Emma menarik tubuhnya ke belakang, menciptakan jarak antara tubuhnya dan Tony. Dia mendengar suara Dakota dan tidak ingin gadis itu berpikiran buruk. Tony juga melakukan hal yang sama.
"Sori, aku gangggu kah?" tanya Dakota.Emma menggelengkan kepalanya. “Enggak kok,” katanya."Aku cuma mau ngasih tau kalo makanannya udah siap," kata Dakota, "kalau Emma udah baikan, kalian boleh makan bareng kita bertiga di luar. Tapi kalau Emma masih pengen istirahat, aku bisa bawain makanan buat kalian ke sini."“Nggak usah,” kata Emma, “aku udah baik-baik aja kok. Ayo keluar, Tony.”Tony mengangguk. Dia kemudian berdiri dan berjalan menyusul Emma yang sudah berjalan di depannya.Di luar tenda suasana sangat meriah. Hampir semua siswa sedang makan malam. Terdengar suara yang merdu di depan tenda. Suara itu berasal dari sekelompok siswa yang sedang bermain musik dan bernyanyi. Salah satu siswa laki-laki di antara kerumunan itu bermain gitar. Beberapa orang lainnya bernyanyi bersama.Emma duduk di antara Tony dan Dakota. "Terima kasih," ucapnya sambil menerima mangkuk berisi mie instan dan segelas minuman dari Dakota. Lalu dia makan dengan lahap.Sambil terus menyantap mie instan di mangkuknya, pandangan Emma tertuju pada sekelompok musisi dadakan di depan tenda di seberang api unggun. Sepertinya mereka sangat menikmati suasana tersebut. Tiba-tiba, Emma terdorong untuk bergabung dengan mereka. Setelah menghabiskan makanannya dan minum setengah gelas air, dia berdiri."Mau ke mana?" tanya Tony."Aku pengen nyanyi sama mereka," jawab Emma. Dia menunjuk sekelompok siswa yang bernyanyi dan bermain musik.“Sejak kapan kamu pinter nyanyi?” tanya Dakota."Nggak pinter nyanyi juga sih," jawab Emma. Dia terkekeh, “cuma bisa. Tapi orang tuaku bilang suaraku bagus, jadi aku cukup pede."Emma kemudian berjalan menghampiri sekelompok siswa yang sedang bernyanyi dan bermain musik. Setelah langkah kakinya berhenti, dia duduk bersila di dekat mereka.“Permisi, aku pengen ikut nyanyi deh. Mau ngiringin gitar buat aku nggak?" bisik Emma di telinga siswa laki-laki yang sedang memainkan gitar itu. Dia tidak ingin mengganggu yang lain.Siswa yang bermain gitar itu mengangguk. Pria berambut panjang itu lalu mengangkat ibu jarinya.“Terima kasih,” kata Emma, “Aku tunggu kalian selesai nyanyiin satu lagu, ya!”Setelah orang-orang di sampingnya menyelesaikan satu lagu, Emma kemudian mulai bernyanyi dengan diiringi gitar. Gadis itu bernyanyi dengan penuh percaya diri. Dia menghayati setiap lirik yang dia nyanyikan.Tanpa Emma sadari, seluruh siswa yang ada di area perkemahan memperhatikan Emma dengan tatapan aneh. Mereka tidak kagum dengan penampilan Emma. Mereka melakukan itu karena ada yang aneh dengan suara Emma. Selama beberapa detik, suara Emma terdengar seperti suara Emma biasanya. Namun, beberapa detik kemudian, suara Emma terdengar seperti bukan suara gadis itu biasanya. Seperti suara melengking seorang wanita.Di penghujung penampilan menyanyinya, Emma tertawa puas karena semua orang di perkemahan tampak kagum dengan penampilannya. Tawa itu pun terdengar aneh di telinga orang-orang."Kenapa?" tanya Emma ketika dia kembali duduk di sebelah Dakota. "Kamu pasti terkagum-kagum sama suaraku. Aku udah bilang kan kalau suaraku bagus?"Bukannya menjawab, Dakota malah menatap Tony. Keduanya kemudian saling menatap seolah-olah baru saja melihat kejadian aneh."Heh, kalian kenapa sih?" tanya Ema.Tony dan Dakota tidak menjawab. Keduanya masih saling memandang dengan aneh."Ah, aku bingung deh lihat kalian