Kantor PT. Broto,
Siang yang panas di atas area perkantoran kota Bangzo. Bahkan aspal di setiap depan blok setiap kantor terasa bagaikan memuai saja.Sementara itu di dalam area perkantoran milik Pak Broto. Terdengar sebuah pintu dibanting dan terbuka secara paksa.Brak,“Bandot tua sudah kesal aku dengan tingkah lakumu Broto. Aku berhenti dan aku sudah tidak tahan menutupi perilaku bejatmu itu!” terlihat Bunga dengan pakaian tampak acak-acakan keluar dari dalam ruangan Pak Broto. Berjalan dengan tergopoh-gopoh menuju ke meja kerjanya.Sekali ambil tas dan beberapa peralatannya terkemas sudah. Tampak kedua mata bunga teramat marah. Bahkan saking marahnya ia sampai meneteskan air mata merasa begitu jengkel.Agung yang begitu terkejut sontak berdiri diikuti Ambar dan sepasang pengantin baru Roni dan Siti. Mereka lantas mencegat langkah Bunga untuk keluar dari kantor. Bukan untuk mencegahnya berhenti bekerja, tetapi hanya sekedar bertanya ada apa.“Bunga kenapa, ada apa, apa bandot tua itu berulah lagi?” ucap Agung mulai ikut tersulut emosi dan hendak langsung menuju ke ruangan Pak Broto. Kalau saja Agung tidak di pegangi tangannya oleh Bunga.Tentu Pak Broto mungkin sudah habis. Sebab Agung adalah sosok berbadan besar. Apalagi Agung mantan atlet tarung bebas dan hanya Raja yang mampu mengalahkannya.Bunga hanya merundung pergi dengan terus mengomel tak jelas. Bahkan tempat sampah di dekat pintu keluar sempat ia tendang. Gebrak membuat seisi tempat sampah berantakan.Beberapa sudut terdengar beberapa ocehan tak mengenakkan hati. Tak enak di dengar dari beberapa karyawan yang pro pada Pak Broto.“Dasar wanita murahan, pasti Bunga itu tengah merayu Pak Broto,” cibir mereka begitu sinis.Namun olok-olokan dari mereka disambut lemparan beberapa buku oleh Agung. Sing, wing, beberapa buku melayang.“Woi diam kalian semua, tidak usah sok tahu kalau tidak tahu duduk permasalahannya. Bos kalian itu hanya berkedok di depan kalian saja baik. Nyatanya dia adalah Bandot tua berwajah mesum. Karena sudah lama tidak dibelai seorang perempuan!” teriak Agung begitu marahnya.“Keluar kalian berlima, saya sudah tak membutuhkan jasa kalian lagi. Walau tanpa kalian berlima, apalagi Raja yang sok manja itu. Baru ditinggal mati Kakaknya saja cengeng. Aku dan agensiku akan tetap berjalan walau tanpa kalian!” koar Pak Broto namun tetap di dalam ruangannya tidak berani keluar.“Sudah-sudah Bro jangan diladeni orang tua itu. Sudah Agung jangan terpancing emosi nanti juga mampus sendiri dia. Kemasi barang-barang kalian dan sekarang juga kita ke rumah ketua kita Raja. Mau tidak mau kita harus berunding di sana walau tak enak hati. Sebab Raja masih dalam masa berkabung,” ujar Roni mencoba menenangkan yang lain.Lalu mereka berempat segera berkemas dan pergi keluar kantor tanpa berpamitan. Menyusul Bunga yang sudah pergi terlebih dahulu. Namun ternyata Bunga masih berada di dalam mobilnya bahkan sambil berteriak kesal.Roni dan Siti yang selalu berangkat menebeng Bunga. Sebab pasangan pengantin baru ini masih merintis belum memiliki mobil pribadi. Masih mampu sebatas membeli rumah itu jua sangat sederhana.“Bunga, Alhamdulillah kau masih belum pergi. Aku sempat takut kau meninggalkan kami dan berkendara dengan keadaan kalut. Mas Roni tolong gantikan Bunga mengemudi dia masih kalut. Tidak baik menyetir dengan keadaan hati penuh amarah,” ujar Siti meminta suaminya menggantikan Bunga menyetir.Lekaslah Roni berganti posisi dengan Bunga. Roni kini yang duduk di depan kemudi dan Bunga berpindah ke kursi belakang di samping Siti.“Maaf ya teman-teman, karena aku kalian jadi ikut keluar. Tadi sebenarnya jangan ikuti aku, kalian tak ada kaitannya dengan masalahku ini. Sebenarnya salah aku juga yang meladeni rayuan Broto itu,” ucap Bunga masih mengusap air matanya.