Share

Gadis misterius

Author: Bulan Mentari
last update Last Updated: 2022-09-18 21:19:12

Pemandangan pagi ini begitu menyentuh. Om Darmawan begitu lahap menyantap nasi goreng buatanku, begitu pula Nathan. Bahkan, laki-laki menyebalkan di depanku itu sampai memakan masakanku hingga dua porsi. Ah, walau menyebalkan, setidaknya masakanku bisa disebut enak setelah memindai cara makannya. Meski santai, namun membuat yang melihatnya menjadi ikut lapar. 

Sementara tante Sintia, dia juga tak jauh beda dengan suami dan anaknya. Berkali-kali wanita paruh baya yang masih nampak muda itu memuji masakanku hingga wajah dan sikapku ikut menjadi penyerta pujian itu. 

Aku yang sebelumnya cukup percaya diri menjadi malu tiba-tiba. Lebih tepatnya, tersipu malu karena pujian tante Sintia yang berlebihan. Pasalnya, hal itu memancing pandangan om Darmawan dan Nathan untuk terus memperhatikanku. Nathan yang awalnya tak bersuara pun kini menatapku penuh senyum sambil mengajakku ngobrol ringan. 

Tapi tak bisa dipungkiri, kata mamah dan papah masakanku memang sangat enak. Hanya saja, rasa malas lebih sering hinggap dalam diriku sehingga berbagai alasan selalu kulontarkan untuk menolak halus permintaan memasak mereka untuk setiap makan malam. 

Tepat pukul delapan lewat beberapa menit, kami mengakhiri sarapan secara bersamaan. Nathan yang menyantap dua porsi pun tak kalah cepat selesai. 

Seperti kebiasaanku di rumah, piring kotor bekas makan keluarga akan langsung kubawa menuju wastafel setelah tersusun rapi agar mudah dibawa. Walau terbilang malas, untuk satu ini aku harus bergegas. Rasa tak enak saat yang lebih tua mendahului untuk itu membuat mata ini tak nyaman memandangnya. Itu yang menjadi alasan utama. 

“Bu, ada tamu di luar,” ucap mbok Darmi yang nampak datang menghampiri tante Sintia. 

“Siapa, Mbok?” 

“Mbak Alina, Bu.” 

“Suruh dia keluar! Jangan sampai gadis itu masuk ke rumah ini.” 

Aku terperanjat kaget saat mendengar perintah tante Sintia pada mbok Darmi. Kakiku hingga hampir tak bisa digerakkan, masih bergeming berdiri di depan pintu dapur. Langkah yang hampir menuju ruang makan menuntunku kembali ke wastafel. Rencana mencuci piring yang tak masuk daftar kerja pun terpaksa kukerjakan. 

Entah kenapa, mendengar suara tegas tante Sintia barusan membuat aliran darah di tubuhku hampir terhenti, hingga gerakan tangan memegang beberapa gelas dan piring masih terasa bergetar. Tidak menyangka tentunya setelah hanya sikap ramah dan suara lembut yang dia perlihatkan padaku, kini justru tanpa sengaja mataku melihat hal sebaliknya. Sisi yang baru kuketahui pertama kali. 

Perihal wanita yang bertamu baru saja? Aku mendadak dibuat penasaran oleh hal itu. Siapa dia? Kenapa sosoknya bisa membuat sikap tante Sintia berubah garang. Suasana hening yang tiba-tiba di ruang makan pun semakin menambah tanda tanya di kepalaku. Raut wajah Nathan juga om Darmawan, kulihat cukup tegang saat nama Alina tiba-tiba disebut. 

“Habibah. Enggak usah dicuci, Sayang. Biar nanti mbok Darmi saja yang membereskan semuanya.” 

Tubuhku tersentak tiba-tiba begitu nada suara tante Sintia mulai menggema di dapur. Piring penuh busa pun hampir melesat dari pegangan tanganku. Detakan di jantung tak kalah menyertai untuk saling berdegup kencang bersama dengan getaran tubuhku. 

Untung saja segera kukontrol rasa terkejut yang tiba-tiba melanda ini. Dan semoga tante Sintia tidak mengetahuinya. 

Aku hanya menolehkan wajah sekilas namun masih melanjutkan pekerjaan mencuci piringnya. Dan sepertinya, kalimat tidak apa-apa sebagai jawaban yang kulontarkan bisa meluluhkan hati wanita berkulit putih itu, yang akhirnya dia berlalu setelah aku mengakhiri ucapan bahwa akan selesai sebentar lagi. 

