Malam terlalu larut untuk pulang sebaiknya menginap saja Nak Raja. Begitulah ucapan Bu Dian kepadaku di saat aku ingin berpamitan pulang dari rumahnya.
Sempat aku melirik Rindu yang hanya tertunduk lesu dengan tatapan mata kosong di ujung sofa ruang tamu. Kasihan dia betapa sungguh terpukul hatinya akan kematian Mas Danang.
“Apakah baik Bu saya menginap malam ini di sini. Sedangkan tetangga-tetangga Ibu sudah kepalang tahu. Jikalau Rindu akan menikah dengan Mas Danang. Apakah tiada kecurigaan berlebihan oleh mereka bila mengetahui aku menginap malam ini,” aku coba menolak dengan cara halus tanpa mengurangi rasa sopan santun dan segala hormat pada seorang Ibu tua di depanku ini.
Lalu Pak Bandi segera berdiri mendekati kami yang tengah berdiskusi tentang pulang atau menginap di balik pintu. Aku sudah dapat menebak apa yang beliau katakan. Tentunya beliau juga akan mencegahku untuk pulang dan menginginkan aku menginap saja.
“Benar Nak Raja malam sudah sangat gelap untuk berkendara sendirian. Apa tidak sebaiknya Nak Raja menginap di sini malam ini. Masalah tidur kita ambil kasur yang Rindu beli untuk pernikahannya. Sayang kalau kasur itu tidak terpakai,” dan benar tebakanku bahwa Pak Bandi jelas menghalangiku untuk pulang.
Sekilas aku tersentak sebab bayangan Mas Danang seolah ikut hadir malam ini. Bahkan terlihat jelas tatapan Rindu seolah tersenyum dab mengerti akan kehadiran bayangan Mas Danang.
Betapa hatiku sanggatlah terpukul dan kembali begitu ingin menangis. Betapa kerinduan walau baru kemarin Mas Danang dimakamkan belum jua kering tanah pemakamannya.
“Baiklah Pak Bandi dan Bu Dian saya akan menginap malam ini di sini. Tetapi izinkan saya untuk tidur di kamar Rindu,” dengan terpaksa dan rasa menepis akan kerinduan ingin terus melihat bayangan Mas Danang. Aku mengiakan keinginan dua orang tua yang terus bermuram durja atas keadaan putrinya tersebut.
Tetapi aku mengajukan syarat yang mungkin tak masuk diakal mereka berdua. Bisa jadi mereka langsung menolak mentah-mentah atas permintaanku. Separuh akan tujuan serta maksud permintaanku memang tetap menolak secara halus.
Agar mereka urung memintaku untuk menginap. Maka dari itu aku menyetujui menginap tetapi meminta untuk tidur bersama Rindu. Bahkan orang tua mana yang setuju apabila anak gadisnya tidur dengan cowok tanpa ikatan apa pun jua.
Tetapi jawaban dari Pak Bandi membuat aku tersentak. Sesaat setelah mereka berdua saling memandang di depanku. Seolah mata mereka beradu tatapan dan berunding tanpa suara.
“Baiklah Nak Raja kami mengizinkanmu untuk tidur bersama Rindu malam ini. Tetapi kami minta dengan teramat sangat dan kami memohon dengan hati baik Nak Raja. Tolong jangan lukai kepercayaan hati kami atas Nak Raja,” ucapan Pak Bandi semakin membuat aku tak enak hati. Semakin membuat seolah aku adalah seorang yang mereka harapkan menolong mereka untuk kelangsungan hidup keluarga mereka.
Bahkan aku bertambah kaget ketika kedua orang tua Rindu di depanku berlutut dan memohon kepadaku. Mereka memintaku untuk tetap tinggal malam ini. Tidak kembali pulang dan menginap semalam dan mereka tetap menyetujui kalau aku tidur bersama rindu.
“Terima kasih Nak Raja sebab mau menolong kami untuk menemani Rindu. Mungkin dengan cara ini Rindu perlahan akan sadar dan mengingat kembali. Nak Raja memang lelaki yang baik dan maafkan kami. Sudah memasukkan Nak Raja pada suasana yang sulit ini,” begitulah ucapan Bu Dian sambil meneteskan air matanya.
Betapa aku tak memiliki hati bila membuat seorang Ibu menangis. Tapi apalah daya pria di dalam diriku ini untuk menolak permintaannya. Bahkan aku tak mengerti ini salah atau benar dimata Sang Pencipta. Tetapi entah seakan sosok bayangan Mas Danang dalam mimpi itu. Seakan terus mengarahkanku pada Rindu.
“Mas Danang mari kita ke kamar,” Rindu datang padaku dengan memanjakan wajahnya. Bahkan Rindu masih memanggilku sebagai Mas Danang. Ingin rasanya aku mengatakan padanya jikalau aku bukan kakakku. Tetapi aku adalah adiknya yang memang berwajah mirip dengan kakakku Danang.