“Oh sini, sini peluk dulu sayang, kami tidak akan meninggalkanmu Bunga. Sejak awal kita berenam sudah bersama-sama sejak masa kuliah. Kita bangun semua ini dari nol banget. Hingga kini kita dikenal dengan enam anak dari timur yang Jenius. Kami tak akan meninggalkan semua cita-cita kita itu,” bujuk rayu Siti agar Bunga tak kalut lagi.“Benar Siti kami tak akan meninggalkanmu tentu Angga dan Raja juga demikian. Apalagi Raja uh bisa saja dia lebih marah, malah bisa melebihi Angga kemarahannya. Aku pernah melihat di depan mataku sendiri. Kaca sekat dinding ruangan Pak Broto itu pecah berantakan hanya dengan ditatap tajam oleh Raja,” ujar Roni seraya mengemudikan mobil milik Bunga menuju rumah Raja.“Tapi Raja itu, anu dia tidak bisa mengelak dengan istilah turun ranjang itu loh,” ucap lirih Bunga malah kembali menangis di dekap Siti.“Sudah-sudah nanti kita cari solusinya untuk mengatakan pada Raja. Bahwa teman kita yang cantik satu ini benar-benar mencintainya,” timpal Siti kembali menenangkan Bunga.***Rumah Pak Bandi,Siang ini keluarga Pak Khotim telah bertamu ke rumah keluarga Pak Bandi. Mereka berkumpul hendak memusyawarahkan tentang kemungkinan acara turun ranjang. Alias Raja menggantikan Danang sebagai pengantin pria.“Menurutku kalau di dalam adat istiadat keluarga kami. Turun ranjang boleh-boleh saja, tapi Raja apa bersedia? Sebab pernikahan bukanlah untuk satu atau dua hari saja. Melainkan untuk membina biduk rumah tangga hingga akhir kayatnya,” ucap Paman Waluyo melempar argumentasi.“Begitu pula dengan Nak Aisyah apakah rela nantinya sosok Danang diganti dengan Raja. Apa tidak sebaiknya kita tunda terlebih dahulu resepsi dan akad yang akan kita langsungkan esok hari,” ujar Pak Khotim menambahkan.“Tetapi semua undangan bukannya sudah tersebar Pak Khotim. Apa kita mampu untuk memberi tahu sekian banyak orang. Mengabari mereka untuk sekedar bilang akad diundur. Walau kita ambil solusi tengah untuk melaksanakan resepsinya saja dengan mengundur akad. Saya rasa itu juga kurang baik dan kurang pantas,” ucap Pak Bandi.“Kalau demikian besok harus tetap dilaksanakan. Saya khawatir nanti jikalau Nak Aisyah sudah pulih dari traumanya dan tersadar jikalau Raja bukan Danang bagaimana Pak Bandi,” sahut Pak Khotim mulai cemas.“Benar juga, sulit juga ya? Kalau menurut Nak Raja bagaimana?” tanya Pak Bandi pada Raja yang duduk di samping Aisyah yang terus memandanginya dengan tersenyum. Aisyah bahkan tak memedulikan orang-orang di sekitarnya yang tengah berunding tentang nasibnya ke depan.“Semalam aku bermimpi bertemu Mas Danang. Dalam mimpiku itu Mas Danang mengajakku ke suatu tempat. Dimanah aku mendapati sosok Aisyah yang terus menangis memanggil nama Mas Danang. Saat itu aku diminta oleh Abang untuk menemui Aisyah untuk menggantikan posisinya. Sama seperti hari ini di dalam mimpiku itu, Aisyah mengira aku adalah Abangku Danang,” tutur Raja.“Jadi bagaimana menurut Nak Raja?” tanya Bu Dian dengan penuh harapan.“Aku menyetujuinya untuk acara turun ranjang ini. Akan aku sembuhkan trauma Aisyah perlahan agar ia pulih dan sadar benar. Saat nanti Aisyah sudah pulih sediakala. Terserah dia dan keluarganya aku menurut saja dan selama itu tak akan aku sentuh seujung kukku pun tubuh Aisyah,” ucap Raja dengan ucapan dan jawaban yang melegakan semua yang hadir.Tetapi rasa hati sebagai Ibu Raja, Ibu Juariah merasa begitu kasihan pada anak lelakinya yang tinggal satu-satunya tersebut. Bu Juariah sempat meneteskan air matanya, tetapi ia usap kembali.Sebab seakan ada kontak batin Raja mengetahuinya dan tersenyum pada Bu Juariah. Seakan Raja ingin berkata pada Ibunya bahwa Raja tidak apa-apa Ibu.Malam terlalu larut untuk pulang sebaiknya menginap saja Nak Raja. Begitulah ucapan Bu Dian kepadaku di saat aku ingin berpamitan pulang dari rumahnya. Sempat aku melirik Rindu yang hanya tertunduk lesu dengan tatapan mata kosong di ujung sofa ruang tamu. Kasihan dia betapa sungguh terpukul hatinya