Share

Pilihan sulit

Penulis: Bulan Mentari
last update Terakhir Diperbarui: 2022-09-17 08:30:09

[Maaf, ya soal tadi siang. Mungkin saya salah karena bercerita tentang mantan pacarku padamu. Padahal, kita akan menikah sebentar lagi.] 

[Sekali lagi, maaf.] 

Aku hanya menatap layar ponsel yang menampilkan pop-up pesan dari Nathan. Membaca kedua pesan itu sekilas, lalu meletakan ponsel yang kupegang kembali ke atas kasur. Untuk malam ini, aku merasa melipat pakaian yang menumpuk lebih penting dari membalas pesan dia. 

Dari bahasa yang ditulis di pesannya, mungkin Nathan menyadari jika ijinku membatalkan makan malam di rumahnya karena alasan itu. Terlebih lagi, perjalanan yang sebelumnya begitu hangat dengan canda tawa, siang tadi berubah sunyi karena pembuka obrolan dari Nathan tak sekata pun aku jawab. Aku lebih memilih diam hingga sampai kembali ke rumah. 

Sejujurnya bukan itu alasannya. Aku hanya butuh waktu untuk menyegarkan mataku saja, setelah bayangan masa laluku dengan dia terus bergulir mengikuti aktivitas kami siang tadi. 

Jika terus bersama Nathan, aku khawatir tangan ini tidak terkontrol ingin meremas-remas mulutnya yang dulu begitu nyinyir membuliku. Untungnya, masih kutahan sekuat hati saat bayangan ingatan begitu kuat melanda. 

“Nduk, kamu sakit?” Tanpa permisi lebih dulu, mamah masuk ke dalam kamarku tiba-tiba. Tangannya dengan sigap menghentikan aktivitasku yang baru akan menutup lemari setelah meletakan beberapa pakaian di dalamnya, lalu melekatkan tangan lembutnya ke dahiku. “Gak panas,” ucapnya sambil menampilkan dahi berkernyit. 

“Siapa yang bilang aku sakit, Mah?” Walau sebenarnya sudah menebak jika tante Sintia yang memberitahu mamah, pertanyaan itu tetap kulontarkan. 

“Tante Sintia,” sahut mamah yang kemudian mengikutiku duduk di bibir ranjang. 

Kepada Nathan, siang tadi aku sudah meminta ijin tidak bisa memenuhi undangan tante Sintia untuk makan malam. Alasan sakit memang aku sebutkan, supaya tante Sintia menerima ijinku melalui sambungan telepon dengan putranya itu. 

“Jangan bilang karena kamu mau menolak Nathan terus kamu menolak undangan tante Sintia juga, Nduk.” 

Nada lembut suara mamah yang penuh tekanan itu sebenarnya menambah hatiku semakin bergejolak, membuat moodku yang hampir kembali baik, menjadi buruk lagi. Sebenarnya, aku hanya butuh ketenangan sesaat saja. Setelah itu, aku akan kembali seperti biasa. Apalagi, rencana balas dendamku pada Nathan sudah tersusun rapi. Harusnya, sikapku memang profesional. 

Tapi, apalah daya. Manusia biasa sepertiku masih memiliki banyak nafsu Angkara murka yang cukup sulit kutepis. Dampak sikap Nathan yang begitu hebat tidak mungkin kulupakan begitu saja, selalu menari-nari di sela-sela aktivitasku setiap sedang bersama dia. 

“Mamah tenang ajah.” Aku mengusap lembut tangan mamah yang kuangkat dari pangkuannya. “Aku pasti gak akan buat mamah kecewa. Percaya, deh,” lanjutku menganggukkan kepala dengan mata berkedip, meyakinkan hati mamah yang tengah gundah karena sikapku. 

Aku tetap berusaha menenangkan wanita bijak yang melahirkanku 28 tahun silam ini. Hasil dari rencanaku nanti, biar menjadi urusan belakangan. Namun, bukannya mamah yang tenang karena ucapanku, justru hatiku yang merasa adem setelah mendapat pelukan hangat darinya.  

*** 

“Assalamualaikum, Tante ....” Aku menyapa ramah setelah memastikan yang membuka pintu rumah besar ini adalah tante Sintia. Kulihat, wajah yang masih nampak mulus di usianya yang sudah kepala lima itu tersenyum pula menyambut kedatanganku. 

