Meta memacu mobilnya menuju rumah orang tua Rafi, hati berdebar-debar bercampur cemas.Ia sudah bertekad untuk menemui Rafi, meminta maaf, dan mengutarakan perasaan yang selama ini tertahan. Ia bahkan sudah mempersiapkan kata-kata yang ingin disampaikannya dalam benaknya.Namun, saat mobilnya berhenti di depan pagar, sesuatu membuatnya terpaku.Di halaman, Rafi sedang berbincang hangat dengan seorang wanita berambut panjang.Mereka tampak begitu akrab, bercanda dan tertawa. Wanita itu bahkan sesekali memukul lengan Rafi manja, membuat Rafi tertawa lepas.Sekejap, dada Meta terasa seperti tertimpa batu. Matanya memanas, dan sebelum sempat berpikir, air mata sudah membasahi pipinya.Apa ini? pikirnya, napasnya tercekat. Ia merasa dikhianati. Ia datang untuk memperbaiki keadaan, dan sekarang harus melihat pemandangan yang begitu melukai perasaannya.Ia mundur selangkah, berbalik untuk segera pergi. Namun, gerakan Meta membuat Rafi menyadari kehadirannya.“Meta?” panggil Rafi kaget, lalu
Suara ketukan pintu membuat Meta beranjak dari sofa. Matanya sedikit sembab, tubuhnya terasa lemas, dan semangatnya seakan tersedot habis dalam beberapa hari terakhir.Ketika ia membuka pintu, wajah Jihan sudah berdiri di sana—tatapan sahabatnya itu tajam dan penuh emosi.Tanpa basa-basi, Jihan langsung melangkah masuk. “Meta,” katanya setengah marah, setengah khawatir, “apa yang kamu lakukan? Membiarkan Rafi pergi begitu saja? Kamu sadar nggak betapa tulusnya dia mencintai kamu?”Meta terdiam di tempatnya, bahunya merosot. Ia sudah tahu cepat atau lambat Jihan pasti akan datang dan melontarkan semua kekesalannya.Jihan menatapnya lebih dalam lalu menghela napas pelan. “Aku tahu, harga dirimu pasti membuatmu sulit untuk mengejarnya duluan. Tapi jangan bodoh, Meta. Rafi itu lelaki baik. Kalau dia bisa sabar dan mencintaimu seperti itu, jangan sia-siakan.”Jihan menggenggam tangan Meta dan menatapnya kembali. “Kamu tidak akan menemukan pria sebaik Rafi, dan kamu tahu itu.”Mata Meta mul
Meta merasakan atmosfer di ruangan itu begitu aneh sejak Rafi masuk. Tidak biasanya Rafi pulang begitu diam dan kaku.Meta mendekat dan menatap suaminya itu dengan tatapan lembut. “Rafi… kamu kenapa?”Pertanyaan itu membuat Rafi seperti tersentak. Ia menoleh cepat, dan kali ini Meta bisa melihat jelas gejolak di mata suaminya—campuran amarah dan kecewa.“Kenapa?” ulang Rafi. Suaranya berat dan nyaris bergetar. Ia menarik napas dalam, dan kali ini emosinya pecah. “Harusnya aku yang tanya begitu. Kamu kenapa, Meta?!”Meta mengerutkan kening, bingung sekaligus cemas. “Aku nggak ngerti maksud kamu…”Rafi tertawa getir, membuat dada Meta berdesir. “Jangan pura-pura, Meta. Kamu pikir aku nggak lihat Julian keluar dari sini barusan? Dan pesan-pesannya di ponselmu? Kamu sengaja membuka pintu untuknya?”Mata Meta melebar kaget. Ia langsung menggeleng. “Buka pintu un
Malam sudah larut ketika ponsel Meta bergetar di nakas samping ranjang mereka. Meta baru saja selesai mandi dan hendak beristirahat di samping Rafi yang sudah setengah terlelap. Ia melirik layar dan seketika napasnya tercekat.Sebuah pesan panjang muncul dari nomor lama, nomor yang sudah lama ingin ia hapus dari ingatan—Julian.Meta menelan ludah dan membuka pesan itu. Baris demi baris kata menatapnya seperti hantu dari masa lalu:‘Meta, aku tahu aku bukan siapa-siapa lagi di hidupmu. Tapi, izinkan aku bicara sekali ini. Aku benar-benar menyesali semua perbuatanku. Semua luka dan sakit yang sudah ku sebabkan. Jika saja bisa kuulang waktu, aku ingin memperbaiki segalanya.‘Kamu begitu berarti untukku, dan kehilanganku membuatku sadar bahwa aku terlalu bodoh selama ini. Kuharap kau mau memberi aku kesempatan, sekecil apa pun itu.‘Jika tidak, aku hanya ingin kau tahu bahwa aku benar-benar menyesal dan mendoakanmu bahagia. &mda
Langit sore sudah menjingga saat Meta melangkah keluar dari lobi gedung The Bays Company. Hari itu cukup padat, dan ia ingin segera pulang untuk beristirahat.Ia menenteng tas kerjanya dan melangkah cepat menuju area parkir, tetapi baru beberapa langkah, ia terdiam.Di depannya, berdiri Julian.Sosok lelaki itu tampak rapi dalam setelan formal, namun wajahnya tampak lebih lesu dari terakhir kali mereka bertemu.Julian menatapnya dengan mata yang entah bagaimana begitu gelisah, dan di tangan kanannya tergenggam sebuah amplop.“Meta,” sapa Julian dengan suara pelan.Jantung Meta berdebar. Ia tidak pernah menyangka akan bertemu Julian lagi, apalagi di depan kantornya. Ia menguatkan diri dan mengeraskan ekspresi wajahnya agar tetap datar.“Kenapa kamu di sini?” tanya Meta dingin dan tetap berdiri di jarak aman.Julian melangkah maju setengah langkah, seakan ingin mendekat, tetapi melihat ketegasan di mata Me
Meta melangkah ke kamar mereka dan menutup pintu di belakangnya. Ia menarik napas dalam dan membuka laci, mengambil lingerie navy kesukaannya — kainnya tipis dan begitu lembut, dihiasi renda elegan dan garis potongan yang menonjolkan lekuk tubuhnya.Meta belum pernah benar-benar memakainya di depan Rafi. Ia hanya membeli lingerie itu untuk saat-saat spesial, dan malam ini adalah salah satunya.“Hhh! Sepertinya Rafi memikirkan apa yang seharusnya tidak dipikirkan. Aku harus menggodanya malam ini,” ujarnya dengan dada yang berdebar tak karuan.Karena berita itu, Meta berpikir kalau Rafi berpikir buruk tentangnya. Dan karena berita itu, Meta harus menjadi ‘pelacur’ untuk suaminya, menggoda suaminya agar mau menyentuhnya.Ia berganti pakaian cepat, merapikan rambutnya agar jatuh bergelombang di bahunya, dan mengoleskan sedikit parfum hangat di leher dan pergelangan tangannya.Dengan debaran di dada dan senyum hangat di bib