“Ay, enggak gitu maksud Aa. Bukan kamu yang milih, tapi Aa,” tanggap Izhar cepat.
Ayesha menatap Izhar lekat sambil menggeleng cukup kuat. “Selama Ay enggak ngizinin Aa nyentuh Ay, Aa juga enggak bisa nyentuh Ay gitu aja.”Sayangnya, niat mengancam Ayesha malah berbalik. Izhar terlalu lemah lembut pada perempuan apa lagi gadis muda seperti Ayesha. Dia tak bisa mengancam Ayesha dengan keras, sekeras apa pun sifat bawaan gadis ini.***Nirmala tengah menyiapkan sarapan pagi itu. Dan Izhar duduk menikmati pelayanan dari Nirmala yang senantiasa melayaninya dengan baik.“Nanti aku mau belanja mingguan. Aa mau titip apa?” tanya Nirmala sambil menyajikan makanan.“Selain kebutuhan, enggak ada. Uangnya masih cukup, apa perlu ditambahin?” Izhar tersenyum menatap istri pertamanya yang sudah sibuk melayaninya.“Kayaknya kurang, soalnya ada beberapa lebih banyak yang harus aku beli,” jawab Nirmala.“Iya, nanti habis makan Aa transfer lagi ke rekening kamu,” balas Izhar.“Ngomong-ngomong, Ayesha belum bangun, ya?” Nirmala melirik ke arah kamu yang letaknya tak jauh dari dapur dengan sedikit sinis.Bagaimana dia tidak cemburu, karena Ayesha bisa bangun dan keluar kamar kapan saja sesuka hatinya sementara dirinya sudah punya waktu terjadwal yang tersesuaikan dengan suaminya.“Belum, kayaknya.”“Aa mau sampai kapan manjain Ayesha kayak gitu?! Semua kerjaan rumah, aku yang ngerjain. Sementara kita udah nambah member, banyak yang bertambah juga soal urusan rumah.”Nirmala menunjukkan wajahnya yang masam. Dia tak ingin melihat Ayesha bisa enak-enakan selayaknya dulu saat dirinya masih gadis. Dia juga merasa Izhar lebih memanjakan Ayesha.“Habis makan Aa bangunin, kok. Soal kerjaan rumah, Aa lagi berusaha ngajarin Ayesha untuk bagi-bagi tugas sama kita, Mala. Ayesha udah berusaha untuk belajar tentang pekerjaan rumah, kok,” jelas Izhar sambil menatap ke arah istri pertamanya yang air wajahnya tak berubah.“Aa enggak ngerti, aku—”“Assalamualaikum!”Suara salam disertai dengan ketukan pintu membuat keduanya spontan menoleh ke arah pintu. Mereka kedatangan tamu, pagi-pagi.“Ibu?” Izhar mengenali suara itu dan segera bangkit untuk membukakan pintu.Izhar bergegas membukakan pintu. Dan tampak bagaimana seorang wanita tua bersama dengan rombongannya, yang jelas keluarga dari Izhar. Izhar sedikit terkejut dengan kedatangannya hari itu karena tak ada kabar untuk kedatangannya.“Waalaikumussalam.” Izhar agak mematung setelah menjawab salam.Izhar mempersilakan mereka masuk dengan sopan sambil melirik ke arah Nirmala yang menatapnya dari dapur. Nirmala kemudian bergegas menghampiri keluarganya dan bersalam-salaman.“Ayesha di mana?” Wanita tua itu—Mayang, ibu Izhar celingukan mencari yang dimaksud.“Masih tidur, Bu,” jawab Nirmala seadanya.“Izhar bangunin dulu, Bu,“ ucap Izhar seraya hendak memasuki kamar Ayesha dengan cepat.“Oh, kalau masih tidur, enggak apa-apa. Jangan dibangunin, kasihan!” ucap Mayang santai.Nirmala terdiam menatapi ibu mertuanya yang cukup memperhatikan menantu barunya itu. Tatapannya menatap sinis ke arah Izhar, seolah mengadu. Baru saja Ayesha dibicarakan agar tidak dimanjakan dengan dibiarkan bangun siang.