Share

4. Kejutan

Penulis: Tetiimulyati
last update Terakhir Diperbarui: 2023-07-10 13:40:46

"Kita mau kemana, Bang?" tanyaku ketika kami sudah duduk di dalam mobil. Hari pertama setelah pernikahan kami Bang Fyan mengajakku ke luar.

"Pacaran." jawabnya santai.

Aku hanya mencebik mendengarnya.

"Mumpung Abang masih cuti, apa salahnya kita menghabiskan waktu bersama," lanjutnya.

Memilih tak bersuara lagi, dan mengeluarkan ponsel dari dalam tas. Sejak pagi tadi pagi benda ini tidak kusentuh.

Ada beberapa pesan dari Maya juga teman-temanku semasa kuliah dan SMA.

Isinya sebagian mengucapkan selamat dan selebihnya meledekku. Resiko pengantin baru, jadi bahan guyonan teman-teman.

Asyik membalas chat mereka, aku lupa kalau di sebelahku ada seseorang yang sepertinya merasa diabaikan.

Beberapa kali dia berdehem. Aku hanya meliriknya sekilas. Lalu kembali fokus ke layar ponsel.

Cekiiiittt!!!

Mobil tiba-tiba direm mendadak. Sontak aku menjerit kaget.

"Kenapa sih, Bang Fyan?" Aku bertanya dengan nada agak tinggi.

"Ada kucing tiba-tiba menyebrang," jawabnya dengan tetap fokus ke depan tanpa melihatku.

Kucing?

Masa sih? Ini bukan komplek perumahan penduduk. Mana ada kucing berkeliaran.

Aku menengok ke belakang, untung di belakang tidak ada kendaraan lain.

"Fokus dong, Bang! Ara kan kaget."

"Ya, makanya. Bantu Abang perhatikan jalan di depan! Ini malah mainin ponsel," ucapnya seraya melajukan kembali mobil.

Hmm. Aku faham. Jangan-jangan kucing itu memang tidak ada. Ini hanya akal-akalan dia supaya aku berhenti memainkan ponsel.

Dasar egois!

Hening. Kami sibuk dengan pikiran masing-masing. Entah apa yang dipikirkannya. Sementara aku mulai jenuh. Setengah jam kami hanya muter-muter tidak jelas.

"Dari tadi muter-muter terus, emang nggak cape?" Akhirnya aku mengajukan protes.

"Tinggal duduk aja kok, nggak bakalan cape."

"Jalan tapi gak ada tujuan. Mending nggak ke mana-mana aja," gumamku sedikit kesal.

"Kalau kita di rumah, emang kamu mau deket-deket Abang? Belum tentu, kan? Yang ada Abang dicuekin dan kamu memilih ngobrol sama Kak Rani."

"Ya gapapa dong, dia kan kakakku," balasku cepat.

"Tapi Abang kan suamimu yang harus lebih kamu perhatikan," jawabnya santai sambil tetap fokus menyetir.

Aku melayangkan tatapan geram ke arahnya. Jadi ngajak jalan cuma buat berduaan dan bisa deket-deketan?

"Nggak usah gitu juga ngeliatnya. Nanti jatuh cinta, bisa berabe lho." Dengan pedenya dia berkata dan melirikku dengan ekor matanya.

Kekesalanku bertambah. Ini orang kenapa jadi menyebalkan seperti ini. Apa ada yang salah dengan aku?

Keherananku bertambah ketika kami memasuki area perumahan elite. Menerobos pos satpam dan melaju menyusuri jalan yang terbilang sepi.

Karena belum semua unit terisi, suasana agak lengang. Rumah-rumah berjejer rapi dengan pohon yang mulai rindang.

Hunian yang terbilang mewah berada di daerah perbukitan. Menawarkan pemandangan hijau dan udara yang sejuk.

Permata Parahyangan Residence, hanya berjarak sekitar 5 km dari tokoku. Bisa ditempuh dengan perjalanan sekitar 10 sampai dengan 15 menit.

Ya, Tokoku, toko sepatu itu aku kelola bersama Maya, sahabatku. Kami berteman sejak kuliah. Kebetulan kami satu Fakultas. Selepas lulus Maya pernah beberapa kali bekerja tapi selalu resign lebih awal. Ada saja alasannya. Dari yang bosnya genit sampai masalah rekan kerja dan lingkungan kerja yang nggak nyaman.