akan kematian Mas Danang. “Apakah baik Bu saya menginap malam ini di sini. Sedangkan tetangga-tetangga Ibu sudah kepalang tahu. Jikalau Rindu akan menikah dengan Mas Danang. Apakah tiada kecurigaan berlebihan oleh mereka bila mengetahui aku menginap malam ini,” aku coba menolak dengan cara halus tanpa mengurangi rasa sopan santun dan segala hormat pada seorang Ibu tua di depanku ini. Lalu Pak Bandi segera berdiri mendekati kami yang tengah berdiskusi tentang pulang atau menginap di balik pintu. Aku sudah dapat menebak apa yang beliau katakan. Tentunya beliau juga akan mencegahku untuk pulang dan menginginkan aku menginap saja. “Benar Nak Raja malam sudah sangat gelap untuk berkendara se
Esok pagi menjelang dan aku lekas pergi dari rumah Rindu sebelum subuh datang. Aku masih tidak terbayang betapa aku bersalah dengan mendiang almarhum Mas Danang. Bukankah Rindu hanya milik Mas Danang. Kenapa aku menyentuhnya bahkan untuk seluruh milik Mas Danang yang ada pada diri Rindu. Pagi ini belum teramat terang benar dan aku sudah meninggalkan Rumah Rindu teramat jauh. Namun saat ini aku berkendara dengan keadaan kalut bercampur bingung. Bagaimana bisa istilah Turun Ranjang ini ada di dalam satu adat istiadat tanah Jawa. Bagaimana bisa seorang yang tidak tahu menahu akan satu hubungan yang semestinya bukan milikku. Harus aku miliki dengan suka rela dalam keadaan tiada rasa cinta di dalamnya. Kabut masih menebal dan masih terlalu gelap saat aku melintasi jalan-jalannya. Sejenak roda dua yang aku kendarai menepi di satu trotoar jalan yang aku lintasi. Sekedar melepas penat dengan sebatang dan sebotol minuman kemasan yang dibawakan oleh Bu Dian saat aku berpamitan dengan belia
“Asallamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, Asallamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,” Bunga tampak ayu dibalut mukena biru berenda ungu di atas sajadah merah dengan motif bunga-bunga. Matanya teduh agak basah menetes hingga mukena. Kedua tangannya menengadah ke atas dengan segala harap dan memohon. Bibirnya yang masih tampak ranum mulai melafazkan kalimat-kalimat doa, zikir dan selawat. Bagaimana pun jua dia masih ada rasa sayang dan keinginan tetap bersama dengan Raja. Rasa cintanya tetap menggebu-gebu ingin bersatu sejiwa dengan Raja. Tetapi apa daya tangan tak sampai pada lengan Raja yang mungkin di waktu hampir terang ini Raja bersama Rindu jua. “Allah Ya Tuhanku maafkanlah aku bila meminta dengan menangis. Apabila Raja memang benar jodohku maka berilah hamba satu keajaiban untuk bersamanya. Namun apabila memang dia bukan milikku. Maka relakanlah hati ini untuk menjauh darinya,” usapan penuh keheningan dari dua telapak tangan Bunga. Mengusap wajahnya yang ayu alami. Tampak
“Bukankah itu Bunga di dalam taksi. Hendak ke mana dia pagi-pagi begini? Bukankah terlalu pagi untuk bepergian. Apa dia sudah mendapatkan pekerjaan lagi di kota lain?” aku coba memacu motorku agak mendekat ke arah taksi yang dinaiki oleh Bunga. Benar juga Bunga tampak tengah berpamitan pada teman-teman kosnya. Mereka seakan melepas bunga dengan lambaian tangan untuk yang terakhir kalinya. Sejenak aku letakkan motor menghadang laju taksi. Aku sudah tidak peduli hidup atau mati. Bahkan bila pagi ini memang aku harus mati, karena tertabrak taksi. Aku rela agar terlepas semua beban ruwet semrawut di dalam otakku. Aku mulai berdiri menantang maut di tengah jalannya. Bila memang Bunga akan pergi aku harus meminta maaf padanya. Mungkin juga ia pergi tak akan kembali ke kota ini lagi. Tentu aku tak ada kesempatan untuk bertemu dia lagi. Bahkan untuk mengucapkan kata maaf aku harus rela mengorbankan seluruh hidup dengan menantang maut. Sebenarnya lakon apa yang aku jalani? Sebenarnya milik
