Beranda / Romansa / Terpaksa Menjadi Yang Kedua / Bab 2: Tempat Tinggal Baru

Share

Bab 2: Tempat Tinggal Baru

Penulis: Mozarella_313
last update Terakhir Diperbarui: 2024-07-17 15:30:46

Bu Mira menoleh ke arah pintu saat ia mendengar bunyi pintu yang terbuka. Di hadapannya, tampak Raisa, baru saja datang.

Dengan susah payah, Raisa tersenyum lalu duduk di samping ranjang ibunya. "Gimana keadaan Ibu sekarang?"

Sebelum Bu Mira sempat menjawab, suster yang merawatnya berkata, "Kondisi Ibu Mira semakin melemah, Mbak."

Mendengar itu, rasa cemas dan khawatir melanda hatinya. Namun, untunglah ia telah menyetujui tawaran itu. Raisa menatap ibunya dengan mata berkaca-kaca, lalu berkata, "Bu, nanti Ibu akan segera dioperasi. Semoga semuanya berjalan lancar dan Ibu bisa segera pulih."

Bu Mira menatap anaknya dengan heran. "Raisa, kamu mendapatkan uang untuk operasi dari mana?"

Raisa menggigit bibir bawahnya sejenak, lalu menjawab, "Raisa meminjam uang dari atasan, Bu. Dan sebagai gantinya Raisa harus pindah tugas diluar kota untuk melunasi pinjamannya, kebetulan disana gajinya lebih tinggi. Tapi maaf, Raisa tidak bisa menemani Ibu saat operasi nanti karena tugas dan mungkin Raisa akan meminta Dinda untuk menemani Ibu."

Mendengar jawaban putrinya, Bu Mira tersenyum lemah. "Terima kasih, Sayang. Semoga Tuhan membalas kebaikan bos kamu. Kamu jangan khawatir, Ibu akan kuat menjalani operasi ini."

Raisa menggenggam erat tangan ibunya, berusaha menenangkan hatinya yang gelisah. Meski ia tidak bisa berada di samping ibunya saat operasi nanti, ia akan terus berdoa agar semuanya berjalan lancar dan Bu Mira bisa segera pulih.

Keesokan harinya

Zara datang menghampiri Raisa yang baru saja selesai menyuapi ibunya, karena semalam Raisa memang menemani ibunya di rumah sakit.

“Bu Zara…” gumam Raisa yang membuat Bu Mira menoleh.

Zara menyapa Bu Mira, dan Bu Mira pun membalas sapaannya. Raisa mengenalkan Zara sebagai atasannya, dan Bu Mira langsung berterima kasih pada Zara yang sudah membantu dirinya.

“Tidak perlu berterima kasih, Bu… saya hanya membantu apa yang bisa saya bantu.” Zara menyentuh bahu Raisa dan tersenyum padanya. “Karena Raisa sangat baik pada saya.”

Selepas itu Raisa pun meminta izin pada Bu Mira untuk mengobrol di luar dengan Zara.

Raisa dan Zara duduk berdampingan di bangku luar kamar, Zara menoleh pada Raisa, dengan ekspresi wajah yang penuh kepedulian, ia mengatakan, "Besok operasi ibumu sudah dijadwalkan."

Raisa menatap Zara dengan rasa terharu dan berucap, "Terima kasih, Bu Zara." Namun Zara menggelengkan kepalanya pelan sambil tersenyum, "Ini sudah seharusnya terjadi, Raisa. Ini adalah bentuk kerjasama kita."

Merasa diperhatikan, Raisa menunduk, menahan air matanya yang hampir jatuh. Zara kemudian menepuk-nepuk punggung Raisa, menghiburnya. "Sudahlah, jangan sedih. Oh ya, Raisa, mumpung kita ada di rumah sakit, bagaimana kalau kamu memeriksakan kesehatan dan keadaan rahimmu juga? Siapa tahu ada yang perlu ditangani."

Raisa mengangguk menyetujui usulan Zara, kemudian mereka berdiri bersama-sama untuk menuju ke ruang pemeriksaan.

