"Setidaknya harus ada perbedaan antara kau dengan maid." Ucapan Effendy tergiang di kepala Eleanor. Gadis itu bahkan masih termangu saat Effendy sudah melangkah keluar dari dalam kamar, Ele masih tertegun beberapa saat sebelum menyusul."Apa yang kau lakukan di dalam sana?" Panggilan bernada pertanyaan dari Effendy menyentak kan Eleanor. Gadis itu lekas melangkah keluar dari kamar mandi dan mendekati Effendy yang mendekat ke arah tempat tidur.Lelaki itu melirik Ele dengan pandangan mata tajamnya."Bantu keringkan rambutku."Seriously? Ele nyaris memutar mata mendengar perintah itu. Dia mendekat ke arah Effendy dengan raut muka yang sedapat mungkin tidak di tekuknya."Jaga ekspresimu. Sudah seharusnya lah seorang istri melayani suaminya." Ucap Chislon yang membuat Ele merasa kagum atas pengamatan laki-laki itu. Padahal Ele yakin sudah menekan perasaan kesalnya agar tidak muncul ke permukaan.Tanpa mengucapkan apapun apalagi membantah, Eleanor mejangkau handuk putih dan naik ke tempat
Eleanor menggigit bibirnya kuat-kuat sampai dia masuk ke dalam kamarnya. Kedua tangan nya mengepal tanpa dia sadari. Kekasih Chislon Abimanyu menyebutnya parasit. Apakah memang selama ini mereka berdua memperbahasakan dirinya begitu. Selama hidupnya, Ele cukup sensitif dengan kata-kata semacam itu. Dia di besarkan di panti asuhan dan sejak kecil di didik dalam kemandirian untuk tidak menyusahkan orang lain. Dan baru saja, baru beberapa menit yang lalu dia mendengar seseorang menyebutnya sebagai parasit. Siapa yang memintanya untuk tinggal di rumah ini? Siapa yang memaksa untuk menikahinya? Kenapa seolah-olahnya diri nyalah yang merugikan selama ini?Eleanor menghela napas kencang-kencang berkali-kali untuk menetralkan emosinya. Dia harus menjaga kontrol dirinya. Dia bukan perempuan lemah lembut lemot yang tidak akan pusing dengan sebutan semacam itu. Dia adalah orang yang terbiasa berdiri di atas kakinya sendiri dan merasa sakit saat mendengar dirinya di labeli dengan kata berkonotasi
Eleanor menangis sambil memeluk lututnya di dalam kamar. Dia merasa dilecehkan. Ya, itu memang suaminya, namun mereka tidak punya cukup rasa cinta untuk melakukannya. Ele selalu bercita-cita kalau dia akan melakukan ci*man pertamanya dengan orang yang dia cintai, dan sekarang, si brengsek itu dengan seenaknya mengambil c*uman pertamanya. Gadis itu terisak dalam hening. Maritha yang tadi sempat hendak menyusulnya ke dalam kamar tidak bisa masuk karna Ele mengunci pintu kamarnya. "Brengsek!" Dia memukuli lututnya dan jadi kesal sendiri mengingat wajah Effendy. Gadis itu mengusap kasar bibirnya berkali-kali, namun entah mengapa dia merasa bekas Effendy masih tersisa di sana.Ele akhirnya lelah sendiri. Dia kemudian masuk ke dalam kamar mandi dan berusaha mandi dengan menggosok tubuhnya brutal. "Awas kau Effendy! Aku harus membalasmu!" Raungnya sendirian.***Ele tidak keluar kamar berhari-hari. Dia menghabiskan waktunya di meja tulis, mencari ide dan melakukan beberapa research, meski d
Eleanor yang suntuk di kamarnya sendiri akhirnya memutuskan untuk keluar kamar dan menuju dapur. Dia menemui para maid yang sedang sibuk menyiapkan lunch. Satu hal yang Ele tahu adalah Chislon memang selalu menyempatkan diri untuk pulang makan siang di rumah dan sangat jarang makan di luar, karna itulah para maid tidak pernah absen memasak makan siang.Di dapur saat itu ada tiga orang maid yang hari ini kebetulan punya jadwal mengurus dapur. Arinda, Jian dan Salwa. Dua nama terakhir seingat Eleanor adalah dua maid yang sempat dia pergoki membicarakan nya. Namun Ele sama sekali tak ambil pusing. Dia menghampiri mereka sembari tersenyum ramah."Apakah ada yang bisa aku bantu?"Ketiga maid tersebut tampak terkejut. "No...nona? Apakah Anda perlu sesuatu?""Tidak," sahut Ele pula. "Aku hanya ingin membantu. Apa menu kalian hari ini?""Kami memasak sup dan ayam bakar, Nona." Sahut Arinda lagi, sementara Salwa dan Jian tak berani buka mulut sejak tadi. "Itu terdengar enak." Tanggap Ele. "Ij
