"Ooh, udah tau rupanya. Maaf ya, bukan maksud menyembunyikan, cuma Key itu butuh waktu buat status barunya diketahui sama kalian." Ini Rey belain aku? Ooh, kok aku jadi berbunga-bunga sih.
"Ya elah, kek sama siapa aja, Bang," sahut Difi. "Eh, btw, Bang, kalian udah belah duren apa belum?"
Aku yang sedang minum jus jambu buatan bunda pun tersedak. Bisa-bisanya Difi nanyain hal itu sama Rey, nggak malu apa.
"Sayang, kamu kenapa? Pelan-pelan dong, minumnya." Dengan lembut, tangan Rey mengusap punggungku. Kalau ada orang aja sok lembut, tapi kalau lagi berdua, dia nggak pernah perhatian begini.
Aku nggak menjawab pertanyaan Rey, tapi lebih memilih menggenggam tangan Rey. Mencoba mencari kekuatan kalau-kalau temen-temen lucknut ini kembali mencekoki pertanyaan absurd.
"Santai aja napa sih, Key, baru aja ditanya begitu. Jadi gimana Kak, kalian udah ... ehem-ehem belum?" Desi nggak kalah somplaknya kek Difi. Awas aja nanti kalian ya.&nb
"Key, kamu kenapa, Sayang?" Raut wajah Rey terlihat khawatir melihat keadaanku yang berantakan ini.Tanpa menjawab, aku langsung menghambur ke pelukan Rey, dan menangis di dada bidangnya."Ada apa, sih? Coba cerita." Tangan Rey mengelus lembut kepalaku.Namun aku masih sibuk menangis, sampai-sampai Rey bertanya untuk yang ke sekian kalinya.==================================="Key, udahlah ngapain masih dipikirin?" Rey ikutan duduk di sofa, bersebelahan denganku. Satu tangannya ia letakkan di kepala sofa, hingga terlihat seperti sedang memelukku dari samping, apalagi posisi kami yang menempel begini."Siapa yang mikirin, aku udah lupa tuh," ujarku ketus, mungkin masih terbawa emosi yang tadi."Kalau udah lupa, kenapa dari tadi diem aja?" Meski tanpa melihat ke arahnya, aku tau kalau Rey sedang menatapku."Bad mood," jawabku singkat.Setelah Rey menjemputku di kampus tadi, dan mel
"Lo kakaknya Key, Bang?" Wew, Rendi nyangka Rey kakakku, emang ada yang mirip ya."Bukan. Saya suaminya."Mampus. Kebongkar sudah rahasiaku.Rendi beralih menatapku dengan tatapan mengintimidasi. "Bener apa yang dia bilang, Key?"Aku gelagapan, bukan nggak mau ngakuin Rey sebagai suamiku, tapi takutnya kalau aku bilang yang sebenarnya, nanti Rendi bakal ember ke semua temen-temen kampus."Sayang, kok pertanyaan temen kamu nggak dijawab sih?" Rey menghampiriku lalu memelukku dari samping, sebuah kecupan juga dia daratkan di pipi mulusku. Duh, jadi malu kan, mesra-mesraan di depan Rendi, mau nggak mau aku harus jujur jadinya. Dasar Rey nggak mau diajak kerjasama."I--iya, Ren. Bang Rey ini suami aku." Ragu-ragu aku mengatakannya.Wajah Rendi seketika berubah muram, aku nggak tau alasannya kenapa. Apa mungkin benar kali ya, kalau Rendi udah menaruh rasa sama aku, seperti yang dikatakan temen-teme
"Nah, itu istri saya, Keyla Anastasyia," tunjuk Rey ke arahku, dan aku nggak tau apa maksudnya. "Saya harap, Bapak segera mengusut kasus yang melibatkan istri saya sebagai korban penyerangan dari pelaku bernama Hera," lanjut Rey.Mendengar penuturan Rey yang cukup jelas itu, membuat semua mata yang tadi memperhatikan Rey, kini beralih menatapku dengan sorot penuh teka-teki.Duh, rasanya aku pengen sembunyi."Oh, ya ampuun suami lo keren banget, Key," pekik Desi. "Dia dateng ke sini buat ngurusin permasalahan lo yang kemarin dikeroyok sama rombongan sundel bolong.""Iya, Key, Bang Rey gentle banget tau," timpal Difi."Key, kayaknya setelah ini lo mesti ngajakin suami lo bulan madu deh, sebagai tanda terima kasih." Ini lagi, si Tita malah ngomongin hal absurd begini.Aku nggak jawab semua ocehan ketiga temanku, dan juga beberapa mahasiswa yang masih histeris melihat Rey. Terlebih lagi sekarang Rey sedang berjalan ke ara
