Anna menoleh lalu menjawab, "baik kok Mas. Keterima kerja juga, jadi besok udah bisa mulai kerja."
"Wah selamat ya!" ungkapnya dengan senyuman. "Makasih Mas!" ungkap Anna membuat Arkan mengangguk lalu memintanya untuk menikmati kopi yang ia pesan. Cukup lama Anna mengobrol dengan Arkan ini, apalagi memang Arkan sedang ada waktu sebelum jadwal kerjanya dimulai. Siangnya, Anna mendapat pesan dari sang suami. Laki-laki itu meminta Anna untuk segera pulang dan menyerahkan berkas yang tertinggal di ruangan kerjanya pada Gio yang akan ke rumah. Anna bergegas pulang setelah berpamitan pada Arkan. Sekalipun wanita itu sebenarnya malas untuk segera pulang, tapi hatinya tetap saja tidak bisa menolak jika itu Jevano. Setibanya di rumah, Anna naik ke ruangan kerja suaminya. Ia cari berkas yang dikatakan sang suami itu. Beberapa waktu setelah mencarinya, Anna menemukan berkas dengan map biru yang berada tepat di bawah berkas yang Anna cari. Dengan rasa penasarannya, Wanita itu membuka berkas itu. Ia baca setiap kalimat yang tercantum sampai ia temukan tanda tangan sang ayah dalam lembaran surat itu. "Jadi Ayah emang menjadikan Aku sebagai jaminan atas hutangnya dari awal dia pinjam uang?" gumam Anna lalu menangis tersedu di bawah meja kerja sang suami. Suara bel rumah membuat Anna langsung mengusap air mata lalu turun dengan berkas yang dimintai Jevano. Gio mengulas senyumannya. "Ini berkasnya kan?" tanya Anna sembari menyerahkannya. Gio membukanya lalu mengangguk, "makasih ya Bu!" "Panggilnya Mbak aja. Saya gak pantes dipanggil Ibu," ucap Anna membuat Gio hanya mengangguk dengan senyuman simpulnya. "Kalau gitu saya permisi dulu, Mbak." Anna hanya mengangguk lalu menutup pintu rumahnya kembali. Baru saja ia taruh tubuhnya pada sofa ruang tengah. Panggilan masuk dari nomor tidak dikenal itu membuat ponsel Anna berdering di saku celananya. Anna segera merogohnya. Namun, alih-alih menyambungkan panggilannya, Anna malah mendiamkan panggilan masuk itu hingga selesai. Di sisi lain, Gio baru saja sampai di Perusahaan Jevano. Laki-laki muda itu langsung masuk ke ruangan atasannya untuk menyerahkan berkas yang ia bawa dari rumah tadi. "Gio," panggil Jevano dengan sedikit keraguannya membuat sekretarisnya itu kembali berbalik sebelum keluar dari ruangannya. "Iya Pak?" tanyanya. "Anna sudah di rumah waktu kamu datang?" tanya Jevano. Gio menahan senyumannya, "sudah Pak. Mbak Anna bahkan sudah membawa berkasnya ketika saya datang." "Kamu panggil Anna apa tadi?" tanya Jevano. "Mbak, Pak," "Masa kamu panggil saya Bapak, tapi ke istri saya Mbak," protes Jevano. "Tadi juga saya panggil Ibu, tapi Mbak Anna gak mau katanya gak pantes dipanggil Ibu," jawab Gio sembari menunduk. Jevano menghela napasnya berat, "ya udah kamu bisa balik kerja lagi." Gio mengangguk lalu keluar dari ruangan atasannya. Sorenya, Jevano baru saja mengemas barang-barangnya untuk pulang lebih awal. Rasanya dia kepikiran sang istri entah apa alasannya. Baru saja membuka pintu ruangannya, Elin sudah menunggunya di depan pintu dengan senyuman dan pakaian terbukanya. Ia gandeng tangan