Share

Bab 4 Kekonyolan Andrea

Satu jam berlalu. Aku sudah berganti pakaian. Aku memilih gaun yang memiliki panjang hingga bawah lutut. Gaun tersebut tidak berlengan serta memiliki belahan dada yang cukup terbuka. 

Rambutku terurai menutupi pundak. Aku meminta salah satu pelayan yang membantu melepaskan gaun pengantin itu untuk menata rambutku, memberikan gelombang-gelombang di ujung rambut. Aku juga memakai bando berwarna senada dengan gaun yang kukenakan saat ini. 

"Apa aku boleh bertanya sesuatu?" tanyaku pada seorang pelayan yang merapikan meja rias. 

"Silakan, Nyonya," balasnya sembari tersenyum ramah padaku. 

"Siapa saja yang tinggal di sini? Apakah keluarga Luca ada di sini? Aku belum melihat mereka," tanyaku penasaran. 

"Tuan tinggal sendirian di sini, Nyonya. Nona Aluna tinggal di Amerika dan sedang kuliah semester enam," jawab pelayan yang kulihat memiliki badge name dengan nama Dafne Ercolani. 

"Sendiri? Memangnya kemana orangtuanya?" tanyaku penasaran. Pasti Dafne akan merasa bingung karena aku tidak tahu apapun tentang Luca sedangkan statusku sebagai istri dari pria itu. 

"Kedua orangtua Tuan Luca sudah meninggal. Saya tidak tahu apa yang terjadi dengan orangtua Tuan Luca. Saat saya baru bekerja di sini, saya tidak pernah melihat mereka atau pun Nona Aluna." 

"Jadi, Aluna tidak pernah pulang ke sini bahkan setiap tahun?" tanyaku dengan ekspresi terkejut. Mendengar jawaban Dafne membuatku merasakan Dejavu pada kehidupanku sendiri. 

"Saya baru bekerja dua tahun di sini, Nyonya. Semenjak saat itu saya tidak pernah melihat Nona Aluna," jawab Dafne. 

Aku terdiam. Tidak merespon apapun. Bahkan saat Dafne pamit pergi usai merapikan meja rias, aku tidak menjawab. 

Pandanganku tertunduk. Ternyata banyak hal yang mengejutkan di dalam kehidupan Luca. Wajahnya yang tampan serta kehidupannya yang dipandang mata nyaris sempurna, aku merasakan hal lain. Pria itu pasti merasakan kesepian yang begitu besar. Terlebih lagi tinggal seorang diri di dalam rumah yang begitu besar. 

"Aluna," gumamku menyebut nama adiknya Luca. Mungkin nama lengkapnya Aluna Valentino. 

Pandanganku perlahan tertuju ke arah kaca. Penampilanku mulai sedikit tampak berubah. Sekilas mungkin aku akan terlihat seperti Adrianna. 

Aku mendesah kasar dengan kepala terdongak ke atas. Masih tidak menyangka kalau Luca pun merasakan kesepian sepertiku. Pantas saja dirinya selalu memasang wajah dingin. 

Tubuhku bangkit dari tempat duduk. Langkah kakiku mulai mengelilingi ruangan kamar yang luas. Tiba-tiba saja aku merasa bingung harus melakukan apa sembari menunggu Luca kembali. 

Lima belas menit berlalu. Berbaring telentang, telungkup atau miring, sudah kulakukan. Tetapi tidak mengusir rasa bosan yang semakin menyelimuti. 

Akhirnya aku duduk di tepi ranjang. Sebenarnya ada satu hal yang sangat ingin kulakukan bahkan sejak tinggal di villa tuan Massimo. 

Tiba-tiba aku berdiri. Aku mulai berhitung. Satu, dua, dan di hitungan ketiga, aku langsung berlari keluar. Beberapa pelayan yang melihatku berlari cukup terkejut. Bahkan sebagian dari mereka ikut berlari karena reflek hingga mengundang tawa yang lain. 

"Woah." Aku berteriak sembari tertawa karena merasa asyik dengan sesuatu yang akan dianggap konyol oleh orang dewasa. 

