“Punya anak? Enggak, enggak. Ay masih terlalu muda buat itu dan Ay yakin enggak sanggup. Andai kata Kakek tahu kalau Aa nikahin Ay buat punya anak, Ay yakin Kakek enggak mau menyetujuinya sekalipun Aa orang baik! Andai Kakek masih hidup, Ay bakal aduin ini ke Kakek!”
Seorang gadis menentang suaminya dengan lantang. Siapa lagi jika bukan Ayesha yang kini menolak suaminya yang baru saja bicara baik-baik padanya jika dirinya ingin memiliki seorang putra.“Ay, Aa butuh waktu untuk menyampaikan ini sama kamu, karena tahu ini reaksi kamu. Aa enggak bisa ngasih tahu kamu sebelum kita menikah.” Izhar, pria itu bicara dengan tenang.“Dan sekarang setelah menikah, bilang pengen punya bayi dengan santainya. Pengen bayinya apa pengen enaknya aja?!” balasnya sinis.Izhar menghela nafasnya berat. Bukan nafsu semata yang membuatnya ingin menyentuh Ayesha malam itu. Dibalik itu, ada seorang wanita yang tengah menguping pembicaraan pribadi di dalam kamar itu dari luar. Wanita yang mendecak dengan masam.“Ay, dengerin Aa! Aa sama Mala udah lama nikah, belum kunjung dikaruniai seorang anak pun. Sementara kamu masih muda, kamu harapan kami untuk mendapatkan seorang bayi,” lirih Izhar.Ayesha terdiam sejenak dan menggelengkan kepalanya. Wajah tampak masam menolak suaminya.“Gimana pun Aa bujuk Ay, jawaban Ay, enggak!” tegasnya sekali lagi.Ayesha segera mendekati tempat tidurnya dan berbaring dengan perasaan kesal. Gadis itu menarik selimutnya dan memejamkan matanya segera. Tak ingin lagi berbicara dengan suaminya.Sementara Izhar menghela nafasnya dan duduk di sisi kasur. Dia mengusap kasar wajahnya, lantaran merasa putus asa sekarang.Dan di lain waktu, Izhar bicara dengan wanita yang diam-diam menguping obrolannya malam itu dengan Ayesha yang berakhir dengan Ayesha kesal dari malam itu dan tak mau bicara hingga kini. Dari reaksi Ayesha yang bahkan menjauhi keduanya selama di rumah juga tertebak apa jawaban Ayesha.Nirmala dan Izhar adalah pasangan, begitu pula dengan Ayesha dan Izhar. Namun, Nirmala adalah yang pertama di hidup Izhar, dan telah mendampinginya cukup lama. Lain dengan Ayesha yang baru saja datang ke rumah mereka sebagai istri kedua Izhar. Mereka berdua memiliki sikap berbanding terbalik yang mungkin membuat Izhar agak kapok karena memilihnya.“Ayesha ... enggak mau, ya?” tebak Nirmala sambil mendecak pelan.“Iya, kamu tahu dari reaksi Ayesha dari kemarin. Dia jaga jarak, bahkan enggak mau bicara sama kita sama sekali. Anak gadis,“ gumam Izhar pelan, dia tampak masih kecewa.“Seenggaknya Aa udah coba bicara sama Ayesha, jujur itu cukup memuaskan buat aku. Tapi, percuma dong, Aa nikahin Ayesha kalau Ayesha enggak mau punya anak? Padahal, aku percaya Ayesha anak baik yang mau bantu kita,” balas Nirmala dengan suara pelan.“Benar kata kamu. Ayesha yang kamu kenal sekarang, bukan Ayesha yang kamu kenal dulu,” gumam Izhar pelan.“Kalau dia enggak mau, berarti pernikahan Aa sama Ayesha sia-sia, kan? Aa bakal cerai sama Ayesha sekarang? Secepatnya?” Nirmala bicara cukup hati-hati dengan suaminya itu.Izhar menghela nafasnya dan menggeleng pelan. Dia tentu tak bisa melepaskan gadis yang sudah dia nikahi dengan keluar uang cukup banyak begitu saja. Dia tak mempermainkan pernikahan juga.“Aa bakal coba bujuk Ayesha lagi. Gimana pun, Aa enggak bisa cerai sama Ayesha seenaknya. Apa kata Ibu kalau Aa main cerai aja sama Ayesha, tanpa pertimbangan apa pun?” jawab Izhar.“Bilang sama Ibu, Ayesha menolak untuk punya anak, dia nolak anak kamu untuk ada di rahimnya. Segera cerai, secepatnya!” pinta Nirmala, mulai terdengar lebih egois.