Jevano, "mas ayo kita ke restoran yang kamu janjikan itu beberapa Minggu lalu. Kan mumpung kamu pulang lebih awal," ajaknya. "Elin tapi-" "Tapi apa Mas?" tanya Elin sembari menekuk wajahnya, "kamu gak mau? kamu mau pulang gitu aja? atau kita ke rumah kamu aja. Kan Aku belum pernah ke rumah kamu." "Gak usah, kita ke restoran aja ya!" bujuk Jevano menolak untuk mengajak Elin ke rumahnya. Jevano memang menyukai Elin dan berhubungan dengannya hampir setahun ke belakang. Hanya saja, tetap saja Jevano sama sekali tidak membuka semua privasinya bahkan termasuk ruangan pribadi dan rumahnya itu. Laki-laki itu tidak pernah mengajak Elin ke rumahnya sama sekali. Lebih baik dirinya pergi ke restoran atau tempat yang Elin mau. "Kenapa gak ke rumah kamu? Kan kita bisa berdua aja di sana," goda Elin sembari menyentuh dada bidang laki-laki itu. Jevano menggenggam tangannya, "elin ini masih di kantor. Gak baik kamu berperilaku seperti ini." "Kok Mas kayak begitu sih? Kenapa beberapa hari ini berubah sih Mas?" tanya Elin menekuk wajahnya. Jevano menghela napasnya, "enggak Elin, saya cuman gak enak aja sama karyawan saya." "Jadi sekarang makan malam aja ke restoran yang kamu mau itu yuk!" ajak Jevano membujuknya. Elin dengan senyumannya mengangguk lalu kembali menggandeng tangan Jevano keluar Perusahaannya lalu pergi ke restoran yang ia inginkan. Sembari menikmati makan malamnya bersama Elin, Jevano terus memikirkan Anna yang berada di rumahnya. Elin menoleh dan sadar ada yang sedang dipikirkan laki-lakinya itu. "Mas lagi pikirin apa sih?" tanyanya. "Enggak Elin, saya cuman lagi mikirin kerjaan aja," jawab Jevano. Elin menggenggam tangan kekasihnya, "mas gak usah khawatir kita gak akan kalah sama Perusahaan manapun. Kan ada Aku." Jevano mengulas senyumannya lalu kembali menggenggam tangan Elin dengan erat. Setelah makan malam, Jevano mengantarkan Elin ke Apartemen milik wanita itu yang ia belikan beberapa bulan lalu sebelum menikah dengan Anna. Dengan sengaja Elin pura-pura sakit kepala ketika diantar oleh Jevano, padahal hanya sekedar memanfaatkan media. "Elin, saya gak bisa begini. Jangan pernah mengajak saya melakukan hal yang akan menghancurkan kamu," ucap Jevano langsung mendorong tubuh Elin ke kasur ketika wanita itu mulai bermacam-macam dengan Jevano. Sekalipun Jevano menyukai Elin, laki-laki itu tidak pernah sama sekali berbuat hal yang diluar kendalinya pada sang kekasih. Jevano langsung kembali bersama dengan Gio yang mengantarnya. setibanya di rumah, Jevano langsung masuk. Terlihat ruang tengah sudah gelap bahkan dapur dan beberapa lampu lainnya. Ia berjalan masuk ke kamar Anna, dengan senyuman simpulnya ia tatap sang istri yang sudah tertidur itu. Tanpa sadar Jevano berbaring di samping sang istri lalu memeluknya dari belakang. Keesokan paginya, Anna terbangun dan membuka mata sepenuhnya ketika mendapati dirinya sedang berpelukan dengan sang suami. Wanita itu teriak hingga membangun Jevano yang masih terlelap di sampingnya. "Anna apa-apaan kamu ini," protesnya. "Kamu yang apa-apaan Mas. Ngapain kamu di kamar aku?" tanya Anna