“Mana bisa gitu, Izhar bangunin Ayesha dulu,” balas Izhar sebagai tanggapan dari tatapan Nirmala.“Ish, dibilangin enggak usah. Gimana? Udah ada hilal belum tentang Ayesha?” tanya Mayang.Izhar tahu apa yang dimaksud ibunya dan menggeleng pelan dengan sedikit canggung.“Oh,” jawabnya kecewa, terlihat dari raut wajahnya yang seketika agak masam.Melihat ibu mertuanya kecewa dengan si istri kedua, Nirmala tentu berusaha untuk terlihat lebih baik agar tak turut mengecewakan ibu mertuanya itu.“Ibu udah makan, Bu? Aku baru aja masak buat sarapan. A, makanannya dihabiskan!” ujar Nirmala.“Kamu masak apa?” Mayang mengalihkan perhatiannya pada Nirmala sekarang.“Nasi goreng kesukaannya A Izhar, Bu,” jawab Nirmala.“Cuman itu? Buat Ayesha kamu masak apa? Ayesha kan, baru lepas gadis, dia masih belum bisa masak, ya maklum. Kamu harusnya masakin dia juga, dong!” ujar Mayang.“Iya, kok. Nasi goreng juga, sama.” Nirmala menjawabnya dengan sedikit rasa kesal di sana.“Nasi goreng tuh, kurang sehat. Ayesha lagi persiapan buat mengandung, masa mau kamu kasih makanan kayak gitu? Buat Izhar juga. Harusnya kamu siapin makanan yang bagus buat kesuburan, buat Izhar sama Ayesha,” ucap Mayang sambil mendekati dapur.Nirmala terdiam menatapi mertuanya itu. Dia melihat apa yang ingin dilakukan mertuanya yang memang sering kali berlaku seperti ini.Mayang mengambil alih tugas dapur dan memasak ulang. Masakan Nirmala yang tadi dimakan oleh yang lainnya sementara Mayang membuatkan makanan khusus untuk Ayesha dan Izhar.Izhar mendekati kamar Ayesha untuk membangunkannya. Dia merasa tak enak pada Nirmala sekarang. Pria itu menemukan bagaimana istrinya yang masih muda itu masih tertidur pulas.“Ay, bangun, Ay!” Izhar mendekatinya dan menepuk pelan pundak Ayesha.Ayesha yang susah dibangunkan mendesis setiap kali Izhar membangunkannya dan selalu bangun dengan suasana hatinya yang buruk. Seperti kali ini, dia hanya bergerak menghindari tangan Izhar dengan kedua alisnya yang mengernyit dalam.“Ay, ada ibu.” Izhar masih berusaha membangunkannya.“Ck, apa, sih?!” Ayesha memberontak dari Izhar dan terus menepis tangan Izhar.“Ay, ada ibu. Ayo bangun, salim dulu!” ujar Izhar halus.Izhar membantu Ayesha duduk. Gadis itu terduduk sambil menepis lagi tangan Izhar. Gadis itu memang agak kasar. Ayesha masih memejamkan matanya, dia masih mengantuk.“Izhar?” Mayang membuka pintu kamar Ayesha dan menatapi Izhar juga AyeshaDengan matanya yang berusaha membuka, Ayesha menatap ke arah ibu mertuanya. Izhar menatap Ayesha dan mengusap pelan punggung Ayesha untuk membuatnya bangun.“Dibilang jangan dibangunin dulu. Tapi, udah bangun, ya?” Mayang memasuki kamar Ayesha.Ayesha mengerjapkan matanya dan tersenyum canggung saat dihampiri ibu mertuanya. Ayesha langsung mengasongkan tangannya untuk salim pada ibu mertuanya. Mayang tersenyum dan menerima tangan Ayesha, membiarkannya salam.