Share

Pesan dari Nadya

last update Huling Na-update: 2025-04-28 11:41:21

Bayu mengetuk-ngetuk meja kerjanya dengan ujung jari, seperti memahat kesunyian dengan ritme gelisah yang tak menentu.

Pikirannya berputar seperti badai, terjebak dalam pusaran kata-kata Jihan semalam—kalimat itu menggema, menusuk relung yang tak ingin ia akui keberadaannya.

"Aku masih suci. Tak ada yang pernah menyentuhku."

Ia mendengus kasar, seolah ingin mengusir bayangan suara lembut yang kini memerangkap logikanya.

"Untuk apa juga aku memikirkannya," gumamnya seraya mengembuskan napas yang terasa berat seperti membawa beban dosa.

"Rafi, kemari," perintahnya, suaranya dingin seperti malam tanpa bulan.

Tak butuh waktu lama, pintu ruangannya terbuka, dan Rafi muncul dengan langkah ragu yang terlatih.

"Ada yang bisa dibantu, Pak?" tanyanya dengan hormat, tatapannya terpaku pada ekspresi sang bos yang seperti patung marmer, dingin namun penuh arti.

Bayu mengangkat kepala, menatapnya dengan sorot mata tajam, seperti elang yang mengintai mangsa.

"Jihan tidak mengatakan apa pun kan, pada teman-teman kantornya?" Ada nada cemas di balik ketegasan itu, sekelebat kerentanan yang ingin ia tutupi.

Rafi menggelengkan kepala. "Tidak, Pak. Jihan tampak biasa saja dan mengerjakan pekerjaannya seperti biasa."

Bayu menyipitkan mata, tatapannya menusuk, mencoba menembus keyakinan yang diucapkan Rafi. "Apa kamu yakin?" desaknya, seperti hakim yang menuntut kejujuran terdakwa.

"Yakin, Pak. Sesuai permintaan Anda, saya selalu memantau Jihan dan memastikan dia tidak mengatakan apa pun pada siapa pun, termasuk sahabatnya sendiri—Meta."

Bayu terdiam sesaat, menelan ludahnya yang terasa pahit, seperti mencicipi racun dari ragu yang menggerogoti dirinya.

Kata-kata Nadya kembali menghantui pikirannya. Jihan wanita yang bisa dipercaya untuk memberi mereka seorang anak.

"Kalau begitu, cari tahu lebih banyak tentang Jihan. Saya tidak terlalu mengenal wanita itu sebelumnya," perintahnya, suaranya dingin namun penuh otoritas, seperti embun beku yang menggigit di pagi hari.

"Baik, Pak. Saya akan mencari informasinya dengan cepat," jawab Rafi sebelum keluar dengan langkah yang nyaris tanpa suara.

Bayu kembali menyandarkan tubuhnya di kursi kebesarannya, yang terasa seperti singgasana isolasi.

Matanya sesekali melirik ke arah kaca besar yang sengaja ia buka, membiarkan pandangannya menyapu ruang kantor hingga sosok Jihan terlihat samar di kejauhan.

"Beraninya kau membocorkan rahasia ini, Jihan," desisnya pelan, namun tajam seperti pisau yang berkilau di bawah sinar matahari. "Bukan hanya kamu yang akan kuhancurkan, tetapi adikmu juga."

Tatapannya membara dengan intensitas yang mengancam, sementara bayangan Jihan terpantul di kaca, seolah menjadi simbol dari rahasia gelap yang harus tetap tersembunyi.

Bayu mengeratkan rahangnya, sumpah yang ia gumamkan seperti mantera kelam yang menggema di dalam hatinya.

Sumpah, demi apa pun, tidak akan ada satu orang pun yang tahu tentang pernikahan ini.

Jihan adalah pion di papan catur hidupnya, dan Bayu bertekad untuk menjaga permainan tetap di tangannya—sampai ia mendapatkan apa yang diinginkannya.

"Jihan?" suara Meta melayang, menghampiri Jihan yang tengah tenggelam dalam dunia kerja yang sunyi. Jemarinya bergerak lincah di atas keyboard, seperti memainkan simfoni kecil yang hanya ia dengar.

Jihan menoleh perlahan, alisnya sedikit terangkat. "Ada apa, Meta?" tanyanya, suaranya datar, namun mengandung kehangatan yang selalu menyertainya.

Meta mendekat, membawa aroma penasaran yang begitu khas. "Kamu sadar nggak sih, dari tadi Pak Bayu kayak lagi lihatin kamu," ujarnya, dengan nada setengah berbisik namun sarat dengan intrik.