Sesuai dengan rencana yang kususun semalam, minggu pagi ini aku bertandang ke rumah Nathan. Tujuannya, tentu untuk memuluskan rencanaku sebelumnya. Ya, walau tak lepas dari alasan mamah juga yang memang memintaku untuk datang ke sini. 

“Mari, Sayang. Ayo, masuk! Anggap saja rumah sendiri.” Tante Sintia begitu antusias merangkul pundakku, lalu membawaku menelusuri istana pribadinya. 

Bangunan rumah yang dua kali lebih besar dari rumah orang tuaku ini tidak masuk kategori mewah, tapi lebih ke suasana elegan dan adem. Beberapa ruangan yang tidak terlalu sempit dengan ventilasi yang memadai, menambah kesan asri. Benar-benar membuatku seketika betah walau baru berdiri di ruang keluarga sebelah tangga. 

Bukan hanya itu. Sikap hangat tante Sintia yang tak lain adalah calon mertuaku, semakin menambah hati nyaman andai benar aku tinggal di sini. Ah, tidak. Itu tidak masuk rencanaku. Aku tidak ingin mengkhayal bagian yang bukan merupakan tujuanku. 

Aku hanya akan membuat pria yang tengah menuruni anak tangga di sana itu jatuh cinta padaku. Hanya itu. Setelah dia merasa tak ingin kehilangan diriku, barulah aku akan meninggalkannya begitu saja. Aku ingin membuat dia merasakan apa yang aku rasakan kala itu. 

Bahkan, jika mau dibandingkan, apa yang dia perbuat padaku dulu, sama sekali tak sebanding sedikit pun dengan pembalasanku kali ini. Mungkin, aku lebih punya hati nurani. 

“Sudah datang?” sapa Nathan setelah tubuhnya sampai di depan tempatku berdiri. Senyumnya masih sama seperti kemarin, manis dan bersahaja, walau pesan darinya malam itu tidak kubalas. 

Aku hanya mengangguk yang kemudian mengikuti tante Sintia ke dapur. Aku memang terlalu pagi datang ke sini. Pukul tujuh pagi aku sudah meluncur dengan motor matic kesayanganku menuju arah jalan ke rumah Nathan. Tidak terlalu jauh, hanya lima kilometer saja jarak rumah kami. Sehingga waktu yang ditempuh pun tak terlalu lama. 

Sedekat itu jaraknya, namun aku heran kenapa mamah dan tante Sintia baru bertemu beberapa tahun lalu, tidak dari dulu saja sejak masa sekolah SMP-ku. Padahal, keduanya berada di sekolah SMA yang sama, lebih tepatnya memang bersahabat saat masa putih abu-abu waktu dulu. 

Andai sejak itu aku tahu jika Nathan adalah anak tante Sintia, mungkin sudah kuadukan dari dulu tingkah menyakitkannya itu, hingga laki-laki berkulit kuning langsat itu tak lagi berani membuliku. Atau, bisa jadi kami justru sudah menikah dari dulu karena perjodohan ini pasti akan dilakukan lebih awal. 

Satu jam berlalu setelah aku dan Nathan terpisah di dalam rumah besar ini, menu sarapan pagi telah terhidang cantik di ruang makan. Tentu saja aku dan tante Sintia yang menyiapkan semuanya. Tugas mbok Darmi memasak untuk sementara kami ambil alih. Kata tante Sintia, aku yang harus memasak menu yang kubisa, supaya Nathan terkesan. 

Akhirnya, nasi goreng menjadi menu pertama yang aku masak pagi ini. Sementara tante Sintia menyiapkan telor ceplok; juga ada roti bakar yang kami buat bersama. Tawa canda sejak aku melangkah ke dapur, sudah mulai menggema hingga akhir dari aktivitas kami di sana. 

Walau terbilang baru di rumah ini, aku sudah bisa beradaptasi langsung. Selain karena  sudah kenal lama dengan tante Sintia, aku juga pernah datang ke sini beberapa kali. Pertama kali perkenalan kami saat mamah minta diantar ke tempat kondangan. Kami bertemu tanpa sengaja, karena ternyata tante Sintia juga datang di waktu yang bersamaan. 

Kata mamah setelah kembali ke rumah, tante Sintia sudah naksir aku, eh. Maksudku, terpesona dengan tampilanku waktu itu. Dia ingin menjodohkan aku dengan anak lelakinya, yang aku sendiri belum pernah bertemu sebelumnya. Hanya saja, ketika itu putranya sudah memiliki calon istri, teman kuliah yang dilamarnya dua bulan sebelumnya. Akhirnya, keinginan kala itu tinggal lah angan. 