“Ayo, bangun! Ibu udah masakin sarapan buat kamu, loh.” Mayang berusaha memberikan pendekatan dengannya.“Oh, iya. Sebentar,” jawab Ayesha canggung.“Ayo, segera makan, buat nutrisi kamu juga, buat persiapan kehamilan,” ucap Mayang, menyatakan alasannya untuk mendekati Ayesha.Ayesha mengernyitkan dahinya dan menatapi ibu mertuanya yang hanya tersenyum sambil meninggalkan kamar mereka. Dan tatapannya langsung melirik ke arah Izhar sinis.“Sekongkol,” ucap Ayesha sinis.“Bukan gitu, Ay. Ibu juga udah lama nunggu punya cucu, ibu berharap banyak sama kamu,” jelas Izhar.“Bisa enggak, sehari aja enggak ngomongin soal punya anak?”Ayesha mendengus sambil menyingkap selimutnya dan hendak segera ke kamar mandi. Sementara Izhar terdiam sejenak.“Baik kamu atau Nirmala, kalian sama-sama enggak suka membahas ini. Kalian sama-sama muak mungkin mendengarnya. Mungkin mereka bisa berhenti membahas ini begitu kamu hamil, Ay, karena itu jadi tidak perlu dibicarakan lagi,” jawab Izhar seadanya.“Iya, soalnya kucing berhenti ngeong juga kalau udah dikasih makan,” balas Ayesha pedas. Sementara Izhar hanya bisa menghela nafasnya pelan. Pria itu berusaha untuk tak marah dan senantiasa sabar. Yang dihadapi hanya gadis muda yang belum bisa memfilter ucapannya. Kedatangan keluarga Izhar pagi itu selain mengejutkan juga berhasil memaksa Ayesha untuk tak mengurung diri di kamar seperti biasa. Gadis itu keluar kamar setelah mandi dan disambut oleh ibu mertuanya yang sudah menyiapkan makanan untuknya.“Ay, sini makan dulu! Kamu belum sarapan, kan?” Mayang buru-buru menghampiri Ayesha. “Ah, Ayesha biasanya enggak sarapan. Kalau sarapan biasanya perut Ay sakit nanti, terus biasanya malah langsung keluar lagi.” Ayesha menolak dengan perasaan canggung. “Kamu enggak boleh terbiasa enggak sarapan, dong! Lama-lama juga nanti kalau terbiasa, enggak kayak gitu. Justru harus dibiasakan sarapan. Kalau sakit perut terus nanti keluar lagi juga enggak apa-apa, itu tandanya sisa-sisa kemarin udah
“Ay, cara bicara kamu tadi enggak sopan, kamu tahu itu, kan?!” Izhar berusaha menasihati Ayesha yang sekarang duduk di sisi kasur dengan perasaan yang tak nyaman. Dia paling benci saat Izhar menasihati seperti ini. “Enggak sopan apanya? Ay udah cukup sopan segitu, tuh. Ay enggak ngomong kasar, kan?” sahutnya agak sinis. “Kalau keluarga Aa kesinggung atas ucapan kamu tadi, gimana? Kamu tahu memutuskan tali silaturahmi itu enggak baik dan akan menimbulkan banyak masalah baru nantinya?” “Ya, seenggaknya untuk sekarang permasalahan soal keluarga Aa yang doyan membahas tentang anak selesai. Mereka enggak akan datang lagi, dan pastinya mereka enggak bisa membahas tentang anak. Ya, kan?” Ayesha mengangkat kedua alisnya dengan santai. “Ay!” Izhar menatapi istrinya itu, agak kaget dengan apa yang dia katakan tadi. Karena merasa dirinya mulai marah dengan apa yang dikatakan Ayesha, Izhar buru-buru duduk untuk meredam rasa marahnya. Dia duduk tak jauh dari Ayesha dan menghela nafasnya. Perl