berdua," kata Emma, "Mending aku tidur duluan."Emma lalu masuk ke dalam tenda. Dalam beberapa menit, dia langsung memejamkan mata karena sudah sangat mengantuk.Namun, Emma tidak bisa tidur nyenyak. Dalam tidurnya, dia bermimpi sedang berjalan di tengah hutan. Dari kejauhan, dia melihat seorang anak laki-laki sedang bermain. Tak jauh dari anak itu, ada seorang gadis yang terlihat lebih tua. Gadis berambut panjang itu menunggu anak laki-laki bermain. Mereka berdua membelakangi Emma.Penasaran, Emma berjalan mendekati kedua orang itu. Dia diam-diam terus memperhatikan mereka.“Aku suka batunya, Kak,” kata anak kecil itu.“Aku seneng dengernya,” kata gadis itu, “kamu tau aku nggak akan pernah ngecewain kamu, kan? Begitu aku bilang aku akan bikin kamu bahagia, maka aku bakalan terus memastikan kamu bahagia."“Batunya indah banget,” kata anak laki-laki itu. Dari belakang, Emma melihat anak itu menunduk dan melihat sesuatu di tangannya.Emma terus berjalan mendekati mereka berdua dengan langkah lebih cepat. Dia ingin mengenal mereka. Emma mengira mereka akan senang jika mempunyai teman baru di hutan yang sepi itu.“Permisi,” kata Emma ketika jaraknya hanya beberapa meter dari kedua orang itu, “boleh nggak aku ikut main?” katanya. Dia berharap salah satu atau bahkan kedua orang itu akan berbalik dan mau berbicara dengannya.Di saat yang sama, angin bertiup sangat kencang. Emma tidak peduli jika cuaca semakin buruk. Dia menunggu gadis yang sudah menyerongkan kepalanya. Sepertinya dia akan menoleh ke belakang.Emma berteriak ketakutan ketika gadis itu berbalik. Wajah gadis itu tidak jelas mana yang termasuk mata dan hidung. Sebagian mulutnya rusak. Kulit wajahnya berkerut seperti habis terbakar. Warna kulitnya coklat gelap, seperti gosong. Kalau diperhatikan dengan jelas, ada juga beberapa warna kemerahan seperti bekas darah kering di sana. Emma semakin ketakutan ketika anak kecil juga ikut berbalik. Wajah anak kecil itu juga rusak. Bahkan warnanya hitam pekat. Gosongnya seperti lebih parah dari wajah anak perempuan. “Di mana mainanku?” tanya anak kecil itu. Suaranya berat dan penuh tekanan. "Aku tidak tahu!" teriak Emma. Dia kemudian berlari dengan sangat cepat. Karena kakinya terbentur batu, Emma terjatuh. Di saat yang sama, seseorang menarik kakinya dengan sangat kuat. Emma lalu berteriak. Dia berusaha menarik kakinya sekuat tenaga. Di saat yang sama, Emma mendengar suara Tony memanggil namanya. Dalam beberapa detik, dia bangun. Nafas Emma tidak teratur. Keringat dingin keluar dari
Emma berjalan ke arah Dakota. Gadis itu menyeringai. Wajah Emma tidak berubah. Tetap seperti biasa. Tapi, matanya terus melotot. Seperti orang kesurupan. Semakin dia memandang Emma, Dakota semakin ketakutan. Dia kemudian berlari cepat ke dalam tenda. "Teman-teman, bangun," kata Dakota sambil menggoyangkan kaki ketiga anak lelaki yang sedang tidur itu. Anak laki-laki berambut keriting yang bangun lebih dulu. Dia kemudian membangunkan Tony dan siswa laki-laki lainnya yang berponi. "Ada apa?" tanya Ben, laki-laki berambut keriting. “Emma … dia,” jawab Dakota. Nafasnya tersengal-sengal. Tony melihat sekeliling tenda. Dia baru menyadari kalau Emma tidak ada di sana. "Kenapa Emma?" dia bertanya, “Di mana kamu ngeliat dia?” "Aku...," kata Dakota. Tak sabar menunggu jawaban Dakota, Tony lalu bergegas keluar tenda. Dia terkejut saat melihat Emma berdiri tak jauh darinya dengan mata melotot. Gadis itu berjalan ke arahnya dengan langkah yang sangat cepat. "Emma, ada apa?" tanya Tony.
