Pernikahan Jihan dan Bayu baru saja digelar dengan keheningan yang nyaris menyakitkan di kediaman Bayu.
Bahkan yang menghadiri pun hanya segelintir orang saja, termasuk Nadya, yang duduk seperti bayangan tak bernyawa di sudut ruangan. Lampu-lampu kristal bergantung di langit-langit tinggi, berkilauan tanpa peduli pada suasana hati yang tertunduk muram.
Dua hari setelah operasi Bastian selesai, Bayu—dengan nada yang tak menerima penolakan—meminta Jihan untuk segera menikah dengannya.
Tak ada waktu untuk mimpi atau pertimbangan; Jihan menyerahkan dirinya seperti bunga layu yang diterbangkan angin ke mana saja ia mau.
“Nadya. Aku antar pulang Jihan ke rumah barunya. Atau kamu mau ikut denganku?” Bayu menghampiri Nadya dengan suara rendah, tapi cukup tajam untuk menembus dinding keheningan di antara mereka.
“Um, aku cukup lelah, Mas. Sebaiknya kamu saja yang mengantar Jihan ke rumah barunya,” jawab Nadya, suaranya hampir tenggelam dalam rasa enggan yang ia coba sembunyikan.
“Baiklah. Aku akan segera pulang begitu mengantar Jihan,” jawab Bayu, lalu mencium kening Nadya seakan itu hanyalah ritual tanpa rasa. Ia kemudian melangkah menuju Jihan, yang duduk kaku dalam kebaya putih, wajahnya dihias riasan sederhana yang kontras dengan sorot matanya yang redup.
“Ayo. Kamu tidak akan tinggal di rumah ini,” katanya, singkat dan tajam, seakan setiap kata adalah perintah tak terelakkan.
Jihan beranjak dari duduknya, langkahnya perlahan seperti boneka yang ditarik tali, mengikuti Bayu keluar dari rumah megah berlantai tiga yang menjulang seperti benteng tak berjiwa.
Sesampainya di rumah sederhana berlantai dua, Bayu membuka pintu dan membawa Jihan masuk. Dindingnya masih polos, aroma cat baru menyelimuti udara, tetapi tak ada hangat yang menyambut di dalam.
“Ini rumah yang akan kamu tinggali dengan Bastian setelah adikmu keluar dari rumah sakit,” ucap Bayu dengan nada yang sedingin angin malam.
Jihan menoleh, matanya menatap wajah Bayu yang berdiri di hadapannya seperti patung batu, keras dan tak tersentuh. “Baik, Pak.”
“Saya tidak akan tinggal di sini setiap hari, termasuk malam ini,” katanya lagi, tanpa ekspresi, seolah rumah ini hanyalah titik di peta yang harus ia kunjungi sesekali. “Saya akan menghubungimu jika akan kemari.”
Jihan mengangguk, menelan ludah yang terasa seperti bara. “Baik, Pak.” Tidak ada Bayu di sini, bukankah itu lebih baik?
Dia akan menjalani tugasnya sebagai ibu pengganti untuk anak Bayu dan Nadya, sebuah peran yang terasa lebih seperti hukuman daripada panggilan. Dan setelah semuanya selesai, dia akan pergi, menjauh, seolah dirinya hanyalah bayangan yang memudar di bawah mentari sore.
Merelakan rahimnya menjadi tempat tumbuhnya makhluk kecil dari seorang pria beristri adalah pergulatan batin yang hampir tak tertahankan.
Namun, Jihan harus menelan kenyataan pahit itu. Demi adiknya—satu-satunya keluarga yang tersisa—ia menyingkirkan semua rasa jijik dan kepedihan yang membuncah di dadanya.
Bayu, dengan langkah yang penuh keangkuhan, merogoh sesuatu dari saku celana hitamnya. Sebuah cincin pernikahan mengkilap muncul di antara jemarinya. Tanpa basa-basi, ia menarik tangan kiri Jihan, kasar namun terukur.
“Walaupun pernikahan ini rahasia, tapi kamu tetap sah sebagai istri saya di mata agama,” suaranya dingin, setiap kata seperti belati yang memotong sisa harga diri Jihan.
“Jadi, jangan menganggap bahwa kamu bukan seorang istri,” tambahnya dengan nada yang terdengar lebih seperti ancaman daripada penghiburan.
Jihan hanya mampu mengangguk. Diam menjadi satu-satunya perisai yang ia miliki dalam percakapan yang penuh dominasi ini.