Jihan mengalihkan pandangannya, menoleh ke arah ruang kerja Bayu. Sosok pria itu berdiri di balik dinding kaca, matanya tajam menembus jarak seperti seorang penjaga yang enggan melepas pandangan. Kening Jihan berkerut ringan sebelum ia kembali menatap Meta.

"Mungkin dia lagi gabut, Meta. Biarin aja," jawabnya ringan, seolah enggan memberikan tempat bagi kekhawatiran untuk bersarang.

Namun, ada sesuatu di balik matanya—sekelebat rasa tidak nyaman yang segera ia tekan dalam-dalam.

Meta tersenyum penuh arti, lalu mencondongkan tubuhnya sedikit, seperti seseorang yang baru saja menemukan rahasia yang terlalu menarik untuk disimpan sendiri.

"Dia suka kali, sama kamu," celetuknya, nadanya penuh canda namun menusuk seperti jarum kecil yang menyentuh permukaan kulit.

"Hus! Dia sudah punya istri, Meta. Kamu ini, ngarang aja," balas Jihan, mengibas ringan ucapannya seolah mengusir lalat pengganggu.

Tatapannya mendadak lebih serius, meminta Meta untuk kembali ke meja kerjanya dengan isyarat kecil.

Meta hanya tertawa, tawanya renyah seperti denting kaca di tengah hening. Ia berbalik, matanya mendapati Rafi berdiri di dekat mereka, mengamati dari kejauhan seperti bayangan yang tak pernah absen.

Meta menyeringai kecil, menantangnya dengan nada setengah main-main, "Ngapain kamu di situ? Mau jadi mata-mata kami, supaya naik gaji?"

Rafi mendesah pelan, memutar bola matanya dengan kejemuan yang disengaja. Tanpa kata, ia berbalik, langkahnya ringan namun tegas, meninggalkan dua wanita yang masih sibuk dengan dunia kecil mereka.

Meta menyeringai kecil menatap kepergian Rafi, sebelum mengangkat bahu dengan gaya tak peduli. Sementara Jihan hanya menggeleng-gelengkan kepala, senyumnya samar namun penuh arti.

"Kalau kalian nggak saling menyindir sehari aja, kayaknya dunia bakal runtuh," gumamnya pelan, matanya kembali menatap layar komputer, berusaha mengabaikan kenyataan bahwa di sudut pandangnya, sosok Bayu masih tak berhenti memandanginya dari kejauhan.

**

Waktu sudah merambat pelan menuju angka tujuh malam, membungkus langit dengan selimut gelap yang bertabur bintang kecil, samar-samar tertutupi awan.

Langkah Jihan terdengar nyaris tanpa suara di koridor rumah sakit, hanya diselingi detak jarum jam di dinding yang terasa lebih lambat dari biasanya.

Kabar bahwa Bastian sudah siuman memburu langkahnya, membawa rasa lega bercampur kecemasan yang menyesakkan dadanya.

“Kak?” suara lirih Bastian menyambutnya begitu ia masuk ke kamar rumah sakit itu, seperti angin kecil yang menerobos ruang sunyi.

Jihan tersenyum lembut, meski matanya tak bisa menyembunyikan lelah yang mengendap di sana.

“Syukurlah kamu sudah siuman, Bas. Kakak khawatir sama kamu,” ucapnya, suaranya seperti belaian hangat di tengah dinginnya malam.

Bastian menatap Jihan dengan mata yang berkaca-kaca, seperti mencoba mencari jawaban yang telah lama ingin ia ketahui. “Kenapa Kakak mengorbankan diri Kakak buat aku?”

Jihan menelan ludahnya dengan susah payah, tenggorokannya terasa kering, seolah menolak untuk menjawab.

“Dari mana kamu tahu soal ini, Bas? Siapa yang memberitahumu?” tanyanya, nada suaranya penuh kehati-hatian, seperti seseorang yang berjalan di atas pecahan kaca.

“Meskipun aku sudah tidak berdaya, tapi aku masih bisa mendengar,” bisik Bastian, suaranya pecah oleh emosi yang ditahan.

“Aku tahu Kakak mengorbankan diri menjadi istri kedua Pak Bayu dan meminta Kakak melahirkan anak untuk mereka.”

Jihan tertegun, seakan kata-kata itu menghantamnya seperti gelombang besar yang tak bisa ia hindari.

Tangannya perlahan menggenggam tangan Bastian, erat, seperti memindahkan kekuatan yang tersisa dalam dirinya ke adiknya.

“Jangan khawatir, Bas. Tidak apa-apa,” ucapnya dengan senyum getir yang dipaksakan.

“Kakak akan melakukan apa pun untuk kamu, asal kamu sehat. Kakak hanya punya kamu, Bas. Jadi, tolong mengerti kondisi Kakak.”