Aku mencoba menetralkan hati dengan menengok sebentar dua wajah orang tua Rindu. Mereka hanya mengangguk lemah tanda menyetujui apa yang diinginkan Rindu. Mungkinkah ini sebuah istilah bagi orang tua yang tidak terlalu tega pada anaknya.
Walau anaknya justru menjurus akan perilaku yang kurang tepat. Walau secara tidak menyadarinya kalau itu salah. Tetapi demi ketenangan anaknya maka orang tua mengiakan saja.
“Baiklah Mbak Rindu mari aku akan mengikuti langkahmu,” lalu aku raih jabatan tangan Rindu perlahan dan ia tampak heran dengan panggilan Mbak Rindu. Bukankah Mas Danang tiada pernah memanggilnya dengan sebutan itu.
“Kenapa Mas Danang memanggilku dengan sebutan Mbak Rindu? Bukankah sebentar lagi kita akan menikah. Lalu kita akan menjadi pasangan suami dan istri,” Rindu mulai meneteskan air matanya dan lekas aku mengusapnya perlahan.
Hatiku mulai terenyuh dan tiada tega melihat linangan air matanya. Apa aku mulai tertarik dengan rasa iba pada Rindu. Tidak menurutku dia milik Mas Danang kakakku dan aku harus tetap mengekang rasa apa pun jua untuk Rindu.
“Maaf sayang aku hanya menyebut nama Rindu ketika aku benar-benar ingin memastikan cintamu. Hanya sekedar menggodamu agar kau tahu betapa kasih dan sayangku tak terbatas hanya sebuah panggilan semata. Mari kita tidur dan hari sudah terlalu larut untuk membuka mata,” Rindu tampak senang dengan sedikit ucapan dan rayuan yang aku katakan.
Bibirnya mulai terkembang kembali dengan sedikit senyum tipis. Lalu jabatan tangannya erat menggeretku ke dalam kamarnya. Walau aku masih memiliki rasa tidak enak hati pada kedua orang tua Rindu.
Aku masih menengok ke belakang untuk melihat mereka dan berharap mereka mencegah Rindu. Mengurungkan niat kami untuk tidur bersama satu kamar berdua. Tetapi apa yang aku lihat hanya senyum terkembang dengan penuh kepedihan di bibir tua hampir termakan usia.
Setelah Rindu menutup pintu dan mulai merebahkan tubuhnya. Aku masih mencoba menyadarkan diriku untuk tak jauh melangkah ke dalam gelap jurang nista bernama dosa. Tapi Rindu terus merayuku dengan begitu dahsyatnya.
Rindu terus merengek melarangku untuk merebahkan tubuh di bawah ranjang. Bahkan ia ingin untuk aku tidur di sampingnya satu selimut berdua.
“Mas Danang sudah berjanji tiada yang dapat memilikiku selain Mas Danang. Aku mendengar percakapan Ayah dan Ibu semalam untuk membatalkan pernikahan kita. Lebih baik aku mengakhiri hidupku bila itu benar terjadi. Tidurlah di sampingku Mas dan raihlah teguk madu yang aku suguhkan dengan penuh cinta. Bukankah sari pati tubuh ini sudah sepenuhnya milikmu,” Rindu terus meracau dengan kata-kata tidak jelas dan cenderung membuat aku bingung.
Betapa aku masih tidak menyadari apa dan siapa Rindu ini. Bukankah dia tidak menyadari kalau aku adalah Raja bukan Danang. Sempat jua ada pertanyaan di benakku bahwa.
Apa mungkin bila seseorang sudah begitu dalam suasana yang tidak dapat mengontrol pemikirannya sendiri. Maka dia sendiri sudah dalam pengaruh alam bawah sadarnya.
Aku hanya mematung bingung menghadapi tingkah-tingkah Rindu dengan segala yang menurutku tidak baik. Tetapi tiba-tiba Rindu menyerangku dengan cumbuan-cumbuan secara gencar. Hingga aku tak mampu melawan untuk menolaknya dari sisi lelakiku.
Sekali bisiknya lembut ditelingaku malam ini, “Mas Danang terima kasih atas benih yang kau tanam.”
Betapa aku tersadar akan membuat kesalahan besar yang harusnya tak aku lakukan. Betapa mataku kali ini menetes dengan rasa pedih. Malam ini rasanya aku melihat Mas Danang duduk di sofa kecil pojok kamar dengan ratapan dan tangisan.
Lalu apakah jadinya cerita antara aku dan Rindu. Apakah kehancuran yang akan aku terima dengan noda besar yang terus membayangiku. Aku merasa salah, aku lelah dan aku kalah.
