Reina terbangun dari tidurnya yang tidak nyenyak. Merasa hawa terlalu dingin, membuatnya tidak bisa tidur dengan nyaman. Reina meraih ponsel Android yang telah menemaninya sedari ia masih duduk di bangku sekolah menengah atas. Jam masih menunjukkan pukul setengah tiga, sedangkan Reina tidak dapat melanjutkan tidurnya. Ia menghela nafas, lalu memilih untuk memasak.
jam telah menunjukkan pukul setengah enam, Reina telah menyiapkan masakannya di atas meja. Wajahnya menegang, ia masih memikirkan kejadian semalam, ”Uuh... Semoga saja Pak Angga tidak marah lagi” gumamnya dalam hati.Terlihat dari kejauhan, Pinka dan Pinky sudah terbangun dari tidurnya. Mereka keluar dari kamar tidur karena mencium aroma masaka. Reina melihatnya dan memanggil mereka untuk duduk duduk bersama. Kedua bocah itu memintanya untuk mengambilkan nasi dan lauk pauk, Reina tersenyum dan menuruti kemauan putri sambungnya tersebut.“Ibu Reina, sekarang Ibu Reina mau mandi ya?” tanya Pinka.”Iya, setelah selesai bersih-bersih” ujar Reina.”Kalau gitu, berarti gak jadi ya jalan-jalan keliling kompleks? Kan Ibu Reina sudah berjanji sama kita” ujar Pinky.Reina teringat akan janjinya waktu itu, namun waktu untuk jalan-jalan belum juga didapatkan. Ia harus datang ke kantor, kerja... Kerja dan kerja. Reina tidak tega jika harus menolak permintaan putrinya, hal ini membuatnya menjadi dilema. Tak berselang lama, Angga datang dan ikut bergabung di meja makan. Tak ada ucapan penting dari mulut laki-laki itu."Papa, sebentar kami mau jalan-jalan! Papa izinin Pinka dan Pinky kan?" tanya Pinky, sedari tadi memang bocah satu ini yang paling antusias.Angga tersenyum dan mengiyakannya, sontak bocah-bocah itu langsung teriak kegirangan. Reina merasa lega lantaran Angga tidak melarang putrinya keluar rumah. Setelah selesai sarapan pagi, Angga meminta Reina untuk menemani kedua putrinya dan langsung dibalas anggukan kepala oleh Reina."Papa berangkat kerja dulu" ujar Angga sembari mengecup pipi kedua putrinya tersebut.Angga melirik Reina seakan ia tengah laporan, Reina membalasnya dengan sunggingan senyum yang kas dari bibir mungil tersebut. Angga pun meninggalkan rumah karena bersiap diri untuk bekerja. Sementara Reina yang juga telah selesai dan sarapan, memutuskan untuk mandi terlebih dahulu. Apalagi ia habis masak-masak pasti saat ini seluruh tubuhnya terasa lengket dan getah.”Pinka, Pinky... Tungguin Ibu Reina mandi ya" ujar Reina dan dibalas anggukan oleh kedua bocah itu. Tak berselang lama, Reina telah selesai mandi dan berpakaian dengan lengkap. Ia lalu menemui putrinya dan mengajak mereka menuju ke arah kucing mobil yang terparkir di halaman rumah."Ibu, Pinky gak mau jalan-jalan naik mobil" ujar Pinky secara tiba-tiba."Lalu, apa mau naik motor?" tanya Reina.Pinky menggelengkan kepalanya dengan raut wajah cemberut, "Pinky mau jalan kaki"Reina tersenyum dan mengiyakannya yang membuat Pinky sumringah saking bahagianya. Pinka juga ikut senang karena ia juga ingin jalan-jalan dengan berjalan kaki. Tak jauh dari lingkungan sekitar, tiba-tiba saja langkah kaki Pinky terhenti."Wahh lihat itu ada kucing!" teriak Pinky dengan begitu semangat sambil telunjuk