"Leo, siapkan kontraknya!"
Belum sempat Monika menghapus air matanya, pria berpakaian hitam yang tadi membawanya kemari muncul di balik pintu. Di tangannya terdapat satu stopmap warna merah menyala.
"Bangun!" Suara dingin itu kembali menggema, menyuruh Monika untuk berdiri dari tempatnya memeluk mayat yang semakin memucat.
"Nona Monika, silakan," ucap pria yang diketahui bernama Leo tadi. Dengan isyarat tangannya, dia meminta Monika duduk di salah satu kursi yang ada di ruangan ini.
Monika masih terpaku di lantai, enggan meninggalkan ayahnya di sana. Tidak. Dia tidak ingin pergi barang sejengkal pun.
"Nona..." Leo tampak gusar. Entah kenapa wajahnya tampak khawatir, seolah berada dalam pilihan antara hidup dan mati. Dia mendekat dan berjongkok di depan Monika.
"Nona Monika Alexandra, silakan menghadap Tuan Muda. Jangan sampai membuatnya murka atau nyawa Anda taruhannya!"
Monika menelan salivanya dengan paksa. Nada bicara Leo sama seperti saat di mobil tadi, penuh penekanan, membuatnya ketakutan.
"Tapi..." Monika menatap wajah keturunan chinese yang ada di pangkuannya. Dia tidak tega membiarkan tubuh ayahnya tergeletak di sana.
"Mari," bujuk Leo dengan nada merendah.
Dengan berat hati, Monika ikut bersama pria bertubuh kekar ini, mendekat ke arah pria yang sedari tadi mengamatinya.
Sekali lagi, Monika menatap ke belakang. Tidak sampai hati meninggalkan Sang Ayah.
"Anak yang sangat berbakti," cibir pria yang duduk terhalang meja dari Monika dan Leo.
Monika tak menggubris ucapan pria ini. Dia tidak peduli dengan omongan orang lain. Entah apa komentar mereka, Monika berhak untuk menutup mata dan telinga.
"Berikan kontraknya!" titah pria ini sambil memerhatikan penampilan Monika dari ujung kaki ke ujung kepala. "Tidak buruk."
"Silakan duduk, Nona." Lagi-lagi Leo yang menjadi penghubung pria arogan ini dengan Monika.
Monika menurut. Dia duduk di salah satu kursi kosong di hadapan pria angkuh tadi. Papan nama di atas meja bertuliskan Rio Dirgantara.
"Nona Monika, silakan baca kontrak kerjasama ini. Setelahnya silakan bubuhkan tanda tangan atau cap jempol Anda di sana. Tuan Rio menjabat sebagai CEO di sini. Dia menginginkan kasus ini diselesaikan dengan damai."
Monika menatap dua pria di depannya secara bergantian sebelum membaca rentetan huruf di atas kertas. Di kontrak itu disebutkan bahwa Monika harus menikah dengan Rio atau mengganti uang dua miliar rupiah. Jika tidak, masalah ini akan dilimpahkan pada pihak berwajib.
"Kenapa saya harus menandatangani dokumen ini? Semua urusan keuangan ayah saya dipegang oleh ibu tiri saya, istri sahnya yang sekarang." Monika mengumpulkan keberaniannya. "Jika Anda ingin meminta ganti rugi atau semacamnya, temui saja dia. Saya tidak akan menandatanganinya."
Pria bernama Rio itu tersenyum pongah, salut akan keberanian wanita cantik di depannya. Jujur saja, hatinya bergetar saat melihat wajah ayu perpaduan Indonesia-Inggris ini. Sebagai laki-laki normal, hasrat liarnya bahkan mulai aktif, membayangkan bisa mencicipi bibir ranum berwarna peach milik Monika.
"Tuan," panggil Leo, mengerutkan kening saat melihat tuannya diam saja sambil tersenyum tanpa sebab.
'Shit!' Rio mengumpat dalam hatinya. Entah kenapa dia tiba-tiba ingin memiliki wanita ini lebih dari apapun. Kecantikannya yang tiada tara, tidak pantas bersanding dengan pakaian kasir minimarket yang menempel di tubuhnya.
