"Persetan, lah, kalo aku ntar telat. Wong bos'e ada di kamarku," umpat Ari yang baru saja tiba setelah memutuskan pergi mencari sarapan.
Sebelum anak kunci diputar, Ari menengok ke kiri-kanan demi tetap merahasiakan siapa sosok yang ada dalam kamar. Beberapa penghuni kamar kost yang kebetulan lewat, hanya melempar basa-basi khas para pekerja.
Saat dirasa waktunya telah pas, Ari segera memutar kunci dan masuk kamar dengan cepat tanpa meninggalkan jejak. Jantungnya yang berdebar tak keruan malah membuatnya merasa layaknya seorang pencuri yang masuk ke rumah target di siang bolong.
"Dari mana, lu?"
"Beli na ...."
Ucapan Ari tercekat di pangkal tenggorokan saat melihat kondisi biliknya bak kapal pecah. Diedarkannya pandang ke seluruh penjuru kamar, tak ada satu pun ruang tersisa yang bisa dikatakan selamat.
"Kenapa?" tanya Lara. Ia yang tengah berada di depan lem
"Mukamu kenapa, Su? Kusut bener!" celetuk Supri saat dilihatnya sang kawan yang baru datang. Ia menunjuk jam dinding dengan dagu ketika mereka bersirobok pandang."Iyo, ero!" jawabnya kesal. Ari lantas segera pergi ke kantor di mana Pak Daus menanti sebuah jawab atas tanya yang bisa ditebak.Dari bawah, Supri hanya bisa menggeleng lemah. "Kesian, si Ari. Paling juga kecapekan habis nguli semaleman."Ari yang masih mampu mendengar dugaan Supri pun hanya menarik sudut bibirnya sebentar. Ia memejam mata demi mencoba menenangkan diri setelah perdebatan sengitnya pagi tadi.Tok! Tok! Tok!Tanpa menunggu jawaban, Ari segera masuk kantor. Dilihatnya Pak Daus tengah mengetuk-ngetukkan telunjuk ke meja seirama. Kedua matanya menatap tajam pada Ari serupa bilah besi yang siap menghunjam."Sorry, Pak, a--"Sebuah amplop cokelat muda dilempar begitu
"Koe, 'kan, yang nyuruh Pak Daus buat mecat aku?" tanya Ari.Keduanya kini berada di sebuah warung kopi ternama. Mereka sengaja duduk di pojok ruangan, demi menghindari banyak pandangan. Terlebih, Ari dan Lara berada di daerah yang masih dibilang dekat dengan UKLAKA.Lara tak menimpali tanya dari kekasihnya. Sebaliknya, dengan tenang ia menyesap coffee latte setelah menghabiskan sandwich."Jawab, Ra!" Kali ini kesabaran Ari telah pada batasnya. Sudah empat kesempatan ia melempar tanya, tapi tak juga diberi jawaban."Ngapain gue kek gitu, Ri? Rugi kalo gue mecat elu. Meski gila, elu punya kemampuan tinggi."Ari mengernyit, lantas menautkan kedua alisnya bersamaan. "Terus siapa?""Elu tunggu, aja. Bakalan ada dua kemungkinan, kan, kalo itu bukan keputusan si Daus?""Menurutmu gimana?""Daus itu tangan kanan kita. Udah l
Lara masih tak habis pikir dengan semua kegilaan yang telah dilakukannya. Ia masih mondar-mandir di rest room UKLAKA. Sebuah ruangan yang disulap bak kamar hotel istimewa."Gue gila! Beneran gila!" teriaknya lantang.Ia berkali-kali meninju angin, lalu melempar tasnya ke sembarang arah tanpa mau melepas shoulder strapnya. Ditatapnya pantulan bayang pada cermin dinding yang dibingkai apik oleh kayu mahoni dengan finishing cat duco abu misty."Enggak, gue nggak gila! Walaupun gue kelewat batas, tapi ada kepuasan sendiri. Seperti memang sudah lama pengen begini."Lara kembali bermonolog seorang diri. Lantas, ia hampir pergi ke mata kuliahnya saat tatapan tajam menyapu seluruh penampilan bayang pada cermin. Sedetik kemudian, ia menjentikkan jari sembari berlalu pergi.Entah mengapa, untuk kali pertama ia mampu mengatakan apa yang dirasakan hati pada seseorang. Terlebih pada yang baru
Rendi masih mencoba mengingat di mana kemeja itu dilihat. Kemeja yang terasa tak asing di matanya.Jam mata kuliah akhir telah usai diikuti Rendi, lantas ia kembali pulang. Dalam perjalanan pun ia masih memikirkan tiap tanya yang dilempar Lara. Memang Rendi mungkin telah lancang, tapi bukankah itu untuk keselamatan Lara juga?Di sebuah kursi besi bahu jalan, Rendi mengenyakkan bokongnya. Senja sudah hampir berganti petang saat memorinya memutar kejadian tadi siang."Elu ngapain nyari gue?"Lara sudah hampir pergi setelah enggan memberi jawab atas pertanyaan Rendi mengenai kemeja yang dipakai."Oh, ya. Gue punya banyak pertanyaan. Buat elu."Rendi mengernyit heran mendapati tatapan lembut penuh ketakutan semalam berubah menjadi setajam elang seperti sedia kala. "Apaan?""Bukan di sini. Ikut gue."Keduanya mendetail lan
