan tiga siswa lainnya. Tony dan dua anggota tim pria lainnya menyiapkan tenda. Sedangkan Emma dan salah satu anggota tim perempuan bertugas mencari ranting untuk api unggun."Gimana kalo aku cari ranting di sana dan kamu cari ranting di sana biar dapat banyak," kata Emma sambil menunjuk ke dua arah yang berbeda.Gadis pirang yang berdiri di samping Emma lalu mengangguk. Dia kemudian berjalan membelakangi Emma."Maaf, kalo boleh tau nama kamu siapa ya?" Emma bertanya pada gadis pirang itu sebelum dia berjalan terlalu jauh.Gadis pirang itu menoleh, "Aku Dakota," jawabnya.Emma mengangguk. “Oke, Dakota, kita ketemu lagi di sini setelah mendapat banyak ranting,” ucapnya.Setelah Dakota mengangguk, Emma mulai berjalan. Dia mengumpulkan satu per satu ranting yang dia lihat saat dia berjalan. Tanpa disadari, semakin lama dia berjalan, semakin jauh dia melangkah ke dalam kawasan hutan yang sepi dan gelap.Emma membuka matanya lebar-lebar ketika dari kejauhan ia melihat sesuatu yang berkilau. Penasaran, dia lalu berjalan mendekat. Setelah berjongkok, Emma menyadari bahwa benda yang berkilau itu adalah sebuah batu. Setelah meletakkan seluruh ranting yang dibawanya ke tanah, Emma kemudian mengambil batu tersebut.Batu itu seperti permata. Warnanya putih, agak biru. Cahayanya sangat jernih meski di dalam hutan yang minim cahaya. Emma tersenyum bahagia melihat batu itu. Batu ini akan terjual dengan harga yang mahal jika dijual, batin Emma.Emma kemudian memasukkan batu itu ke dalam saku celananya. Bersamaan dengan itu, terdengar suara langkah kaki seseorang dari belakang disertai datangnya angin yang cukup kencang. Bulu kuduk Emma berdiri ketika dia melihat bayangan besar di tanah.Emma menoleh ke belakang. Dia melihat Dakota berdiri dengan wajah penasaran. Dengan tergesa-gesa, Emma lalu berdiri. “Kamu udah dapet rantingnya kah?” tanya Ema. Dia berharap Dakota tidak melihat apa yang dia temukan. "Kamu ngapain di sini?" tanya Dakota, dia terlihat kesal. “Kita diberi tugas buat cari ranting, bukan duduk diam di tengah hutan.” "Ini ranting-rantingnya. Aku udah dapet kok," kata Emma sambil menunjuk ranting-ranting yang tadi dia letakkan di tanah. "Kalau kamu udah dapet, kenapa kamu nggak nemuin aku di tempat yang tadi?" tanya Dakota, "aku kayak orang gila nyariin kamu di seluruh hutan." Emma tersenyum canggung, dia merasa bersalah. “Maaf, aku tiba-tiba capek banget,” jawabnya, “jadi aku mutusin buat duduk sebentar. Sekarang badan aku udah entengan sih. Ayo balik ke perkemahan." Dakota mengangguk. Setelah Emma mengambil ranting-ranting yang dikumpulkannya, keduanya berjalan beriringan menuju lokasi perkemahan. Di tengah perjalanan, Emma melihat seorang dosen d
Emma menarik tubuhnya ke belakang, menciptakan jarak antara tubuhnya dan Tony. Dia mendengar suara Dakota dan tidak ingin gadis itu berpikiran buruk. Tony juga melakukan hal yang sama. "Sori, aku gangggu kah?" tanya Dakota. Emma menggelengkan kepalanya. “Enggak kok,” katanya. "Aku cuma mau ngasih tau kalo makanannya udah siap," kata Dakota, "kalau Emma udah baikan, kalian boleh makan bareng kita bertiga di luar. Tapi kalau Emma masih pengen istirahat, aku bisa bawain makanan buat kalian ke sini." “Nggak usah,” kata Emma, “aku udah baik-baik aja kok. Ayo keluar, Tony.” Tony mengangguk. Dia kemudian berdiri dan berjalan menyusul Emma yang sudah berjalan di depannya. Di luar tenda suasana sangat meriah. Hampir semua siswa sedang makan malam. Terdengar suara yang merdu di depan tenda. Suara itu berasal dari sekelompok siswa yang sedang bermain musik dan bernyanyi. Salah satu siswa laki-laki di antara kerumunan itu bermain gitar. Beberapa orang lainnya bernyanyi bersama. Emma dudu