membalikkan. Laki-laki itu mengedarkan pandangannya, lalu kembali berbaring, "ya terus kenapa? Kan ini rumah saya. Bebas dong mau tidur dimana aja." "Ya kan ini kamar Aku, Mas," "Emangnya kalau kamar kamu, saya gak boleh ke sini? Kamu kan Istri saya," ujarnya. "Istri atau Budak kamu?" tanya Anna membuat Jevano terbangun dari tidurnya. "Maksudnya?" tanyanya. "Aku udah baca isi surat jaminan itu Mas. Kamu juga sebenernya udah tau kan kalau Aku jaminan ayah aku? Kamu cuman mengatasnamakan pernikahan biar Aku bisa dijadikan budak sama kamu dengan bebas," ungkap Anna. "Anna surat jaminan apa yang kamu maksud? Saya gak ngerti," ucapnya.Jevano mendecak dengan senyuman remeh, "saya cuman memaafkan kamu dan istri kamu. Bukan berarti kontrak kerjasamanya akan saya lanjutkan," ucapnya lalu melenggang pergi. Anna hanya terdiam, ia juga tidak bisa lagi untuk meminta suaminya untuk kerjasama ulang dengan perusahaan itu. Wanita itu memilih diam, apalagi memang raut wajah suaminya sudah berubah, juga ia tidak mengerti dengan berbagai pekerjaan suaminya. Anna berbaring di kamarnya, sembari Jevano yang terus menemaninya seharian. Wanita itu mengulas senyumannya, "mas gak mau kemana-mana?" tanyanya. Jevano menggelengkan kepalanya, "mas mau jagain kamu di sini." "Mas gak usah khawatir, Anna udah baik-baik aja kok sekarang," ucap Anna. "Tapi Say-""Mas.... Anna baik kok," timpal Anna menyelanya. (Sekitar 4 bulan kemudian) Kandungan anna sudah mencapai akhir dan menuju persalinan, cukup membuatnya sedikit gugup sekarang. Tapi wanita itu tetap
Gio memberikan sebuah berkas kerjasama pada bapak pemilik rumah, "saya dimintai oleh Pak Jevano untuk menyampaikan hal ini pada bapak tentang kontrak kerjasama." "Maksudnya?" tanya bapaknya kebingungan. "Pak Jevano ingin membatalkan kontrak kerjasama dengan bapak," "Loh memangnya kenapa? Bukannya Pak jevano sendiri sudah menyetujuinya?" Gio mengangguk, "tapi sekarang Pak jevano ingin membatalkannya." "Dengan alasan apa?" tanya bapaknya. "Bapak bisa tanya sendiri sama istri dan anak bapak, apa yang sudah dia perbuat pada istri dan anak pak jevano. Kami permisi!" ucap Gio lalu kembali dengan pengacara perusahaannya itu. Di ruang tengah yang cukup besar itu, Bapak itu masuk dengan kesalnya lalu membanting berkas pada meja yang ada tepat di hadapan sang istri dan anaknya. "Ada apa ini Yah?" tanya ibunya. "Ada apa kamu bilang? Apa yang kamu lakukan sama istri dan anaknya Pak Jevano sampai dia ingin
Guru itu memberikan bukti rekaman cctv hingga sang ibu terdiam, begitupun dengan Anna yang melihatnya. "Saya meminta ibu dan anak ibu untuk meminta maaf ada Rezkiano dan ibunya hanya untuk sekedar menyadari kesalahan bukan untuk menurunkan harga diri," ucap Gurunya. Ibu itu berdiri, "saya tidak sudi meminta maaf sama wanita miskin ini." "Tapi Bu-" "Saya tau Anna itu istrinya Jevano, tapi ibu guru tau tidak? kalau ayah wanita ini adalah pemabuk berat, bahkan sampai masuk penjara karena membunuh besannya sendiri," gelagar Ibu itu lalu pergi begitu saja dengan anaknya. Anna mengepalkan tangannya, menahan emosi. Sedangkan gurunya itu hanya terdiam menatap Anna yang sudah kesal dengan ibu dari teman anaknya itu. "Bu anna tidak apa-apa?" tanya gurunya. Alih-alih menjawabnya, Anna malah meringis sembari memegangi perutnya yang buncit. Sontak Rezkiano mulai menangis melihatnya. Guru itu langsung memanggil ambula
