Share

Ada Maunya

“Iya, soalnya kucing berhenti ngeong juga kalau udah dikasih makan,” balas Ayesha pedas.

Sementara Izhar hanya bisa menghela nafasnya pelan. Pria itu berusaha untuk tak marah dan senantiasa sabar. Yang dihadapi hanya gadis muda yang belum bisa memfilter ucapannya.

Kedatangan keluarga Izhar pagi itu selain mengejutkan juga berhasil memaksa Ayesha untuk tak mengurung diri di kamar seperti biasa. Gadis itu keluar kamar setelah mandi dan disambut oleh ibu mertuanya yang sudah menyiapkan makanan untuknya.

“Ay, sini makan dulu! Kamu belum sarapan, kan?” Mayang buru-buru menghampiri Ayesha.

“Ah, Ayesha biasanya enggak sarapan. Kalau sarapan biasanya perut Ay sakit nanti, terus biasanya malah langsung keluar lagi.” Ayesha menolak dengan perasaan canggung.

“Kamu enggak boleh terbiasa enggak sarapan, dong! Lama-lama juga nanti kalau terbiasa, enggak kayak gitu. Justru harus dibiasakan sarapan. Kalau sakit perut terus nanti keluar lagi juga enggak apa-apa, itu tandanya sisa-sisa kemarin udah didorong sama makanan baru,” ujar Mayang.

Dengan mesra, wanita tua itu memeluk tangan Ayesha dan membimbing Ayesha ke meja makan. Tak bisa memberontak pada wanita tua itu, Ayesha hanya terkekeh kecil dengan raut penolakan.

Mayang menyuguhkan makanan di depan Ayesha. Dan Ayesha hanya tersenyum keberatan atas segala yang diberikan Mayang untuknya pagi itu. Mayang duduk di sebelah Ayesha untuk memastikan gadis itu makan. Dengan menghela nafasnya berat, Ayesha mulai makan.

“Nah, gitu, dong! Makan yang banyak, biar kamu agak gemukan. Kamu kurus banget, mana bisa kamu hamil dengan badan kurus kering kayak gini,” ucap Mayang sambil terkekeh kecil.

Dan seketika, Ayesha kehilangan raut wajahnya. Dia memakan makanannya dengan tatapannya yang perlahan menajam. Sungguh, rasanya menjengkelkan bagi Ayesha saat itu, pembahasan yang tak pernah jauh dari soal punya anak.

“Iya, kamu harus makan yang banyak. Ini, Teteh ada beliin kamu kue.” Seorang wanita lainnya yang dia ketahui sebagai adik Izhar—Inaya menaruh sekantong makanan di depan Ayesha.

Ayesha mengernyitkan dahinya. Suasana di sana selain canggung benar-benar mengganggunya.

“Kamu pilih aja, Ay! Nanti sisakan buat Mala. Mala udah sering kok, dapat ginian dari Teteh. Kali ini, kamu duluan aja yang milih, nanti yang kamu enggak mau, buat Mala,” ujar Inaya.

Di sisi lain, Nirmala yang tengah mencuci piring kotor kini meremas spons yang dia gunakan hingga seluruh bisanya keluar. Itu semua adalah kue kesukaannya yang selalu diberikan adik iparnya. Kini adik iparnya itu juga lebih menyukai Ayesha seperti ibu mertuanya menyukai Ayesha.

Izhar yang berada di sisi Nirmala menatapi tangan istrinya itu. Nirmala melirik ke arah Izhar dan mendecak pelan. Izhar hanya merentangkan tangannya untuk mengusap pelan bahu Nirmala.

“Kalau dari Bibi di kulkas ada bawa buah loh, Ay. Dimakan, ya! Nutrisi semua itu buat kamu sama calon bayinya.” Wanita lainnya turut bergabung ke obrolan dari ruang tengah sana.

“Bibi kamu tanya ke Izhar soal buah kesukaan kamu, tapi katanya Izhar enggak tahu. Izhar kayaknya belum kenal banget sama kamu, ya?” Mayang menatapi Ayesha.

Ayesha tersenyum simpul sebelum berkata, “Kami memang masih belum saling mengenal.”

Mayang terdiam dan melebarkan matanya. Tatapan Mayang langsung melirik ke arah Izhar yang masih menempel dengan Nirmala. Dam Izhar yang turut mendengar apa yang dikatakan Ayesha menoleh.