Aku yang sempet nganggur beberapa bulan merasa bosan tak ada kesibukan. Papa berkali-kali menawarkan pekerjaan di kantornya, tapi aku belum tertarik. Pertama aku tidak begitu berminat kerja kantoran. Kedua aku ingin mandiri dan sukses tanpa banyak campur tangan dari Papa.

Berawal dari hobbyku belanja sepatu dan Maya yang punya hobby koleksi tas. Akhirnya kami punya ide untuk mengelola toko itu. Sebagai modal awal Maya punya tabungan dari hasil kerjanya meski berpindah-pindah tapi dia pandai mengatur keuangan.

Dan aku? Tentu saja mendapat bantuan dari Papa. Meski aku bersikeras bilang bahwa aku akan ganti uang Papa. Dan beliau bersikeras juga agar aku tak usah menggantinya. Sama-sama keras kepala. Aku memang mewarisi sifat keras kepala dari Papa.

Meski pada akhirnya setahun kemudian aku memaksa untuk mengembalikan uang Papa. Tentu saja dengan sedikit rayuan dari Mama. Papa memang selalu luluh dengan sikap lemah lembut Mama.

Dengan semangat dan kerja keras aku dan Maya, alhamdulillah toko sepatu dan tas yang kami kelola bersama mengalami kemajuan. Hingga saat ini kami bisa menggaji satu karyawan untuk membantu kami.

Bang Fyan menghentikan mobilnya di depan salah satu rumah berlantai dua. Letaknya di jajaran tengah, berada di tempat yang tidak terlalu tinggi juga tidak terlalu rendah. Jadi di sebelah kirinya lebih tinggi dan di sebelah kanannya nampak rumah-rumah yang letaknya lebih rendah.

Indah.

Aku masih bengong ketika Bang Fyan membukakan pintu mobil dari luar. Begitu menginjakkan kaki, aku mengedarkan pandangan ke sekeliling.

"Rumah siapa, Bang?"

"Nanti setelah di dalam, kamu akan tahu. Ayo!" Bang Fyan meraih tanganku dan membawaku menuju teras.

Sepi.

Sebenarnya kami akan bertemu siapa? Ini rumah siapa? Tidak ada kendaraan terparkir di luar. Apa mungkin tuan rumahnya sedang tidak ada?

Tepat di depan pintu, kami berhenti dan Bang Fyan mengeluarkan sesuatu dari saku celananya.

Kunci.

Apakah ini rumah .... ?

"Ayo, masuk!" titahnya dengan gerakan tangan mempersilakan.

Aku masih mematung. Bang Fyan melangkah duluan ke dalam. Dia menarik tanganku sedikit lebih kuat.

Melangkah perlahan, aku memandang sekeliling. Ruangan ini masih kosong. Seharusnya ada sofa sebab sepertinya ini ruang tamu.

"Masih kosong, belum ada satupun perabotan. Karena Abang ingin Nyonya rumah ini yang mengatur dan memilih semua furniture."

"Bang, ini .... "

"Ini rumah kita. Mudah-mudahan Ara suka."

Aku menatap Bang Fyan dengan rasa tak percaya. Ini surprise?

"Catnya udah Abang ganti dengan warna kesukaanmu. Ini sama dengan warna kamar kamu, kan?"

Aku mengangguk. Tak bisa berkata sepatah katapun.

"Tahu dari mana? Abang kan, baru masuk kamar Ara tadi malam?"

"Ada, deh!"

"Papa?"

"Bukan."

"Mama?"

"Ya."

"Abang kepoin Ara, ya? Nanya-nanya tentang Ara sama Mama Papa?"

"Daripada nanya sama tetangga."

Aku mengerucutkan bibir.

"Kita liat ruangan yang lain nya."

Tanpa menunggu jawaban dariku, dia melangkah lebih dulu.

Melewati ruang tamu yang hanya tersekat tembok setengah ruangan dan tanpa pintu, terdapat ruangan yang agak luas, ini cocok untuk ruang keluarga. Ada kaca besar di sebelah kiri memperlihatkan bagian luar rumah yang terletak di bagian kiri rumah tepat di belakang garasi.

Sebuah taman dan kolam renang berukuran kecil. Di belakang ruang keluarga ada dapur dan ruang makan.

Disebelah kanan rumah terdapat dua kamar tidur dan satu kamar mandi yang terletak di samping dapur.

Musholla dan teras belakang tempat menjemur pakaian.