Karena rasa bersalah yang membuat hatinya gelisah, Ayesha jadi terus terpikirkan tentang apa yang terjadi hari ini dan memikirkan setiap apa yang dia katakan sebelumnya. Hal itu juga menjadi dorongan untuk Ayesha mengambil sebuah lingerie dari lemarinya. Untuk pertama kalinya, Ayesha menggunakan salah satu hadiah pernikahannya yang dia tahu persis untuk apa itu. Sebuah potongan kain yang digunakan untuk menarik perhatian pria. Pikirannya agak sedikit kacau karena memikirkan Izhar yang sempat tampak putus asa tadi. Dengan pakaiannya yang baru, Ayesha duduk di atas kasur sambil menggigiti jarinya. Dia gelisah sambil menantikan sosok Izhar yang akan tidur bersamanya malam ini. Pintu terbuka perlahan dan Ayesha bisa melihat bagaimana Izhar memasuki kamarnya. Gadis itu seketika mematung sesaat saat melihat Izhar masuk, sebagaimana Izhar yang langsung mematung juga begitu melihat pemandangan yang dia sangka bisa dilihatnya malam itu. “Ay, kamu ... ngapain?” Izhar tercengang setengah mati
“Kamu dengar suara Ayesha tadi malam?” Izhar ingin memastikannya lagi. Dia kini terlihat kikuk, terdiam menatapi Nirmala yang tampak masam. Dia tahu, istri pertamanya pasti akan sangat cemburu mengetahui apa yang terjadi. Nirmala sendiri tak menjawab. Dia tak ingin memperjelasnya, dan rasanya tak perlu. Dia hanya mendesah pelan seraya duduk di kasurnya dan merapikan segala barang di kasurnya. “Ayesha bersedia. Kamu tahu maksudnya, bukan?” Izhar menghela nafasnya pelan. “Aku tahu. Ke depannya cuman ada Ayesha di mata kamu. Ke depannya kamu bakal punya anak sama Ayesha, sementara aku kesepian di sini, sendirian.” Nirmala terdengar jengkel. “Enggak, kok. Aa enggak terus sama Ayesha, tapi Aa juga terus sama kamu. Komitmennya memaksa Aa untuk bersikap adil. Aa enggak akan membeda-bedakan,” ucap Izhar. “Bukan Aa, tapi ibu. Keluarga Aa,” tekan Nirmala tanpa menatap ke arah Izhar sama sekali. Izhar tak membalasnya lagi. Rasanya lelah untuk meyakinkan dua pihak dengan masing-masing argu
“Kamu haid?” Izhar mendekati Ayesha sambil membawakan keresek berisikan pesanan gadis itu. Yang ditanya duduk di sisi kasur sambil memegangi pinggangnya dan mendengus seraya mengangguk. Ayesha menerima keresek yang diberikan Izhar untuknya, berisikan pembalut yang dia pesan pada Izhar saat pria itu dalam perjalanan pulang. “Makasih,” ucap Ayesha seraya membuka kereseknya dan melihat ada camilan juga di sana. “Ay enggak nitip yang lainnya,” ucap Ayesha pelan. “Inisiatif Aa, Ay. Barang kali kamu moody lagi, kalau datang bulan. Enggak datang bulan aja, kerjaan kamu kesel, jengkel, sebel, marah-marah.” Izhar terkekeh pelan seraya duduk di sisinya. Ayesha mendecak sambil menyungging senyum. Ada benar juga. Ayesha mendesis sambil agak mencengkeram perutnya. Dia kadang mengalami ini, kram saat haid dan nyeri. “Kenapa? Sakit?” Izhar mengusap punggung Ayesha halus, untuk membantunya merasa baikan. “Mm,” jawab Ayesha. “Kalau hamil, kamu enggak akan nyeri haid,” ucap Izhar asal. “Ya, iy