Dalam rest room, dua dara yang cantik jelita baru saja terlibat adu mulut. Meski tak benar-benar sampai bertengkar, tapi keduanya masih membentang jarak untuk sekadar saling menerima."Elu kena pelet di mana?" tanya Lalita."Mending elu tarik semua ucapan elu buat Ari!" Lara masih melipat tangan di dada. Rahangnya mengeras, meski tak lagi ada nada penekanan dalam perintahnya."Gue ini sobat elu dari kecil, Ra, gue tau siapa elu, gue tau semua tentang elu, Ra! Ini bukan elu sepenuhnya!" Di balik punggung Lara, Lalita mengacungkan telunjuk untuk melampiaskan tiap emosinya yang membara.Lara yang duduk menghadap ke cermin dinding enggan menimpali acungan Lalita. Ia lebih fokus pada pernyataan yang mencemarkan nama pria yang kini merajai jiwa. "Nggak ada yang pernah tau sedalam apa lautan, Ta. Elu semua, Eiffor, emang kenal gue dari dulu. Tapi, nggak pernah tau gimana hati gue sejak dulu!"
"Enggak, Ta, elu tau sendiri gue kek gimana. Gue nggak akan berhenti. Gue ... gue mulai kecanduan sama kehadiran Ari, Ta," aku Lara pada kawan karibnya.Kini, Lalita makin merasa berada di jalan buntu. Ia berniat datang ke Universitas Kalang Kabut untuk menyelesaikan masalah Lara dan Tarissa, malah mendapat fakta yang membuatnya senang sekaligus sengsara."Kalo Lara Ama Tarissa sama-sama suka sama itu montir, bakal makin ribet ntta urusan."Gumaman Lalita menyiratkan banyak kegelisahan. Apalagi, ia tahu betul, kedua kawannya itu sama-sama keras kepala. Tak akan ada yang pernah mau mengalah. Terlebih Lara. Siapa pula yang mau merasakan sakitnya cinta?Lara sudah tenang seperti sebelumnya saat terik matahari berganti gulungan awan hitam. Ponsel Lara menyalak, menuntut jawab sang empunya. Namun, ia enggan untuk sekadar menerima panggilan.Lalita yang merasa tak enak, langsung meliri
Di tengah guyuran hujan untuk kali pertama, Rendi kembali memikirkan Lara. Melihat gadis secantik itu menangis sebenarnya membuat Rendi ikut teriris. Ia teringat kembali sosok sang bunda.Sedikit banyak, ia ingat bagaimana bundanya menjadi sosok lain pada sebuah ikatan resmi. Menjadi penghalang kebahagiaan keluarga kecil Ari.Hal itu pula yang terus menghantui Rendi. Rasa bersalah terus mengantarnya agar selalu menyayangi sang kakak. Memberi kembali kasih sayang keluarga yang sempat diambil paksa.Walaupun Rendi tahu itu bukan kesalahan sang bunda, tetapi membiarkan dirinya tetap berada di jalan yang sama setelah mengetahui kebenaran yang ada sebuah kesalahan. Demi ia, bunda rela dicap menjadi penggoda.Rendi telah sampai di rumah indekostnya saat Ari juga terlihat baru menutup pintu kamar. Diliriknya jam tangan saat menyadari ini bukanlah jam pulang kerja."Tumben jam segini uda
Ari baru saja merebahkan diri di ranjangnya saat terdengar guyuran air yang menyiram kepala. Ya, akibat ulah Rendi yang masuk tanpa izin membuat kamarnya sedikit banjir. Terang saja, ia harus bekerja ekstra untuk mengeringkan lantai agar tak terjadi kecelakaan kecil.Beruntung, hari ini ia sama sekali tak bekerja. Jadi, tenaganya masih belum terkuras. Hanya saja, kepalanya terasa begitu nyeri sekarang."Keknya efek ujan-ujan, ini."Seketika perut Ari menyalak meminta jatahnya untuk sekadar diisi dengan segenggam nasi atau bahkan mi instan berkuah pedas.Tanpa menunggu, Ari menderap langkah ke arah dapur umum: menjerang air, lalu meraih empat mi instan sekaligus."Satu mana greget. Apalagi abis kerja rodi," monolog Ari.Ia sudah mensejajarkan dua mangkuk besar, serta meracik bumbu pada masing-masing wadah. Sembari menunggu air mendidih, Ari mencoba menonton te