“Mala, cerai enggak semudah itu. Apa lagi untuk Ayesha yang masih berusia 19 tahun. Bagaimana cara dia bertahan hidup sambil menyandang status janda?”Izhar berusaha memberikan penjelasan pada Nirmala, dengan penuh rasa sabar. Pria itu pria baik-baik yang paham perihal agama, juga wanita.“Aa tidur di kamar Ayesha lagi, malam ini,” pamit Izhar seraya bangkit dari duduknya.“Emang Ayesha mau tidur sama Aa lagi, setelah Aa minta punya anak?” sahut Nirmala, terdengar cemburu dan bahkan air wajahnya tak bersahabat.“Aa perlu pendekatan sama Ayesha, Mala.” Izhar menghela nafasnya.Tinggal bersama dua istrinya membuatnya harus tidur bergantian menemani salah satunya setiap malam. Dan malam ini, giliran Ayesha.Ayesha masih belum mau bicara sejak pembicaraan mereka kemarin yang membahas tentang bayi. Dan Izhar berencana membicarakannya lagi dengan Ayesha, berharap Ayesha menyetujuinya dan dirinya membawa kabar baik bagi Nirmala.Setelah penantian sepanjang pernikahan mereka yang sudah berlangsung selama 10 tahun, Ibu Izhar—Mayang memutuskan untuk mencari istri baru buat Izhar. Karena merasa Nirmala mungkin tak mampu memberikannya cucu.“Ay?” Izhar mengetuk pintu kamarnya dan kemudian membuka pintu kamarnya itu.“Ngapain ke sini?” Sambutan tak hangat terdengar dari dalam, suaranya dingin dan sinis.Siapa lagi jika bukan Ayesha yang kini menatapnya dengan sinis dari atas kasurnya. Izhar menghela nafasnya, berusaha sabar dengan gadis yang ada di depannya ini.“Menemani kamu, apa lagi?” balasnya hangat seraya masuk dan menutup pintu kamarnya.“Ay enggak perlu ditemenin, kalau gantinya harus ngasih Aa anak.” Ayesha menyinggung soal obrolan mereka terakhir kali.Izhar hanya tersenyum seraya duduk di sisi kasur dan menatap Ayesha yang senantiasa memeluk benda pipih elektronik itu.“Ya, Aa memang perlu membicarakan tentang itu. Kamu terus menghindari pembicaraan tentang itu,” ungkap Izhar.Ayesha hanya memutar bola matanya. “Sepuluh tahun nikah ngapain aja, sih?”“Ay, kami sudah menanti lama. Aa sama Teh Mala udah menantikan cukup lama buat punya anak. Hingga akhirnya, Mala yang memutuskan untuk rela dipoligami,” jelas Izhar sebagai pembuka.“Kalau Aa mau tahu, seandainya Kakek umurnya lebih panjang, Ay enggak perlu nikah sama Aa,” balas Ayesha, terdengar menyakitkan memang.“Ay, Aa butuh kamu. Ibu sering menekan Nirmala selama kami menikah untuk segera punya anak. Untuk segera hamil, sementara selama kami menunggu juga kami berusaha, Ay. Kami udah cek sana sini, barang kali ada yang enggak beres di antara kami. Sampai akhirnya, Ibu yang memaksa Aa nikah lagi. Pernikahan ini, diharapkan bisa membuahkan hasil, Ay,” ujar Izhar.Ayesha meletakkan handphone yang ada di genggamannya ke kasur dengan kasar. Dia jengkel.“Terus kalau pernikahan ini enggak berhasil membuahkan hasil, Aa mau apa? Mau cerai, gitu?!”Izhar terdiam sejenak. Dia tengah memikirkan jawaban yang tepat untuk ini, jawabannya pada Ayesha. Mungkin sedikit ancaman bisa meluluhkan hati Ayesha?Dan Izhar mengangguk sebagai jawabannya dengan pelan.“Ya udah, Ay milih cerai aja kalau gitu. Gampang, kan?”“Ay, enggak gitu maksud Aa. Bukan kamu yang milih, tapi Aa,” tanggap Izhar cepat. Ayesha menatap Izhar lekat sambil menggeleng cukup kuat. “Selama Ay enggak ngizinin Aa nyentuh Ay, Aa juga enggak bisa nyentuh Ay gitu aja.” Sayangnya, niat mengancam Ayesha malah berbalik. Izhar terlalu lemah lembut pada perempuan apa lagi gadis muda seperti Ayesha. Dia tak bisa mengancam Ayesha dengan keras, sekeras apa pun sifat bawaan gadis ini. *** Nirmala tengah menyiapkan sarapan pagi itu. Dan Izhar duduk menikmati pelayanan dari Nirmala yang senantiasa melayaninya dengan baik. “Nanti aku mau belanja mingguan. Aa mau titip apa?” tanya Nirmala sambil menyajikan makanan. “Selain kebutuhan, enggak ada. Uangnya masih cukup, apa perlu ditambahin?” Izhar tersenyum menatap istri pertamanya yang sudah sibuk melayaninya. “Kayaknya kurang, soalnya ada beberapa lebih banyak yang harus aku beli,” jawab Nirmala. “Iya, nanti habis makan Aa transfer lagi ke rekening kamu,” balas Izhar. “Ngomong-ngomong,
