Share

Bab 4 Menjijikkan

Satu bulan sudah berlalu sejak kejadian itu. Dan hari ini, Sadia tak punya pilihan lain kecuali menyetujui pernikahan itu, karena bibinya terus saja mendesaknya.

"Apakah saudari Afsana Sadia binti Ihsan Husain bersedia menerima Husam Alharis bin Bahar Alharis sebagai suami?" tanya penghulu sebelum melangsungkan akad nikah.

Pikiran Sadia tak berada dalam alam sadarnya. Bibirnya terkatup rapat, seolah tak ingin menjawab. Untuk beberapa saat ia merenung dan mencoba berpikir apakah masih ada jalan keluar untuk menolak pernikahannya ini. Haruskah ia berkata 'tidak'?

Bibinya yang sedari tadi duduk di belakangnya tiba-tiba menyenggol lengannya dengan kasar seolah tak sabar menunggunya mengiyakannya. Ah, tak ada pilihan lain. Mungkin ini sudah takdir yang dituliskan untuk Sadia. Kehidupan yang mengerikan dan mimpi buruk yang nyata sudah berada di depannya.

Para saksi duduk mengelilingi mereka, mereka memandang Sadia dengan penuh harap. Menunggunya mengatakan apa yang seharusnya ia katakan. Tak satupun dari mereka mengerti perasaan Sadia, mereka bukan siapa-siapa baginya. Bahkan, Ahsan pun tidak diizinkan oleh ibunya sendiri untuk menghadiri pernikahannya. Padahal, ia lah satu-satunya yang begitu dekat dengan Sadia, sepupu yang sudah ia anggap seperti saudara kandung.

Bibinya tak mengizinkan Ahsan masuk karena takut akan menganggu, sungguh alasan yang tidak masuk akal bagi Sadia.

Di sisi lain, Malik bahkan tidak tahu bahwa Sadia akan menikah hari ini. Pria yang diam-diam Sadia cintai itu berada jauh di luar negeri untuk menggapai mimpi-mimpinya. Terkadang, Sadia berharap ia bisa pergi menemui Malik di sana. Namun, itu sama sekali tidak mungkin. Apalagi ia tak memiliki uang sama sekali untuk itu.

Terkadang sesuatu dari masa kecilnya terbayang samar di ingatan Sadia, ketika itu ia memakai pakaian mahal dan tinggal di rumah mewah. Namun, entah siapa yang merampas semua kekayaan itu setelah kecelakaan brutal malam itu. Yang ia ingat hanya berita kecelakaan yang menewaskan sepasang suami-istri, dan kedua anaknya selamat, dan itu adalah keluarga kecilnya. Sadia menepis ingatan itu, karena mengingat semua itu hanya membuatnya merasa lebih sakit dari sakit yang sudah ia tahan selama ini.

"Jangan merusak namaku atau kau akan lihat apa yang akan kulakukan," Alya berbisik, sembari menebarkan senyumnya. Sadia tahu betul, ia tak tersenyum untuknya, ia tersenyum agar terlihat ramah oleh semua orang di sana.

Hari itu, Sadia kehilangan rasa hormatnya terhadap bibi dan pamannya yang selama ini ia pikir adalah pengganti orang tuanya. Tapi, yang lebih menyakitkan adalah Naya, adik kandungnya sendiri yang selama ini menjadi alasan bagi Sadia untuk bahagia, justru adalah penghianat yang tak akan pernah bisa ia lupakan. Ia membayangkan dirinya yang masih menyayangi Naya meskipun hanya kebencian yang terlihat di matanya ketika ia menatapnya.

Naya mulai membenci Sadia setelah ia tahu Sadia dekat dengan Malik. Naya diam-diam menyukai Malik, dan bibinya selalu mendukungnya. Mereka ingin Sadia cepat-cepat pergi dari rumah itu, sehingga ketika Malik pulang, ia tak akan pernah bertemu lagi dengan Sadia.

Sudah beberapa kali, Malik menyatakan cintanya pada Sadia. Namun, Sadia selalu menolaknya meskipun sebenarnya ia memiliki perasaan yang sama untuknya. Ia terpaksa menghancurkan perasaannya sendiri karena Naya, adiknya juga menaruh hati pada pria itu. Sedangkan Naya, bisa begitu mudahnya mendapat dukungan dari bibinya, hingga ia memaksanya menikahi pria lain. Pria yang lebih pantas disebut monster.

Pelipis Sadia berdenyut karena sakit yang ia rasakan.

"... sebagai suami." Potongan terakhir kalimat itu kembali terngiang di kepalanya, membuatnya tersadar dari pikirannya yang kacau.