"Kita ke atas!" Tangannya masih erat menggenggam, membuatku terseok mengikuti setiap pergerakan tubuhnya.

Perhatikanku langsung tertuju pada balkon yang luas di bagian depan lantai atas. Menyuguhkan pemandangan alam yang memanjakan mata.

"Indah!" Hanya itu yang mampu terucap.

"Kita bisa menikmati sunset sambil duduk di sini," ucapnya sambil melihat ke arah kanan.

"Atau di sana." Tangannya menunjuk sebelah kiri.

Ada terdapat satu balkon lagi dengan ukuran lebih kecil, sepertinya itu terhubung dengan kamar.

Dia menarik tanganku, berjalan memutar dan memasuki sebuah ruangan yang cukup luas.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Terpaksa Kuterima Lamaran Sahabatmu    92. Restu Orang Tua

    "Ha--hallo ... assalamualaikum .... " Ara tidak bisa membunyikan kegugupannya. Suaranya terdengar bergetar begitu mengucap salam. "Waalaikumsalam, Ra. Abang kira Ara tidak mau menerima telepon dari Abang. Barusan Mama menyampaikan kabar bahagia itu. Makasih, ya." Suara renyah Fyan terdengar sangat familiar di telinga Ara. Seharusnya gadis itu rindu, tetapi entah kenapa saat ini Ara malah terkesan tidak suka. Bukan tidak suka orangnya, namun status mereka yang akan berubah. Itu yang membuat Ara gelisah. "Iya, Bang, tetapi ada syaratnya." "Katakan saja, apa yang harus Abang lakukan. Oh ya, apa kabar kamu, Ra?" Seperti biasa, Fyan selalu mengalah dan berusaha menurut apa yang Ara mau. "Ara baik, Bang. Eum .... ada baiknya kita ketemu, Bang. Kayaknya hal ini nggak bisa dibicarakan lewat telepon." Suara Ara tetap datar. "Eh, iya. Tentu saja kita harus ketemu, besok Abang jemput Ara di toko, ya." "Memangnya Abang tahu di mana toko Ara?" Gadis itu memicing. "Tahu, dong. Aban

  • Terpaksa Kuterima Lamaran Sahabatmu    91. Pilihan Terbaik

    Fyan sudah bisa menduga kalau tidak semudah itu Ara menerima perjodohan ini. Bahkan sebenarnya Fyan juga sudah siap jika gadis itu menolak. Meski demikian, kabar dari Mama cukup membuat Fyan mematung beberapa saat.Kecewa. Tentu saja.Hal inilah yang ia takutkan sejak dulu. Empat tahun yang lalu, saat ia merasa ada perasaan lain pada gadis itu. Perasaan lebih dari sekedar sahabat dan seorang kakak. Yang pada akhirnya Fyan harus kehilangan Ara saat gadis itu jatuh ke tangan Rey. "Kamu Jangan berkecil hati, Nak. Mama dan Papa akan terus meyakinkan Ara.""Jangan dipaksakan, Ma. Sesuatu yang terpaksa itu tidak akan baik nantinya. Fyan ingin Ara menerima ini dengan kesadaran penuh dan tanpa paksaan.""Tenang saja, ya. Mama dan Papa tahu kok, harus bagaimana.""Terima kasih, Ma. Kalau begitu izinkan Fyan bertemu dengan Ara, biar Fyan yang menjelaskan padanya.""Sabar dulu, ya, Nak. Tidak secepat itu, nanti setelah Ara bisa ditemui malah akan kabarin, kok."Panggilan terakhir, Fyan meletakk

  • Terpaksa Kuterima Lamaran Sahabatmu    90. Menolak

    Pulang dari bertemu dengan mama dan papanya Ara, Fyan merasa lega mendengar kabar gadis itu masih sendiri. Berarti ia mempunyai kesempatan untuk mewujudkan harapannya. Senyum tak lepas dari bibirnya, sepanjang perjalanan Fyan bersenandung kecil. Dunia yang sempat terasa sempit kini kembali melebar. Fyan berharap, semoga saja Ara menyetujui rencana mama dan papanya. Gadis itu pasti kecewa kepada Rey. Semoga kehadiran Fyan kembali akan membuka hatinya dan menjadi pelipur dukanya. Hari itu Fyan tidak kembali ke kantor. Ia mengirim pesan pada sekretarisnya untuk menghandle beberapa pekerjaan. Pemuda itu langsung pulang ke rumah lantaran ingin segera berbaring dan merayakan kebahagiaannya sendiri.Hal yang pertama Fyan lakukan setelah sampai di rumah adalah mencari media sosial Rey. Ia ingin bertanya pada sahabatnya itu kenapa sampai hati melakukan ini pada Ara.Terakhir kali Fyan berkomunikasi dengan Rey entah berapa tahun yang lalu. Kalau tidak salah tak lama setelah dia berada di Sura