Air mata Bastian tak bisa lagi terbendung, mengalir deras seperti hujan yang tumpah di musim kemarau.

Tatapannya penuh luka dan cinta, menatap sang kakak yang kini ia sadari telah mengorbankan segalanya. “Aku tidak akan mengecewakan Kakak. Aku janji,” bisiknya, suara itu gemetar namun penuh tekad.

Jihan mengangguk perlahan, bibirnya melengkungkan senyum kecil yang membawa secercah harapan. “Good,” gumamnya, mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa semua ini akan berakhir baik-baik saja.

Namun, ketenangan itu tak bertahan lama. Getaran ponselnya membuyarkan momen tersebut. Dengan cepat ia merogoh sakunya, membaca pesan yang baru masuk di layar.

Nadya: Jihan. Sebaiknya kamu dan Mas Bayu segera bermalam bersama. Jangan mengulur waktu kalau kamu memang tidak berniat ingin memiliki suamiku.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Mga Comments (2)
goodnovel comment avatar
Mispri Yani
hafeuh Bayu Bayu kamu tuh mau nya apa sih kalo ngga percaya sama Jihan tinggal selidiki ngga usah ngawasin kayak gitu
goodnovel comment avatar
Teh Gelas
ngebet amat mbak nadya pengen punya anak wkwkwkwk
Tignan lahat ng Komento

Pinakabagong kabanata

  • Terpaksa Menjadi Ibu Pengganti CEO Arogan   Memberitahu Yang Sebenarnya

    Bayu mengangkat wajahnya perlahan. Matanya menatap sang mama yang kini duduk dengan punggung tegak, menunggu jawaban.Sorot mata Sara penuh keyakinan, seolah ia sudah tahu jawaban dari pertanyaannya bahkan sebelum Bayu membuka mulut. Bayu bisa merasakan dadanya sesak.Kenyataan yang selama ini ia tutupi, kini perlahan mengambang di permukaan. Tak ada tempat untuk bersembunyi lagi.“Iya, Ma...” ucapnya akhirnya, suaranya nyaris seperti bisikan yang tercekik di tenggorokan.“Nadya memang bermasalah. Dia tidak bisa memberiku anak.”Dalam sekejap, wajah Sara berubah. Wanita itu mendongakkan kepala dan mematung sejenak.Matanya membelalak, seolah kalimat itu baru saja menamparnya keras. Mulutnya terbuka lebar, nyaris tak percaya.“Astaga, Bayu…” desisnya. Tangannya refleks menutup mulut sebelum ia menggeleng berkali-kali, mencoba menyangkal kenyataan yang baru saja dikonfirmasi anaknya sendiri.

  • Terpaksa Menjadi Ibu Pengganti CEO Arogan   Desakan dari Sang Mama

    “Mama? Kenapa nggak bilang kalau mau ke sini?” tanya Bayu, berdiri dari kursinya dengan ekspresi terkejut.Tatapannya langsung tertuju pada sosok wanita paruh baya yang berdiri angkuh di depan pintu ruang kerjanya—Sara, ibunya.Penampilannya masih sama elegan dan penuh wibawa seperti biasa, dengan rambut disanggul rapi dan mantel mahal yang menggantung di bahunya. Kehadirannya selalu membawa aura tekanan tersendiri bagi Bayu.“Kenapa kamu terlihat terkejut melihat Mama di sini?” balas Sara dengan nada dingin, matanya tajam mengamati anak lelakinya.Ia melipat kedua tangannya di dada, mempertegas sikapnya yang sedang tidak ingin basa-basi.Bayu menggeleng pelan, mencoba menenangkan dirinya meski dada terasa sesak. “Nggak biasanya Mama datang tanpa memberitahuku dulu,” ucapnya jujur, berusaha terdengar tenang.“Melvin sudah pulang ke Indonesia dan aku sudah memberinya pekerjaan sebagai General Manager di sini,” lanjutnya, mencoba mengalihkan topik pembicaraan agar suasana tidak memanas

