Ciuman mereka terputus perlahan, tapi tangan Adrian masih menahan wajah Callista. Napas keduanya belum stabil, dan tatapan mereka tetap terkunci, seperti tak mau membiarkan dunia luar masuk.
“Kamu tahu…” suara Adrian rendah, “setiap kali aku pegang kamu kayak gini, aku ingat kenapa semua ini layak diperjuangkan.”Callista menatapnya lama, lalu membiarkan senyum kecil muncul. “Kalau gitu, jangan pernah lepas.”“Aku nggak akan,” jawabnya singkat, tegas.Mereka masih saling menatap ketika suara getar ponsel kembali terdengar. Adrian mengulurkan tangan, melihat layarnya. Kali ini bukan Amelia—melainkan salah satu kontak yang mereka percaya.“Dia udah siap ngomong,” ucap Adrian sambil menutup layar.“Siapa?”“Orang yang dulu kerja bareng Amelia. Dia pegang data transaksi, foto, dan… rekaman percakapan.”Callista merapatkan duduknya. “Kalau kita dapat itu, semua ceritanya berubah.”Adrian mengangguk. “Tapi kiCiuman mereka terputus perlahan, tapi tangan Adrian masih menahan wajah Callista. Napas keduanya belum stabil, dan tatapan mereka tetap terkunci, seperti tak mau membiarkan dunia luar masuk.“Kamu tahu…” suara Adrian rendah, “setiap kali aku pegang kamu kayak gini, aku ingat kenapa semua ini layak diperjuangkan.”Callista menatapnya lama, lalu membiarkan senyum kecil muncul. “Kalau gitu, jangan pernah lepas.”“Aku nggak akan,” jawabnya singkat, tegas.Mereka masih saling menatap ketika suara getar ponsel kembali terdengar. Adrian mengulurkan tangan, melihat layarnya. Kali ini bukan Amelia—melainkan salah satu kontak yang mereka percaya.“Dia udah siap ngomong,” ucap Adrian sambil menutup layar.“Siapa?”“Orang yang dulu kerja bareng Amelia. Dia pegang data transaksi, foto, dan… rekaman percakapan.”Callista merapatkan duduknya. “Kalau kita dapat itu, semua ceritanya berubah.”Adrian mengangguk. “Tapi ki
Ponsel Adrian bergetar di meja. Getaran itu seperti menembus keheningan ruang, membuat Callista membuka mata yang masih terasa berat setelah momen panjang mereka barusan.Adrian meraih ponsel itu, menatap layar, lalu menunjukkan pada Callista. “Nomor Amelia.”Callista duduk lebih tegak. “Kamu mau angkat?”“Bukan sekarang.” Adrian meletakkan ponsel itu menghadap ke bawah, menutupnya dari pandangan. “Dia pasti nggak cuma mau bicara. Dia mau ganggu ritme kita.”Gadis itu mengangguk pelan. “Dan kalau kita angkat, dia menang.”Adrian menatapnya dengan sorot mata yang tenang, tapi di baliknya ada ketegangan yang terukur. “Dia akan coba semua cara, Cal. Kalau bukan lewat media, lewat orang-orang terdekat kita. Kita harus siap.”Callista mencondongkan tubuhnya, jemarinya menggenggam tangan Adrian. “Aku udah siap. Dari awal, aku tahu kita nggak akan punya jalan yang mulus.”Senyum tipis muncul di bibir pria itu, tapi cepat hilang
Langkah mereka meninggalkan gedung komite tidak melambat sampai pintu mobil tertutup rapat. Adrian duduk di kursi pengemudi, kedua tangannya tetap di setir tanpa langsung menyalakan mesin. Callista meliriknya, menyadari rahang pria itu sedikit mengeras.“Masih kepikiran?” tanyanya pelan.“Bukan kepikiran,” jawab Adrian tanpa menoleh. “Aku cuma lagi mengatur urutan langkah selanjutnya. Setelah ini, Amelia nggak akan diam. Dia akan nyerang lebih kotor.”Callista meraih tangannya, membuat genggaman itu lepas dari setir. “Kalau dia kotor, kita jangan ikut kotor. Kita punya cara sendiri.”Tatapan Adrian akhirnya beralih padanya. Ada ketegangan yang belum hilang di matanya, tapi di balik itu, ada rasa lega. “Kamu bikin aku nggak lupa tujuan kita.”Mereka tidak berbicara lagi sampai mobil keluar dari area parkir. Jalanan terasa seperti lorong panjang yang menuntun mereka ke satu tujuan: tempat aman yang sudah lama jadi benteng mereka.B
