Monika menelan salivanya dengan paksa. Ini pertama kalinya dia berada di jarak yang sangat dekat dengan seorang pria. Deru napasnya yang hangat menerpa, membuat keringat dingin mulai membasahi pelipisnya.
"Kita buktikan seberapa mesumnya pria tampan ini."
Rio menarik tangan Monika dengan paksa, membawanya ke ruang istirahat yang ada belakang sana. Tentu saja hal itu membuat Monika panik. Dia berusaha melepaskan cekalan tangan Rio, namun usahanya gagal.
"Tuan?!" Leo menghadang langkah atasannya. Dia menggeleng kuat, meminta tuannya untuk menghentikan apapun rencana busuknya.
"Kamu ingin melindunginya?" geramnya. Aura iblis menguar di sekitar tubuh. Dia sungguh murka, tidak terima rencananya untuk menyiksa wanita ini harus ditahan oleh Leo.
"Kita gunakan rencana cadangan!" Leo melirik tubuh Jonathan Wu yang terbujur kaku di lantai. Dia mengingatkan tuannya untuk memakai rencana kedua untuk menaklukkan wanita ini.
"Mari, Nona." Leo melepaskan cengkeraman Rio pada pergelangan tangan Monika dan membawanya menjauh dari pria yang berniat menunjukkan tajinya barusan.
Sebuah guci antik di depan Rio menjadi sasaran tendangan kaki kanannya. Pecahan keramik itu tersebar ke berbagai arah, membuat nyali Monika semakin menciut. Dia bersembunyi di balik tubuh Leo, berharap bisa melindunginya dari pria yang hampir saja menyerangnya.
Hening. Tidak ada suara apapun di ruangan minimalis ini selain deru air conditioner di pojokan.
Langkah kaki Rio terus berlanjut, sebelum sebuah debaman pintu terdengar. Berikutnya, suara gaduh segera mewarnai ruangan tertutup itu. Rio merusak apa saja yang ada di dalam sana. Dia memukul, menendang, menghantam benda yang ada dalam jangkauannya.
"Nona, silakan diminum." Leo menyerahkan segelas air putih pada wanita di hadapannya ini. Wajahnya terlihat pucat. Dia ketakutan akan apa yang baru saja didengarnya. Temperamental pria itu tak terkendali. Bagaimana nasibnya jika Leo tidak berhasil menahannya tadi? Entahlah.
"Tuan muda memiliki temperamen yang cukup buruk." Leo menjelaskan.
"Apa kematian ayahku, itu juga..." Monika tidak bisa melanjutkan pertanyaannya. Hatinya mencelos membayangkan betapa mengerikannya Rio saat menyiksa ayahnya.
"Maaf, Nona. Kami tidak bisa melakukan apapun untuk menyelamatkan ayah Anda. Jika saja pagi ini Anda langsung ikut dengan kami, mungkin saja..."
Monika menggeleng. Dia tidak ingin mendengar penjelasan itu. Perasaan bersalah segera merasuk ke dalam hatinya. Jika saja dia langsung ikut dengan orang-orang yang menghadangnya di depan kamar kos, mungkin nyawa ayahnya masih bisa diselamatkan. Tapi, dengan bodohnya dia justru kabur menuju minimarket tempatnya bekerja.
Bulir-bulir tanpa warna itu terus membasahi pipi tirus yang cantik ini.
"Nona, tidak ada yang bisa Anda sesali. Yang bisa Anda lakukan adalah menandatangani perjanjian ini. Anda harus menikah dengan tuan Rio Dirgantara. Itu satu-satunya cara agar ayah Anda bisa dimakamkan dengan layak."
Monika tetap menggeleng. Dia tidak mungkin menyetujuinya.
"Tidak. Aku tidak akan menandatanganinya. Aku tidak akan menikah dengan iblis itu."
"Nona, hati-hati dengan ucapan Anda." Leo memperingatkan. Suara gaduh di dalam sana tak lagi terdengar, menandakan bahwa Rio tengah menenangkan diri sambil mendengarkan asisten pribadinya yang berusaha membujuk wanita ini.
"Jika tuan mendengar ucapan Anda, dia bisa saja menggagahi Anda saat ini juga."
Monika berdiri dari duduknya. Dia tidak ingin ada di tempat terkutuk ini lebih lama lagi. Berbagi kata kasar keluar dari mulutnya. Dia menggertakkan gigi, marah pada Rio dan seluruh orang yang membuatnya susah, termasuk Leo.
Tepat saat itu Rio keluar dari dalam ruangannya. Dia mendekat ke arah mayat Jonathan dan menendangnya tanpa aba-aba.