Setelah pemeriksaan medis selesai, Zara tersenyum puas karena kondisi Raisa yang begitu sehat. "Mulai hari ini, kamu akan tinggal bersamaku, Raisa," ucap Zara tegas. Raisa terkejut, wajahnya berubah bingung. Ini sangat dadakan dan ia belum sempat pamitan dengan ibunya.

"Tapi aku bahkan belum berpamitan dengan Ibu?" kata Raisa dengan mata berkaca-kaca. Zara mengangguk, mempersilahkan Raisa. "Kalau begitu kamu temui dulu ibumu."

Dengan berat hati, Raisa pun kembali ke kamar Bu Mira dan menjelaskan situasi yang terjadi. Air mata Bu Mira tak terbendung, ia mencoba menahan kesedihan saat harus berpisah dengan putrinya. "Jaga diri baik-baik, Nak. Semoga Tuhan selalu melindungimu," ucap Bu Mira dengan suara parau.

**

Raisa melangkah masuk ke rumah mewah Zara dan Mahesa, dengan rasa takjub yang mendalam. Setiap sudut rumah itu menampilkan kemewahan yang tak terkira, mulai dari lantai marmer yang berkilau, hiasan dinding yang artistik, hingga ornamen mahal yang tersebar di seluruh ruangan. Raisa merasa seperti memasuki istana yang megah, tak pernah ia membayangkan akan bisa berada di tempat yang seindah ini.

Zara tersenyum melihat reaksi Raisa dan mengajaknya naik ke lantai tiga, tempat kamar yang akan ditempati Raisa berada. Seorang pelayan wanita mengikuti langkah mereka sambil membawa kopernya Raisa. Ketika sampai di depan pintu kamar, Zara membukakan pintu dan mempersilahkan Raisa untuk masuk.

Setelah memastikan bahwa Raisa merasa nyaman, Zara memberikan senyuman terakhir dan perlahan meninggalkan ruangan, menutup pintu di belakangnya, memperlihatkan Mahesa yang mendekat dengan langkah tenang. Wajahnya tetap tak menunjukkan ekspresi apa pun. Ia menggantungkan jasnya di gantungan dan berjalan menuju jendela, memandang keluar tanpa sepatah kata.

Raisa mengumpulkan keberanian untuk berbicara. "T-tuan—”

Mahesa tetap memandang keluar jendela, tangannya bersedekap. "Pernikahan ini hanya formalitas. Aku harap kamu mengerti situasinya."

Kata-kata itu menusuk hati Raisa. Ia tahu dari awal bahwa ini bukan pernikahan berdasarkan cinta, tapi mendengarnya langsung dari Mahesa tetap membuatnya sakit.

Mahesa berbalik dan menatap Raisa dengan tatapan dingin. "Aku sudah membuat segalanya jelas dari awal. Kita melakukan ini karena kebutuhan, bukan karena perasaan. Jangan berharap lebih."

Raisa menundukkan kepalanya, merasakan air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. "Aku mengerti," bisiknya.

Mahesa menghela napas dalam-dalam dan mengatakan dengan suara yang berat, "Raisa, aku berharap kita bisa menuntaskan ini dengan cepat."

Malam itu, mereka berdua merasa terjebak dalam situasi yang tak bisa dihindari dan harus mereka hadapi bersama.

Raisa dan Mahesa duduk berdampingan di sisi ranjang yang empuk. Raisa menoleh ke Mahesa, lalu berkata dengan suara lembut, "Saya belum pernah melakukannya,”

Mahesa mengangguk dan beranjak mematikan saklar lampu, menyisakan cahaya lilin yang remang-remang. Ia kembali ke sisi Raisa dan menggenggam tangannya erat. Mereka saling menatap dalam keheningan, seakan mencari keberanian.

Perlahan, Mahesa mendekatkan wajahnya dan mencium bibir Raisa dengan lembut. dengan rasa cinta yang tak pernah ada, namun mereka dipaksakan untuk bersatu. Raisa merasa tegang, tak pernah menyangka Mahesa akan menjadi yang pertama dalam hidupnya.