Esok pagi menjelang dan aku lekas pergi dari rumah Rindu sebelum subuh datang. Aku masih tidak terbayang betapa aku bersalah dengan mendiang almarhum Mas Danang. Bukankah Rindu hanya milik Mas Danang. Kenapa aku menyentuhnya bahkan untuk seluruh milik Mas Danang yang ada pada diri Rindu. Pagi ini belum teramat terang benar dan aku sudah meninggalkan Rumah Rindu teramat jauh. Namun saat ini aku berkendara dengan keadaan kalut bercampur bingung. Bagaimana bisa istilah Turun Ranjang ini ada di dalam satu adat istiadat tanah Jawa. Bagaimana bisa seorang yang tidak tahu menahu akan satu hubungan yang semestinya bukan milikku. Harus aku miliki dengan suka rela dalam keadaan tiada rasa cinta di dalamnya. Kabut masih menebal dan masih terlalu gelap saat aku melintasi jalan-jalannya. Sejenak roda dua yang aku kendarai menepi di satu trotoar jalan yang aku lintasi. Sekedar melepas penat dengan sebatang dan sebotol minuman kemasan yang dibawakan oleh Bu Dian saat aku berpamitan dengan belia
“Asallamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, Asallamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,” Bunga tampak ayu dibalut mukena biru berenda ungu di atas sajadah merah dengan motif bunga-bunga. Matanya teduh agak basah menetes hingga mukena. Kedua tangannya menengadah ke atas dengan segala harap dan memohon. Bibirnya yang masih tampak ranum mulai melafazkan kalimat-kalimat doa, zikir dan selawat. Bagaimana pun jua dia masih ada rasa sayang dan keinginan tetap bersama dengan Raja. Rasa cintanya tetap menggebu-gebu ingin bersatu sejiwa dengan Raja. Tetapi apa daya tangan tak sampai pada lengan Raja yang mungkin di waktu hampir terang ini Raja bersama Rindu jua. “Allah Ya Tuhanku maafkanlah aku bila meminta dengan menangis. Apabila Raja memang benar jodohku maka berilah hamba satu keajaiban untuk bersamanya. Namun apabila memang dia bukan milikku. Maka relakanlah hati ini untuk menjauh darinya,” usapan penuh keheningan dari dua telapak tangan Bunga. Mengusap wajahnya yang ayu alami. Tampak
“Bukankah itu Bunga di dalam taksi. Hendak ke mana dia pagi-pagi begini? Bukankah terlalu pagi untuk bepergian. Apa dia sudah mendapatkan pekerjaan lagi di kota lain?” aku coba memacu motorku agak mendekat ke arah taksi yang dinaiki oleh Bunga. Benar juga Bunga tampak tengah berpamitan pada teman-teman kosnya. Mereka seakan melepas bunga dengan lambaian tangan untuk yang terakhir kalinya. Sejenak aku letakkan motor menghadang laju taksi. Aku sudah tidak peduli hidup atau mati. Bahkan bila pagi ini memang aku harus mati, karena tertabrak taksi. Aku rela agar terlepas semua beban ruwet semrawut di dalam otakku. Aku mulai berdiri menantang maut di tengah jalannya. Bila memang Bunga akan pergi aku harus meminta maaf padanya. Mungkin juga ia pergi tak akan kembali ke kota ini lagi. Tentu aku tak ada kesempatan untuk bertemu dia lagi. Bahkan untuk mengucapkan kata maaf aku harus rela mengorbankan seluruh hidup dengan menantang maut. Sebenarnya lakon apa yang aku jalani? Sebenarnya milik
“Siapa sih yang usil sepagi ini, masih belum jam enam loh ini. Woi sini maju sekalian ambil orangnya jangan motornya saja. Kita duel satu lawan satu kalau kalian memang berani!” aku agak bingung bercampur kesal sambil teriak-teriak tak karuan sendiri di area tempat parkir pemakaman. Namun suasana hening masih saja tercipta tiada suara. Walau ada suara hanya ada suara jangkrik dan suara kodok yang senang akan datangnya hujan kala subuh tadi. Lalu aku mendengar suara langkah yang menginjak dedaunan. Tak jauh dari tempatku berdiri sambil kebingungan mencari motorku yang hilang. “Oh kalian mau main-main ya sama saya. Baik tunggu saja di situ dikira aku takut dengan kalian. Berapa pun jumlah kalian aku layani. Kalian jual aku borong, bukan lagi aku beli,” lantas aku berlari ke arah semak belukar sebelah luar pagar pembatas area makam dan jalan raya. Saat aku sudah benar-benar ingin mengambil dua sosok bayangan yang tengah mengintip dan mengendap-endap beberapa waktu lalu. Ternyata juga