“Kamu tidak memiliki kekasih, kan?” tanya Bayu, matanya menyelidik seperti hakim yang sedang mengadili terdakwa.
Jihan menggeleng pelan. “Tidak, Pak. Saya tidak memiliki kekasih, Anda tenang saja.”
Bayu tersenyum tipis, lebih mirip seringai. “Good! Karena saya tidak mau berurusan dengan pria yang dekat denganmu. Apalagi sampai benih saya tercampur dengan pria lain.”
Jihan terkejut mendengar kalimat itu. Rasanya seperti tamparan di wajahnya. Ia mengerutkan kening, tatapan matanya berubah tajam meski tubuhnya masih kaku. “Apa maksud Anda bicara seperti itu? Anda pikir saya wanita murahan?” tanyanya dengan suara yang dipenuhi ketegasan dan sedikit getar emosi.
Bayu hanya mengangkat bahu, santai dan acuh tak acuh. “Tidak ada yang tahu, kan?”
Wajah Jihan memerah, bukan karena malu, tetapi karena amarah yang mulai mendidih. “Kalau memang tidak tahu, sebaiknya jangan menuduh sembarangan, Pak! Saya ini masih suci, murni, belum pernah melakukan hubungan seperti itu!”
Bayu menyunggingkan senyum sinis, senyum yang penuh keraguan dan sarkasme. Tatapannya menusuk, seolah ia sedang menikmati melihat Jihan berjuang mempertahankan martabatnya.
“Kita lihat saja nanti, Jihan."
Bayu mengangkat wajahnya perlahan. Matanya menatap sang mama yang kini duduk dengan punggung tegak, menunggu jawaban.Sorot mata Sara penuh keyakinan, seolah ia sudah tahu jawaban dari pertanyaannya bahkan sebelum Bayu membuka mulut. Bayu bisa merasakan dadanya sesak.Kenyataan yang selama ini ia tutupi, kini perlahan mengambang di permukaan. Tak ada tempat untuk bersembunyi lagi.“Iya, Ma...” ucapnya akhirnya, suaranya nyaris seperti bisikan yang tercekik di tenggorokan.“Nadya memang bermasalah. Dia tidak bisa memberiku anak.”Dalam sekejap, wajah Sara berubah. Wanita itu mendongakkan kepala dan mematung sejenak.Matanya membelalak, seolah kalimat itu baru saja menamparnya keras. Mulutnya terbuka lebar, nyaris tak percaya.“Astaga, Bayu…” desisnya. Tangannya refleks menutup mulut sebelum ia menggeleng berkali-kali, mencoba menyangkal kenyataan yang baru saja dikonfirmasi anaknya sendiri.
“Mama? Kenapa nggak bilang kalau mau ke sini?” tanya Bayu, berdiri dari kursinya dengan ekspresi terkejut.Tatapannya langsung tertuju pada sosok wanita paruh baya yang berdiri angkuh di depan pintu ruang kerjanya—Sara, ibunya.Penampilannya masih sama elegan dan penuh wibawa seperti biasa, dengan rambut disanggul rapi dan mantel mahal yang menggantung di bahunya. Kehadirannya selalu membawa aura tekanan tersendiri bagi Bayu.“Kenapa kamu terlihat terkejut melihat Mama di sini?” balas Sara dengan nada dingin, matanya tajam mengamati anak lelakinya.Ia melipat kedua tangannya di dada, mempertegas sikapnya yang sedang tidak ingin basa-basi.Bayu menggeleng pelan, mencoba menenangkan dirinya meski dada terasa sesak. “Nggak biasanya Mama datang tanpa memberitahuku dulu,” ucapnya jujur, berusaha terdengar tenang.“Melvin sudah pulang ke Indonesia dan aku sudah memberinya pekerjaan sebagai General Manager di sini,” lanjutnya, mencoba mengalihkan topik pembicaraan agar suasana tidak memanas