  • Terpaksa Menjadi Ibu Pengganti CEO Arogan   Kedatangan Mertua

    “Mama?” Mata Nadya terbelalak, menatap sosok perempuan paruh baya yang berdiri di ambang pintu rumahnya dengan wajah tanpa ekspresi.Waktu baru menunjukkan pukul enam lewat sepuluh menit, udara pagi masih terasa dingin, dan cahaya matahari baru saja menyelinap masuk lewat celah tirai jendela ruang tamu.Tubuh Sara berdiri tegak, mengenakan mantel abu-abu dan tas tangan berwarna gelap menggantung di lengannya.Aroma parfum khasnya langsung menyergap penciuman Nadya—wangi elegan yang selalu membuatnya gugup tanpa alasan.“Mama kok nggak bilang kalau mau ke sini? Ada apa, Ma?” tanya Nadya dengan lembut, berusaha menyembunyikan keterkejutannya.Sara melangkah masuk tanpa menanggapi sapaan itu, pandangannya menyapu sekeliling rumah dengan sorot mata kritis. Dengan langkah ringan namun penuh wibawa, ia duduk di sofa tanpa diminta.“Di mana Bayu?” tanyanya datar, tanpa basa-basi.“Mas Bayu sudah berangkat, Ma. Mungkin sekitar lima belas menit yang lalu. Mama ke sini nggak sama Papa?” tanyany

  • Terpaksa Menjadi Ibu Pengganti CEO Arogan   Jangan Beritahu Bayu

    “Kak. Ada yang ingin aku tanyakan ke Kakak.” Suara Bastian terdengar hati-hati saat ia melangkah perlahan mendekati ruang keluarga.Langkah kakinya tertahan sejenak di ambang pintu, ragu, seolah mempertimbangkan kembali niatnya.Di hadapannya, Jihan tampak santai duduk di atas sofa, bersandar dengan satu tangan menopang dagu, matanya terpaku pada layar televisi yang menampilkan acara talkshow sore.Sesekali ia menekan remote control, mengganti channel dengan wajah datar.Mendengar suara adiknya, Jihan menoleh sedikit tanpa mengubah posisinya. “Tanya aja, Bas. Ada apa?” tanyanya ringan, matanya masih menatap layar meski dengan ekspresi kosong.Bastian berdiri di tempatnya sebentar, kemudian menarik napas dalam-dalam, seakan membutuhkan keberanian tambahan sebelum akhirnya mendudukkan diri di sofa yang berseberangan dengan kakaknya.“Kakak … lagi hamil, ya?” tanyanya pelan, penuh kehati-hatian, seperti takut melukai atau membuka luka yang belum sembuh.Pertanyaan itu membuat tangan Jiha

  • Terpaksa Menjadi Ibu Pengganti CEO Arogan   Debat Hebat Suami Istri

    Nadya dengan langkah cepat dan penuh emosi menapaki koridor kantor tempat Bayu bekerja.Sesampainya di depan ruangan Bayu, tanpa mengetuk, ia langsung membuka pintu dan masuk.Bayu yang sedang duduk di balik meja kerjanya langsung menoleh sekilas, lalu kembali menatap layar laptop tanpa ekspresi.“Ada apa kamu kemari?” tanyanya datar, suaranya dingin tanpa antusiasme.Nadya berdiri tegak di depannya, menahan degup jantung yang berderap karena emosi. Sorot matanya menusuk, bibirnya bergetar menahan amarah yang ingin diluapkan sejak lama.“Kenapa kamu tidak pernah pulang ke rumah, Mas? Kamu tidur di mana selama satu minggu ini?” tanyanya dengan nada yang nyaris menggugat.Bayu hanya menarik napas dalam-dalam. Ia menutup layar laptopnya perlahan, lalu menyandarkan tubuh ke sandaran kursi. Tatapannya tetap tak diarahkan pada Nadya.“Bukan urusanmu. Aku tidak sedang ingin berdebat denganmu. Pekerjaanku sedang

  • Terpaksa Menjadi Ibu Pengganti CEO Arogan   Kemarahan Tidak Jelas Nadya

    Langit sudah mulai gelap ketika Jihan akhirnya tiba di rumah. Rasa lelah menggelayuti seluruh tubuhnya, apalagi setelah kejadian di kafetaria bersama Melvin yang membuat pikirannya semakin kalut.Ia membuka pintu perlahan, meletakkan tas tangan di meja dekat pintu, lalu duduk di tepi lantai untuk melepaskan sepatu heels-nya yang sejak tadi menyiksa telapak kakinya.Ia menghela napas panjang dan menggantinya dengan sandal rumahan berwarna cokelat lusuh.Namun, belum sempat ia bangkit berdiri, tiba-tiba terdengar suara keras dari arah pintu.Brak!Pintu terbuka lebar, didorong dengan kasar dari luar.Jihan sontak berdiri tergesa, kaget bukan main. Matanya membelalak saat melihat siapa yang berdiri di ambang pintu dengan wajah merah padam.“Mbak Nadya?” ucapnya dengan nada bingung, jantungnya berdetak tak karuan. Ia mencoba tetap tenang. “Ada apa, Mbak?”Nadya melangkah masuk tanpa permisi, langkahnya cepat dan penuh amarah. Tatapan matanya menusuk seperti belati, tajam dan penuh kecurig

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status