"Siapkan gaun sabrina dengan belahan dada rendah!" titah Rio tanpa sadar.
Dalam bayangan Rio, tubuh molek gadis ini lebih pantas saat memakai gaun sabrina dengan belahan dada rendah seperti yang dia ucapkan barusan. Pakaian itu akan membuat seluruh bahu Monika terekspose. Leher jenjangnya nan putih dan mulus terlihat sempurna, sangat pas untuk mendapat kecupan hangat dari bibirnya. Membayangkannya saja sudah membuat libido pria ini melonjak seketika.
"Maaf?" Leo tidak yakin dengan apa yang tuannya katakan. Mereka tengah membujuk Monika untuk menandatangani pertanggungjawaban uang yang Jonathan hilangkan, bukan membahas fashion atau semacamnya.
Pikiran liar Rio semakin menggila. Dia menelan salivanya dengan paksa, membayangkan Monika berjalan menuju ke arahnya dengan gaun warna merah yang seksi. Lekuk tubuhnya terlihat pas dengan gaun itu, membuat pria mana saja ingin langsung menerkamnya.
"Kemarilah sayang, duduk di pangkuanku." Lagi-lagi Rio bermonolog, belum tersadar dari imajinasinya sendiri.
"Pria gila!" ketus Monika. Dia berdiri detik ketika Rio menjilat bibirnya sendiri. "M*sum!"
"Tuan?!" Leo menggoyangkan lengan tuannya, membuat lamunan pria itu terhenti seketika.
"Apa?" tanya Rio tanpa sadar Monika tak ada lagi di hadapannya.
Leo menunjuk surat perjanjian yang masih utuh di atas meja, belum ada tanda persetujuan dari Monika sama sekali. Bahkan wanita itu berjongkok di depan mayat ayahnya, berusaha memangku ayahnya seperti semula.
Hal itu membuat Rio marah. Matanya berkilat tajam penuh dendam.
"Monika Alexandra!" teriak Rio.
Monika menolehkan kepalanya sekilas, sebelum kembali sibuk membersihkan darah yang mulai mengering di wajah ayahnya. Ini adalah hal terakhir yang bisa dia lakukan untuk ayahnya. Monika tak lagi peduli dengan pria yang kini tampak murka.
Tanpa Monika sadari, Rio kini ada di sebelahnya, menarik tangannya dengan paksa untuk berdiri.
"Wanita tidak tahu diri!"
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi kiri CEO Dirgantara Artha Graha.
"Jaga mulut Anda!" Monika menatap wajah Rio dengan penuh emosi. "Dasar CEO m*sum!"
Kemarahan Rio semakin menjadi-jadi, terlihat dari kilatan matanya yang semakin tajam.
"M*sum katamu?" Rio mendekatkan tubuh kekarnya ke arah Monika, menghimpitnya ke dinding. Hal itu membuat mata sipitnya membola. Apa yang akan Rio lakukan?
Bersambung....