Pintu ruangan komite etik terbuka lebar. Deretan kursi melingkar menghadap meja panjang di tengah, tempat beberapa anggota komite sudah duduk, kertas-kertas di depan mereka tertata rapi. Udara terasa tebal, seperti setiap partikel di dalamnya membawa muatan ketegangan.Adrian melangkah masuk lebih dulu. Callista mengikutinya, langkahnya mantap meski jantungnya berdetak kencang. Pandangan mereka berdua langsung tertuju pada sosok di ujung ruangan—Amelia.Ia duduk bersandar di kursinya, tersenyum tipis, seperti seseorang yang sudah tahu hasil akhir permainan. Gaun formalnya sempurna, rambutnya tertata tanpa cela, tapi tatapannya… dingin.Adrian menarik kursi di sisi meja dan duduk, Callista di sebelahnya. Ia tidak melepaskan pandangan dari Amelia, bahkan ketika salah satu anggota komite berbicara.“Kami mengundang Anda berdua,” suara pria paruh baya di kursi tengah terdengar formal, “untuk memberikan klarifikasi terkait tuduhan yang saat ini sedang
Notifikasi masuk bertubi-tubi, tapi Adrian tidak langsung menyentuh ponselnya. Ia duduk tenang di kursi, jemarinya mengait di depan wajah, matanya terfokus pada satu titik di lantai. Callista berdiri di dekat jendela, menatap ke luar, seolah dunia di luar sana akan memberi tanda kapan harus bergerak lagi.“Komentar baru masuk setiap detik,” ucap Callista pelan, akhirnya menoleh. “Beritanya udah diangkat media internasional. Mereka nyebut ini sebagai salah satu skandal kampus terbesar tahun ini.”Adrian tidak tampak terkejut. “Bagus. Semakin besar sorot lampu, semakin sulit buat dia kabur.”Callista melangkah ke meja, mengambil ponselnya, lalu menaruhnya di depan Adrian. “Ini… kiriman dari teman lamaku di fakultas hukum. Katanya pihak komite etik kampus sudah mulai investigasi internal. Amelia dipanggil besok.”Adrian akhirnya mengangkat pandangan. “Cepat juga mereka bergerak.”“Bukan cepat,” Callista mengoreksi. “Mereka panik.”S
Notifikasi berita baru muncul di ponsel Adrian. Ia menekannya, dan layar menampilkan tayangan langsung dari salah satu stasiun televisi besar. Amelia duduk di kursi wawancara, rambutnya rapi, senyumnya dibuat manis. Tapi tatapan matanya tidak bisa menutupi ketegangan.Callista meraih ponsel itu, menonton bersama Adrian.“Pertama-tama,” suara pembawa acara terdengar di televisi, “terima kasih Amelia sudah datang. Kami ingin membahas rekaman yang saat ini ramai dibicarakan. Banyak pihak mengaitkan suara di rekaman itu dengan Anda. Apa benar?”Amelia tersenyum tipis. “Tidak. Itu manipulasi. Saya tahu ini sengaja dibuat untuk menjatuhkan saya.”Pembawa acara mencoba menggali. “Tapi suara itu sangat mirip dengan Anda, bahkan beberapa kata sama dengan yang pernah Anda ucapkan di forum tertutup.”“Saya ulangi,” Amelia memotong, “itu rekayasa. Dan saya yakin pihak yang menyebarkannya punya motif pribadi.”Callista merasakan darahnya mend