Keesokan paginya, ketukan cukup keras pada pintu kamar Jevano membuat keduanya terbangun. Jevano membuka pintunya setelah memakai kaosnya kembali, "kenapa sih Rezki?" Sang anak dengan tangisannya itu langsung memeluk kaki ayahnya, "ayah, Rezki takut!" "Takut kenapa?" tanya Jevano sembari berjongkok menghadap anaknya, "kamu pasti mimpi buruk ya?" Rezki mengangguk, ia menjelaskan bahwa ia bermimpi jika ayah dan ibunya pergi meninggalkannya seorang diri. Ia hidup dalam rumah megah itu tanpa sosok siapapun yang menemaninya hingga ada seseorang yang mencarinya, mengejarnya untuk membunuhnya seperti laki-laki itu membunuh ayah dan ibunya. Jevano membawanya pada pelukan, ia elus punggung sang anak agar tenang, "udah ya! itu kan cuman mimpi. Jadi gak ada hubungannya sama dunia nyata, ibu sama ayah juga gak bakal kemana-mana. Rezki tenang aja ya!" Dengan sesenggukan, anak itu mengangguk mengiyakan. Hari sudah mulai siang, Rezkiano j
Jevano membantu istrinya untuk berdiri lalu menggandeng nya untuk masuk ke rumah. Rezkiano yang melihatnya itu menangis lalu menyusul kedua orang tuanya masuk dengan buku gambar dan alat gambar lainnya. Laki-laki itu berbisik pada istrinya, "tuh kan apa yang Mas bilang. Dia bakal ikut masuk kalau kamu masuk," ucapnya. Anna hanya mengangguk sembari mengangkat ibu jarinya pada sang suami. "Ibu....." rengek Rezkiano sembari menangis menghampiri ibunya yang baru saja duduk pada sofa ruang tengah. Sedangkan Jevano pergi masuk ke kamar untuk berganti pakaian. Anna mengusak rambut anaknya, tidak lupa mengusap sisa air mata anaknya itu, "kan tadi kata Ibu apa. Rezki gak nurut sih." "Maaf Ibu!" ungkapnya lalu memeluk Anna dengan eratnya. Anna mengulas senyuman, "udah.... Sekarang mending kamu mandi, nanti Ibu siapin baju tidurnya terus kita makan malam sama ayah." Rezkiano menggelengkan kepalanya, "Rezki gak mau makan sama ayah. Nan
Gio mengangguk, "ini hasilnya, Pak. Bisa bapak lihat," jawabnya sembari menunjukkan data pada tab-nya. Jevano mengerutkan keningnya fokus, ia melihat beberapa kejanggalan pada laporannya. "Ini kenapa bisa begini?" tanya Jevano menoleh kembali pada sekretarisnya, "waktu saya kemarin gak ke perusahaan ada yang terjadi atau ada yang mencurigakan gak? Kok kamu baru bilang sekarang?" Gio begitu gugup mendengarnya, apalagi sang atasan sudah nampak kesal dengan wajah kesalnya. "Sudah selidiki siapa yang buat data jadi berantakan kayak begini?" tanya Jevano. "Saya belum tau, Pak. Saya baru aja dapat laporan ini dari butik kemarin karena saya minta, terus laporan data dari pihak pemasaran juga baru 2 hari lalu," jawab Gio. Jevano mengangguk sembari memahami datanya, berhubung memang masih merasa janggal, laki-laki itu meminta sekretarisnya untuk mengadakan rapat dengan beberapa karyawannya. Hari sudah mulai siang, Jevano m