Emma meraba-raba saku celananya, dia ingin memberitahu Tony tentang batu yang dia temukan. Namun, setelah beberapa menit mencari, Emma tidak dapat menemukan batu tersebut. Sakunya rata. Setelah membuka saku celananya, dia menyadari bahwa sakunya berlubang. Batu itu pasti terjatuh. Emma bingung. Dia ingin mencari batu itu, tapi langit masih gelap. Hutan juga pasti sangat gelap. Akhirnya Emma memutuskan untuk tidur. Keesokan harinya, Emma mengatakan bahwa dia mengalami sedikit demam sehingga tidak dapat mengikuti kegiatan. Setelah semua mahasiswa pergi, dia kemudian berjalan melewati hutan. Dia harus menemukan batu itu. Batu itu menjadi benda yang sangat berharga bagi Emma. Karena dengan uang yang didapat jika batu itu dijual, Emma bisa membeli apapun yang diinginkannya. Dia bisa membeli sepatu mahal, tas dan pakaian mahal. Dengan begitu, dia tidak akan diremehkan dan di-bully lagi di kampus. Emma merasa kelelahan ketika sudah berjalan sejauh lima ratus meter dari lokasi perkemahan.
"Apa?" kata Tony. Sebenarnya Tony sudah curiga sejak awal Emma menyerangnya. Dia tahu bahwa Emma dirasuki hantu. Dia semakin yakin setelah mengetahui kalau gadis itu juga membuat Dakota takut. Jadi, kini dia tidak perlu takut. Sebab, semasa kecilnya ia sering bermeditasi untuk berhubungan dan berkomunikasi langsung dengan mahluk halus. “Kamu juga harus dimusnahkan,” kata Emma. Matanya melotot. Tony tidak peduli, dia berjalan cepat meninggalkan Emma dan mengambil ponselnya. Dia kemudian menghubungi orang tua Emma. Setelah menunggu beberapa detik, Robin mengangkat teleponnya. "Ada apa, Tony?" tanya Robin, "apa terjadi sesuatu yang buruk sama Emma? Apa dia sakit?" “Nggak,” jawab Tony, “Dia cuma ….” "Cuma apa?" tanya Tony. Dia tidak sabar. "Emma... kayaknya dia kerasukan, Pak Robin," jawab Tony. "Apa maksudmu?" Robin bertanya. Bukannya dia tidak percaya hantu, dia hanya tidak menyangka dan ingin memastikannya. Sambil terus berjalan cepat menjauhi Emma yang juga berjalan cepat ke
Emma takut melihat wajahnya sendiri di cermin. Hidung, mata dan mulutnya berkerut-kerut, tidak terlihat jelas. Bentuknya tidak jelas dan seperti ada titik-titik bekas darah mengering. Dia sangat merinding dan tubuhnya gemetar. Sambil menangis, dia menyentuh wajahnya yang bentuknya sangat mengerikan. Kaget mendengar suara Emma, orangtua Emma berlari menuju kamar gadis itu. Mereka berusaha membuka pintu dan menggedor pintu dengan harapan Emma akan membukakannya. Karena dalam beberapa menit pintu tidak dibuka juga dari dalam, Robin kemudian berlari mencari kunci cadangan. “Biar aku cari kunci cadangan,” kata Robin, “kamu tunggu, aku akan cepet balik.” Lily mengangguk. Dia kemudian mengetuk pintu kamar Emma lagi. “Emma, buka pintunya, Sayang,” katanya, “ada apa? Kamu kenapa?” "Emma, maafkan kita kalau kita mengecewakan kamu, Nak," kata Lily lagi, "tolong buka pintunya." Robin kembali setelah pergi selama beberapa menit. Dia datang dengan membawa kunci cadangan. Dia segera membu