Eh, ternyata apa yang diangankan tante Sintia sebelumnya sudah di depan mata. Perjodohan yang dia harapkan kini telah terencana, meski belum sepenuhnya aku terima. Kami berbincang dan bercanda ria sudah layaknya ibu dan putrinya. Begitu dekat ibarat tanpa sekat. 

Bahkan, tempat dudukku di ruang makan berada di sebelah tante Sintia, tepatnya di seberang meja di depan Nathan yang pagi ini sudah nampak menawan berbalut kaos oblong dan celana training. Dari kejauhan, kami sudah nampak seperti satu keluarga inti. Jika dirasa sampai ke hati, sejujurnya aku terkesan. Apalagi, saat tante Sintia mengambilkan nasi goreng untukku setelah aku lebih dulu mengambilkannya. Aku seperti memiliki dua ibu yang sama-sama baik. Kesan ibu mertua jahat yang sering kudengar sepertinya tak berlaku untukku. (*) 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Terpaksa Menikah dengan Pria yang Kubenci   Bab 19

    “Habibah .... Nak.” “Astaghfirulloh, Mamah.” Jujur, aku kaget setengah hidup saat tepukan keras mamah mendarat di pangkuanku beberapa kali bersamaan dengan teguran yang hanya kudengar samar, hingga getaran tubuh ini begitu jelas kurasakan. “Mamah. Aku ....” “Kamu kenapa, Nak, hah? Tante Sintia sudah nunggu jawaban kamu dari tadi, malah melamun, sih. Kenapa?” tanya mamah sedikit berbisik. “Kamu gak papa ‘kan?” Aku menggeleng melempar senyum berseri menatap wajah mamah. Syukurlah, apa yang melintas di pikiranku tadi hanya bayangan semata, bukan nyata. Wajah mamah masih nampak bahagia, pun juga dengan papah. Aku menunduk sejenak sambil menghembuskan napas pelan sebanyak tiga kali, menghilangkan sangkaan dan bayangan buruk yang sempat menghampiri. “Maaf, Tante, Om dan semuanya.” Kalimat dari bibirku mulai mengudara memenuhi ruang makan. Aku mengedar pandangan dengan senyum yang kubuat seramah mungkin. “Sebelumnya saya minta maaf, sudah buat semuanya menunggu. Mungkin karena efek sedi

  • Terpaksa Menikah dengan Pria yang Kubenci   Bab 18

    “Habibah, kedatangan tante sekeluarga ke sini punya niat lain selain silaturahmi.” Tante Sintia mulai membuka obrolan serius usai makan malam. Kalimatnya terhenti sejenak untuk sekedar mengedar pandangan ke arah kami yang masih memenuhi ruang makan. Dia tersenyum penuh ceria, nampak dari raut wajahnya yang berseri. “Untuk itu, tante dan om juga kedua orangtuamu ingin memastikan jawaban kamu atas perjodohan yang kami sepakati bersama. Tante harap, jawaban kamu sesuai dengan yang kami semua harapkan.” Aku mengangkat wajah yang sejak tadi setengah menunduk, lalu mengedar pandangan ke seluruh anggota. Tatapan mereka tak jauh beda dengan tante Sintia, begitu berseri, terutama mamah dan papah. Namun, hanya satu pandangan yang kutemukan nampak memendam penekanan mendalam. Sorot matanya datar. Hanya pandangan itu pula yang tidak mengarah kepadaku. Siapa lagi jika bukan Nathan. Sedikit pun tak pernah kudapati kami bertemu pandang meski di posisi tidak sengaja. Tapi anehnya, kenapa hanya aku

  • Terpaksa Menikah dengan Pria yang Kubenci   Bab 17

    Sejak Awal datang ke rumah, aku memang tidak menyadari kondisi sekeliling. Maksudku, hanya kamar saja yang baru kujelajahi untuk meletakan tas juga melepas jilbab yang menutup rambutku sepanjang perjalanan dari indekos menuju rumah. Jadi, kondisi ruang makan yang ternyata telah dipenuhi beberapa menu makanan juga camilan belum tertangkap oleh pandangan kedua mataku. Baru kusadari setelah mamah memintaku menyajikan beberapa minuman dan camilan dari dapur untuk tamu satu keluarga yang baru datang. “Ayo, Bibah. Bawa itu ke ruang tamu,” perintah mamah yang seketika menggetarkan tubuhku karena rasa terkejut. Aku tidak menyadari kedatangannya, namun sosoknya sudah berada di sebelahku dan nampak tengah terburu-buru mengambil sesuatu. “Mamah, apa ini?” tanyaku meminta kepastian jawaban akan yang kulihat di ruang makan. “Emang mau ada acara apa, Mah. Kok, makanan banyak gitu?” “Sudah, Nak. Tanyanya nanti saja. Nanti juga kamu akan tahu.” Mamah berlalu begitu saja sambil membawa nampan beri