  • Terpaksa Kuterima Lamaran Sahabatmu    89. Besar Harapan

    Sudah hampir dua bulan Fyan tinggal di kota Bandung. Hari demi hari ia lalui sangat membosankan. Kegiatannya hanya ke kantor dan di rumah. Fyan termasuk orang yang tidak suka keluyuran atau nongkrong tidak jelas. Sesekali menginap di rumah Shafia jika Fyan sedang ingin makan makanan rumahan. Setiap hari makan di restoran memang tidak enak. Mau masak di rumah rasanya tidak seru kalau dimakan sendirian.Shafia pernah menyarankan supaya Fyan mencari seorang ART, tetapi sang adik tidak mau. Untuk bersih-bersih rumah, Fyan bisa mengerjakannya sendiri. Bukankah sekarang sudah banyak alat yang membantu. Pakaian dicuci di laundry. Selain rumah Shafia, hari minggu biasanya Fyan berkunjung rumah yang baru saja ia beli untuk melihat pembangunan yang sudah hampir selesai. Membayangkan suatu saat ia tinggal di sini bersama keluarga kecilnya. Bahagia dengan seorang istri dan mereka saling menyayangi. Lagi-lagi wajah Ara yang muncul ketika Fyan membayangkan masa depan.Selam dua bulan tinggal di B

  • Terpaksa Kuterima Lamaran Sahabatmu    88. Apakah Jodoh?

    Satu bulan setelah pernikahan Ajeng dan Pras dilaksanakan. Tepatnya satu bulan setengah setelah Ayah meminta Fyan pindah ke Bandung. Namun belum ada tanda-tanda pemuda itu bersiap-siap untuk pergi ke kota tersebut. Ayah dan Bunda pun belum membahasnya lagi sejak pembicaraan saat itu. Fyan sendiri bukan lupa kalau saat itu dirinya mengiyakan permintaan Ayah. Namun dirinya masih menimbang dan ragu untuk kembali ke kota itu. Meski jujur saja, dalam hatinya penasaran dengan kabar Ara, namun dia masih tetap tidak punya keberanian untuk mencari tahu tentang gadis itu. Malam ini, Ayah dan Bunda kembali membahas hal itu selepas mereka makan malam. "Sudah hampir dua bulan lho, Nak? Jadi mau kapan?" Bunda membuka pembicaraan dengan sebuah pertanyaan."Sebentar lagi, Bun. Ada pembangunan yang belum selesai di panti asuhan. Lagi pula Ajeng dan Pras masih pengantin baru.""Sudah satu bulan menikah, harusnya Ajeng dan Pras sudah kembali aktif. Bulan madu kan bisa kapan-kapan. Kakakmu kemarin sud

  • Terpaksa Kuterima Lamaran Sahabatmu    87. sepakat

    "Bagaimana kabar tokonya Ara?" tanya bunda setelah beberapa menit berbasa-basi sekedar bertanya kabar. Pertanyaan itu pun masih bagian dari basa-basi. Terakhir Bunda mendengar kabar kalau Ara membuka usaha toko di ruko yang tidak jauh dari taman flamboyan."Alhamdulillah, Jeng. Karena ditekuni, usahanya semakin lancar bahkan sekarang menerima pesanan lewat online. Ara juga kelihatannya semakin dewasa tidak manja lagi seperti dulu." Terdengar tawa kecil dari seberang telepon. Bunda membayangkan gadis kecil itu sekarang sudah berubah menjadi wanita dewasa. Gadis kecil yang dulu selalu tampil dengan rambut dikuncir satu di belakang yang kerap merengek manja memintanya membuatkan sesuatu tatkala dirinya sedang di dapur."Saya sebenarnya sangat kangen sama Ara. Tapi, kok, nomornya tidak aktif, ya." "Sepertinya Ara ganti nomor, Jeng. Kalau begitu, nanti saya kirim nomor baru Ara.""Ndak usah, Jeng. Ara sekarang sibuk di tokonya, takut mengganggu waktunya. Mendengar dia sehat dan baik-baik

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status