“Mama?” Mata Nadya terbelalak, menatap sosok perempuan paruh baya yang berdiri di ambang pintu rumahnya dengan wajah tanpa ekspresi.Waktu baru menunjukkan pukul enam lewat sepuluh menit, udara pagi masih terasa dingin, dan cahaya matahari baru saja menyelinap masuk lewat celah tirai jendela ruang tamu.Tubuh Sara berdiri tegak, mengenakan mantel abu-abu dan tas tangan berwarna gelap menggantung di lengannya.Aroma parfum khasnya langsung menyergap penciuman Nadya—wangi elegan yang selalu membuatnya gugup tanpa alasan.“Mama kok nggak bilang kalau mau ke sini? Ada apa, Ma?” tanya Nadya dengan lembut, berusaha menyembunyikan keterkejutannya.Sara melangkah masuk tanpa menanggapi sapaan itu, pandangannya menyapu sekeliling rumah dengan sorot mata kritis. Dengan langkah ringan namun penuh wibawa, ia duduk di sofa tanpa diminta.“Di mana Bayu?” tanyanya datar, tanpa basa-basi.“Mas Bayu sudah berangkat, Ma. Mungkin sekitar lima belas menit yang lalu. Mama ke sini nggak sama Papa?” tanyany
“Kak. Ada yang ingin aku tanyakan ke Kakak.” Suara Bastian terdengar hati-hati saat ia melangkah perlahan mendekati ruang keluarga.Langkah kakinya tertahan sejenak di ambang pintu, ragu, seolah mempertimbangkan kembali niatnya.Di hadapannya, Jihan tampak santai duduk di atas sofa, bersandar dengan satu tangan menopang dagu, matanya terpaku pada layar televisi yang menampilkan acara talkshow sore.Sesekali ia menekan remote control, mengganti channel dengan wajah datar.Mendengar suara adiknya, Jihan menoleh sedikit tanpa mengubah posisinya. “Tanya aja, Bas. Ada apa?” tanyanya ringan, matanya masih menatap layar meski dengan ekspresi kosong.Bastian berdiri di tempatnya sebentar, kemudian menarik napas dalam-dalam, seakan membutuhkan keberanian tambahan sebelum akhirnya mendudukkan diri di sofa yang berseberangan dengan kakaknya.“Kakak … lagi hamil, ya?” tanyanya pelan, penuh kehati-hatian, seperti takut melukai atau membuka luka yang belum sembuh.Pertanyaan itu membuat tangan Jiha
Nadya dengan langkah cepat dan penuh emosi menapaki koridor kantor tempat Bayu bekerja.Sesampainya di depan ruangan Bayu, tanpa mengetuk, ia langsung membuka pintu dan masuk.Bayu yang sedang duduk di balik meja kerjanya langsung menoleh sekilas, lalu kembali menatap layar laptop tanpa ekspresi.“Ada apa kamu kemari?” tanyanya datar, suaranya dingin tanpa antusiasme.Nadya berdiri tegak di depannya, menahan degup jantung yang berderap karena emosi. Sorot matanya menusuk, bibirnya bergetar menahan amarah yang ingin diluapkan sejak lama.“Kenapa kamu tidak pernah pulang ke rumah, Mas? Kamu tidur di mana selama satu minggu ini?” tanyanya dengan nada yang nyaris menggugat.Bayu hanya menarik napas dalam-dalam. Ia menutup layar laptopnya perlahan, lalu menyandarkan tubuh ke sandaran kursi. Tatapannya tetap tak diarahkan pada Nadya.“Bukan urusanmu. Aku tidak sedang ingin berdebat denganmu. Pekerjaanku sedang
Langit sudah mulai gelap ketika Jihan akhirnya tiba di rumah. Rasa lelah menggelayuti seluruh tubuhnya, apalagi setelah kejadian di kafetaria bersama Melvin yang membuat pikirannya semakin kalut.Ia membuka pintu perlahan, meletakkan tas tangan di meja dekat pintu, lalu duduk di tepi lantai untuk melepaskan sepatu heels-nya yang sejak tadi menyiksa telapak kakinya.Ia menghela napas panjang dan menggantinya dengan sandal rumahan berwarna cokelat lusuh.Namun, belum sempat ia bangkit berdiri, tiba-tiba terdengar suara keras dari arah pintu.Brak!Pintu terbuka lebar, didorong dengan kasar dari luar.Jihan sontak berdiri tergesa, kaget bukan main. Matanya membelalak saat melihat siapa yang berdiri di ambang pintu dengan wajah merah padam.“Mbak Nadya?” ucapnya dengan nada bingung, jantungnya berdetak tak karuan. Ia mencoba tetap tenang. “Ada apa, Mbak?”Nadya melangkah masuk tanpa permisi, langkahnya cepat dan penuh amarah. Tatapan matanya menusuk seperti belati, tajam dan penuh kecurig