tangan yang mungil itu menunjuk ke arah kucing."Lucu sekali kucing ini, Ibu Reina, apa Pinky boleh membawanya ke pulang?" tanya Pinky pada Reina yang.Awalnya Reina ingin mengatakan iya, namun ia mengurungkan niatnya itu ketika mendengar larangan dari Pinka. Kata Pinka, Pinky tidak boleh memelihara kucing karena Pinky mempunyai riwayat sesak nafas. Merasa sama-sama memegang pemikiran yang tegas, kedua bocah itu saling ribut dihadapan Reina. Mereka meminta Reina untuk memilih diantara mereka."Pinky, apa benar kamu mempunyai riwayat sesak nafas?" tanya Reina, ia ingin mendapatkan jawaban dari mulut Pinky secara langsung.Pinky mengangguk, wajahnya cemberut. Lagi-lagi Reina merasa tidak tega dengan pemandangan yang seperti itu. Dengan berberat hati, Reina menyetujui permintaan Pinky untuk membawa kucing itu ke rumahnya. Pinky yang tadinya cemberut kini mulai kegirangan sambil kedua tangannya yang mungil memeluk kucing jalanan tersebut."Hum... Anak-anak, kita cukupkan dulu jalan santainya, sekarang kita pulang yuk" ujar Reina.Pinka dan Pinky mengangguk lalu mereka berbalik arah menuju jalan ke rumah. Lalu tiba-tiba mereka berpapasan dengan tukang bakso yang tengah melintas di jalan yang sama. Pinky merengek meminta Reina untuk membelikannya itu bakso."Pak, tolong buatkan bakso, jangan pedas ya" ujar Reina."Pinka, apa kamu juga mau bakso?" tanya Reina.Pinka menggelengkan kepalanya, wajahnya murung. Reina menjadi merasa bersalah, apa ada hal yang salah sehingga putri sambungnya itu menunjukkan ekspresi sedih? Reina berusaha untuk memahami Pinka dan mencoba merayunya agar mau membeli bakso. Pinka menolak sambil menangis."Sayang, kenapa tiba-tiba kamu menangis? Apa Ibu ada salah?" tanya Reina sembari berjongkok dan memeluknya dengan erat."Pinka kangen mama hiks... Mama sering mengajak Pinka sama Pinky keluar rumah dan makan bakso. Pinka gak mau makan bakso kalau tidak ada Mama disamping Pinka hiks" Reina menghela nafas secara berkali-kali, ia paham di usia mereka yang masih seperti kertas putih, tidak akan mengerti tentang apa yang terjadi pada masalah yang tejadi."Sudah ada Ibu Reina, Ibu janji bakalan nemenin kamu dan Pinky kemanapun kalian minta pasti akan Ibu kabulkan. Asalkan Pinka jangan nangis lagi, nanti mama kamu jadi ikutan nangis" ujar Reina."Ibu, memangnya mama mendengar Pinka nangis? Kan mama lagi gak ada disini" ujar Pinky."Meskipun memang mamamu tidak bersama kita, tapi tuhan ada dimana-mana, tuhan pasti akan melaporkannya pada mama kalian bahwa salah satu putrinya sedang menangis. Jika seperti itu, mamamu pasti akan ikut menangis" ujar Reina."Berarti, kalau kita gak nangis... Mama bakalan cepat sembuh?" tanya Pinky.Reina sedikit ragu namun akhirnya ia membalasnya dengan anggukan penuh dengan keyakinan. Karena telah mendapatkan pengaruh, Pinka dan Pinky mendadak cerita lagi, "Aku ingin Mama cepat sembuh jadi Pinka Kita jangan nangis lagi ya" ujar Pinky pada saudara kembarnya.Mereka makan bakso dengan begitu lahap dan karena keasyikan, Reina tidak melihat ada pasang mata yang tengah mengintai. Kucing yang tadinya Pink bawa kini terlepas begitu saja. Pinky mencoba mengambilnya namun kucing