Share

Kegelisahan EdwarD

“Aku harus kembali ke kamar Amalia sebelum dia bangun dan mencariku.” Edward mengambil baju yang berserakan di lantai. Ia kembali melihat ke arah Yura dan mencium keningnya lalu beranjak dari kasur.

Yura masih bergeming melihat punggung Edward yang menghilang dari pandangannya. Ia mencoba bangkit, tetapi rasa nyeri masih terasa begitu ngilu. Ia memunguti baju di lantai dan memakainya. Perlahan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.

Malam itu, ia menyerahkan mahkotanya untuk Edward. Pria yang sejak pertama bertemu selalu saja kasar. Namun, akhirnya luluh dengan kesabaran Yura.

Pipinya masih sangat nyeri, di bawah guyuran shower, Yura kembali mengingat malam indah bersama Edward. Namun, tangisnya kembali terdengar kala ia hanya dijadikan alat untuk memiliki keturunan. Jika dirinya tak kunjung hamil, pasti akan tergeser pula. Hatinya sudah berlabu pada pria kasar yang selalu membuat hatinya perih.

“Apalah arti diri ini, setelah aku tak diharapkan, ia pun akan pergi. Bukan aku yang diinginkannya, tapi hanya Amalia.”

Kembali Yura terbayang keluarganya, ia merindukan kedua orang tuanya. Ia berniat meminta izin madam Syin untuk menemui mereka di desa. Ia berharap ibu mertuanya mengizinkannya.

***

 “Kamu sudah bangun?” Edward menyapa saat Amalia mula membuka mata.

“Kepalaku sakit,” keluh Amalia.

Edward menghampiri sang istri dan mengelus pucuk kepala Amalia. Pria itu berharap Amalia tidak curiga dengannya. Ia berani keluar menemui Yura karena Amalia semalam meminum obat tidur karena dia terus saja merasa tidak tenang. Awalnya Edward tak mengizinkannya, tetapi dokter menjelaskan jika Amalia butuh jika susah tidur.

Entah ketergantungan atau tidak, Amalia sudah terbiasa dengan hal itu. Edward pernah melarangnya, tetapi Amalia gelisah seperti tidak tenang.

“Kamu sudah rapi?” tanya Amalia saat melihat suaminya sudah mengenakan jas navy dengan dasi biru muda.

“Ada meeting hari ini, aku harus bersiap lebih awal.”

“Oh, pantas.”

“Sarapan atau mau mandi dulu?”

“Mandi sebentar, ya.”

Gegas Amalia bangkit menuju kamar mandi. Edward melihat tubuh sang istri yang semakin kurus. Entah ia diet atau memang sedang berkurang nafsu makannya. Edward melihat ponsel Amalia bergetar. Gegas ia mengambilnya.

Edward mengerutkan kening membaca sebuah pesan dari ibu mertuanya.

[Lia, kok kamu belum transfer uang ke mama? Adikmu menunggu, bagaimana bisa dia menikah kalau kamu nggak mentransfer uang dua puluh jutanya]

Edward menaruh kembali ponsel itu di nakas karena mendengar pintu kamar mandi terbuka.

“Sudah mandinya?”

“Cuci muka saja, dingin.”

Ingin rasanya Edward bertanya tentang keluarga Amalia. Mengapa sang ibu selalu saja meminta uang padanya? Bahkan setiap bulan akan menghabiskan 100 juta untuk pengeluaran mereka. Uang yang diberikan Edward pun ludes untuk kehidupan keluarganya.

Kali ini, Amalia belum berbicara pada Edward karena ia malu baru saja meminta uang, malah kembali memintanya. Amalia ragu berbicara karena saat meminta program bayi tabung saja ia menolak.

“Kita langsung ke meja makan saja, Mami sudah menunggu.”

Amalia mengikuti Edward dari belakang. Aroma masakan Bi Rukmini pun sudah menggugah selera. Madam Syin, Edo dan Yura sudah menunggu kedatangan Amalia dan Edward. Rutinitas setiap pagi makan bersama.

Yura memperhatikan Edward, tapi pria itu hanya menatapnya sebentar lalu kembali sibuk dengan Amalia. Terlihat wajah sendu Yura, ia sedih mengingat kejadian semalam. Seolah-olah, ia hanya menjadi tempat pelampiasan. Bahkan, Edward seolah-olah seperti tidak terjadi apa pun dengannya.

“Mi, aku mau izin ke rumah orang tua,” ucap Yura.

Seketika Edward menatap Yura dengan tajam. Amalia yang melihat itu langsung menyenggol lengan sang suami.

“Biasa aja lihatnya. Nggak perlu kamu lihat wanita itu,” bisik Amalia.

Edward tersenyum pada Amalia. “Iya, Sayang.”

Sejujurnya Edward agak terkejut mendengarnya. Yura pulang ke desa untuk beberapa hari atau hanya sebentar, malam juga pulang. Namun, ia tak bisa banyak bicara jika tidak, keributan akan terjadi.

