Share

Revan

Dirja menghempaskan badan dengan kasar ke sofa ruang tamu, memijit pelipisnya pelan. Kekesalannya mengingat kegagalan Mbah Tukijan untuk melenyapkan Raisya membuat kepalanya berdenyut-denyut. Apalagi jika teringat gepokan uang berwarna merah yang ia berikan beberapa waktu lalu.

"Bisa-bisanya salah orang? Makhluk bod** macam apa yang dipeliharanya? Dasar dukun amatir!" gerutunya. 

"Kenapa lagi, Pak? Gagal, ya? Ck ...."

Lisa--anak bungsu Dirja angkat bicara sambil terkekeh lirih.

"Udah Lisa bilangin kalau dukun pilihan bapak itu dukun abal-abal! Udah abal-abal, mesum lagi!" timpalnya lagi.

"Nanti malam bapak mau ke sana, kamu ikut gih!" bujuknya.

"Ogah! Lisa malas ke tempat kumuh itu, belum lagi mata dukun mesum itu jelalatan nggak karuan. Bapak rela Lisa diapa-apain sama dia? Ihhh ... amit-amit!!" cerocosnya, bergidik ngeri.

"Ya, nggak mungkin diapa-apain, Lis. 'Kan ada bapak!"

"Ogah! Ajak ibu aja, tuh," jawabnya, ketus. Keketusan yang dia warisi dari Maemunah--ibunya.

Ia bersungut-sungut ria sambil memainkan ponselnya. Selang beberapa menit kemudian, riak mukanya berubah. 

"Lihat deh, Pak! Ini korban kecelakaan tunggal di daerah Kalisari. Sepertinya Lisa kenal deh, wajahnya nggak asing," katanya sambil memperlihatkan berita online kepada Dirja.

Lisa tampak berfikir keras melihat sesosok tubuh yang nyaris tak dikenali karena hampir sebagian wajahnya tertutup darah itu, meski jika dilihat dari jaket yang dikenakan korban, harusnya Lisa tahu. 

Terlihat Lisa menscroll gawainya ke atas ke bawah dengan tergesa-gesa, hingga menemukan identitas korban kecelakaan tersebut. Sesekali tangannya menutup mulutnya yang menganga, tak mempercayai apa yang telah di lihatnya.

"Paakk!! Ini kan Mas Zain, Pak!" serunya, hampir-hampir melompat dari tempat duduknya.

Dirja hanya memutar bola mata, jengah.

"Pak, jaket yang dipakai korban itu adalah jaket yang Raisya pakai malam itu, yang kantongnya udah Lisa masukin buntalan kafan. Hwaaaa ...." tangis Lisa meledak. 

Ekspresi yang tak pernah Dirja duga sebelumnya.

"Kamu kenapa nangis gitu? Menyesal?" tanya Dirja.

"Bapak tahu nggak kenapa Lisa mau bantuin Bapak buat celakain Raisya? Ya demi pria yang di foto ini, Paaakkk! Dia calon mantu Bapak!"

Tangis Lisa makin menjadi, membuat Dirja makin geram.

"Mantu gundulmu! Makin ngawur saja omonganmu itu," gerutu Dirja.

"Pada berisik amat, sih! Pake acara nangis-nangisan segala ini kenapa?" 

Maemunah--istri Dirja yang sedang asyik rebahan dalam kamar pun akhirnya keluar. Rambutnya yang keriting tampak awut-awutan, mirip penampakan kuntilanak yang Dirja jumpai di pohon randu beberapa hari lalu saat ia mencari rumah Mbah Tukijan. Mengingat itu semua Dirja bergidik.

"Ibuuu ...." 

Rengekan si bungsu membuat Maemunah mendekat lalu memeluknya dengan penuh kasih sayang. Sesekali Maemunah menjawab cerocosan Lisa yang tak begitu jelas karena dibarengi dengan tangis.

"Ini semua gara-gara dukun nggak jelas itu! Hadehh!" keluh Dirja, membenamkan wajahnya ke dalam kedua telapak tangan.

***

"Bang Hamdan!"

Seorang pemuda berperawakan tinggi tegap menoleh ke arah suara yang beberapa saat lalu memanggilnya. Ia tersenyum lalu mengayunkan langkah membelah kerumunan Pasar Wage.

"Hai, Van! Apa kabar, nih?" katanya sambil menjabat tangan Revan.

"Alhamdulillah, Bang! Kebetulan kita ketemu di sini. Rencananya Revan mau ketemu sama Abah," jelasnya.

Hamdan mengernyitkan dahi, tapi urung bertanya lebih jauh. Tampak di matanya mimik tak biasa dari wajah Revan yang biasanya ceria.

"Abah ada di rumah, Van. Yuk, kebetulan abang juga udah kelar belanjanya," ajaknya.

Motor keduanya pun membelah jalanan menuju desa Pinang, kediaman Ustadz Dzaki--ayah Hamdan.

"Assalamu'alaikum, Abah!"

Hamdan dan Revan mengucap salam bersamaan ketika melihat Ustadz Dzaki tengah duduk santai di teras. Keduanya mencium tangan Ustadz Dzaki secara bergantian.

