Tamparan keras itu menyisakan sebercak memar di pipi Husam. Rahangnya mengeras dan matanya menggelap menatap gadis di depannya. Kebencian memenuhi dirinya.Sadia menatapnya dengan tatapan yang sama. Kedua orang itu sama-sama saling membenci. Namun Sadia merasakan sebuah kepuasan karena berhasil melakukan sesuatu yang sudah lama ia inginkan, menampar Husam."Ini adalah kesalahan!" celetuk Husam."Kaulah kesalahan itu!" balas Sadia dengan cepat. Husam membalasnya dengan kekehan mengejek."Kau tak tahu apa yang baru saja kau lakukan. Kau akan menyesalinya." Husam menyeringai seram. Ketakutan mulai menguasai diri Sadia, namun ia dengan pandai menyembunyikannya."Apa yang akan kau lakukan hah? Kau akan membunuhku? Aku tidak takut mati! Ayo tembak aku sekarang! Kau benar, aku tidak punya keluarga, tidak akan ada yang peduli aku hidup atau pun mati. Silahkan bunuh aku, aku tidak peduli!" Sadia mencengkeram lengan Husam dengan putus asa.Dengan cepat, Husam mengarahkan pistolnya ke dahi gadi
Beberapa hari sebelumnya...Husam duduk di sisi tempat tidurnya. Pikirannya kelayapan. Begitu banyak masalah yang terjadi akhir-akhir ini. Tangannya perlahan bergerak mencari kokain yang sebelumnya ia simpan rapat-rapat di tempat yang hanya ia sendiri yang tahu.Baru saja ia hendak membuka bungkusan kokain itu, ia melihat sosok seorang wanita mengintip dari pintu kamarnya yang setengah terbuka. Ia tahu betul siapa itu, wanita itu memang punya kebiasaan buruk suka mengintip dan mencampuri urusan orang lain, itu benar-benar membuatnya kesal. Ia merasa sudah saatnya memberinya pelajaran.Setelah ia selesai dengan sebungkus kokainnya, bergegas ia bangkit dari duduknya dan berjalan ke luar dengan penuh amarah. Ia turun ke lantai dua dan langsung menuju kamar Sadia.Terlihat gadis itu sedang terlelap, dengan rambut hitam panjangnya yang menjuntai indah dan sebagian menutupi wajahnya. Rambut yang biasanya selalu tertutup rapat, kini bisa ia lihat lekat-lekat.Perlahan Husam melangkah mendeka
Masih beberapa hari sebelumnya...Husam berada di markas persembunyiannya sejak pagi hari. Ia tidak ingin kembali ke rumah, setidaknya belum untuk saat ini."Apa yang dia katakan?" Husam bertanya sambil menandatangani surat-surat yang diletakkan Ken di hadapannya.Ia menandatanganinya dengan pena hitam yang dulu diberikan oleh Clara ketika mereka masih bersama. Dengan pena itu, kenangannya bersama Clara masih terasa hidup. Kenangan itu seringkali terlintas di kepalanya, namun ia bisa mengabaikannya."Dia bilang kalau dia tahu tentang kesepakatanmu dengan Daniel. Mereka juga tahu tentang Sadia sejak kau menikahinya, mereka berpikir bahwa dia mungkin adalah kelemahanmu."Husam mendengus geli mendengar seseorang berpikir bahwa gadis itu adalah kelemahannya. Mereka benar-benar bodoh, pikirnya. Namun jika mereka benar-benar mencelakai siapapun yang ada di rumahnya, ia pun tak akan segan-segan untuk membalas mencelakai keluarga mereka, bahkan jika memungkinkan ia bisa membalas dendam dengan
Sadia menatap langit-langit kamarnya. Setetes air mata terlihat jatuh dari pelupuk matanya. Ia meratapi hidupnya yang menyedihkan. Tak hanya itu, ia juga menyebabkan orang lain ikut merasakan akibatnya. Malik. Entah bagaimana keadaannya sekarang. "Kau harus segera bersiap. Para tamu akan segera datang." Pikiran Sadia perlahan kabur ketika ia melihat Mala datang sambil membawa pakaian yang terlipat rapi di tangannya."Aku tak ingin pergi." Sadia membalas dengan cepat, kata-katanya terdengar tajam tak lembut seperti biasanya. Sudah hampir satu Minggu setelah ia melihat Malik tertembak oleh Husam, dan hingga sekarang ia belum mendengar kabar apapun tentang pria itu.Satu-satunya yang ia tahu, setelah kejadian menyebalkan kali itu, Husam meninggalkan rumah dan keluar kota untuk mengurus bisnis. Begitu yang ia dengar dari Bi Sum. Setelah itu ia tak lagi melihat sosok Husam di rumah itu. Ia pun mulai berpikir bahwa kebohongannya berhasil mempengaruhinya, Husam percaya bahwa ia bukanlah ciu