Pagi itu Rindu membuka mata dari terpejam lelapnya semalam. Matanya berputar sekali mencoba menyibak keheningan suasana kamarnya. Tak lagi ia dapati sosok yang ia kira adalah Danang. Namun sebetulnya adalah Raja bukanlah Danang. “Kenapa kau pergi meninggalkan aku lagi?” riak hati Rindu mulai tersentak dalam. Sayatannya mulai kembali terbuka lebar. Rasa amat perih di lubuk sanubari mulai tumbuh lagi. Sepi kembali berjajar bagai satu raksasa besar dengan cakar-cakar tajam menghardik Rindu. Setidaknya begitulah khayalan yang tercipta dalam otaknya pagi ini. Tubuhnya masih lusuh lemas sebab ia merayu Raja yang ia anggap Danang semalam. Sebab ia menginginkan sepenuhnya Raja yang ia anggap Danang menjadi miliknya selalu di sisinya. “Kamu pergi ke mana Mas Danang?” Rindu bersandar pada dinding di atas kasurnya. Tubuhnya mulai menggigil dan ia balut penuh dengan selimut putih bergaris-garis hitam dan mulai bersendiku. Entah kenapa setelah kematian Danang, air mata Rindu seakan tiada
“Bro mau ke mana tunggu dulu lah. Kita seduh kopi bareng lagi seperti dulu. Kebetulan aku bawa dua bungkus kopi dari gang depan. Kangen juga aku bicara berdua denganmu. Aku cari-cari enggak ada, eh ternyata ada di sini. Tidak apalah walau di depan area makam jadilah,” begitulah Agung berteriak memanggilku dari kejauhan. Tampak ia membawa satu kantung keresek berisi dua bungkus kopi hitam. Setelah dia tepat di sampingku malah memelukku erat. Seakan kita lama sudah tidak bertemu atau seakan ini adalah satu salam perpisahan antara teman. “Apa sih Gung kamu ini, kayak aku cewek saja tiba-tiba main peluk, hi najis! Ada apa sih Gung. Ada apa seolah kamu mencariku dan ingin mengatakan hal penting saja?” aku mencoba menarik pembicaraan biar Agung mengatakan maksud dan tujuannya langsung. “Ets, selo Boy jangan terburu nafsu. Kamu ini Raja sudah berubah sekarang ya. Bahkan kita berlima sudah tidak lagi berkumpul seperti dahulu. Bunga sudah pergi pulang ke kampungnya dan tak akan kembali. Ron
Kereta api telah berlari kencang di antara perbukitan. Tertatih menyibak terangnya sang surya menuju selatan jauh. Ada berbagai macam wajah dengan ukiran ribuan kisah di kening mereka. Ada kisah pilu tentang sebuah kekalahan dalam masa perantauan di kota besar. Ada kisah bahagia akan keberhasilan membawa upah dan tabungan menuju kampungnya. Setelah beberapa dekade berusaha meraih cita dan cinta. Tetapi Bunga bersandar layu di samping jendela di salah satu bangku panjang gerbongnya. Tetapi Bunga menatap menerawang pandangan kosong. Walau ribuan wajah berceloteh tentang sebuah perjuangan di sekitarnya. Dalam matanya di dalam ingatan benaknya. Hanya sebuah bayangan-bayangan masa lalu tentang sebuah kerinduan bersama Raja. Namun masa lalu adalah hal kemarin yang tertinggal. Tak mampu lagi Bunga mengulang kisah indah bersama Sang Raja di hatinya. Huftz, nafasnya tampak berat terdengar sengal agak sesak di dadanya. Tiba-tiba air matanya menetes tanpa ia rasakan atau tanpa otaknya atau b
Sementara itu pagi di rumah Raja. Pak Khotim tampak cemas menunggu kepulangan Raja. Matanya terus memandang jalan depan rumah. Melihat serta meneliti pengendara motor yang sedang melintasi depan rumahnya. Harapannya ada sosok Raja putranya yang tinggal hanya Raja datang lalu mencium tangannya dan berkata aku pulang Ayah. Tetapi hingga hitungan keseratus pengendara yang tengah lalu-lalang. Melintasi depan rumahnya tak jua kunjung datang Raja dari rumah Rindu. “Bu, Ibu, apa belum ada kabar dari Raja. Kenapa sampai siang seperti ini dia tidak pulang? Bahkan beberapa kali orang dari kantor Danang ke mari mencarinya. Apa dia langsung ke kantor atau malah masih di rumah Rindu?” ucap Pak Khotim masih celingak-celinguk di depan teras rumahnya. “Apa Ayah, Ayah tadi ngomong apa. Maaf Ibu sedang di belakang di dapur, Ibu sedang masak masakan kesenangan Raja,” sahut Bu Juariah bergegas menghampiri Pak Khotim dengan berlari-lari kecil. “Oalah Ibu, Ibu, anak kita Raja kenapa belum pulang dari