"Raisa, aku ingin meminta sesuatu darimu. Aku mau kamu menjadi maduku, hanya untuk satu tahun."
Mendengar ucapan atasannya itu, Raisa merasa suasana restoran malam ini menjadi sangat dingin. Beberapa hari yang lalu, dirinya memang sempat menceritakan pada Zara mengenai Ibunya yang harus melakukan operasi dan membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Padahal, Raisa yang hanya pegawai biasa tidak memiliki uang untuk membayar operasi Ibunya. Saat itu, Zara yang merupakan tamu VVIP sekaligus sahabat dari pemilik butik, tempatnya bekerja. Zara mengatakan akan membantu Raisa dengan memintanya untuk datang ke tempat ini. Tapi, siapa sangka maksudnya menjadi madu? "Maaf, Bu. Tapi--" Belum sempat berbicara, Zara sudah memotong ucapannya, "Aku akan membantu biaya pengobatan dan operasi ibumu hingga dia benar-benar sembuh. Aku tahu ini permintaan yang berat, tetapi kami benar-benar membutuhkan bantuanmu, Raisa." Kali ini mata Zara berkaca-kaca seolah-olah Raisa memanglah harapan terakhir untuk dirinya dan Mahesa, suaminya. Raisa jelas merasa dilema. Di satu sisi, ia ingin ibunya sembuh, tetapi disisi lain, ia takut menghadapi konsekuensi dari keputusan ini. Zara berpindah ke sebelah Raisa, kemudian menggenggam tangan Raisa yang dingin, Zara mencoba meyakinkannya bahwa ini adalah pilihan yang tepat. "Raisa, tolong! Aku percaya kamu adalah wanita yang baik dan bisa membantu kami mewujudkan impian ini. Aku berjanji, setelah satu tahun, kamu bebas untuk menjalani hidupmu sendiri dan bahkan aku akan memberikan kamu lebih agar kamu dan ibumu tidak kesusahan lagi. Hanya satu tahun saja," ucap Zara dengan suara lirih seraya menoleh ke arah sang suami yang duduk di depannya. Mahesa sendiri membuang muka, tatapannya datar dan tidak seorang pun tahu isi hatinya saat ini. "Tapi ini terlalu berat untuk saya," ucap Raisa lirih dan hampir putus asa, "apakah tidak ada cara lain?" "Coba pikir kembali, Raisa … Ibumu menderita kanker darah, dia membutuhkan penanganan yang intensif. Apa kamu tega membiarkannya terus kesakitan? Aku berjanji bahwa aku akan menjamin kamu, Raisa." Zara menepuk bahu Raisa lembut dan mencoba meyakinkannya lagi. Gadis itu sontak memejamkan matanya. Terbayang wajah tua ibunya yang kesakitan, membuat Raisa menjadi serba salah. "Bagaimana Raisa? Apakah kamu mau menjadi maduku?" Raisa menatap Zara dengan tatapa menyiratkan penuh harapan dan permohonan. Cukup lama ketiganya tanpa suara di meja makan itu. Raisa tak tahu apa yang harus dilakukan. Tapi, apakah ada cara selain ini? Menahan segala kepedihan dan pikiran yang berkecamuk, Raisa menarik napas panjang. "B-baiklah kalau begitu." "Benarkah?" Melihat Raisa menganggukkan kepalanya, Zara sontak menoleh ke arah Mahesa dengan senyum penuh kebahagiaan. Tapi, entah mengapa, Raisa dapat melihat Mahesa tampak tak senang? "Terima kasih, Raisa … besok aku akan memastikan jadwal operasi ibumu— Oh tidak! Malam ini aku akan menghubungi dokter dan rumah sakit terbaik untuk merawat ibumu, dan tentunya mereka akan melakukan operasi itu secepatnya, dan setelahnya kamu harus ikut bersama kami," jelas Zara masih dengan senyum bahagia. Hanya saja, kali ini Raisa membelakkan matanya. "Tapi … siapa yang akan merawat ibuku?" "Mintalah salah satu temanmu untuk menjaga ibumu, dengan beralasan bahwa kamu dipindah tugaskan oleh atasanmu ke luar kota, aku yakin ibumu pasti akan mengerti.” Zara memberi solusi. Raisa hanya diam, sampai akhirnya ia memikirkan satu nama, Dinda, sahabat sekaligus tetangganya. "Kamu tidak perlu cemas, aku akan meminta anak buahku untuk menjaga ibu serta temanmu selagi kamu tidak ada. Bukan begitu, Sayang?" Bersamaan dengan itu Zara melirik ke arah sang suami. Lagi-lagi, Mahesa tidak menanggapi. Ia hanya menghela napas kasar di