"Mall?" Ele hampir menggelindingkan matanya saat dia melihat Andika memberhentikan mobilnya di parkiran mall. Andika yang berdiri di sisi mobil lainnya menatap ke arah Ele dengan bingung. "Aku akan mengajakmu belanja." Sahut Andika pula yang membuat Ele nyaris tak habis pikir. Laki-laki ini hendak menghina Effendy atau bagaimana? Meski Chislon Abimanyu tidak pernah mengajak Ele ke mall, tapi semua kebutuhan gadis itu sangat tercukupi. Ele pun tahu semua pakaian yang ada dalam walk in closetnya adalah pakaian branded yang sangat mahal. Lalu untuk apa Andika mengajaknya belanja?"Apakah suamimu pernah mengajakmu berbelanja?" Tanya Andika dengan cengiran pelan. "Aku tahu isi kamarmu pasti sudah sangat luar biasa. Siapa yang tidak tahu seorang Effendy Abimanyu? Namun kali ini aku ingin mengajakmu memilih apapun yang kamu sukai."Eleanor mengerutkan keningnya sebentar. Dia adalah orang yang tidak tergiur dengan barang-barang dan kehidupan glamour. Ini bukan 'tamasya' yang menyenangkan untu
Ele masuk ke dalam kamarnya dengan gusar bercampur jengkel yang tak dapat dijelaskan. Maritha menyusul masuk ke dalam kamarnya sembari membawa nampan berisi sepiring makanan beserta lauk pauknya dan segelas air."Nona, silakan makan."Ele tak menjawab apapun, dia membiarkan Maritha meletakkan nampan tersebut di atas meja yang berada dalam kamarnya. Napsu makannya lenyap entah mengapa."Saya tinggal Nona, nona bisa menghubungi saya jika membutuhkan sesuatu.""Terimakasih, Maritha." Ele masih menyempatkan diri mengucapkan terimakasih di tengah moodnya yang memburuk. Maritha pun meninggalkan kamarnya. Ele hanya melirik makanan itu sebentar. Dia naik di atas tempat tidur dan bermaksud mengalihkan diri dnegan menyusun premis untuk naskah terbarunya. Namun, tanpa di sadari, dia tertidur tanpa menyentuh makanan yang disiapkan Maritha.***Keesokan paginya Ele bangun lebih awal dan segera membersihkan diri. Dia harus ke Hadasa House hari ini karna ada pertemuan mendadak nanti jam tujuh pagi d
Eleanor pernah percaya pada keajaiban ketika di masih kecil. Bahwa suatu saat akan ada orang yang datang menjemputnya, membawanya pergi dari panti asuhan dan menawarkan keluarga yang utuh padanya. Semakin dia bertumbuh remaja, dia menyaksikan satu persatu teman bermainnya di bawa pergi oleh para orangtua yang memilih mereka. Dan dia, tertinggal disana hingga akhir. Itulah awal mula Eleanor merasa dirinya tidak pantas untuk siapapun dan kemudian perasaan itu membunuh dirinya secara perlahan dari dalam. Dia kesepian, satu persatu kawan sebaya dan sepermainannya pergi. Dan semakin lama, dia menjadi anak tertua yang masih bertahan di sana. Eleanor tak merasa kekurangan kasih sayang. Bunda berperan sebagai sosok ibu bagi mereka, dan wanita itu tidak gagal dalam perannya. Dia bersekolah di sekolah yayasan, mengejar beasiswa sampai akhirnya bisa lulus SMA tanpa meminta sepeser uang pun pada sang kepala panti yang telah membesarkannya.Dia kemudian bertemu Tristan ketika laki-laki itu berkunj
Dari tempat mereka duduk, Ele dan Salma dapat mendengar deru mesin mobil memasuki halaman kediaman. "Tuan sudah tiba," ungkap Ele pula, tak menyadari Salma yang langsung meliriknya kebingungan. "Kau memanggil Chislon dengan sebutan Tuan? Apakah Chislon tidak masalah dengan itu?'Airmuka Ele agak berubah sedikit ketika dia menyadari dirinya keceplosan. Gadis itu menggeleng dan mencoba tersenyum untuk menutupi kecanggungan nya."Saya sudah terbiasa sejak dulu, dan Tuan juga tidak terlalu mempermasalahkannya..." Jawab Ele sekenanya.Dari airmuka Salma,Ele tahu kalau gadis itu masih tidak paham. Namun kemudian, dia mengalihkan atensinya pada Effendy yang berdiri di teras samping dan memandangi mereka di kejauhan."Aku akan menemui Chislon. You come with me?" Tanya Salma.Eleanor menggeleng. "Tidak, aku disini saja. Kurasa aku juga tidak perlu mendengar pembicaraan kalian. Barangkali itu privasi." Tolak Ele dengan halus. Salma mengangguk. Wanita itu berjalan menghampiri Chislon.***"Aku