Emma berteriak ketakutan ketika gadis itu berbalik. Wajah gadis itu tidak jelas mana yang termasuk mata dan hidung. Sebagian mulutnya rusak. Kulit wajahnya berkerut seperti habis terbakar. Warna kulitnya coklat gelap, seperti gosong. Kalau diperhatikan dengan jelas, ada juga beberapa warna kemerahan seperti bekas darah kering di sana. Emma semakin ketakutan ketika anak kecil juga ikut berbalik. Wajah anak kecil itu juga rusak. Bahkan warnanya hitam pekat. Gosongnya seperti lebih parah dari wajah anak perempuan. “Di mana mainanku?” tanya anak kecil itu. Suaranya berat dan penuh tekanan. "Aku tidak tahu!" teriak Emma. Dia kemudian berlari dengan sangat cepat. Karena kakinya terbentur batu, Emma terjatuh. Di saat yang sama, seseorang menarik kakinya dengan sangat kuat. Emma lalu berteriak. Dia berusaha menarik kakinya sekuat tenaga. Di saat yang sama, Emma mendengar suara Tony memanggil namanya. Dalam beberapa detik, dia bangun. Nafas Emma tidak teratur. Keringat dingin keluar dari
Emma berjalan ke arah Dakota. Gadis itu menyeringai. Wajah Emma tidak berubah. Tetap seperti biasa. Tapi, matanya terus melotot. Seperti orang kesurupan. Semakin dia memandang Emma, Dakota semakin ketakutan. Dia kemudian berlari cepat ke dalam tenda. "Teman-teman, bangun," kata Dakota sambil menggoyangkan kaki ketiga anak lelaki yang sedang tidur itu. Anak laki-laki berambut keriting yang bangun lebih dulu. Dia kemudian membangunkan Tony dan siswa laki-laki lainnya yang berponi. "Ada apa?" tanya Ben, laki-laki berambut keriting. “Emma … dia,” jawab Dakota. Nafasnya tersengal-sengal. Tony melihat sekeliling tenda. Dia baru menyadari kalau Emma tidak ada di sana. "Kenapa Emma?" dia bertanya, “Di mana kamu ngeliat dia?” "Aku...," kata Dakota. Tak sabar menunggu jawaban Dakota, Tony lalu bergegas keluar tenda. Dia terkejut saat melihat Emma berdiri tak jauh darinya dengan mata melotot. Gadis itu berjalan ke arahnya dengan langkah yang sangat cepat. "Emma, ada apa?" tanya Tony.
Emma meraba-raba saku celananya, dia ingin memberitahu Tony tentang batu yang dia temukan. Namun, setelah beberapa menit mencari, Emma tidak dapat menemukan batu tersebut. Sakunya rata. Setelah membuka saku celananya, dia menyadari bahwa sakunya berlubang. Batu itu pasti terjatuh. Emma bingung. Dia ingin mencari batu itu, tapi langit masih gelap. Hutan juga pasti sangat gelap. Akhirnya Emma memutuskan untuk tidur. Keesokan harinya, Emma mengatakan bahwa dia mengalami sedikit demam sehingga tidak dapat mengikuti kegiatan. Setelah semua mahasiswa pergi, dia kemudian berjalan melewati hutan. Dia harus menemukan batu itu. Batu itu menjadi benda yang sangat berharga bagi Emma. Karena dengan uang yang didapat jika batu itu dijual, Emma bisa membeli apapun yang diinginkannya. Dia bisa membeli sepatu mahal, tas dan pakaian mahal. Dengan begitu, dia tidak akan diremehkan dan di-bully lagi di kampus. Emma merasa kelelahan ketika sudah berjalan sejauh lima ratus meter dari lokasi perkemahan.