seberang sana, membuat Raisa semakin tak nyaman. Apakah keputusannya ini salah? "Jadi apa kita bisa menandatangani kontrak itu sekarang? Kebetulan aku sudah menyiapkan segalanya, sebelum aku datang kemari dan setelah pertemuan kita di butik tempat kamu bekerja." Kemudian Zara mengeluarkan selembar kertas yang lengkap dengan materainya di sana, menyodorkannya pada Raisa. "Silahkan kamu baca isi perjanjian tersebut." Raisa mengangguk dan menerima surat tersebut, yang di dalamnya berisi bahwa Raisa harus menjadi istri kedua suaminya selama satu tahun atau sampai melahirkan, dengan pihak pertama yang akan memberikan benefit untuk biaya rumah sakit serta operasi ibunya, tentu Zara juga akan memberikan sejumlah uang sebagai balas budinya sebesar 500 juta rupiah. Raisa memastikan angka yang ia baca itu tidak salah, dan kemudian mengangkat suara. "Bu Zara, apa ini tidak berlebihan? 500 juta itu sangat banyak." Zara melirik ke arah suaminya dengan senyuman, dan kembali menatap Raisa. "Karena kami akan mendapatkan hal yang lebih besar, maka dari itu kami akan sangat berterimakasih jika kamu mau menerima tawaran dari kami." Setelah cukup menyakinkan dirinya, Raisa pun akhirnya membubuhkan tandatangannya di sana, dengan Zara dan Mahesa yang menjadi pihak pertama dan saksinya. Dan malam itu Zara langsung menghubungi dokter serta rumah sakit terbaik untuk memindahkan Bu Mira yang tadinya hanya di rawat di rumah sakit biasa, ke rumah sakit berkelas milik pamannya. ‘Ibu, semoga Ibu tidak akan kecewa denganku,’ gumamnya sedih.Raisa meremas baju yang sedang dilipatnya, matanya terpaku pada layar televisi yang mengeluarkan gambar bergerak berwarna pudar. Televisi lama itu menampilkan wajah Zara yang sedang mengenakan kacamata hitam besar, cahaya sorotan kamera membuat matanya yang sembab terlihat jelas meski tertutup kaca gelap. Suara wartawan bertubi-tubi menanyakan tentang kabar rumah tangganya, karena akhir-akhir ini berita jarang meliput kebersamaan mereka.Dengan suara parau Zara berkata, "Pernikahan ku sedang berada di ujung tanduk, dan itu disebabkan oleh orang ketiga."Raisa seketika menegang ketika mendengarnya. "Kenapa Zara mengatakan hal itu?""Jadi benar kalau Pak Mahesa berselingkuh? Apa Anda mengenali siapa wanita itu?" tanya seorang wartawan dengan nada yang menggali.Zara, dengan bibir bergetar dan suara yang serak, mencoba untuk menjawab namun hanya isak tangis yang pecah di udara. Pengawal pribadi Zara segera mengulurkan tangan, menuntunnya pergi dari kerumunan wartawan yang semakin menj
Mahesa berjalan mondar-mandir di ruang tamu, kecemasan terpancar jelas dari kedua matanya yang semakin merah. "Cek semua rekaman CCTV!" perintahnya pada kepala keamanan dengan suara yang berat dan tegas. Setelah beberapa saat yang tegang, hasilnya pun keluar: Raisa terlihat keluar melalui pintu belakang rumah yang menuju ke hutan kecil di belakang rumah semalam.Dengan langkah cepat dan penuh ketegasan, Mahesa mendekati Laras yang berdiri di sudut ruangan dengan wajah dinginnya. "Laras, kenapa ini bisa terjadi? Bukankah kamu yang bertugas untuk menjaga Raisa?" suaranya meninggi, penuh dengan kekecewaan dan amarah. Laras, yang ketakutan, hanya bisa menunduk lebih dalam, bibirnya gemetar ingin menjelaskan namun tak satu kata pun yang bisa keluar.Tanpa menunggu jawaban lebih lanjut, Mahesa berbalik dan menginstruksikan tim keamanannya, "Kita tidak punya waktu lagi, ikuti saya ke hutan, kita harus menemukan Raisa sebelum sesuatu terjadi padanya." Suara Mahesa yang resah menggema di an