“Siapa sih yang usil sepagi ini, masih belum jam enam loh ini. Woi sini maju sekalian ambil orangnya jangan motornya saja. Kita duel satu lawan satu kalau kalian memang berani!” aku agak bingung bercampur kesal sambil teriak-teriak tak karuan sendiri di area tempat parkir pemakaman. Namun suasana hening masih saja tercipta tiada suara. Walau ada suara hanya ada suara jangkrik dan suara kodok yang senang akan datangnya hujan kala subuh tadi. Lalu aku mendengar suara langkah yang menginjak dedaunan. Tak jauh dari tempatku berdiri sambil kebingungan mencari motorku yang hilang. “Oh kalian mau main-main ya sama saya. Baik tunggu saja di situ dikira aku takut dengan kalian. Berapa pun jumlah kalian aku layani. Kalian jual aku borong, bukan lagi aku beli,” lantas aku berlari ke arah semak belukar sebelah luar pagar pembatas area makam dan jalan raya. Saat aku sudah benar-benar ingin mengambil dua sosok bayangan yang tengah mengintip dan mengendap-endap beberapa waktu lalu. Ternyata juga
Pagi itu Rindu membuka mata dari terpejam lelapnya semalam. Matanya berputar sekali mencoba menyibak keheningan suasana kamarnya. Tak lagi ia dapati sosok yang ia kira adalah Danang. Namun sebetulnya adalah Raja bukanlah Danang. “Kenapa kau pergi meninggalkan aku lagi?” riak hati Rindu mulai tersentak dalam. Sayatannya mulai kembali terbuka lebar. Rasa amat perih di lubuk sanubari mulai tumbuh lagi. Sepi kembali berjajar bagai satu raksasa besar dengan cakar-cakar tajam menghardik Rindu. Setidaknya begitulah khayalan yang tercipta dalam otaknya pagi ini. Tubuhnya masih lusuh lemas sebab ia merayu Raja yang ia anggap Danang semalam. Sebab ia menginginkan sepenuhnya Raja yang ia anggap Danang menjadi miliknya selalu di sisinya. “Kamu pergi ke mana Mas Danang?” Rindu bersandar pada dinding di atas kasurnya. Tubuhnya mulai menggigil dan ia balut penuh dengan selimut putih bergaris-garis hitam dan mulai bersendiku. Entah kenapa setelah kematian Danang, air mata Rindu seakan tiada
“Bro mau ke mana tunggu dulu lah. Kita seduh kopi bareng lagi seperti dulu. Kebetulan aku bawa dua bungkus kopi dari gang depan. Kangen juga aku bicara berdua denganmu. Aku cari-cari enggak ada, eh ternyata ada di sini. Tidak apalah walau di depan area makam jadilah,” begitulah Agung berteriak memanggilku dari kejauhan. Tampak ia membawa satu kantung keresek berisi dua bungkus kopi hitam. Setelah dia tepat di sampingku malah memelukku erat. Seakan kita lama sudah tidak bertemu atau seakan ini adalah satu salam perpisahan antara teman. “Apa sih Gung kamu ini, kayak aku cewek saja tiba-tiba main peluk, hi najis! Ada apa sih Gung. Ada apa seolah kamu mencariku dan ingin mengatakan hal penting saja?” aku mencoba menarik pembicaraan biar Agung mengatakan maksud dan tujuannya langsung. “Ets, selo Boy jangan terburu nafsu. Kamu ini Raja sudah berubah sekarang ya. Bahkan kita berlima sudah tidak lagi berkumpul seperti dahulu. Bunga sudah pergi pulang ke kampungnya dan tak akan kembali. Ron
Kereta api telah berlari kencang di antara perbukitan. Tertatih menyibak terangnya sang surya menuju selatan jauh. Ada berbagai macam wajah dengan ukiran ribuan kisah di kening mereka. Ada kisah pilu tentang sebuah kekalahan dalam masa perantauan di kota besar. Ada kisah bahagia akan keberhasilan membawa upah dan tabungan menuju kampungnya. Setelah beberapa dekade berusaha meraih cita dan cinta. Tetapi Bunga bersandar layu di samping jendela di salah satu bangku panjang gerbongnya. Tetapi Bunga menatap menerawang pandangan kosong. Walau ribuan wajah berceloteh tentang sebuah perjuangan di sekitarnya. Dalam matanya di dalam ingatan benaknya. Hanya sebuah bayangan-bayangan masa lalu tentang sebuah kerinduan bersama Raja. Namun masa lalu adalah hal kemarin yang tertinggal. Tak mampu lagi Bunga mengulang kisah indah bersama Sang Raja di hatinya. Huftz, nafasnya tampak berat terdengar sengal agak sesak di dadanya. Tiba-tiba air matanya menetes tanpa ia rasakan atau tanpa otaknya atau b