"Saya bersedia," jawab Sadia. Setelah itu, akad nikah berlangsung seperti yang seharusnya, tak perlu dijelaskan lagi.

Setelah akad selesai, semua orang terlihat begitu gembira. Mereka saling berpelukan memberi selamat kepada Alya yang sedang menyeka air mata buayanya.

Sadia menatap tangannya yang berkeringat, ingin sekali ia membunuh suaminya sendiri dengan tangan kosong. Benci hanya sebuah kata, perasaan Sadia terhadap pria itu lebih dari sekedar benci.

Naya menyentuh lembut pundaknya. Sadia menoleh dan melihat Naya menatapnya dengan tatapan kasihan. Itulah perasaan yang paling Sadia benci, rasa dikasihani.

"Kuharap, dia adalah pria yang kakak impikan. Jangan habiskan hidup kakak untuk berkelahi dengannya. Terima dia."  Naya tersenyum kecut, mengingatkan Sadia pada masa kecil mereka.

Pikiran Sadia melayang. Memori sembilan tahun yang lalu berputar kembali di kepalanya. Saat itu mereka begitu dekat. Sadia selalu menghibur Naya ketika ia merajuk.

"Aku kangen bunda dan ayah," rintih gadis berusia dua belas tahun itu pada kakaknya.

"Ayah dan bunda sudah pergi. Tapi, masih ada kakak di sini. Kakak akan memberi Naya semua yang Naya butuhkan." Sadia membelai lembut kepala gadis kecil itu dengan penuh kasih sayang. Ketika itu, ia yang berusia 15 tahun sudah merasa cukup dewasa untuk menjaga adiknya.

Gadis kecil itu menghambur ke pelukan saudarinya dan menangis tersedu-sedu. "Kakak bohong! Kakak pasti akan melupakanku setelah kakak menikah!" ucapnya sembari menangis lebih keras, membuat Sadia terkekeh.

"Tidak ada yang bisa menggantikan Naya. Naya adalah segalanya bagi kakak. Sekalipun jika nanti kakak menemukan suami, Naya akan punya seseorang lagi yang bisa kau sebut sebagai anggota keluarga," Sadia mencoba menjelaskan.

Gadis kecil itu terlihat berpikir sejenak sebelum akhirnya berbicara lagi.

"Apakah dia akan membiarkanku tinggal bersama Kakak juga?" tanyanya dengan kegembiraan menari-nari di matanya.

"Tentu saja dia harus mengizinkannya! Kalau tidak, kakak akan menghajarnya habis-habisan!" Kata-kata Sadia membuatnya tergelak, memperlihatkan deretan gigi putihnya yang sempurna.

Sadia tersadar, semua itu hanyalah kenangan. Sekarang jelas, semuanya telah berubah. Naya bukanlah adiknya yang dulu selalu mendukungnya. Ia sudah lama kehilangan sosok 'adik' dalam diri Naya. Hingga akhirnya, ia tak tahan lagi untuk tidak meluapkan perasaannya.

"Kenapa kamu melakukan ini, Naya? Aku bekerja untukmu siang dan malam. Kau adalah saudara perempuanku, satu-satunya keluargaku. Bagaimana kau bisa begitu egois? Kau hanya perlu memintaku dan aku akan memberikan apa pun yang kau inginkan, apapun yang kupunya." Sadia berbisik, namun batinnya menjerit.

Tangis yang membasahi matanya membuat riasan di wajahnya luntur, namun ia tak peduli. Ini adalah pertama kalinya ia berbicara seperti ini pada adik kesayangannya, namun hanya terlihat sedikit penyesalan di mata Naya.

"Aku... aku," Naya mencoba bersuara, namun tiba-tiba suara pembawa acara menggema di ruangan itu.

"Selamat kepada kedua mempelai, prosesi pernikahannya sudah selesai. Semoga menjadi keluarga yang sakinah, mawadah, warahmah."  

Sadia semakin terisak, ia memejamkan matanya sambil merasakan tangan Naya yang menggenggam erat tangannya yang dingin seolah membeku.

Saat melihat para tamu undangan yang sedang menikmati hidangan, Sadia baru tersadar, Husam tak lagi berada di sampingnya. Ia mengedarkan pandangannya untuk mencari pria yang baru saja sah menjadi suaminya itu, namun bukan wajah Husam yang muncul, namun bisik-bisik para tamu undangan, entah apa yang mereka bicarakan.

"Nak.. " tiba-tiba, suara ibu mertua Sadia mengagetkannya. Wanita itu menatap iba pada Sadia.