Mahesa berbisik ke telinga Raisa, "Rileks... Aku ingin semuanya segera selesai."

Malam itu, tubuh mereka mulai menyatu, memadu kasih dalam kegelapan malam.

Raisa dibuat mabuk kepayang oleh apa yang dibuat oleh Mahesa. Seketika ia menjadi lupa diri bahwa ia hanya Rahim pengganti untuk Zara dan Mahesa.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Terpaksa Menjadi Yang Kedua    34. Berita Zara

    Raisa meremas baju yang sedang dilipatnya, matanya terpaku pada layar televisi yang mengeluarkan gambar bergerak berwarna pudar. Televisi lama itu menampilkan wajah Zara yang sedang mengenakan kacamata hitam besar, cahaya sorotan kamera membuat matanya yang sembab terlihat jelas meski tertutup kaca gelap. Suara wartawan bertubi-tubi menanyakan tentang kabar rumah tangganya, karena akhir-akhir ini berita jarang meliput kebersamaan mereka.Dengan suara parau Zara berkata, "Pernikahan ku sedang berada di ujung tanduk, dan itu disebabkan oleh orang ketiga."Raisa seketika menegang ketika mendengarnya. "Kenapa Zara mengatakan hal itu?""Jadi benar kalau Pak Mahesa berselingkuh? Apa Anda mengenali siapa wanita itu?" tanya seorang wartawan dengan nada yang menggali.Zara, dengan bibir bergetar dan suara yang serak, mencoba untuk menjawab namun hanya isak tangis yang pecah di udara. Pengawal pribadi Zara segera mengulurkan tangan, menuntunnya pergi dari kerumunan wartawan yang semakin menj

  • Terpaksa Menjadi Yang Kedua    33. Kekhawatiran

    Mahesa berjalan mondar-mandir di ruang tamu, kecemasan terpancar jelas dari kedua matanya yang semakin merah. "Cek semua rekaman CCTV!" perintahnya pada kepala keamanan dengan suara yang berat dan tegas. Setelah beberapa saat yang tegang, hasilnya pun keluar: Raisa terlihat keluar melalui pintu belakang rumah yang menuju ke hutan kecil di belakang rumah semalam.Dengan langkah cepat dan penuh ketegasan, Mahesa mendekati Laras yang berdiri di sudut ruangan dengan wajah dinginnya. "Laras, kenapa ini bisa terjadi? Bukankah kamu yang bertugas untuk menjaga Raisa?" suaranya meninggi, penuh dengan kekecewaan dan amarah. Laras, yang ketakutan, hanya bisa menunduk lebih dalam, bibirnya gemetar ingin menjelaskan namun tak satu kata pun yang bisa keluar.Tanpa menunggu jawaban lebih lanjut, Mahesa berbalik dan menginstruksikan tim keamanannya, "Kita tidak punya waktu lagi, ikuti saya ke hutan, kita harus menemukan Raisa sebelum sesuatu terjadi padanya." Suara Mahesa yang resah menggema di an

  • Terpaksa Menjadi Yang Kedua    Bab 32: Gempar

    Dengan berlinangan air mata, Raisa membuka hati pada Bu Mira yang duduk di depannya dan mulai menceritakan bagaimana semuanya dimulai. "Bu, Raisa gak tahu harus bagaimana lagi," ucap Raisa dengan suara bergetar. "Situasi kami sangat rumit, Bu. Dia mungkin tidak akan pernah bisa menerima anak ini." Bu Mira, yang mendengarkan dengan seksama, terlihat bingung namun penuh empati. Ia menghela napas dalam-dalam, mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk menghibur. "Tapi Raisa, anak ini juga darah dagingnya. Bagaimana mungkin dia bisa berpaling begitu saja?"Raisa menggigit bibir bawahnya, menahan gejolak emosi. "Lebih baik Raisa pergi, Bu, daripada harus mendengar sendiri kata-kata pengusiran dari mulutnya, sedangkan dia saja masih bingung untuk mempertahankan bayi ini atau tidak, Raisa tidak sengaja mendengar percakapannya dengan kepala maid jadi Raisa memutuskan untuk pergi. Raisa akan terus merawat dan membesarkan bayi ini sendiri, dan dia harus tetap hidup," Suaranya semakin lemah, s