“Jadi kamu mau pulang sekarang, Habibah? Kenapa tidak nanti saja. Baru sebentar, sudah mau pulang, sih.” Nampak begitu keberatan saat tante Sintia berucap itu. Tatapannya beralih pada makanan camilan yang baru beberapa menit dia hidangkan di meja ruang keluarga, lalu kembali memandangiku yang duduk di sebelahnya. 

Suasana saat ini sebenarnya tidak ada bedanya dengan sebelumnya, aku dan tante Sintia begitu dekat dengan duduk berdampingan seperti ini. Tangannya juga tak henti-hentinya melekat di tubuhku setiap kali mengajakku berbincang ringan. Hanya saja, sisi lain dari tante Sintia yang baru kulihat setengah jam lalu, rasanya belum bisa sirna dari ingatan. Masih terbayang nada ucapannya yang begitu tegas dengan tatapan tajamnya. 

“Iya, Tante. Maaf, ya.” Raut wajahku tak kalah menampilkan perasaan berat. “Saya ada janji sama mamah mau antar beliau belanja,” sambungku beralasan. Iya, mungkin hanya itu alasan yang bisa meyakinkan tante Sintia agar bisa memaklumi. 

“Ya, sudah kalo begitu. Biar Nathan yang antar kamu, ya,” bujuk tante Sintia lembut, namun kutolak halus dengan alasan sudah membawa sepeda motor sendiri dari rumah. 

“Sepeda motormu biar Nathan yang antar nanti. Pokoknya, dia harus antar kamu sekarang.” Tante Sintia kembali membujuk. Kedipan mata itu tak luput menyertai bujukannya agar aku bersedia. 

Mau bagaimana lagi, dengan berat hati aku terima tawaran ramah wanita cantik di sampingku ini. Dia lalu beranjak memanggil nama putranya yang sejak usai sarapan pagi entah menghilang kemana. Sosoknya tak lagi kulihat setelah aku selesai beberes piring di wastafel. 

“Kamu mau pulang sekarang?” Edaran pandanganku terhenti tepat di bunga anggrek yang menghias di taman halaman rumah Nathan. Belum puas memindai bunga cantik itu, suara Nathan sudah membuyarkannya. 

“Iya,” sahutku tersenyum ke arahnya. Entah sejak kapan dia berdiri di sebelahku, aku pun tak menyadari kedatangannya. 

“Ayo, aku antar. Sepeda motormu biar kuantar nanti siang atau sore.” 

Aku mengangguk menyetujui saran Nathan. Kami lalu melangkah bersama menuju mobil Toyota Yaris yang terparkir di depan garasi. Dengan langkah lebih cepat, Nathan membukakan pintu mobil untukku yang disusul senyum ramah menyambutku masuk ke dalamnya. Sempat tercengang aku melihatnya, namun tatapanku berubah bangga karena rencana membuat laki-laki itu jatuh cinta padaku nampak terbuka lebar jalannya. 

Perlahan, mobil yang kami tumpangi melesat dari halaman rumah besar ini setelah aku dan tante Sintia saling melambaikan tangan sebagai tanda perpisahan. 

*** 

“Oh, ya, tamu yang datang tadi siapa?” Aku membuka obrolan selang beberapa menit mobil melaju. Kulirik wajah Nathan sekilas untuk melihat reaksi yang ditimbulkan. 

“Bukan siapa-siapa,” sahut laki-laki itu kemudian setelah hening beberapa saat. 

Dari nada suaranya, terdengar jika Nathan tidak suka aku menanyakan perihal gadis bernama Alina tadi. Tentu membuat rasa penasaranku justru semakin menggebu. Aku yakin, dia bukanlah gadis biasa yang tidak berpengaruh apapun dengan Nathan, bahkan hingga kedua orangtuanya. Terbukti saat nama Alina disebut, reaksi kebencian begitu kentara di raut wajah mereka. 

Walau gadis itu tidak ada hubungannya dengan rencana balas dendamku pada Nathan, namun sepertinya hal itu masih berpengaruh. Aku perlu mengetahui sosok dan status gadis bernama Alina itu. Setidaknya, mengurangi rasa penasaranku akan pengaruh dia di keluarga Nathan. 

Sayangnya, jawaban juga Nathan tidak jujur. Raut wajahnya menggambarkan jika ada sesuatu yang dia tutupi dibalik heningnya yang sesaat tadi sebelum akhirnya menjawab. Hanya kata oh pula yang kulontarkan untuk mengakhiri obrolanku dengannya. 