Sadia menoleh, lalu wanita itu melanjutkan perkataannya. "Hu-Husam, sudah pulang sejak tadi. Kamu sebaiknya menyusulnya. Biar Pak Bowo yang mengantar."

Sadia terdiam sejenak, mencerna perkataan ibu mertuanya, lalu ia tercengang menyadari sebuah kenyataan. Mereka baru saja menikah, namun pria itu sudah meninggalkannya!

Ah, seharusnya Sadia senang. Ia tak perlu melihat wajah pria itu. Wajah pria yang sudah menghancurkan hidupnya. Menghancurkan mimpinya, harapannya terhadap Malik.

Pada hari itu Sadia bersumpah untuk tidak akan pernah menangis karena pria itu.  Tidak akan pernah!

Supir keluarga Husam membawanya menuju tempat tinggal Husam. Ah, entah kenapa Sadia baru merasakan sekarang, sepertinya semua anggota keluarganya sudah sejak lama ingin membuangnya.

Mobil yang ditumpanginya berhenti di depan rumah semewah istana. Sadia menapakkan kakinya sembari mengedarkan pandangannya. Rumah itu terlihat megah ditambah dekorasi yang sangat mengagumkan. Sama seperti rumah impian yang ia impikan saat ia kecil.

Tapi rumah ini sama sekali bukan rumah impian baginya sekarang. Tinggal bersama seorang pria brengsek, seorang gangster! Bukankah para gangster biasanya membunuh banyak orang untuk mendapatkan kekayaan?

Tampaknya dugaan Sadia benar. Jantungnya berdesir ketika ia melihat orang-orang bertubuh kekar berdiri di beberapa sudut rumah itu.

Sadia terdiam sesaat, merasa bingung. Haruskah ia masuk? Tiba-tiba ada seorang wanita yang terlihat tua dan wanita muda dengan pakaian sederhana mendekatiknya dan mengajaknya masuk. Mereka adalah pelayan di rumah itu.

Sadia menghela napas. Jika ini adalah yang tertulis sebagai takdirnya, maka ia tak akan menangisinya, ia harus menghadapinya dengan kuat.

"Di mana Bu Risa?" Sadia menanyakan keberadaan ibu mertuanya ketika kedua pelayan itu mengantarnya.

"Dia tidak tinggal di sini, Nyonya."  Pelayan itu bergumam. Ia terlihat masih muda dan cantik, usianya sebaya dengan Sadia.

"Lalu siapa yang tinggal di rumah sebesar ini? Dia sendiri?" tanya Sadia heran.

Kedua pelayan itu, tampak ketakutan seolah-olah mereka tidak yakin apakah mereka harus menjawab pertanyaan itu sebelum akhirnya salah satu dari mereka berbicara. "Mmm ... se-sebenarnya ... pacar-pacarnya juga tinggal di sini?"

Mata Sadia terbelalak seolah hampir terlepas dari rongganya. Mulutnya ternganga. Benar-benar tak ada yang bisa diharapkan dari lelaki brengsek itu!

"Pacar-pacar? Berapa banyak?"

"Lima, Nyonya," jawab pelayan yang terlihat lebih tua.

"Baiklah. Sekarang, di mana kamarku?" tanya Sadia dan mereka kembali mengantarkannya ke ruangan yang lebih jauh. Mereka menaiki tangga, membuat Sadia sedikit kesulitan karena harus menjinjing gaunnya yang cukup berat.

Akhirnya mereka sampai di lantai atas, ada banyak kamar di sana. Maira, pelayan muda itu menunjuk sebuah kamar, mengisyaratkan itulah kamar yang akan Sadia tempati.

Sadia mengangguk sembari beranjak menuju kamar itu. Namun, langkahnya terhenti ketika samar-samar ia mendengar desahan dua orang dari salah satu kamar di sana.

"Ohhh... ya, sayang.. Lebih cepat! ..." Terdengar suara seorang gadis mengerang.

"Aku ingin kau meneriakkan namaku!" Suara seorang pria menyahut.

"Husam.. Sayang.. Lebih cepat! Ahh.." Gadis itu benar-benar meneriakkan nama pria itu. Desahan-desahan mereka kembali terdengar bersahutan.

Sadia berbalik menatap kedua pelayan yang tadi mengantarnya, sementara suara-suara dari ruangan di sebelahnya tak henti memenuhi telinganya. Kedua pelayan itu menatap Sadia penuh iba.

Sadia benar-benar merasa jijik.

"Mana kamarku?" Sadia bertanya lagi untuk memastikan bahwa ia tak salah.

"Yang itu, Nyonya."  Maira menunjuk ke kamar tepat di sebelah kamar yang mengeluarkan suara tanpa henti itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status