Bayu mengetuk-ngetuk meja kerjanya dengan ujung jari, seperti memahat kesunyian dengan ritme gelisah yang tak menentu.
Pikirannya berputar seperti badai, terjebak dalam pusaran kata-kata Jihan semalam—kalimat itu menggema, menusuk relung yang tak ingin ia akui keberadaannya.
"Aku masih suci. Tak ada yang pernah menyentuhku."
Ia mendengus kasar, seolah ingin mengusir bayangan suara lembut yang kini memerangkap logikanya.
"Untuk apa juga aku memikirkannya," gumamnya seraya mengembuskan napas yang terasa berat seperti membawa beban dosa.
"Rafi, kemari," perintahnya, suaranya dingin seperti malam tanpa bulan.
Tak butuh waktu lama, pintu ruangannya terbuka, dan Rafi muncul dengan langkah ragu yang terlatih.
"Ada yang bisa dibantu, Pak?" tanyanya dengan hormat, tatapannya terpaku pada ekspresi sang bos yang seperti patung marmer, dingin namun penuh arti.
Bayu mengangkat kepala, menatapnya dengan sorot mata tajam, seperti elang yang mengintai mangsa.
"Jihan tidak mengatakan apa pun kan, pada teman-teman kantornya?" Ada nada cemas di balik ketegasan itu, sekelebat kerentanan yang ingin ia tutupi.
Rafi menggelengkan kepala. "Tidak, Pak. Jihan tampak biasa saja dan mengerjakan pekerjaannya seperti biasa."
Bayu menyipitkan mata, tatapannya menusuk, mencoba menembus keyakinan yang diucapkan Rafi. "Apa kamu yakin?" desaknya, seperti hakim yang menuntut kejujuran terdakwa.
"Yakin, Pak. Sesuai permintaan Anda, saya selalu memantau Jihan dan memastikan dia tidak mengatakan apa pun pada siapa pun, termasuk sahabatnya sendiri—Meta."
Bayu terdiam sesaat, menelan ludahnya yang terasa pahit, seperti mencicipi racun dari ragu yang menggerogoti dirinya.
Kata-kata Nadya kembali menghantui pikirannya. Jihan wanita yang bisa dipercaya untuk memberi mereka seorang anak.
"Kalau begitu, cari tahu lebih banyak tentang Jihan. Saya tidak terlalu mengenal wanita itu sebelumnya," perintahnya, suaranya dingin namun penuh otoritas, seperti embun beku yang menggigit di pagi hari.
"Baik, Pak. Saya akan mencari informasinya dengan cepat," jawab Rafi sebelum keluar dengan langkah yang nyaris tanpa suara.
Bayu kembali menyandarkan tubuhnya di kursi kebesarannya, yang terasa seperti singgasana isolasi.
Matanya sesekali melirik ke arah kaca besar yang sengaja ia buka, membiarkan pandangannya menyapu ruang kantor hingga sosok Jihan terlihat samar di kejauhan.
"Beraninya kau membocorkan rahasia ini, Jihan," desisnya pelan, namun tajam seperti pisau yang berkilau di bawah sinar matahari. "Bukan hanya kamu yang akan kuhancurkan, tetapi adikmu juga."
Tatapannya membara dengan intensitas yang mengancam, sementara bayangan Jihan terpantul di kaca, seolah menjadi simbol dari rahasia gelap yang harus tetap tersembunyi.
Bayu mengeratkan rahangnya, sumpah yang ia gumamkan seperti mantera kelam yang menggema di dalam hatinya.
Sumpah, demi apa pun, tidak akan ada satu orang pun yang tahu tentang pernikahan ini.
Jihan adalah pion di papan catur hidupnya, dan Bayu bertekad untuk menjaga permainan tetap di tangannya—sampai ia mendapatkan apa yang diinginkannya.
"Jihan?" suara Meta melayang, menghampiri Jihan yang tengah tenggelam dalam dunia kerja yang sunyi. Jemarinya bergerak lincah di atas keyboard, seperti memainkan simfoni kecil yang hanya ia dengar.
Jihan menoleh perlahan, alisnya sedikit terangkat. "Ada apa, Meta?" tanyanya, suaranya datar, namun mengandung kehangatan yang selalu menyertainya.