  • Terpaksa Menjadi Yang Kedua    Bab 31: Mengakui

    Hujan gerimis di luar membawa suasana yang dingin. Dalam kesunyian itu, suara ketukan pintu yang samar menjadi semakin jelas, memecah kesenyapan malam. Bu Mira, yang terbungkus selimut tebal, terbangun dari tidurnya di sofa ruang tamu. Dengan mata yang masih setengah terpejam, ia melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 2 dini hari. "Siapa yang ngetuk pintu ya?" gumamnya pelan.Namun rasa penasarannya mengalahkan kantuknya, ia pun beranjak dengan langkah gontai menuju pintu depan."Ia tunggu sebentar!" seru Bu Mira.Sesampainya di depan pintu, Bu Mira membuka kunci dengan tangan yang gemetar, tidak sabar ingin tahu siapa gerangan yang datang di tengah malam buta. Saat pintu terbuka, rona kegembiraan menyala di wajahnya saat ia melihat sosok putrinya, Raisa, berdiri di hadapannya. Raisa yang seluruh pakaiannya basah kuyup karena hujan, namun masih mampu tersenyum lembut kepada ibunya."Ibu..." lirih Raisa dengan mata yang berkaca-kaca."Raisa, putriku..." sahutnya yang henda

  • Terpaksa Menjadi Yang Kedua    Bab 30: Pergi

    Di kamarRaisa menyesuaikan tudung jaketnya yang besar, memastikan wajahnya tersembunyi sempurna di balik bayang-bayang. Detik jam berdentang pelan di telinganya, menegaskan betapa larut malam itu sudah berlalu. Raisa sebisa mungkin melangkahkan kakinya pelan-pelan serta mengendap-endap agar tidak diketahui siapapun."Sepertinya aku harus ambil jalan belakang, tidak mungkin jika aku pergi lewat gerbang depan, itu terlalu jauh dan pastinya banyak sekali penjagaan di sana," pikir Raisa yang tiba-tiba memikirkan gerbang belakang, yang biasa ia lewatkan saat ia berjalan menuju rumah kaca.Langkahnya hati-hati, menghindari kerikil dan ranting yang mungkin mengkhianati keberadaannya dengan suara yang mungkin terdengar.Setiap bayangan yang bergerak membuat jantung Raisa berdegup kencang, namun ia tetap bergerak maju. Udara dingin menerpa wajahnya yang terselubung, memberi semangat baru dalam setiap tarikan nafas.Di kejauhan, beberapa penjaga dengan senter di tangan mereka tampak berjaga,

  • Terpaksa Menjadi Yang Kedua    Bab 29: Rencana Raisa

    "Kenapa kamu hanya dia, Ras? Ada apa? Bagaimana kondisi diluar sekarang?" tanya Raisa yang membuat Laras tersadar akan lamunannya."Emm maaf Nona, saya belum bisa memastikan,” kata Laras dengan ragu.Raisa menghembuskan nafas panjang. "Baiklah kalau begitu."Bersamaan dengan itu Laras meletakkan piring buah dan susu disana."Daripada Nona Raisa memikirkan mereka, lebih baik Nona nikmati saja buah-buahan ini. Karena ini bagus untuk kehamilan Anda," tandas Laras yang tengah mengalihkan perhatiannya.Raisa menoleh sekilas tanpa nafsu. "Aku tidak tenang, Ras.""Yakin saja bahwa mereka akan baik-baik saja,” senyum Laras.Raisa mengangguk sambil menerima piring yang di sodorkan oleh Laras kepadanya."Semoga apa yang aku khawatirkan tidak benar-benar terjadi, jika Zara pergi lalu bagaimana dengan nasibku dan juga bayi ini? Apa Tuan Mahesa masih akan mempertahankannya?" pikir Raisa yang menyuapkan buah ke dalam mulutnya."Kalau begitu saya permisi Nona, karena di bawah masih ada pekerjaan yan

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status