"Apa?" kata Tony. Sebenarnya Tony sudah curiga sejak awal Emma menyerangnya. Dia tahu bahwa Emma dirasuki hantu. Dia semakin yakin setelah mengetahui kalau gadis itu juga membuat Dakota takut. Jadi, kini dia tidak perlu takut. Sebab, semasa kecilnya ia sering bermeditasi untuk berhubungan dan berkomunikasi langsung dengan mahluk halus. “Kamu juga harus dimusnahkan,” kata Emma. Matanya melotot. Tony tidak peduli, dia berjalan cepat meninggalkan Emma dan mengambil ponselnya. Dia kemudian menghubungi orang tua Emma. Setelah menunggu beberapa detik, Robin mengangkat teleponnya. "Ada apa, Tony?" tanya Robin, "apa terjadi sesuatu yang buruk sama Emma? Apa dia sakit?" “Nggak,” jawab Tony, “Dia cuma ….” "Cuma apa?" tanya Tony. Dia tidak sabar. "Emma... kayaknya dia kerasukan, Pak Robin," jawab Tony. "Apa maksudmu?" Robin bertanya. Bukannya dia tidak percaya hantu, dia hanya tidak menyangka dan ingin memastikannya. Sambil terus berjalan cepat menjauhi Emma yang juga berjalan cepat ke
Emma takut melihat wajahnya sendiri di cermin. Hidung, mata dan mulutnya berkerut-kerut, tidak terlihat jelas. Bentuknya tidak jelas dan seperti ada titik-titik bekas darah mengering. Dia sangat merinding dan tubuhnya gemetar. Sambil menangis, dia menyentuh wajahnya yang bentuknya sangat mengerikan. Kaget mendengar suara Emma, orangtua Emma berlari menuju kamar gadis itu. Mereka berusaha membuka pintu dan menggedor pintu dengan harapan Emma akan membukakannya. Karena dalam beberapa menit pintu tidak dibuka juga dari dalam, Robin kemudian berlari mencari kunci cadangan. “Biar aku cari kunci cadangan,” kata Robin, “kamu tunggu, aku akan cepet balik.” Lily mengangguk. Dia kemudian mengetuk pintu kamar Emma lagi. “Emma, buka pintunya, Sayang,” katanya, “ada apa? Kamu kenapa?” "Emma, maafkan kita kalau kita mengecewakan kamu, Nak," kata Lily lagi, "tolong buka pintunya." Robin kembali setelah pergi selama beberapa menit. Dia datang dengan membawa kunci cadangan. Dia segera membu
"Kenapa sama anak kita?" Lily bertanya, tidak sabar. "Gimana kalau anak kita nggak sengaja ganggu mereka dan mereka pun marah," jawab Robin. Lily tertawa. "Nggak mungkin itu Emma ngelakuin itu," katanya setelah selesai tertawa, "anak kita bukan anak nakal yang suka membuat onar." “Dunia mereka berbeda dengan dunia kita, Lily,” kata Robin, “Mereka nggak kelihatan. Emma bisa aja melakukan sesuatu secara nggak sengaja." Lily menghela napas dengan kasar. “Aku beneran nggak ngerti maksud kamu,” katanya, “tapi kalau ada yang bisa kita lakukan untuk membuat Emma normal kembali, aku akan melakukannya. Apapun itu." *** Tony lega melihat Emma di kelas. Dengan begitu dia yakin kondisi gadis itu sudah membaik. Namun rasa penasarannya terhadap apa yang terjadi pada Emma belumlah tuntas. Dia kemudian berjalan ke kursi gadis itu. Dia bermaksud menanyakan apa yang terjadi pada Emma selama berada di hutan. “Emma, kalau kamu nggak keberatan, aku pengen tahu apa yang terjadi sama kamu pas pert