Sepuluh menit berlalu, akhirnya Sadia memutuskan untuk keluar dari kamarnya. Dari pintu kamarnya samar-samar ia bisa mendengar dua orang sedang berbincang-bincang, suara itu terdengar familiar di telinganya. Ia menghentikan langkahnya lalu bersandar di daun pintu hingga ia bisa menguping pembicaraan mereka."Awasi dia, aku ingin kau menjaganya dengan nyawamu." Ucap Husam. Ken mengangguk mengerti.Sadia dapat mendengar dengan jelas, suara itu adalah milik Husam. Mendengar suara itu setelah sekian lama tak mendengarnya, membuat Sadia merasakan sesuatu. Jantungnya tiba-tiba berdegup kencang, ia sendiri tak tahu kenapa. Dalam benaknya Sadia bertanya-tanya, siapa yang Husam inginkan untuk dilindungi?"Kau juga harus hati-hati..." Suara laki-laki lain berbicara, namun Sadia tak dapat mengenali suara itu. Ia bertanya-tanya, apa yang mereka bicarakan?Sadia ingin mendengar lebih banyak, namun tiba-tiba kakinya terpelintir hingga membuat tubuhnya terdorong keluar. Ia mengaduh dalam hati sebelu
"Husam." Darka mengangguk singkat ketika Husam dan Kiara bergerak mendekat ke sisinya. Darka dan anak buahnya sudah berdiri dengan minuman di tangan mereka tapi itu bukan alkohol. Ia tidak pernah minum alkohol untuk beberapa alasan rahasia yang Husam tidak mengetahuinya. Husam membalasnya dengan anggukan kecil.“Siapa wanita muda cantik di sampingmu ini?” Darka menatap Kiara dengan tatapan menggoda dan Kiara tersenyum gembira.“Dia istriku, Darka.” Jawab Husam acuh tak acuh. Pikirannya masih kacau, ia ingin kembali dan melihat Sadia. Dalam benaknya, ia bertanya-tanya apa yang sedang Sadia lakukan dan dengan siapa dia."Hei, Husam!" Seseorang menarik lengan Husam dari posisinya."Maaf, ada apa?" Tanya Husam sembari melihat bergantian pada Darka dan Dani."Pestanya sangat bagus!" Darka menatap Husam dengan tatapan yang tak bisa diartikan."Terimakasih," jawab Husam datar. “Siapa gadis yang bersama Ken?” Husam bertanya, matanya berbinar nakal sambil mengamati gadis itu dari belakang.
"Terimakasih. Tapi kenapa kau malu mengakuiku sebagai istrimu?" tanya Sadia, matanya terlihat mulai berkaca-kaca. Entah kenapa ia begitu terbawa suasana hati, dengan pria yang seharusnya ia benci sepanjang hidupnya."Kenapa aku harus malu?" Suara serak Husam terdengar seperti melodi di telinga Sadia, begitu lembut. Untuk sesaat, Sadia lupa bahwa pria itulah yang telah menyisakan bekas luka di lehernya beberapa minggu yang lalu."Aku ingin ponselku kembali." Seru Sadia tiba-tiba.Tatapan Husam langsung berubah dari tatapan mesra menjadi tatapan tak suka."Agar kau bisa berbicara dengan Malik kesayanganmu? Atau tunggu, apakah kau ingin berbicara dengan saudara perempuanmu yang tidak berhenti mengutukmu sejak hari aku menembak pria bangsat itu?" ucap Husam dengan geram, cengkramannya di pinggang Sadia mengeras selama beberapa detik."Malik adalah pria yang baik!" Sadia tak terima dengan perkataan Husam."Apakah kau memang senang membuatku marah?" ucap Husam geram, cengkramannya di pingga
Pagi itu Alya terbangun dari tidurnya. Ia melirik tirai jendela kamarnya yang ditembus cahaya redup mentari di luar sana. Ia merasa sudah lapar. Dengan langkah gontai ia menuju dapur lalu membuka tudung nasi. Kosong! Tak ada apa-apa di sana. Tak seperti hari-hari sebelumnya, setiap pagi makanan selalu sudah tersaji karena Sadia yang memasaknya."Anak tidak tahu diuntung!" Ia menggerutu sambil melirik pintu kamar Naya yang masih tertutup rapat.Duak! Duak! Alya menendang-nendang pintu kamar itu, membuat gadis yang sedang tertidur di dalamnya terjingkat kaget."Ada apa, Bi?" Sahut Naya dari dalam kamar sambil bergegas membukakan pintu. Ia terbelalak melihat mata bibinya yang tengah memelototinya seolah matanya akan terlepas dari tulang tengkoraknya.Bukannya jawaban yang Naya dapatkan, namun sebuah jambakan keras di kepalanya yang membuat tubuhnya terhuyung ke luar kamarnya."Aaaaw!" Gadis itu memekik kesakitan sambil menatap bibinya dengan terkejut seolah tak percaya. Bibi yang selama i