Monika menelan salivanya dengan paksa. Ini pertama kalinya dia berada di jarak yang sangat dekat dengan seorang pria. Deru napasnya yang hangat menerpa, membuat keringat dingin mulai membasahi pelipisnya. "Kita buktikan seberapa mesumnya pria tampan ini." Rio menarik tangan Monika dengan paksa, membawanya ke ruang istirahat yang ada belakang sana. Tentu saja hal itu membuat Monika panik. Dia berusaha melepaskan cekalan tangan Rio, namun usahanya gagal. "Tuan?!" Leo menghadang langkah atasannya. Dia menggeleng kuat, meminta tuannya untuk menghentikan apapun rencana busuknya. "Kamu ingin melindunginya?" geramnya. Aura iblis menguar di sekitar tubuh. Dia sungguh murka, tidak terima rencananya untuk menyiksa wanita ini harus ditahan oleh Leo. "Kita gunakan rencana cadangan!" Leo melirik tubuh Jonathan Wu yang terbujur kaku di lantai. Dia mengingatkan tuannya untuk memakai rencana kedua untuk menaklukkan wanita ini. "Mari, Nona." Leo melepa
"Ambil kontraknya! Jika dia menolak, buang mayat busuk ini ke hutan. Harimau dan serigala liar akan menerimanya dengan senang hati!" titah Rio pada asisten pribadinya, membuat Monika menggelengkan kepala. Dia tidak ingin tubuh ayahnya menjadi santapan hewan buas. "Jangan!" Monika coba melindungi ayahnya. Dia semakin mengeratkan pelukan pada tubuh pria yang semakin terasa dingin ini. "Nona Monika, tolong kerjasamanya." Leo berjongkok di sisi badan Monika sembari menyodorkan stopmap merah yang ia bawa. "Silakan." Dengan tangan gemetar, Monika terpaksa mengambil pena yang Leo berikan. Dia menandatangani perjanjian itu dengan air mata berlinang. Hatinya sakit, perih, seperti tertusuk ribuan sembilu. Cita-citanya untuk menikah dengan Devan pupus sudah. Dia justru akan menjadi istri kontrak pria tak dikenalnya. "Urus sisanya! Aku tidak mau tahu." Rio pergi, membanting pintu di belakangnya tepat setelah perjanjian itu ditandatanga
Rio kembali memasang wajah angkuh, kemudian berbalik menuju pintu yang menghubungkannya dengan ruangan pemotretan. Tangan pria ini mengepal erat, berusaha menenangkan jantungnya yang seolah ingin melompat keluar dari tempatnya. "Silakan, Nona." Leo mempersilakan gadis ini untuk menyusul Rio. Dia meraih tangan Monika dan membimbingnya berjalan agar tidak terjatuh. Di belakang mereka, dua orang pegawai butik membantu mengangkat pakaian pengantin yang terhampar di lantai. "Nyonya, ponsel Anda terus berdering." Seorang pegawai butik mendekat, menyerahkan benda pipih di tangannya pada wanita yang tengah membantu Monika berjalan di atas karpet merah. "Maaf saya permisi." Monika terhenyak saat wanita itu pergi begitu saja, membuatnya hampir terjerembab ke lantai. Dia tidak terbiasa memakai sepatu hak tinggi, langkahnya oleng saat kehilangan pegangan. "Hati-hati, Nona." Leo dengan sigap menangkap tubuh ramping Monika, mendekapnya dengan erat.
WARNING!!! 18+ BIJAKLAH DALAM MENYIKAPI SUATU BACAAN! * * * 'Shit! Dada indah itu!' geram Rio dalam hati. Cengkeraman tangannya di pinggang Monika semakin erat. Dadanya bergemuruh, ada gejolak yang tak bisa dia kendalikan. Semacam rasa ingin meraup, mencecap, dan menikmati kehangatan di dalam sana. Rio menarik pinggang Monika, membuat tubuh keduanya saling menempel. Napas pria itu semakin memburu, bersamaan dengan dadanya yang naik turun tanpa bisa dia cegah. "Rio," panggil Monika dengan suara yang lembut, membuat pikiran liar pria ini semakin menggila. Matanya terpaku pada bibir seksi istrinya. Lengang. Tak ada suara apapun yang tertangkap oleh indera pendengarannya kecuali panggilan Monika tadi. 'Aku tidak bisa menahannya lagi,' geram pria 31 tahun ini dalam hati. Tanpa aba-aba, Rio mendekatkan kepalanya pada Monika dan siap mencicipi bibir ranum warna merah d