Kurang dari setengah jam, mobil Nathan telah sampai di jalan depan rumahku. Pintu gerbang yang masih tertutup rapat membuat aku meminta untuk sampai di sini saja dia mengantarku. Lagi pula, mamah sudah nampak membuka pintu menyambut kedatanganku. 

“Oh, ya, nanti malam kalo kamu gak ada acara, kita jalan, yuk!” ajak Nathan tiba-tiba saat aku sudah berucap pamit untuk masuk. Ajakannya itu menghentikan langkahku yang sudah hampir membuka gerbang. 

Tanpa pikir panjang, aku pun mengiakan. Walau rasa malas selalu menghinggapi hatiku, tapi rencana yang sudah kususun sebelumnya harus berjalan dengan lancar. Salah satunya adalah dengan terus memenuhi ajakan Nathan agar dia mudah untuk jatuh cinta padaku. Selain itu, aku juga akan semakin mendapatkan info mengenai gadis cantik yang berkunjung ke rumah Nathan tadi. (*) 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terpaksa Menikah dengan Pria yang Kubenci   Bab 19

    “Habibah .... Nak.” “Astaghfirulloh, Mamah.” Jujur, aku kaget setengah hidup saat tepukan keras mamah mendarat di pangkuanku beberapa kali bersamaan dengan teguran yang hanya kudengar samar, hingga getaran tubuh ini begitu jelas kurasakan. “Mamah. Aku ....” “Kamu kenapa, Nak, hah? Tante Sintia sudah nunggu jawaban kamu dari tadi, malah melamun, sih. Kenapa?” tanya mamah sedikit berbisik. “Kamu gak papa ‘kan?” Aku menggeleng melempar senyum berseri menatap wajah mamah. Syukurlah, apa yang melintas di pikiranku tadi hanya bayangan semata, bukan nyata. Wajah mamah masih nampak bahagia, pun juga dengan papah. Aku menunduk sejenak sambil menghembuskan napas pelan sebanyak tiga kali, menghilangkan sangkaan dan bayangan buruk yang sempat menghampiri. “Maaf, Tante, Om dan semuanya.” Kalimat dari bibirku mulai mengudara memenuhi ruang makan. Aku mengedar pandangan dengan senyum yang kubuat seramah mungkin. “Sebelumnya saya minta maaf, sudah buat semuanya menunggu. Mungkin karena efek sedi

  • Terpaksa Menikah dengan Pria yang Kubenci   Bab 18

    “Habibah, kedatangan tante sekeluarga ke sini punya niat lain selain silaturahmi.” Tante Sintia mulai membuka obrolan serius usai makan malam. Kalimatnya terhenti sejenak untuk sekedar mengedar pandangan ke arah kami yang masih memenuhi ruang makan. Dia tersenyum penuh ceria, nampak dari raut wajahnya yang berseri. “Untuk itu, tante dan om juga kedua orangtuamu ingin memastikan jawaban kamu atas perjodohan yang kami sepakati bersama. Tante harap, jawaban kamu sesuai dengan yang kami semua harapkan.” Aku mengangkat wajah yang sejak tadi setengah menunduk, lalu mengedar pandangan ke seluruh anggota. Tatapan mereka tak jauh beda dengan tante Sintia, begitu berseri, terutama mamah dan papah. Namun, hanya satu pandangan yang kutemukan nampak memendam penekanan mendalam. Sorot matanya datar. Hanya pandangan itu pula yang tidak mengarah kepadaku. Siapa lagi jika bukan Nathan. Sedikit pun tak pernah kudapati kami bertemu pandang meski di posisi tidak sengaja. Tapi anehnya, kenapa hanya aku

  • Terpaksa Menikah dengan Pria yang Kubenci   Bab 17

    Sejak Awal datang ke rumah, aku memang tidak menyadari kondisi sekeliling. Maksudku, hanya kamar saja yang baru kujelajahi untuk meletakan tas juga melepas jilbab yang menutup rambutku sepanjang perjalanan dari indekos menuju rumah. Jadi, kondisi ruang makan yang ternyata telah dipenuhi beberapa menu makanan juga camilan belum tertangkap oleh pandangan kedua mataku. Baru kusadari setelah mamah memintaku menyajikan beberapa minuman dan camilan dari dapur untuk tamu satu keluarga yang baru datang. “Ayo, Bibah. Bawa itu ke ruang tamu,” perintah mamah yang seketika menggetarkan tubuhku karena rasa terkejut. Aku tidak menyadari kedatangannya, namun sosoknya sudah berada di sebelahku dan nampak tengah terburu-buru mengambil sesuatu. “Mamah, apa ini?” tanyaku meminta kepastian jawaban akan yang kulihat di ruang makan. “Emang mau ada acara apa, Mah. Kok, makanan banyak gitu?” “Sudah, Nak. Tanyanya nanti saja. Nanti juga kamu akan tahu.” Mamah berlalu begitu saja sambil membawa nampan beri