Pagi ini rasanya aku seneeeng banget, semangat juga menatap hari-hari yang biasanya seperti memusuhiku. Bukan tanpa alasan, tapi karena begitu bahagianya aku mendengar penuturan Rey tadi malam, yang berarti cintaku nggak bertepuk sebelah tangan.Sebenarnya aku sih udah yakin sembilan puluh sembilan persen kalau Rey juga punya perasaan yang sama kayak aku, tapi yang namanya perempuan kan butuh pengakuan dan kepastian dong, oleh sebab itu aku mendesak Rey supaya jujur, biar adil juga karena aku udah jujur waktu itu.Sayangnya saat kutanya sejak kapan Rey jatuh cinta sama aku, dia nggak mau jawab dan memilih untuk mengalihkan topik pembahasan. Kesal sih, karena aku penasaran tapi nggak terjawab."Cie ... cie ... yang lagi senyum-senyum sendiri," ledek mama yang seketika membuatku terpaksa harus menyembunyikan senyuman."Apaan sih, Ma," sungutku. Udah kepalang malu kalau ketahuan begini mah. Untung yang mergokin cuma mama, coba kalau ketig
"Halo, Bang Rey.""...." Nggak ada jawaban."Bang," panggilku lagi.Nggak ada jawaban lagi, tapi kali ini suara ribut-ribut begitu mendominasi. Apa yang sedang terjadi di sana?Pikiranku bener-bener nggak tenang sekarang, segera aku kembali ke tempat di mana tasku ditaruh tadi. Tanpa basa-basi, aku langsung pergi meninggalkan kelas setelah mengambil tas.Terdengar suara teman-temanku memanggil, di depan pintu juga sempat berpapasan dengan dosen yang akan mengampu di kelasku, tapi aku nggak mempedulikan itu semua, sekali lagi karena pikiranku yang lagi kalut-kalutnya.Begitu sampai di depan gerbang kampus, aku mengeluarkan ponsel pemberian Rey ini untuk memesan ojek online. Semoga aja cepet dapetnya.Sempat beberapa kali di cancel, akhirnya ada ojol yang fix mau nganterin aku."Pak, cepetan ya, Pak, kalau bisa ngebut," desakku pada driver ojol yang kutumpangi ini."Siap Neng ..
Sore ini aku balik kampus sendirian, karena Rey lagi nggak bisa jemput. Tadi sih sempet ditawari tumpangan sama Difi, tapi aku menolak dan bilang kalau aku mau mampir dulu. Mampir ke suatu tempat yang nggak boleh Difi tahu.Sepertinya cewek kayak Hera itu emang nggak ada jeranya, buktinya sekarang dia lagi-lagi membuat keributan di resto cabang punya Rey. Hal itulah yang bikin Rey nggak bisa jemput aku.Dari lubuk hati yang paling dalam, sebenernya aku tuh pengen bantuin Rey buat ngelawan si sundel bolong, tapi apalah mau dikata, Rey sama sekali nggak memperbolehkanku untuk kembali melawan Hera, katanya itu biar jadi urusannya aja, Rey juga takut kalau aku sampai kenapa-napa.Sembari menunggu ojek online yang udah aku pesan, aku scroll laman instagram, lumayanlah buat ngurangin gabut. Kalau duduk-duduk doang nggak ngapa-ngapain kan nanti dikiranya aku anak hilang.Mataku melotot melihat gosip yang di up oleh akun yang bernama 'Lambe le
Tiba di kamar mandi, aku letakkan dulu test pack-nya di dekat wastafel, beserta wadah bekas yang akan kugunakan untuk menampung air seni nanti.Begitu membuka celana dalam, kulihat ada bercak-bercak merah lumayan banyak.Wah, aku menstruasi kayaknya. Ye, ye, ye ... nggak jadi hamil. Padahal test peck-nya belum aku pake.Mungkin cuma diriku aja yang girang saat tau aku nggak hamil. Di luar sana padahal pada sedih kalau hasil test peck-nya masih negatif.Bukan aku nggak mau punya anak, tentu saja aku mau, tapi aku rasa sekarang bukan waktunya karena aku belum selesai kuliah.Kalau aku punya otak yang encer alias pinter, nggak papalah hamil waktu masih kuliah, lah aku ini otaknya pas-pasan gini, takutnya tambah pusing nanti.=================================Habis maghrib gini, aku memutuskan untuk masak buat makan malam. Tadinya sih mama yang mau masak, tapi aku larang.Niatnya mau masak buat pak
Menyadari kedatanganku, ayah mertua sama oma menoleh ke arahku. Sedetik kemudian, tatapan tajam mulai oma hadiahkan untukku."Mariska! Kenapa kamu bawa perempuan itu ke sini?!""Ma, biarinlah, Key kan istrinya Rey, menantu kita," sanggah ayah mertua.Aku diam. Tangan kiriku menggenggam erat tangan bunda, mencari kekuatan dan dukungan darinya.Sekian bulan nggak ketemu, sikap oma masih sama aja kayak dulu. Apa dia nggak capek ya musuhin aku terus. Apa aku ini buruk banget di pandangamnya, hanya karena aku berasal dari keluarga yang biasa-biasa aja?"Iya, Ma, Key ini bagian dari keluarga kita." Kini bunda yang membuka suara sambil membalas genggaman tanganku. Sepertinya bunda paham kalau aku sedang meminta dilindungi, walau aku tau bunda nggak akan bisa menang dalam membelaku, mengingat sikap oma yang nggak mau mendengar masukan orang."Halah, keluarga," cibir oma. "Saya nggak pernah tuh nganggep dia keluarga, apa