“Hari ini sepertinya tidak bisa, saya ada rapat dengan Edward,” ujar Madam Syin.

“Aku rindu pada mereka, biar aku pergi sendiri bersama Pak Yunus,” pinta Yura.

“Mi, biar Edo saja yang mengantarnya. Kebetulan hari ini tidak ada kerjaan.” Edo menawarkan diri, sedangkan Edward merasa cemas mendengar hal itu.

“Kamu memang tak pernah ada kerjaan, bukan?” tanya Madam Syin.

“Mami tahu, semua sudah di handel Edward. Untuk apa aku susah payah mengurus perusahaan?” Senyum miris terlihat di bibir Edo.

Sejak lama memang sang ibu tak pernah mempercayakannya pada Edo. Ia berpikir, anak bontotnya tidak bisa mengerjakan apa apa selain menjadi perusuh.

“Yura di antar Edo saja, Mi. Yura janji akan kembali dengan cepat.” Lagi, Yura memohon pada Madam Syin.

“Baik, saya izinkan kamu pulang. Do, Mami mau kamu antar Yura.”

“Siap.”

Mendengar hal itu, hati Edward merasa panas. Ia ingin mencegahnya, tetapi Amalia terus saja memperhatikan dirinya. Jika ia mengatakan jangan, pasti akan terjadi keributan lagi. Amalia akan mengamuk.

***

Edward masih saja memikirkan Yura dengan Edo. Harusnya ia mengantar istri pertamanya. Jika tidak ada rapat penting ia sudah menyusulnya. Sejak dimulainya rapat, ia terus saja tak fokus pada apa yang di bahas hingga Robby terpaksa menghandle presentasi kala itu.

“Pak Bos, bagaimana sih, kayanya pikiran lagi nggak singkron?” Robby mulai mengajukan protes.

Edward memutar kursinya. Tangan kanannya memijit pelipisnya, ia sepertinya sudah dibuat gila oleh Yura. Emosi kian memuncak saat melihat status Edo bersama Yura.

“Edo pergi bersama Yura ke desanya.”

“Lalu, apa yang buat kamu nggak fokus?” tanya Robby.

“Aku nggak tahu. Sepertinya aku mulai gila memikirkan Yura!”

Robby tertawa mendengarnya. Pria dengan jas hitam itu paham jika sang bos sedang cemburu. Robby sangat paham karakter Edward yang dingin, tapi diam-diam peduli. Mungkin hal itu yang membuat Edward seperti malu malu kucing.

“Cemburu?” Lagi, pertanyaan Robby membuat Edward bergeming.

Ya, pria itu cemburu dengan adiknya. Edward mengusap wajah kasar, tapa sadar ia memukul kencang meja. “Arg ... sial.”

Robby hanya terkekeh melihat sang bos yang emosi. Sejak lama yang ia tahu adalah Edward sangat mencintai Amalia. Namun, tanpa terduga kedatangan Yura membuat hidup sang bos tak tenang.

“Cinta bilang, Bos.”

Hampir saja buku tebal di meja mengenai tubuh Robby jika asistennya itu tak cepat menghindar. Lagi, Robby hanya terkekeh, ia malah senang menggoda bos besarnya yang kaku.

“Saya juga bingung, satu sisi ada Amalia yang akan tersakiti, tapi jika seperti ini, saya yang tersakiti memendam semuanya. Apalagi melihat dia pergi bersama Edo,” ujarnya cemas.

“Pisah rumah saja, jadi atur waktu kapan berada di tempat Yura dan Amalia.”

Edward bergeming, ia kembali memikirkan apa yang Robby katakan. Setidaknya jika ia bersama Yura akan lebih aman. Sejak malam tadi, ia merasa tertagih bersama istri keduanya. Dirinya merasa ada magnet yang selalu menariknya untuk tetap berada di samping Yura.

Ide Robby sangat membantunya. Akan tetapi, apa boleh jika ia bicara dengan Madam Syin?

“Hanya saran saja. Lebih leluasa, kalau Yura berada di tempat sama dengan Amalia, bos nggak akan bisa bersama dengan Yura dengan tenang.”

“Nanti saya coba.”

“Jadi, benar sudah mulai cinta dengan wanita kedua?”

“Jangan mengejek, mau gaji bulan ini hilang beberapa persen?”

“Elah, jangan dong.”

Menolak Yura adalah hal pertama kali yang Edward lakukan karena tak mau menyakiti Amalia. Ia tahu sang istri tak mampu memberikannya seorang anak, ia tetap mencintai dengan tulus. Namun, tak disangka ada getar aneh saat berdekatan dengan Yura. Wanita muda itu sanggup membuat pikirannya gila tak menentu. Seperti saat ini, ia mencoba menghubungi Yura, tapi tak diangkat oleh sang istri.

Robby kembali terkesiap mendengar teriakan Edward. “Yura, kenapa nggak kamu angkat!”

Edward mulai gelisah memikirkan hal macam-macam. Apalagi ia bersama Edo, adiknya yang memiliki banyak masalah di luar.

“Yura, awas kamu!”

**

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status