Meta mendekat, membawa aroma penasaran yang begitu khas. "Kamu sadar nggak sih, dari tadi Pak Bayu kayak lagi lihatin kamu," ujarnya, dengan nada setengah berbisik namun sarat dengan intrik.
Jihan mengalihkan pandangannya, menoleh ke arah ruang kerja Bayu. Sosok pria itu berdiri di balik dinding kaca, matanya tajam menembus jarak seperti seorang penjaga yang enggan melepas pandangan. Kening Jihan berkerut ringan sebelum ia kembali menatap Meta.
"Mungkin dia lagi gabut, Meta. Biarin aja," jawabnya ringan, seolah enggan memberikan tempat bagi kekhawatiran untuk bersarang.
Namun, ada sesuatu di balik matanya—sekelebat rasa tidak nyaman yang segera ia tekan dalam-dalam.
Meta tersenyum penuh arti, lalu mencondongkan tubuhnya sedikit, seperti seseorang yang baru saja menemukan rahasia yang terlalu menarik untuk disimpan sendiri.
"Dia suka kali, sama kamu," celetuknya, nadanya penuh canda namun menusuk seperti jarum kecil yang menyentuh permukaan kulit.
"Hus! Dia sudah punya istri, Meta. Kamu ini, ngarang aja," balas Jihan, mengibas ringan ucapannya seolah mengusir lalat pengganggu.
Tatapannya mendadak lebih serius, meminta Meta untuk kembali ke meja kerjanya dengan isyarat kecil.
Meta hanya tertawa, tawanya renyah seperti denting kaca di tengah hening. Ia berbalik, matanya mendapati Rafi berdiri di dekat mereka, mengamati dari kejauhan seperti bayangan yang tak pernah absen.
Meta menyeringai kecil, menantangnya dengan nada setengah main-main, "Ngapain kamu di situ? Mau jadi mata-mata kami, supaya naik gaji?"
Rafi mendesah pelan, memutar bola matanya dengan kejemuan yang disengaja. Tanpa kata, ia berbalik, langkahnya ringan namun tegas, meninggalkan dua wanita yang masih sibuk dengan dunia kecil mereka.
Meta menyeringai kecil menatap kepergian Rafi, sebelum mengangkat bahu dengan gaya tak peduli. Sementara Jihan hanya menggeleng-gelengkan kepala, senyumnya samar namun penuh arti.
"Kalau kalian nggak saling menyindir sehari aja, kayaknya dunia bakal runtuh," gumamnya pelan, matanya kembali menatap layar komputer, berusaha mengabaikan kenyataan bahwa di sudut pandangnya, sosok Bayu masih tak berhenti memandanginya dari kejauhan.
**
Waktu sudah merambat pelan menuju angka tujuh malam, membungkus langit dengan selimut gelap yang bertabur bintang kecil, samar-samar tertutupi awan.
Langkah Jihan terdengar nyaris tanpa suara di koridor rumah sakit, hanya diselingi detak jarum jam di dinding yang terasa lebih lambat dari biasanya.
Kabar bahwa Bastian sudah siuman memburu langkahnya, membawa rasa lega bercampur kecemasan yang menyesakkan dadanya.
“Kak?” suara lirih Bastian menyambutnya begitu ia masuk ke kamar rumah sakit itu, seperti angin kecil yang menerobos ruang sunyi.
Jihan tersenyum lembut, meski matanya tak bisa menyembunyikan lelah yang mengendap di sana.
“Syukurlah kamu sudah siuman, Bas. Kakak khawatir sama kamu,” ucapnya, suaranya seperti belaian hangat di tengah dinginnya malam.
Bastian menatap Jihan dengan mata yang berkaca-kaca, seperti mencoba mencari jawaban yang telah lama ingin ia ketahui. “Kenapa Kakak mengorbankan diri Kakak buat aku?”
Jihan menelan ludahnya dengan susah payah, tenggorokannya terasa kering, seolah menolak untuk menjawab.
“Dari mana kamu tahu soal ini, Bas? Siapa yang memberitahumu?” tanyanya, nada suaranya penuh kehati-hatian, seperti seseorang yang berjalan di atas pecahan kaca.
“Meskipun aku sudah tidak berdaya, tapi aku masih bisa mendengar,” bisik Bastian, suaranya pecah oleh emosi yang ditahan.
“Aku tahu Kakak mengorbankan diri menjadi istri kedua Pak Bayu dan meminta Kakak melahirkan anak untuk mereka.”