Monika keluar dari dalam ruang ganti dan mendapati Leo berdiri membelakanginya. Tampaknya pria ini sengaja menunggunya di sana. "Ini ponsel dan tas Anda." Pria berpakaian serba hitam itu memberikan benda yang Monika tinggalkan di minimarket pagi ini begitu keduanya berhadapan. "Terima kasih," ucap Monika lirih. Dia memakai tas selempangnya dan kemudian duduk di bangku yang kebetulan ada di belakang tubuhnya. Hatinya hampa, mengingat ia baru saja kehilangan sosok yang begitu dia hargai. "Tuan menyuruh saya mengantarkan Anda untuk pulang. Mari." Monika tak merespon. Dia sibuk dengan pemikirannya sendiri. Sampai beberapa detik berlalu, wanita ini tak jua beranjak dari tempatnya. Tatap matanya kosong. Wajah cantiknya tampak sedikit pucat, membuat Leo khawatir. "Nona, apa Anda baik-baik saja?" Lagi-lagi Monika tak menjawab. Dia melirik Leo sekilas sebelum menangkup wajah dengan kedua tangannya. Leo salah tingkah. Dia tidak nya
Gemericik air segera terdengar dari dalam kamar mandi. Sampo beraroma greentea dan daun mint segera dia ratakan ke atas kepala, membuat mahkota indahnya tertutup busa. Setidaknya aromaterapi itu akan membuat tubuhnya lebih fresh. Beberapa menit kemudian, Monika keluar dari dalam kamar mandi dengan handuk melilit tubuh rampingnya. Langkah kaki gadis itu terhenti di depan pintu saat mendapati lampu utama di kamar ini padam. "Eh? Apa lampunya rusak?" Monika menghadap ke atas. Seorang pria yang bersembunyi dalam kegelapan hanya bisa menelan ludahnya berkali-kali. Pemandangan di hadapannya sungguh membuat libidonya naik seketika. Otak mesumnya segera bekerja, mengimajinasikan segala kenikmatan bersama wanita ini. 'Shit!" umpatnya dalam hati. Hasrat laki-lakinya terus meronta. Bagaimana tidak? Tetes-tetes air yang turun melalui ujung surai pirang Monika, mengalir membasahi leher putih mulusnya. Siluet tubuh gadis ini terlihat begitu seksi dan menggo
WARNING !!! 21+ BUKAN UNTUK DITIRU. BIJAKLAH MENYIKAPI SEBUAH BACAAN. * * * Lengang. Tak ada respon dari Monika. Gadis ini telah masuk ke alam bawah sadarnya, tak merasakan apapun yang Rio lakukan. Kelima panca inderanya berhasil dilumpuhkan dengan obat tidur dosis rendah yang pria mesum itu tambahkan ke dalam air putih. Ya, Monika tak tahu sama sekali bahwa Rio sudah menaruh serbuk obat di dasar gelas kaca miliknya. Pria ini benar-benar licik. Rio menatap jam di pergelangan tangannya, pukul tujuh malam. Waktunya masih panjang. Dia bisa mempermainkan gadis ini sesuka hatinya. Bibir ranum yang tertutup menjadi sasaran utama pria mesum ini. Terasa manis. Dia sudah terobsesi, ingin menikmati seluruh tubuh wanita ini. "Shit!" Rio mengumpat saat aktivitasnya terganggu oleh getaran ponsel Monika di atas nakas. Nama 'Lovely' terlihat di sana, membuat emosi Rio kembali datang. Adegan c
Monika mengerjapkan matanya beberapa kali. Sinar hangat mentari menelisik ruangannya, melewati jendela kaca yang telah terbuka. Samar-samar aroma pengharum ruangan menyapa indera penciumannya. "Anda sudah bangun, Nona?" Suara seorang wanita tertangkap telinga Monika, membuatnya terkesiap. 'Siapa?' batin Monika berkata. Gadis bersurai panjang ini membuka mata dengan paksa, mengabaikan kepalanya yang terasa berat. Perlahan retina matanya befungsi normal setelah mengedip beberapa kali. "Nona tertidur begitu lelap. Kami tidak berani membangunkan Anda." Monika menatap dua wanita berpakaian serba hitam yang berjarak beberapa langkah darinya. Keningnya berkerut, merasa tidak pernah bertemu dengan mereka sebelumnya. Gadis itu duduk dan menatap jam digital di atas nakas, pukul enam pagi. "Ini bisa meredakan sakit kepala yang Anda alami. Silakan, Nona." Lagi-lagi wanita yang tidak Monika ketahui identitasnya ini tersenyum ramah. Tangannya terulu