"Masuk, Le! Udah lama nggak ke tempat abah, nih!" ucap Ustadz Dzaki sambil menepuk bahu Revan pelan.

Revan meletakkan beberapa bungkusan yang tadi dibelinya di pasar untuk Ustadz Dzaki. Sedang Hamdan berlalu ke belakang.

"Kebiasaan kamu ini, Le! Kalau ke sini segala macam makanan kamu beli," cerocos Ustadz Dzaki.

"Cuma cemilan, Bah," sanggah Revan.

"Paklekmu udah telpon abah kemarin. Tapi abah minta maaf, yo, Le? Abah masih ada urusan, jadi biar Abangmu saja yang ke sana ditemani beberapa santri lain," katanya, panjang lebar.

"Nggeh, Bah. Ndak apa-apa," jawab Revan, santun.

"Nanti biar abah ngasih tahu Abangmu syarat-syarat yang harus dibeli untuk mager rumahmu. Tapi nanti kamu jangan kaget, yo, Le!" jelas Ustadz Dzaki, lagi.

"Kaget bagimana, Bah? Revan ndak paham," tanya Revan.

"Jangan kaget kalau saat kamu membeli barang yang akan dijadikan syarat, tidak semudah saat kamu membeli barang pada umumnya. Mereka akan berusaha menggagalkan usahamu, bahkan menyesatkanmu," jelas Ustadz Dzaki. 

Hamdan yang baru keluar dari dapur dengan nampan berisi beberapa cangkir minuman, duduk di sebelah Revan.

"Tenang, Van. Abang akan berusaha membantu kamu," katanya, sambil tersenyum simpul.

Revan hanya mengangguk patuh. Andaikan tak mengingat bahwa ia adalah seorang laki-laki, mungkin ia akan menangis tersedu-sedu di hadapan Abah, meluapkan kesedihan yang dipendamnya. Menceritakan keadaan keluarganya yang carut-marut akibat teror ilmu hitam.

Parahnya lagi, yang menteror keluarga mereka bukanlah orang lain, akan tetapi bagian dari keluarga mereka sendiri yang tak terima akan keputusan hasil pembagian tanah warisan.

Selepas pulang dari rumah Ustadz Dzaki, Revan bergegas menuju ke arah pasar lagi. Puluhan ruko telah pun ia lewati namun tak tampak olehnya ruko Haji Ahmad. Ruko yang biasa ia sambangi untuk mencari buku-buku lawas.

Selain menjual buku-buku lawas, Haji Ahmad juga menjual berbagai jenis parfum Arab yang halal. Parfum itulah yang kini tengah ia cari.

"Allahu Akbar!"

Revan berteriak manakala motor yang ia lajukan hampir saja menabrak seekor kucing putih. Kakinya yang kini menginjak rem tampak gemetar, terlebih lagi saat ia menyadari tak lagi berada di area pasar.

"Astagfirullah, kok bisa muter ke sini, sih?"

gerutunya.

Pak Salman yang kebetulan berada di teras, mencoba menegur Revan yang tampak kebingungan.

"Kenapa, Van? Mogok, ya, motornya? Mampir sini dulu, gih! Nggak capek apa dari tadi muter-muter mulu?" jelasnya.

Kata-kata Pak Salman sontak membuat Revan menjatuhkan rahang. Ia merasa dalam keadaan sepenuhnya sadar, dan baru sekali ini melewati Gang Merpati--gang di mana Pak Salman tinggal.

"Bapak salah orang kali. Revan baru sekali ini, loh, lewat sini. Ini pun nyasar sepertinya, Pak!" jelas Revan, sambil garuk kepala.

"Bapak nggak salah lihat, kok! Dari tadi kamu muter-muter sambil celingak-celinguk nyari entah apalah. Ini udah ketiga kalinya, loh, kamu lewat sini. Mampir aja dulu, yuk?" ajak Pak Salman.

"Maaf, Pak. Mungkin lain kali. Revan masih ada perlu, Pak! Makasih tawarannya," tolak Revan, halus.

"Owalah, ya sudah! Hati-hati, Van!" 

"Iya, Pak! Mari ... "

Pak Salman hanya mengangguk lalu melanjutkan acara ngopinya. Revan kembali melanjutkan perjalanan dengan perasaan tak karuan. Senja menyongsong saat ia melewati area persawahan yang sepi. Revan merasakan hawa yang tak biasa, seolah ada puluhan pasang mata yang mengawasi gerak-geriknya.

"Laaah, kenapa lagi, nih, motor?" gerutunya, saat mesin motornya tiba-tiba mati.

Semua telah ia cek termasuk tangki bensin, namun nihil. Revan tak menemukan adanya kerusakan pada motornya.

Sebuah tepukan di bahu membuatnya terlonjak. Posisinya yang sedang menunduk sambil membuka busi motor, membuatnya melihat sebuah kaki ringkih dengan kuku penuh lumpur.

"Astagfirullaaah."

Revan memekik lalu beringsut mundur saat melihat sosok di depannya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status