"Nyonya!" 

Aku hanya tertawa saat mendengar Agatone memekik karena terkejut. 

"Nyonya hati-hati!" teriaknya saat menyusul di belakangku. 

'Maafkan aku Agatone. Aku hanya ingin melakukan apa yang ingin kulakukan sejak dulu,' batinku. 

Aku mulai menuruni setiap tangga yang berderet membuat Agatone ikut melakukannya. Bahkan kali ini disusul oleh beberapa pelayan. 

"Berhenti mengikutiku, aku hanya ingin melakukan ini!" teriakku yang berada di depan mereka. 

"Anda bisa terjatuh jika berlari di tangga, Nyonya!" Lagi-lagi Agatone mengatakan kalimat yang seolah mencemaskanku. 

Lagi-lagi aku mengabaikan nasehat Agatone. Bibirku tersenyum puas saat Agatone dan yang lain sudah tidak sanggup mengikutiku hingga tangga yang terakhir. Aku masih berlari dan akhirnya berhasil menuruni tangga. 

Namun kedua mataku membelalak saat menatap seorang pria yang baru saja memasuki mansion. Aku hampir menabraknya jika tidak mengerem. Kedua kaki pria itu juga ikut berhenti. 

Kepalaku menoleh ke arah lain. Sembari berdehem pelan untuk menetralkan rasa terkejut, aku kembali berjalan lalu melewatinya. Sebenarnya ingin menyapa, tapi tiba-tiba rasanya malu. 

"Nyonya!" 

Aku menoleh ke arah belakang. Agatone terengah-engah saat berteriak memanggilku. Pria itu terlihat terkejut saat menyadari ada Luca di sana. 

Aku melirik ke arah Luca saat melihat Agatone menundukkan kepala ke arahnya lalu berjalan menuruni anak tangga diikuti empat pelayan lain yang sejak tadi ikut mengejarku di belakang Agatone. 

"Ada apa?" tanya Luca saat Agatone sudah berada di hadapannya. Aku langsung mengalihkan pandangan saat Luca melirik ke arahku sekilas. 

Agatone tampak bingung lalu menjatuhkan tatapan ke arahku. Akhirnya mau tidak mau aku pun terpaksa mengatakan sesuatu. Tetapi tidak ingin mengakui kalau baru saja bertingkah konyol. 

"Aku melihatmu datang. Sebenarnya aku ingin kau mengembalikan ponselku yang sudah lebih dari dua minggu kau sita," ucapku berbohong. 

"Benarkah?" Kali ini Luca menatap dengan tatapan intimidasi membuatku tidak berani bertatapan langsung dengannya. "Lalu kenapa kau berjalan melewatiku?" lanjutnya. 

"Itu karena kau membuatku kesal," jawabku masih mencoba mencari alasan yang logis. 

"Sebaiknya apa yang kau katakan itu benar. Karena jika kau memiliki niatan lain seperti mencoba kabur atau semacamnya, semua orang sudah tahu kalau kau adalah istriku." Luca bicara dengan nada datar tetapi terdengar sebuah ancaman di telingaku. 

Luca diam sejenak dengan tatapan masih tertuju padaku. Mataku memperhatikan salah satu tangan Luca yang dimasukkan ke dalam saku celananya. "Aku ingin bicara hal penting denganmu setelah makan malam," sambungnya dan berlalu begitu saja dari hadapanku. 

Aku hanya diam menatap punggung Luca yang menjauh. Memperhatikan pria itu menghampiri Agatone lalu memintanya untuk menyiapkan makan malam di halaman belakang. Selepas mengatakan hal itu, Luca kembali melanjutkan langkahnya menuju lift. 

"Nyonya, apakah Anda baik-baik saja? Apakah Anda butuh pijatan untuk merelaksasikan kaki? Saya akan menyiapkannya jika Anda memang ingin—" 

"Tidak." Aku memotong ucapannya yang membuat perhatianku pada Luca teralihkan. "Maaf sudah merepotkanmu. Sepertinya kalian saja yang mendapatkan pijatan karena sudah berlari dari lantai atas," sambungku sembari tersenyum. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status