"PAPA!!" pekik Monika detik itu juga. Dia berlari menghambur ke arah ayahnya yang terbujur kaku di lantai. Air matanya tak lagi terbendung, tumpah ruah membasahi wajah.
"PA..." Monika menggunakan tubuhnya sebagai tameng, membuat punggungnya terkena tendangan Rio yang sangat keras.
"Aargghh!" Monika mengaduh kesakitan. Rasa sakit luar biasa segera dia rasakan, membuat tubuhnya limbung seketika.
"Tuan?!" Leo menahan pria 31 tahun ini, mencegah tendangan kedua yang mungkin bisa membuat tulang punggung Monika patah.
"Nyonya Besar akan pulang minggu depan!" Peringatan Leo membuat kesadaran Rio kembali. "Jika Anda belum menikah, maka beliau akan menjodohkan Anda dengan wanita pilihannya."
Rio terlihat frustrasi. Dia tidak ingin terikat dengan wanita-wanita yang ibunya pilihkan. Bersama gadis sosialita itu seharian saja membuatnya mual, bagaimana bisa menyandingnya setiap hari? Yang benar saja!
"Ambil kontraknya! Jika dia menolak, buang mayat busuk ini ke hutan. Harimau dan serigala liar akan menerimanya dengan senang hati!"
Detak jantung Monika terhenti sepersekian detik. Dia semakin erat memeluk tubuh Jonathan, mengabaikan rasa sakit yang menjalar di sekujur tubuhnya sendiri.
Monika tidak rela jika mayat ayahnya harus menjadi santapan hewan liar di hutan. Tapi, menikah dengan pria arogan ini juga tidak bisa dia setujui begitu saja. Ada Devan, kekasihnya yang siap menghalalkannya akhir tahun ini.
Monika kembali berpikir. Pilihan ini sulit, bagaikan memakan buah simalakama. Semuanya merugikan untuknya. Dia tidak ingin memutuskan hubungannya dengan Devan, tapi tak bisa mengabaikan ayah kandungnya sendiri.
Apa yang harus dia lakukan? Haruskah dia menikahi CEO mesum ini? Tidak adakah jalan lain untuk menyelamatkan diri?
Bersambung...
Tiga tahun kemudian ...."Daddy," panggil gadis dua setengah tahun yang kini memanjat dada bidang ayahnya."Hmm. Alea?" Rio mengerjapkan mata, namun belum membukanya. Dia masih dikuasai kantuk dan ingin terpejam sebentar lagi.Mentari bersinar hangat di musim semi, bersamaan dengan aroma bunga sakura yang diam-diam menelisik hidung. Di sebuah hunian mewah dengan dekorasi minimalis, seorang pria tidur terlentang di atas sofa bed bersama putrinya."Dad ...." Jemari mungil Alea meraba dada bidang Rio yang tertutup kaus putih. Aroma bayi yang menyegarkan menguar, menyapa indera penciuman sang ayah.Tiruan Monika itu mengulurkan tangannya, mengelus pelipis pria yang menjadi cinta pertama dalam hidupnya. Sama seperti sang ibu yang suka mencium pipi Rio diam-diam saat tidur, Alea juga melakukan hal yang sama. Dia mendaratkan kecupan sayangnya sekedip mata di rahang kokoh ayahnya yang ditumbuhi cambang tipis.Rio mengangkat kedua alis sebelum balas
"Sweety, ada dua bayi di dalam perutmu?" tanya Rio tidak percaya, menatap Monika dengan pandangan yang penuh binar bahagia. "Kita akan punya twins baby?"Anggukan kepala terlihat, membuat kebahagiaan yang Rio rasakan semakin berlipat-lipat. Dia tidak pernah menyangka kalau dalam satu waktu akan ada dua buah cinta yang melengkapi kebahagiaannya dengan Monika. Seolah semua hanya mimpi, tidak pernah terjadi."Aku juga baru tahu."Rio memeluk istrinya, menyalurkan rasa cinta yang begitu luar biasa. Mereka baru sempat melakukan pemeriksaan kandungan setelah kondisi Rio benar-benar membaik. Observasi lanjutan pasca siuman harus dijalaninya selama dua minggu."Kondisi istri Anda baik, kedua janin di dalam perutnya juga sangat baik. Namun, alangkah baiknya jika porsi makannya ditambah lagi. Kebutuhan gizi dua anak tentu berbeda dengan kehamilan tunggal.""Saya akan memperhatikannya, Dok." Rio menjawab penuturan dokter kandungan di hadapannya dengan bahasa