Dengan berlinangan air mata, Raisa membuka hati pada Bu Mira yang duduk di depannya dan mulai menceritakan bagaimana semuanya dimulai. "Bu, Raisa gak tahu harus bagaimana lagi," ucap Raisa dengan suara bergetar. "Situasi kami sangat rumit, Bu. Dia mungkin tidak akan pernah bisa menerima anak ini." Bu Mira, yang mendengarkan dengan seksama, terlihat bingung namun penuh empati. Ia menghela napas dalam-dalam, mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk menghibur. "Tapi Raisa, anak ini juga darah dagingnya. Bagaimana mungkin dia bisa berpaling begitu saja?"Raisa menggigit bibir bawahnya, menahan gejolak emosi. "Lebih baik Raisa pergi, Bu, daripada harus mendengar sendiri kata-kata pengusiran dari mulutnya, sedangkan dia saja masih bingung untuk mempertahankan bayi ini atau tidak, Raisa tidak sengaja mendengar percakapannya dengan kepala maid jadi Raisa memutuskan untuk pergi. Raisa akan terus merawat dan membesarkan bayi ini sendiri, dan dia harus tetap hidup," Suaranya semakin lemah, s
Hujan gerimis di luar membawa suasana yang dingin. Dalam kesunyian itu, suara ketukan pintu yang samar menjadi semakin jelas, memecah kesenyapan malam. Bu Mira, yang terbungkus selimut tebal, terbangun dari tidurnya di sofa ruang tamu. Dengan mata yang masih setengah terpejam, ia melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 2 dini hari. "Siapa yang ngetuk pintu ya?" gumamnya pelan.Namun rasa penasarannya mengalahkan kantuknya, ia pun beranjak dengan langkah gontai menuju pintu depan."Ia tunggu sebentar!" seru Bu Mira.Sesampainya di depan pintu, Bu Mira membuka kunci dengan tangan yang gemetar, tidak sabar ingin tahu siapa gerangan yang datang di tengah malam buta. Saat pintu terbuka, rona kegembiraan menyala di wajahnya saat ia melihat sosok putrinya, Raisa, berdiri di hadapannya. Raisa yang seluruh pakaiannya basah kuyup karena hujan, namun masih mampu tersenyum lembut kepada ibunya."Ibu..." lirih Raisa dengan mata yang berkaca-kaca."Raisa, putriku..." sahutnya yang henda
Di kamarRaisa menyesuaikan tudung jaketnya yang besar, memastikan wajahnya tersembunyi sempurna di balik bayang-bayang. Detik jam berdentang pelan di telinganya, menegaskan betapa larut malam itu sudah berlalu. Raisa sebisa mungkin melangkahkan kakinya pelan-pelan serta mengendap-endap agar tidak diketahui siapapun."Sepertinya aku harus ambil jalan belakang, tidak mungkin jika aku pergi lewat gerbang depan, itu terlalu jauh dan pastinya banyak sekali penjagaan di sana," pikir Raisa yang tiba-tiba memikirkan gerbang belakang, yang biasa ia lewatkan saat ia berjalan menuju rumah kaca.Langkahnya hati-hati, menghindari kerikil dan ranting yang mungkin mengkhianati keberadaannya dengan suara yang mungkin terdengar.Setiap bayangan yang bergerak membuat jantung Raisa berdegup kencang, namun ia tetap bergerak maju. Udara dingin menerpa wajahnya yang terselubung, memberi semangat baru dalam setiap tarikan nafas.Di kejauhan, beberapa penjaga dengan senter di tangan mereka tampak berjaga,
"Kenapa kamu hanya dia, Ras? Ada apa? Bagaimana kondisi diluar sekarang?" tanya Raisa yang membuat Laras tersadar akan lamunannya."Emm maaf Nona, saya belum bisa memastikan,” kata Laras dengan ragu.Raisa menghembuskan nafas panjang. "Baiklah kalau begitu."Bersamaan dengan itu Laras meletakkan piring buah dan susu disana."Daripada Nona Raisa memikirkan mereka, lebih baik Nona nikmati saja buah-buahan ini. Karena ini bagus untuk kehamilan Anda," tandas Laras yang tengah mengalihkan perhatiannya.Raisa menoleh sekilas tanpa nafsu. "Aku tidak tenang, Ras.""Yakin saja bahwa mereka akan baik-baik saja,” senyum Laras.Raisa mengangguk sambil menerima piring yang di sodorkan oleh Laras kepadanya."Semoga apa yang aku khawatirkan tidak benar-benar terjadi, jika Zara pergi lalu bagaimana dengan nasibku dan juga bayi ini? Apa Tuan Mahesa masih akan mempertahankannya?" pikir Raisa yang menyuapkan buah ke dalam mulutnya."Kalau begitu saya permisi Nona, karena di bawah masih ada pekerjaan yan