itu berjalan semakin menjauh. Pinky pun mengejar tanpa sepengetahuan Reina."Pus... Pus... kamu ada dimana Pus?" panggil Pinky, ia berjalan di semak-semak dipinggir jalan yang cukup panjang."Meong!!!" terdengar suara kucing, Pinky kegirangan saat di samping dirinya telah ada kucing yang tadi. Dengan cepat ia meraih kucing tersebut. Saat hendak kembali ke tempat semula, tiba-tiba pergelangan tangan kirinya dipegang oleh seseorang.Pinky menengadahkan kepalanya karena orang itu sangatlah tinggi. Sementara itu, Reina hendak membayar dan Pinka menyadari bahwa salah saudara kembarnya tidak ada disampingnya. Ia melaporkan kepada hal itu pada Reina yang telah membayar makanan bakso kepada si penjual bakso."Dimana Pinky sekarang?" tanya Reina kebingungan."Pinka gak tahu Bu, tahu-tahu Pinky sudah tidak ada" ujar Pinka dengan polos.Seketika Reina menjadi gelisah, ia mencoba memanggil-manggil nama Pinky namun Pinky tak kunjung kembali. Dengan rasa bercampur darah aduk, Reina mencoba menghubungi Angga tentang hilangnya Pinky hari ini. Terdengar suara telepon yang juga tak sadar jawaban, Reina semakin panik. Ia takut putrinya kenapa-kenapa dan takut bila Angga akan semakin membencinya."Ibu, itu Pinky!!!" teriak Pinka sambil tangannya menunjuk ke arah depan.Reina menoleh dan berlari menghampiri Pinky, seluruh pakaian anak itu terlihat begitu kotor. Namun yang membuat Reina sangat terkejut pada saat ia melihat ada noda darah di bagian sensitif Pinky, "Apa yang terjadi? Katakanlah sama Ibu?""Apa? Tidak mungkin ini terjadi!" seru Reina, Ia menutup mulut dengan kedua tangan. "Maaf, hasil telah menunjukkan hal yang sebenarnya. Sebaiknya Ibu harus ikhlas dan jaga putri Ibu dengan lebih hati-hati" ujar dokter. Reina langsung membayar sesudah dokter selesai memeriksa keadaan Pinky. Ia mengajak kedua putri kembarnya untuk masuk kedalam mobil. Tidak ada sepatah apapun yang dapat Reina ucapkan, hanya bayangannya kini dipenuhi dengan rasa bersalah, "Tuhan, apa yang mesti saya lakukan? Jika Angga mengetahuinya, dia pasti tidak akan memaafkanku..." lirih Reina dalam hati. Tak terasa butiran air mata mulai jatuh membasahi pipinya yang mulus, disisi lain Pinka melihatnya dan dengan polosnya ia bertanya, "Ibu Reina kok menangis?" Tangan mungilnya itu dengan reflek menghusap air mata di pipi Reina, "Ibu hanya sedikit mengantuk" ujar Reina dengan berbohong. Tak berselang lama, terdengar suara handpone yang berdering cukup keras. "Kok gak diangkat Bu?" tanya Pinka. "Sayang, bahaya bil
"Reina, tidak sia-sia kita bekerja! Uang gajih ini telah membayar rasa lelahku selama satu bulan lamanya'' ujar Agustina dengan sumringah.Reina menatap wajah beberapa karyawan yang juga terlihat begitu bahagia kecuali dirinya. Disaat yang lain mendapatkan bayaran di akhir bulan, mengapa ia belum mendapatkannya? Ingin protes tapi ia malu tuk mengatakannya. Ditambah Reina merasa malas harus berhadapan dengan orang kepercayaan suaminya itu. "Ayo kita ke kafe malam ini buat merayakan!" ajak Agustina pada Reina."A-aku belum bisa ikut..." lirih Reina. Agustina menatap wajah Reina dengan rasa heran, tak seperti biasannya Reina menolak ajakannya itu. Dengan rasa penasaran, Agustina mencoba menanyakan alasan Reina menolak ajakannya tersebut. Dengan jujur Reina mengaku bahwa ia belum menerima haknya. Agustina terkejut dan sesekali menggeleng-gelengkan kepalanya, "Kamu harus tegas sama Centini! Biar dia tak seenaknya kayak gitu. Apalagi kamu kan istri Ceo, pasti dia gak akan berani memecat ka