“Iya, soalnya kucing berhenti ngeong juga kalau udah dikasih makan,” balas Ayesha pedas. Sementara Izhar hanya bisa menghela nafasnya pelan. Pria itu berusaha untuk tak marah dan senantiasa sabar. Yang dihadapi hanya gadis muda yang belum bisa memfilter ucapannya. Kedatangan keluarga Izhar pagi itu selain mengejutkan juga berhasil memaksa Ayesha untuk tak mengurung diri di kamar seperti biasa. Gadis itu keluar kamar setelah mandi dan disambut oleh ibu mertuanya yang sudah menyiapkan makanan untuknya.“Ay, sini makan dulu! Kamu belum sarapan, kan?” Mayang buru-buru menghampiri Ayesha. “Ah, Ayesha biasanya enggak sarapan. Kalau sarapan biasanya perut Ay sakit nanti, terus biasanya malah langsung keluar lagi.” Ayesha menolak dengan perasaan canggung. “Kamu enggak boleh terbiasa enggak sarapan, dong! Lama-lama juga nanti kalau terbiasa, enggak kayak gitu. Justru harus dibiasakan sarapan. Kalau sakit perut terus nanti keluar lagi juga enggak apa-apa, itu tandanya sisa-sisa kemarin udah
“Ay, cara bicara kamu tadi enggak sopan, kamu tahu itu, kan?!” Izhar berusaha menasihati Ayesha yang sekarang duduk di sisi kasur dengan perasaan yang tak nyaman. Dia paling benci saat Izhar menasihati seperti ini. “Enggak sopan apanya? Ay udah cukup sopan segitu, tuh. Ay enggak ngomong kasar, kan?” sahutnya agak sinis. “Kalau keluarga Aa kesinggung atas ucapan kamu tadi, gimana? Kamu tahu memutuskan tali silaturahmi itu enggak baik dan akan menimbulkan banyak masalah baru nantinya?” “Ya, seenggaknya untuk sekarang permasalahan soal keluarga Aa yang doyan membahas tentang anak selesai. Mereka enggak akan datang lagi, dan pastinya mereka enggak bisa membahas tentang anak. Ya, kan?” Ayesha mengangkat kedua alisnya dengan santai. “Ay!” Izhar menatapi istrinya itu, agak kaget dengan apa yang dia katakan tadi. Karena merasa dirinya mulai marah dengan apa yang dikatakan Ayesha, Izhar buru-buru duduk untuk meredam rasa marahnya. Dia duduk tak jauh dari Ayesha dan menghela nafasnya. Perl
Karena rasa bersalah yang membuat hatinya gelisah, Ayesha jadi terus terpikirkan tentang apa yang terjadi hari ini dan memikirkan setiap apa yang dia katakan sebelumnya. Hal itu juga menjadi dorongan untuk Ayesha mengambil sebuah lingerie dari lemarinya. Untuk pertama kalinya, Ayesha menggunakan salah satu hadiah pernikahannya yang dia tahu persis untuk apa itu. Sebuah potongan kain yang digunakan untuk menarik perhatian pria. Pikirannya agak sedikit kacau karena memikirkan Izhar yang sempat tampak putus asa tadi. Dengan pakaiannya yang baru, Ayesha duduk di atas kasur sambil menggigiti jarinya. Dia gelisah sambil menantikan sosok Izhar yang akan tidur bersamanya malam ini. Pintu terbuka perlahan dan Ayesha bisa melihat bagaimana Izhar memasuki kamarnya. Gadis itu seketika mematung sesaat saat melihat Izhar masuk, sebagaimana Izhar yang langsung mematung juga begitu melihat pemandangan yang dia sangka bisa dilihatnya malam itu. “Ay, kamu ... ngapain?” Izhar tercengang setengah mati