  • Terpaksa Menikah dengan Pria yang Kubenci   Bab 16

    Tiga puluh menit sebelum waktu adzan Dzuhur berkumandang, tante Sintia akhirnya memutuskan pulang. Selain karena jam kerjaku akan datang sebentar lagi, dia pun tidak ingin waktu berangkatnya bertabrakan dengan waktu sholat, katanya. Mobil Honda CRV berwarna putih itu pun melaju perlahan meninggalkan area indekosku setelah lambaian tangan tante Sintia kuterima hangat. Setelah ini, aku tinggal berangkat kerja. Untungnya, kondisi kos tengah sepi, termasuk Nanda. Walau aku tidak tahu kemana dia pergi, atau mungkin memutuskan berangkat bekerja, namun kabarnya tak kudengar hingga kini. Padahal biasanya, dia sering mengirim pesan atau mengobrol ringan melalui chat. Dan pagi ini, semenjak itu, berpamitan saja tidak dia. Tapi, biarlah. Terkadang, seorang teman perlu diberi pelajaran untuk sedikit mengerti orang lain. Aku pun kembali masuk ke dalam kamar kos untuk bersiap berangkat ke rumah sakit. Dari sinilah, aku mulai sibuk seolah tak mengenal waktu. Ponsel yang biasa di tangan, lebih ser

  • Terpaksa Menikah dengan Pria yang Kubenci   Bab 15

    “Habibah, tolong antarkan Raka ke toilet sebentar, ya?” Aku menghentikan langkah saat kembali menuju ruang tamu untuk bergabung dengan tante Sintia dan Raka. “Oh, tentu, Tante.” Aku dan Raka pun segera menuju toilet di belakang tangga lantai bawah. Saat langkah kami hampir mendekati pintu toilet, aku berhenti. Kupersilakan Raka melanjutkan sendiri karena tempat yang dia tuju sudah terlihat. “Terima kasih,” ucap Raka yang langsung kusahut ramah. “Oh, iya. Kalau tidak salah, kamu Ranum ‘kan?” Pertanyaan Raka sontak mengejutkanku tiba-tiba. Aku kembali berbalik badan menghadap kembali pria itu. “Kamu kenal aku?” tanyaku kemudian. Rasa terkejutku semakin bertambah saat dia mengangguk tersenyum ke arahku. “Sangat kenal, walau kamu pasti lupa sama aku.” Hah? Pria itu mengenalku di saat yang lain masih nampak asing ketika melihatku. Padahal, seingatku kami baru bertemu pertama kali ini. Sebelumnya, bahkan waktu di rumah Nathan, Raka tak kulihat di sana. Selain itu, Habibah adalah nama

  • Terpaksa Menikah dengan Pria yang Kubenci   Bab 14

    “Tante, maaf, ya, aku udah buat Tante khawatir,” ucapku bernada menyesal saat menghampiri tante Sintia dengan membawa nampan berisi dua minuman dan camilan yang kuambil dari dapur. “Tadi data internet gak kuaktifkan, jadi pesan dan panggilan gak masuk,” lanjutku setelah sampai di sofa ruang tamu tempat jamuan pengunjung indekos. Ruangan yang tidak terlalu luas ini dikhususkan untuk orang tua atau saudara yang mengunjungi penghuni indekos Bu Erna. Letaknya berada di sebelah kanan kamar kos yang terdiri dari delapan kamar itu, tepatnya di samping rumah Bu Erna. “Gak papa, Sayang. Kan, tante memang berniat datang ke sini,” sahut tante Sintia lembut. Senyum ramahnya tak lupa juga mengiringi ucapannya setiap kali berbincang denganku, itu yang kusadari sejak awal. “Oh, iya, Habibah. Tante juga minta maaf, ya, gak datang sama Nathan. Dia sibuk banget. Jadi, tante minta Si Raka ini untuk nganter. Ini keponakan tante,” jelas tante Sintia melanjutkan. Oh, namanya Raka. Dia juga tampan, tak k

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status