“Tutup mulutmu!” seru Agustina.”Kenapa kalian tega dengan Reina? Apa salahnya pada kalian sehingga Reina harus dipecat seperti itu!” seru wanita muda berkemeja putih dengan rambut pendek tergerai.Rosa langsung meraih tangannya dan menyisipkan beberapa selembar uang merah, “Kau butuh ini juga kan?” Seketika wanita muda itu melempar uangnya hingga uang-uang tersebut berjatuhan di lantai, ”Saya tidak seperti kalian!” tegasnya sembari berlalu.Rosa langsung cemas, wajahnya mulai memerah! Ia takut jika kejahatannya terbongkar detik ini juga. Rosa melirik Agustina yang masih terpaku, ”Bagaimana ini? Jika Intan mengadu pada Pak Angga, maka habislah kita!!!” “Kita harus berbuat sesuatu!" tegas Agustina.“Apa rencanamu? Cepatlah, beritahu aku!” seru Rosa.***“Hallo? Reina, ada hal penting yang ingin saya sampaikan ke kamu. Tapi saat ini saya mau menyelesaikan pekerjaanku dulu, nanti setelah pekerjaan ini sudah selesai, saya akan mampir ke rumah kamu” Intan mematikan telepon dan kembali bek
"Nihhh uangnya sudah saya bagi rata! Selebihnya silahkan dihitung sendiri!" seru Agustina.Rosa meraih uang itu dan mulai menghitung, "Sudah pas!" serunya. Lalu Rosa menaruh uangnya ke dalam tas dengan raut wajah tak senang."Apa dia bakalan ngelaporin kita ke polisi?" tanya Rosa.Agustina terkekeh mendengar pertanyaan Rosa yang masih ragu. Agustina menenggak minuman manis ia baru saja mereka beli di Indomaret terdekat. Merasakan rasa yang enak, Agustina memilih untuk menikmatinya. Sementara Rosa, ada perasaan takut yang tengah menghantui pikirannya. Terlebih, ia tidak ingin masuk penjara dan meninggalkan anaknya yang masih berumur tiga bulanan."Sebaiknya kau buang jauh-jauh sifat pengecutmu itu Rosa! Lagian kita sudah memegang ini, dia tak akan berani macam-macam" ujar Agustina, ia menunjukkan sebuah kamera Canon yang sedari tadi ada didalam tas kerjanya."Benar juga! Kamu memang cerdik" puji Rosa.Keduanya tertawa atas penderitaan orang lain. Mereka bahkan tak memiliki rasa kasihan
“Anakku, Mama sangat khawatir melihat kamu terbaring lemah seperti ini. Mama tidak bisa membayangkan bila kamu pergi meninggalkan Mama seorang diri...” lirih Anum mama dari Reina.Ujang berada disamping sang istri dengan wajah tak kalah cemas. Terlebih saat ia mendapatkan sebuah fakta yang sangat sulit untuk diterima. Dokter telah memvonis Reina, bahwa ada tumor yang mencurigakan tengah berada di dalam tubuh beberapa putri semata wayangnya itu. Hanya saja dokter belum dapat memastikan seberapa berbahayanya tumor-tumor tersebut karena proses mendiagnosis harus memerlukan beberapa rangkaian pemeriksaan. Karenanya Dokter menyarankan kepada kedua orang tua Reina untuk memberikan kondisi Reina secara rutin.Dokter, kira-kira berapa biaya yang harus kami keluarkan untuk pengobatan putri kami?” tanya Ujang.“Untuk informasi pembayaran silahkan bapak bertanya pada penjaga administrasi” ujar dokter sembari berlalu.Anum tak henti-henti memeluk tubuh Reina yang tak sadarkan diri. Ia tak ingin pu