“Kamu dengar suara Ayesha tadi malam?” Izhar ingin memastikannya lagi. Dia kini terlihat kikuk, terdiam menatapi Nirmala yang tampak masam. Dia tahu, istri pertamanya pasti akan sangat cemburu mengetahui apa yang terjadi. Nirmala sendiri tak menjawab. Dia tak ingin memperjelasnya, dan rasanya tak perlu. Dia hanya mendesah pelan seraya duduk di kasurnya dan merapikan segala barang di kasurnya. “Ayesha bersedia. Kamu tahu maksudnya, bukan?” Izhar menghela nafasnya pelan. “Aku tahu. Ke depannya cuman ada Ayesha di mata kamu. Ke depannya kamu bakal punya anak sama Ayesha, sementara aku kesepian di sini, sendirian.” Nirmala terdengar jengkel. “Enggak, kok. Aa enggak terus sama Ayesha, tapi Aa juga terus sama kamu. Komitmennya memaksa Aa untuk bersikap adil. Aa enggak akan membeda-bedakan,” ucap Izhar. “Bukan Aa, tapi ibu. Keluarga Aa,” tekan Nirmala tanpa menatap ke arah Izhar sama sekali. Izhar tak membalasnya lagi. Rasanya lelah untuk meyakinkan dua pihak dengan masing-masing argu
“Kamu haid?” Izhar mendekati Ayesha sambil membawakan keresek berisikan pesanan gadis itu. Yang ditanya duduk di sisi kasur sambil memegangi pinggangnya dan mendengus seraya mengangguk. Ayesha menerima keresek yang diberikan Izhar untuknya, berisikan pembalut yang dia pesan pada Izhar saat pria itu dalam perjalanan pulang. “Makasih,” ucap Ayesha seraya membuka kereseknya dan melihat ada camilan juga di sana. “Ay enggak nitip yang lainnya,” ucap Ayesha pelan. “Inisiatif Aa, Ay. Barang kali kamu moody lagi, kalau datang bulan. Enggak datang bulan aja, kerjaan kamu kesel, jengkel, sebel, marah-marah.” Izhar terkekeh pelan seraya duduk di sisinya. Ayesha mendecak sambil menyungging senyum. Ada benar juga. Ayesha mendesis sambil agak mencengkeram perutnya. Dia kadang mengalami ini, kram saat haid dan nyeri. “Kenapa? Sakit?” Izhar mengusap punggung Ayesha halus, untuk membantunya merasa baikan. “Mm,” jawab Ayesha. “Kalau hamil, kamu enggak akan nyeri haid,” ucap Izhar asal. “Ya, iy
“Assalamualaikum.” Izhar memasuki rumah terlebih dahulu, dia memasukkan barang belanjaannya. Semula dia merasa tak aneh dengan suasana rumah, mendadak terkejut begitu melihat Ayesha yang tidur di sofa ruang tamu saat itu. Izhar seketika menoleh ke arah Nirmala yang ada di belakangnya. “Ay?” Izhar segera mendekati Ayesha yang tidur meringkuk di sofa. Ayesha tampak tersentak saat tangan Izhar menyentuhnya. Gadis itu seketika mendudukkan dirinya, menatap Izhar dengan tatapan bingung. Semalaman dia menunggu Izhar dan Nirmala pulang. “Kamu tidur di sini? Kenapa?” tanya Izhar. Nirmala yang baru memasuki rumah menatap ke arah Ayesha yang tampak masih sedikit linglung. Ayesha membalas tatapannya sejenak. Ayesha masih sibuk mengumpulkan nyawanya. “Oh, iya. Kamu telepon Aa berkali-kali semalam, ada apa?” Izhar teringat akan hal tersebut. “Kita nginep di hotel semalam,” ucap Nirmala secara tiba-tiba. Izhar menatap Nirmala singkat dan melirik Ayesha yang menggaruk wajahnya. Wajahnya dipenu
“Huek!” Wanita itu mendekap mulutnya dengan tangan kirinya. Dan kemudian mendesah pelan seraya meraup sebuah testpack yang ada di laci. Terlihat ada beberapa, dia selalu menyimpannya untuk jaga-jaga. Kebiasaan yang sampai sekarang belum kunjung membuahkan hasil. Membawa benda yang baru saja diambilnya ke kamar mandi, dia hendak menggunakannya. Nirmala menatapi alat itu dengan tidak sabar sesaat setelah menggunakannya. Menunggu alat itu bekerja sambil menatapinya lekat. Dia tak pernah bosan dikecewakan oleh alat sekali pakai tersebut. “Hah?!” Wanita itu tercengang melihat bagaimana satu garis muncul dan diikuti dengan garis lainnya. Dua garis melintang pendek di dalam kotak yang menjadi penanda jika dirinya hamil. Ya, hamil. Sebuah kata yang telah lama dinantikannya bersama Izhar. Dia hamil, sebuah kabar besar. Izhar. Izhar harus tahu tentang ini, pikirnya. Nirmala buru-buru keluar dari kamar mandi, menyerbu handphonenya dan memotret alat tes kehamilan itu. Dikirimnya pada Izhar. T