“Assalamualaikum.” Izhar memasuki rumah terlebih dahulu, dia memasukkan barang belanjaannya. Semula dia merasa tak aneh dengan suasana rumah, mendadak terkejut begitu melihat Ayesha yang tidur di sofa ruang tamu saat itu. Izhar seketika menoleh ke arah Nirmala yang ada di belakangnya. “Ay?” Izhar segera mendekati Ayesha yang tidur meringkuk di sofa. Ayesha tampak tersentak saat tangan Izhar menyentuhnya. Gadis itu seketika mendudukkan dirinya, menatap Izhar dengan tatapan bingung. Semalaman dia menunggu Izhar dan Nirmala pulang. “Kamu tidur di sini? Kenapa?” tanya Izhar. Nirmala yang baru memasuki rumah menatap ke arah Ayesha yang tampak masih sedikit linglung. Ayesha membalas tatapannya sejenak. Ayesha masih sibuk mengumpulkan nyawanya. “Oh, iya. Kamu telepon Aa berkali-kali semalam, ada apa?” Izhar teringat akan hal tersebut. “Kita nginep di hotel semalam,” ucap Nirmala secara tiba-tiba. Izhar menatap Nirmala singkat dan melirik Ayesha yang menggaruk wajahnya. Wajahnya dipenu
“Huek!” Wanita itu mendekap mulutnya dengan tangan kirinya. Dan kemudian mendesah pelan seraya meraup sebuah testpack yang ada di laci. Terlihat ada beberapa, dia selalu menyimpannya untuk jaga-jaga. Kebiasaan yang sampai sekarang belum kunjung membuahkan hasil. Membawa benda yang baru saja diambilnya ke kamar mandi, dia hendak menggunakannya. Nirmala menatapi alat itu dengan tidak sabar sesaat setelah menggunakannya. Menunggu alat itu bekerja sambil menatapinya lekat. Dia tak pernah bosan dikecewakan oleh alat sekali pakai tersebut. “Hah?!” Wanita itu tercengang melihat bagaimana satu garis muncul dan diikuti dengan garis lainnya. Dua garis melintang pendek di dalam kotak yang menjadi penanda jika dirinya hamil. Ya, hamil. Sebuah kata yang telah lama dinantikannya bersama Izhar. Dia hamil, sebuah kabar besar. Izhar. Izhar harus tahu tentang ini, pikirnya. Nirmala buru-buru keluar dari kamar mandi, menyerbu handphonenya dan memotret alat tes kehamilan itu. Dikirimnya pada Izhar. T
“Lagian, siapa yang ganggu? Teteh playing victim, deh. Teteh pikir jadi Ay juga mudah?” Ayesha terdengar balik marah karena tuduhan Nirmala padanya. Meski begitu, Ayesha berusaha mengendalikan dirinya sendiri, karena tahu jika Nirmala sedang mengandung. “Bukannya mau kamu sendiri buat pergi, Ay? Teteh ngizinin kamu pergi, jadi pergi sekarang! Bukannya kamu juga lebih milih cerai sama A Izhar ketimbang harus melahirkan anaknya A Izhar? Tepati pilihan kamu itu! Kenapa? Sekarang kamu berubah pikiran karena mulai ngerasa dicintai sama A Izhar?” Ayesha mengerjapkan matanya. Jika ditanya apa dia merasa dicintai oleh Izhar, bohong jika dia jawab tidak. Dia ingat bagaimana Izhar sedia menemaninya makan jika dirinya kelaparan di tengah malam, perhatian Izhar akan hal kecil, semua detail sekecil apa pun tentang dirinya yang diingat Izhar. Belum lagi cara bagaimana Izhar memeluk dan mengecupnya saat tidur. “Atau kamu yang sekarang punya perasaan sama A Izhar?” Nirmala menatap Ayesha yang tak