"Kenapa sama anak kita?" Lily bertanya, tidak sabar. "Gimana kalau anak kita nggak sengaja ganggu mereka dan mereka pun marah," jawab Robin. Lily tertawa. "Nggak mungkin itu Emma ngelakuin itu," katanya setelah selesai tertawa, "anak kita bukan anak nakal yang suka membuat onar." “Dunia mereka berbeda dengan dunia kita, Lily,” kata Robin, “Mereka nggak kelihatan. Emma bisa aja melakukan sesuatu secara nggak sengaja." Lily menghela napas dengan kasar. “Aku beneran nggak ngerti maksud kamu,” katanya, “tapi kalau ada yang bisa kita lakukan untuk membuat Emma normal kembali, aku akan melakukannya. Apapun itu." *** Tony lega melihat Emma di kelas. Dengan begitu dia yakin kondisi gadis itu sudah membaik. Namun rasa penasarannya terhadap apa yang terjadi pada Emma belumlah tuntas. Dia kemudian berjalan ke kursi gadis itu. Dia bermaksud menanyakan apa yang terjadi pada Emma selama berada di hutan. “Emma, kalau kamu nggak keberatan, aku pengen tahu apa yang terjadi sama kamu pas pert
"Ayah akan mengizinkanmu, tapi aku harus bicara sama ibumu dulu," kata Jeremy. Jeremy kemudian keluar dari kamar Tony. Dia kemudian berjalan menuju taman di depan rumah. Di sore hari seperti ini, biasanya istrinya menyiram tanaman. Tebakan Jeremy benar. Istrinya sedang merapikan tanaman. Wanita itu memotong beberapa pucuk tanaman yang tidak rata. "Sayang, bisakah kamu berhenti sejenak dari aktivitasmu," ucap Jeremy saat langkahnya terhenti di belakang Sofia. Sofia berbalik. “Iya,” katanya, “apa ada hal yang penting yang ingin kamu bicarakan?” Jeremy mengangguk. "Ya," katanya, "ayo kita duduk di sana dulu." Dia menunjuk ke sebuah kursi panjang di tepi taman. "Mau bicara apa?" tanya Sofia setelah dia duduk, "sepertinya masalahnya penting sekali." “Ya,” jawab Jeremy, “ini menyangkut nyawa anak kita. Sofia membelalakkan matanya. "Ada apa dengan Tony?" tanyanya."Tony bilang dia pengen meditasi lagi kayak dulu," jawab Jeremy, "dia pengen berkomunikasi sama makhluk astral untuk bant
"Kenapa dengan dia?" Sofia bertanya, penasaran. "Dia ingin Emma ikut bersamanya ke dunianya," jawab Tony. Sofia membelalakkan matanya, "Nggak bisa dibiarkan," katanya, "Emma mungkin sudah melakukan kesalahan fatal." Tony mengangguk. "Memang," katanya, "tapi aku yakin aku bisa membuat makhluk astral itu ngelepasin Emma." Tony kemudian meninggalkan ibu dan ayahnya. Dia berjalan dengan langkah cepat. “Hei, mau pergi kemana, Nak?” Jeremy berteriak. "Aku mau ke rumah Emma," kata Tony tanpa berbalik, "Aku harus bicara sama orang tuanya." *** Tony mengemudi dengan kecepatan di atas normal. Dia ngebut. Dia menyalip setiap kendaraan di depannya seperti seorang pembalap. Dia tidak sabar untuk berbicara dengan Emma dan orangtuanya. Karena ngebut, perjalanan menuju rumah Emma yang biasanya memakan waktu sepuluh menit, menjadi sekitar lima menit. Tony sendiri bahkan tidak menyangka akan bisa sampai ke rumah Emma dengan selamat setela