Jihan tertegun, seakan kata-kata itu menghantamnya seperti gelombang besar yang tak bisa ia hindari.
Tangannya perlahan menggenggam tangan Bastian, erat, seperti memindahkan kekuatan yang tersisa dalam dirinya ke adiknya.
“Jangan khawatir, Bas. Tidak apa-apa,” ucapnya dengan senyum getir yang dipaksakan.
“Kakak akan melakukan apa pun untuk kamu, asal kamu sehat. Kakak hanya punya kamu, Bas. Jadi, tolong mengerti kondisi Kakak.”
Air mata Bastian tak bisa lagi terbendung, mengalir deras seperti hujan yang tumpah di musim kemarau.
Tatapannya penuh luka dan cinta, menatap sang kakak yang kini ia sadari telah mengorbankan segalanya. “Aku tidak akan mengecewakan Kakak. Aku janji,” bisiknya, suara itu gemetar namun penuh tekad.
Jihan mengangguk perlahan, bibirnya melengkungkan senyum kecil yang membawa secercah harapan. “Good,” gumamnya, mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa semua ini akan berakhir baik-baik saja.
Namun, ketenangan itu tak bertahan lama. Getaran ponselnya membuyarkan momen tersebut. Dengan cepat ia merogoh sakunya, membaca pesan yang baru masuk di layar.
Nadya: Jihan. Sebaiknya kamu dan Mas Bayu segera bermalam bersama. Jangan mengulur waktu kalau kamu memang tidak berniat ingin memiliki suamiku.
Hari itu mendung menggantung di langit, seakan ikut merasakan ketegangan di dalam rumah mereka. Usia kandungan Meta sudah sembilan bulan, dan pagi itu ia terbangun dengan perut melilit nyeri tajam. Napasnya tercekat, dan keringat dingin membasahi dahi.“Rafi…” panggilnya parau.Rafi, yang baru saja selesai mandi, langsung menghampiri. Wajahnya pucat melihat tubuh Meta gemetar.“Sayang, kamu kenapa?” tanyanya cemas kemudian berlutut di samping ranjang.“Sepertinya kontraksinya makin sering dan sakit sekali,” jawab Meta di sela napasnya. Matanya berkaca-kaca menahan nyeri.Tanpa berpikir panjang, Rafi segera memapah Meta menuju mobil. Ia melajukan kendaraan secepat mungkin menuju rumah sakit. Sementara itu, Meta menjerit kecil setiap kali kontraksi baru melanda, membuat Rafi semakin panik.“Bertahan, Meta, sebentar lagi sampai,” katanya, meski suaranya sendiri bergetar.Di ruang ber
Hari itu, suasana di apartemen mereka begitu hangat dan meriah. Tak ada pesta besar, hanya perayaan kecil ulang tahun Rafi yang ke-32.Meta menata meja makan sederhana dihiasi lilin-lilin kecil, kue tart cokelat di tengahnya, dan beberapa masakan rumahan yang dibuatnya sendiri.Rafi masuk dari pintu depan dan langsung terpana. “Wah… ini kejutan untukku?” tanyanya setengah tertawa, memandang sekeliling.Meta tersenyum, meraih tangan Rafi dan menuntunnya ke kursi. “Iya, spesial untuk suami terbaikku,” katanya hangat, membuat mata Rafi berbinar bahagia.Mereka pun menghabiskan waktu makan malam dalam kehangatan. Rafi bercanda dan tertawa, dan Meta tak henti-hentinya menatapnya dengan mata berbinar. Ia tahu, malam ini adalah waktu yang tepat untuk memberikan kejutan istimewa.Setelah meniup lilin dan membuat permohonan, Rafi menatap Meta penasaran. “Kamu terlalu banyak kejutan malam ini,” godanya.Meta