  • Terpaksa Menikah dengan Pria yang Kubenci   Bab 16

    Tiga puluh menit sebelum waktu adzan Dzuhur berkumandang, tante Sintia akhirnya memutuskan pulang. Selain karena jam kerjaku akan datang sebentar lagi, dia pun tidak ingin waktu berangkatnya bertabrakan dengan waktu sholat, katanya. Mobil Honda CRV berwarna putih itu pun melaju perlahan meninggalkan area indekosku setelah lambaian tangan tante Sintia kuterima hangat. Setelah ini, aku tinggal berangkat kerja. Untungnya, kondisi kos tengah sepi, termasuk Nanda. Walau aku tidak tahu kemana dia pergi, atau mungkin memutuskan berangkat bekerja, namun kabarnya tak kudengar hingga kini. Padahal biasanya, dia sering mengirim pesan atau mengobrol ringan melalui chat. Dan pagi ini, semenjak itu, berpamitan saja tidak dia. Tapi, biarlah. Terkadang, seorang teman perlu diberi pelajaran untuk sedikit mengerti orang lain. Aku pun kembali masuk ke dalam kamar kos untuk bersiap berangkat ke rumah sakit. Dari sinilah, aku mulai sibuk seolah tak mengenal waktu. Ponsel yang biasa di tangan, lebih ser

  • Terpaksa Menikah dengan Pria yang Kubenci   Bab 15

    “Habibah, tolong antarkan Raka ke toilet sebentar, ya?” Aku menghentikan langkah saat kembali menuju ruang tamu untuk bergabung dengan tante Sintia dan Raka. “Oh, tentu, Tante.” Aku dan Raka pun segera menuju toilet di belakang tangga lantai bawah. Saat langkah kami hampir mendekati pintu toilet, aku berhenti. Kupersilakan Raka melanjutkan sendiri karena tempat yang dia tuju sudah terlihat. “Terima kasih,” ucap Raka yang langsung kusahut ramah. “Oh, iya. Kalau tidak salah, kamu Ranum ‘kan?” Pertanyaan Raka sontak mengejutkanku tiba-tiba. Aku kembali berbalik badan menghadap kembali pria itu. “Kamu kenal aku?” tanyaku kemudian. Rasa terkejutku semakin bertambah saat dia mengangguk tersenyum ke arahku. “Sangat kenal, walau kamu pasti lupa sama aku.” Hah? Pria itu mengenalku di saat yang lain masih nampak asing ketika melihatku. Padahal, seingatku kami baru bertemu pertama kali ini. Sebelumnya, bahkan waktu di rumah Nathan, Raka tak kulihat di sana. Selain itu, Habibah adalah nama

  • Terpaksa Menikah dengan Pria yang Kubenci   Bab 14

    “Tante, maaf, ya, aku udah buat Tante khawatir,” ucapku bernada menyesal saat menghampiri tante Sintia dengan membawa nampan berisi dua minuman dan camilan yang kuambil dari dapur. “Tadi data internet gak kuaktifkan, jadi pesan dan panggilan gak masuk,” lanjutku setelah sampai di sofa ruang tamu tempat jamuan pengunjung indekos. Ruangan yang tidak terlalu luas ini dikhususkan untuk orang tua atau saudara yang mengunjungi penghuni indekos Bu Erna. Letaknya berada di sebelah kanan kamar kos yang terdiri dari delapan kamar itu, tepatnya di samping rumah Bu Erna. “Gak papa, Sayang. Kan, tante memang berniat datang ke sini,” sahut tante Sintia lembut. Senyum ramahnya tak lupa juga mengiringi ucapannya setiap kali berbincang denganku, itu yang kusadari sejak awal. “Oh, iya, Habibah. Tante juga minta maaf, ya, gak datang sama Nathan. Dia sibuk banget. Jadi, tante minta Si Raka ini untuk nganter. Ini keponakan tante,” jelas tante Sintia melanjutkan. Oh, namanya Raka. Dia juga tampan, tak k

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status