“Kalian mau ngapain sih!” pekik Intan saat Agustina dan dan Rosa menarik tangannya dengan kasar. “Mau apa? Ha! Kami ingin meminta uang!” bentak Agustina.”Uang? Apa maksudmu? Perasaan saya tidak memiliki hutang pada siapapun. Apalagi sama setan-setan macam kalian!” seru Intan.PLAKTamparan keras mengenai pipi Intan, rasa yang begitu perih membuatnya merintih. Intan merasa heran dengan perbuatan mereka yang tidak masuk akal kepadanya, “Kalian jahat!” teriaknya sembari mengusap pipinya yang masih sakit.“Kami itu tidak jahat tapi kami butuh uang! Kau mau video itu kesebar? Mau dibawa kemana wajahmu yang dekil kek gitu!” seru Agustina.“Sudah deh... Lebih baik kamu lihat video ini dulu biar bisa berpikir cepat” Rosa menunjukkannya ponselnya di dekat Intan. Bola matanya terbelalak tak percaya dengan apa yang ia lihat. Sebuah adegan panas diperankan oleh wanita muda berambut pendek sedang bergulat pada om-om di atas ranjang. Adegan demi adegan terpampang dengan jelas! Tak bisa Intan pung
Hari ini tepat tanggal merah menjadi hari yang baik untuk Reina karena akan segera cabut dari rumah sakit yang telah membuatnya tak nyaman berada di sana. Selalu mencium bau obat-obatan, mendapatkan bubur yang rasanya tawar bukanlah hal menyenangkan bagi siapapun yang tengah sakit. Kini, Reina bisa kembali menatap langit dengan bebas tanpa mencium lagi aroma obat-obatan..“Mari Bu, biar saya yang menaruhnya" terlihat seorang bapak-bapak paruh baya berpakaian kemeja dan dasi. Wajahnya sudah tak lagi muda, namun terlihat begitu cekatan. Ia mengangkat semua barang-barang milik Reina dan menaruh semua barang tersebut ke bagasi mobil.“Terimakasih Pak Kasim” ujar Reina.“Sama-sama Bu. Awas hati-hati!” Pak Kasim membantu Reina untuk masuk ke dalam mobil.Reina duduk di depan berdampingan dengan kursi pengemudi. Setelah dirasa aman, Pak Kasim langsung masuk ke dalam mobil dan mulai mengemudi dalam kecepatan normal. Reina yang baru membaik tak terlalu banyak bergerak atupun berbicara dan memi
Malam ini terasa begitu dingin. Hal ini disebabkan karena hujan deras yang sedari tadi mengguyur kota Jakarta dimulai dari tadi sore hingga jam 12:00 Malam. Pinka dan Pinky juga tak kunjung tidur yang mau tidak mau Reina yang saat ini mendampingi mereka harus ikut bergadang juga.“Ibu Reina, besok pagi apa Ibu Reina sibuk?” tanya Pinky.”Humm... Mengapa kamu menanyakan hal itu?” tanya Reina.”Besok kan hari Minggu, pasti libur” sahut Pinka yang asik menyusur boneka Barbie kesayangannya.“Oh, kalau begitu kita bisa mengunjungi Mama. ke rumah sakit! Bareng Papa dan Ibu Reina juga!” Pinky terlihat begitu penuh bersemangat namun membuat Reina mendadak cemas.“Ibu Reina, ayo ikut sama kita ya ke rumah sakit. Pasti Mama kita bakalan senang melihat Ibu juga ikut menjenguk” ujar Pinka, bocah itu menaruh sebuah harapan kecil pada diri Reina.“A-aku...” KREAG~Pintu kamar tiba-tiba terbuka, menunjukkan wajah seseorang dari balik pintu tersebut. Angga datang dengan tepat waktu membuat Reina sed