Detik berikutnya, bibir mereka bertemu lagi. Kali ini bukan sekadar ciuman rindu, melainkan ciuman hangat dan bergelora.Rafi merengkuh pinggang Meta, dan Meta melingkarkan tangannya di leher Rafi, membiarkan tubuhnya melebur dalam hangatnya dekapan sang suami.Ciuman mereka semakin dalam dan panas. Rafi mendorong tubuh Meta menuju dinding, menekannya lembut di sana hingga mereka bisa saling merasakan detak jantung dan hangatnya tubuh masing-masing.Meta hanya mampu mendesah kecil di sela-sela ciuman mereka, membuat Rafi makin bergelora.“Sayang,” bisik Rafi di sela napasnya, menelusurkan kecupan lembut ke leher Meta hingga membuatnya merinding.Meta menggigit bibirnya, seluruh tubuhnya bergetar. “Jangan berhenti…” bisiknya, membuat Rafi tersenyum dan menciuminya lagi lebih dalam.Tanpa banyak bicara, Rafi mengangkat Meta kembali ke dalam gendongannya, membawanya menuju kamar tidur.Ia merebahkan Meta di
Meta memacu mobilnya menuju rumah orang tua Rafi, hati berdebar-debar bercampur cemas.Ia sudah bertekad untuk menemui Rafi, meminta maaf, dan mengutarakan perasaan yang selama ini tertahan. Ia bahkan sudah mempersiapkan kata-kata yang ingin disampaikannya dalam benaknya.Namun, saat mobilnya berhenti di depan pagar, sesuatu membuatnya terpaku.Di halaman, Rafi sedang berbincang hangat dengan seorang wanita berambut panjang.Mereka tampak begitu akrab, bercanda dan tertawa. Wanita itu bahkan sesekali memukul lengan Rafi manja, membuat Rafi tertawa lepas.Sekejap, dada Meta terasa seperti tertimpa batu. Matanya memanas, dan sebelum sempat berpikir, air mata sudah membasahi pipinya.Apa ini? pikirnya, napasnya tercekat. Ia merasa dikhianati. Ia datang untuk memperbaiki keadaan, dan sekarang harus melihat pemandangan yang begitu melukai perasaannya.Ia mundur selangkah, berbalik untuk segera pergi. Namun, gerakan Meta membuat Rafi menyadari kehadirannya.“Meta?” panggil Rafi kaget, lalu
Suara ketukan pintu membuat Meta beranjak dari sofa. Matanya sedikit sembab, tubuhnya terasa lemas, dan semangatnya seakan tersedot habis dalam beberapa hari terakhir.Ketika ia membuka pintu, wajah Jihan sudah berdiri di sana—tatapan sahabatnya itu tajam dan penuh emosi.Tanpa basa-basi, Jihan langsung melangkah masuk. “Meta,” katanya setengah marah, setengah khawatir, “apa yang kamu lakukan? Membiarkan Rafi pergi begitu saja? Kamu sadar nggak betapa tulusnya dia mencintai kamu?”Meta terdiam di tempatnya, bahunya merosot. Ia sudah tahu cepat atau lambat Jihan pasti akan datang dan melontarkan semua kekesalannya.Jihan menatapnya lebih dalam lalu menghela napas pelan. “Aku tahu, harga dirimu pasti membuatmu sulit untuk mengejarnya duluan. Tapi jangan bodoh, Meta. Rafi itu lelaki baik. Kalau dia bisa sabar dan mencintaimu seperti itu, jangan sia-siakan.”Jihan menggenggam tangan Meta dan menatapnya kembali. “Kamu tidak akan menemukan pria sebaik Rafi, dan kamu tahu itu.”Mata Meta mul
Meta merasakan atmosfer di ruangan itu begitu aneh sejak Rafi masuk. Tidak biasanya Rafi pulang begitu diam dan kaku.Meta mendekat dan menatap suaminya itu dengan tatapan lembut. “Rafi… kamu kenapa?”Pertanyaan itu membuat Rafi seperti tersentak. Ia menoleh cepat, dan kali ini Meta bisa melihat jelas gejolak di mata suaminya—campuran amarah dan kecewa.“Kenapa?” ulang Rafi. Suaranya berat dan nyaris bergetar. Ia menarik napas dalam, dan kali ini emosinya pecah. “Harusnya aku yang tanya begitu. Kamu kenapa, Meta?!”Meta mengerutkan kening, bingung sekaligus cemas. “Aku nggak ngerti maksud kamu…”Rafi tertawa getir, membuat dada Meta berdesir. “Jangan pura-pura, Meta. Kamu pikir aku nggak lihat Julian keluar dari sini barusan? Dan pesan-pesannya di ponselmu? Kamu sengaja membuka pintu untuknya?”Mata Meta melebar kaget. Ia langsung menggeleng. “Buka pintu un