“Izhar, kamu jangan kayak gitu! Kamu mesra-mesraan sama Nirmala di depan Ayesha?!” pekik Mayang, semakin menunjukkan rasa tak sukanya pada perilaku Izhar.

Sementara Ayesha turut melebarkan matanya. Bukan itu yang dia maksud. Dia ingin mereka mengerti bahwa dirinya dan Izhar tak sedekat itu agar mereka tak berharap banyak padanya.

“Katanya Aa mau punya anak, tapi istrinya yang bisa punya anak enggak digauli, gimana, sih?!” protes Inaya menatap sang kakak juga.

“Bisa enggak sih, kalian berhenti bicara soal punya anak?!”

Seketika semuanya hening. Hanya ada suara televisi setelahnya. Mereka menoleh pada Ayesha yang baru saja meninggikan suaranya. Bahkan yang dari ruangan lain pun turut menatap Ayesha.

Ayesha bangkit dari duduknya.

“Ay muak denger kalian bahasannya enggak jauh dari soal anak lagi, soal anak lagi.” Ayesha mengutarakan perasaannya di suasana hening itu, agar mereka semua mendengar.

Nirmala menatap Ayesha yang berani melawan ibu mertuanya dan keluarga dari suaminya. Dia tak berpikir Ayesha hebat. Dia justru berpikir Ayesha bodoh dengan melakukan itu. Melakukan perlawanan sama dengan bunuh diri.

“Pernikahan bukan tentang punya anak doang!” Tanpa ragu, Ayesha menyuarakan hatinya.

“Ay, jaga nada bicara kamu! Kamu bisa dibilang paling muda di antara kita semua yang ada di sini,” ujar Izhar memperingati Ayesha, terdengar cukup halus.

“Apa yang lebih muda enggak boleh berpendapat dan harus mengikuti perkataan tetuanya? Teh Mala juga malah diam, bukannya Teh Mala juga muak sama mereka yang bahasannya selalu tentang anak?!” Ayesha menatap Nirmala yang justru berusaha tak ikut-ikutan.

Sementara Mayang masih duduk dengan tenang dan menghela nafasnya sambil menggeleng.

“Tahukah kamu, kenapa kamu dinikahi oleh Izhar?” tanya Mayang balik.

“Buat punya anak, kan? Pernikahan A Izhar sama Teh Nirmala enggak menghasilkan keturunan dan kalian semua dukung Izhar untuk nikah lagi, untuk punya anak sama orang baru,” jawab Ayesha.

“Maka lakukan tugas kamu itu! Kalau enggak, itu berarti pernikahannya jadi sia-sia. Kalau mau diperlakukan dengan baik, cukup lakukan tugas kamu.”

Mayang menatap Ayesha yang berdiri dekat darinya. Dia agak menengadah, namun cara bicaranya yang dingin berubah dari cara bicaranya yang semula hangat.

“Diperlakukan buruk juga enggak terdengar semenyeramkan itu,” balas Ayesha.

Ya, gadis itu terbiasa dengan perlakuan buruk.

“Perlakuan ibu tadi juga agak kurang menyenangkan. Ay paling enggak suka kalau Ay diperlakukan baik di depan orang yang diperlakukan buruk,” tambah Ayesha sambil melirik Nirmala.

Ada rasa kasihan dan iba di hati Ayesha saat melihat bagaimana Nirmala diperlakukan berbeda dengannya tadi. Dia sering mengalami itu di masa lalu. Tak heran sikapnya seperti itu, dirinya hanya tak ingin dijatuhkan lagi.

Sementara Mayang kini menatap ke arah Nirmala.

“Kamu keberatan, Mala?” tanya Mayang.

Sementara Nirmala diam mematung. Dia tak bisa menjawab pertanyaan ibu mertuanya tersebut.

“Kedatangan Ibu kayaknya enggak disambut baik, ya, kali ini?” Mayang menghela nafasnya seraya bangkit.

“Aa kayaknya kurang memperhatikan istri kedua Aa ini,” ucap Inaya sambil menunjuk Ayesha dengan dagunya.

“Ya, memang begitu. Kamu jangan terlalu berharap punya keponakan dari Aa kamu, mungkin kamu yang harus segera menikah untuk memberi Ibu cucu,” ujar Mayang.

Mayang bangkit dan merangkul Inaya. Mereka semua tampak bubar dari sana dan pulang begitu saja.

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status