"Sweety, aku merindukanmu."Suara Rio yang lirih dan dalam berhasil membuat bulu roma Monika meremang seketika. Dia tidak tahu bagaimana bisikan itu bisa membuatnya jadi seperti sekarang ini, hang, blank, tidak bisa berpikir sama sekali."Apa kamu tidak merindukanku?"Melihat Monika tak merespon, Rio sengaja menggelitik perut istrinya, membuat bola mata sipitnya membulat seketika. Dua tangannya langsung menahan tangan Rio yang masih ada di dalam blouse putih yang dipakainya."Hubby?!" Kali ini tatapan tajam yang ia hadiahkan pada suaminya. Tak cukup sampai di sana, Monika juga segera berdiri, menjauh dari jangkauan tangan suaminya yang nakal.Gelak tawa Rio terdengar menggema, merasa bahagia melihat istrinya kembali sadar. Entah pergi ke mana akal sehatnya beberapa saat lalu, terlihat dari wajah cantik yang tampak bodoh."Berhenti bermain-main. Kamu koma satu minggu dan hampir meregang nyawa. Semua orang panik saat detak jantungmu berhenti k
"Rio," panggil Eva, memeriksa Respon putranya yang tampak mengerjapkan mata namun tak membukanya. Jemari tangan Rio bergerak perlahan, menunjukkan kalau kesadarannya sudah mulai kembali. Dia mendengar panggilan ibunya, tapi masih berat untuk melihat dunia di hadapannya. "Rio, kamu dengar ibu?" ulang Eva, menyentuh pipi putra semata wayangnya yang dilaporkan mengalami tanda-tanda akan bangun dari koma. Tak sia-sia dia dibawa ke Jepang dan mendapat perawatan intensif selama satu pekan. Wajah cantik Evalia menjadi pemandangan pertama yang Rio lihat begitu ia membuka mata. Namun, terlihat buram bersamaan rasa nyeri yang terasa di pangkal hidungnya seperti orang bangun tidur. "Dok, kondisi pasien sudah stabil," lapor perawat yang bertugas melakukan observasi lanjutan pada Rio. Eva mengangguk, sekilas melihat angka yang terpampang di monitor. Pandangan selanjutnya tertuju pada tabung ventilator yang tampak berembun semakin banyak, menunjukkan
"Dear," panggil Eva, memeluk bahu menantunya dari samping. Dia menemui Monika di ruangan khusus yang disediakan oleh pihak rumah sakit untuk keluarga pasien. Kondisi Rio yang semakin menurun memaksa Eva harus menyetujui saran suaminya, membawa anak mereka ke negeri sakura untuk mendapat perawatan lebih lanjut. Tidak ada jalan lain. Dia harus mengupayakan penyelamatan yang terbaik untuk putranya."Ayo temui Rio," ajaknya, "kondisinya sudah semakin baik. Kemungkinan hari ini dia akan siuman."Namun, hanya gelengan kepala yang terlihat dari wajah cantik Monika. Pipinya tampak semakin tirus. Dia tidak makan, juga tidak istirahat dengan baik seminggu ke belakang. Pemikirannya tertuju pada Rio. Rasa bersalah masih terus membayang, membuatnya bungkam seribu bahasa."Sayang, sudahi kesedihanmu. Jika kamu terus seperti ini, tidak baik untuk buah hatimu. Dia ikut tertekan dan tidak bahagia di dalam sana."Lagi-lagi gelengan kepala yang tampak di wajah Monika, bersa
"Mommy," panggil Clara, menggoyangkan lengan Liliana dengan gerakan yang cepat dan tidak sabar. Netranya menatap sekeliling, menyadari kalau mereka berada di tempat antah berantah yang sepi dan lengang. Rumput ilalang yang tinggi mengepung mereka yang masih ada di dalam mobil."Ada apa?" Liliana mengerjap matanya dua kali, merasa enggan meladeni panggilan tadi. Tubuhnya terlalu lelah, ingin istirahat sedikit lebih lama lagi. Mereka berkejaran dengan sesuatu yang entah apa, seperti kriminal yang lari dari kejaran polisi. Meski kenyataannya, justru Hans dan orang-orangnya lebih mengerikan dari para petugas berseragam coklat muda itu."Kita ada di mana?""Hmm? Di mana?" Liliana mengambil alih kesadarannya, menatap Clara dengan pandangan heran. Isi kepalanya berputar, mencoba mengingat apa yang terngah terjadi pada mereka. Bukankah Clara yang memesan taksi online ini? Kenapa dia terlihat panik?Dengan enggan Liliana menatap arloji di tangannya, mendapati jaru