Sementara itu, saat ini Arumi tengah merenggangkan badannya dengan puas sembari tersenyum lebar ke arah langit cerah yang ada jauh di atasnya."Akhirnya … dengan begini dia tidak akan lagi mengganggu," ucap Arumi sembari mengepalkan tangannya dan kemudian menariknya ke bawah dengan keras. "Yes! Yes! Yes!" teriaknya di pinggir jalanan tempat ia berdiri saat ini.Kemudian ia pun melanjutkan langkahnya sembari memasukkan ponsel tersebut ke dalam tas selempangnya. Hingga ketika ia baru saja berbelok, tak sengaja dia melihat seseorang yang dikenalnya sedang berada di jalanan tersebut.'Kenapa dia di sini?' batin Arumi sembari mundur dan kemudian bersembunyi di dekat pagar yang ada di dekatnya. Ia kemudian mengintip dan memperhatikan gerak-gerik wanita yang sedang diawasinya itu."Dia menjual apa?" gumam Arumi ketika melihat teman sekamarnya itu sedang memberikan sebuah kotak pada laki-laki yang ada di depannya itu dengan tingkah mencurigakan.Selama beberapa menit Arumi terus m
Arumi dan Cheri pun akhirnya keluar dari kamar mereka karena Raisa terus berteriak-teriak, tanpa memberikan penjelasan apapun."Apa sih sebenarnya?" tanya Arumi pada Cheri yang saat ini berdiri di sampingnya."Lha mana aku tahu, Ar. Kita kan sama-sama baru keluar," jawab Cheri sembari menatap ke arah lain.Sesaat kemudian, Cheri tiba-tiba menggenggam tangan Arumi. "Ayo ke sana, kita lihat siapa yang mati," ucapnya dengan santai sembari menarik tangan Arumi.Arumi yang saat ini sedang berjalan di belakang Cheri pun terus memperhatikan tingkah teman sekamarnya itu. 'Apa dia ada hubungannya dengan ini?' batinnya yang merasa kalau sikap Cheri lebih tenang dari biasanya saat sedang terkejut. Setelah beberapa saat berdesak-desakan dengan para penghuni kost lainnya. Akhirnya Arumi sampai di depan pintu kamar kost tempat kejadian tersebut."Kok bisa," lirih Arumi ketika melihat tubuh perempuan tersebut menghitam di bagian wajahnya.Kemudian Arumi pun memasang telinganya untuk menden
Arumi benar-benar terkejut ketika tubuhnya ditarik oleh seseorang mundur. "Hust!" Laki-laki di belakangnya itu dengan cepat memberi tanda agar Arumi berhenti membuat suara.Arumi pun langsung menyalakan alarm di kepalanya. 'Dia ini mau apa? Apa aku teriak aja? Tapi kalau aku diusir gimana nanti?' pikirnya sambil mundur selangkah."Jangan takut," ucap laki-laki di depan Arumi tersebut.'Ya gimana nggak takut. Nggak Ada angin, nggak ada hujan, tiba-tiba aja ditarik kaya gini,' pikir Arumi sembari berekspresi aneh."Kamu sedang ngawasin dia kan?" tanya Choki yang ada di depan Arumi sembari menunjuk ke arah kamar yang beberapa saat lalu dimasuki oleh Cheri."Kamu juga?" tanya Arumi sembari menoleh ke arah kamar tersebut.Dan ketika Choki ingin menjawab pertanyaan tersebut, tiba-tiba terlihat pergerakan dari kamar tersebut. Seketika mereka berdua pun bersembunyi kembali. 'Ke mana dia pergi?' pikir Arumi sembari terus mengawasi Cheri yang saat ini terlihat celingukan dan kemudian pe
Sementara itu, saat ini Arumi tengah melangkah dengan hati-hati masuk ke dalam sebuah restoran berbintang. Ia menatap ke sekeliling sembari memegangi tas kecilnya."Duh, nggak nyangka," gumam Arumi lalu menghela napas panjang. 'Jika aku tahu kalau rumah makan yang dia bilang adalah restoran, aku pasti tidak akan menerima pekerjaan ini. Jika dia menerimaku, bagaimana aku ngomong sama koki yang ada di dapur,' batinnya sembari mengarahkan pandangannya ke sekitar ruangan tempatnya berdiri saat ini.Setelah beberapa saat melangkah, akhirnya terlihat seorang pelayan mendekat ke arah Arumi yang masih memperhatikan sekelilingnya."Selamat pagi Nona, apakah ada yang bisa saya bantu?" tanya pelayan tersebut dengan ramah sembari mengulas senyum di wajahnya."Em … itu, saya ingin bertemu dengan Pak Abi, apa beliau ada?" tanya Arumi sembari tersenyum canggung.'Pelayannya saja kelihatan cantik dan tidak main-main, lha terus masa aku yang begini di suruh masak? Sepertinya dia bercanda,'
'Kenapa wajahnya memerah? Apa yang ada di otaknya?' pikir Satria ketika melihat ekspresi janggal di wajah Arumi."Maaf, tapi pekerjaan apa itu?" tanya Arumi masih mencoba untuk mempertahankan kesopanannya."Itu adalah menjadi juru masak di salah satu cafe yang akan saya buka sebentar lagi. Bagaimana, apakah kamu tertarik?" tanya Abi sembari tersenyum hangat di wajahnya."Saya … eh, aku. Aku tentu saja akan langsung menyetujuinya. Tetapi, apa kamu tidak merasa kalau harus mengetesku dulu? Bagaimanapun juga kamu hanya pernah mencicipi kue buatanku, bukan masakanku," jawab Arumi dengan sangat hati-hati."Itu sudah cukup, karena nanti yang akan kamu buat di sana adalah berbagai jenis kue, bukan masakan."Mendengar hal itu mata Arumi pun berbinar. "Apa kamu yakin?" tanyanya.Kemudian ekspresi canggung pun muncul di wajah Abi. "Tentu saja aku yakin, aku adalah pemilik tempat itu," jawabnya dengan lurus.Spontan saja Arumi langsung memeluk Abi karena sangat senangnya. "Terima kasih Pak, teri
Tiga hari berlalu dengan tenang. Para penghuni tempat kost tersebut pun mulai melupakan kematian salah satu penghuni kost yang masih menjadi misteri, walaupun terlihat beberapa kali polisi masih datang ke sana untuk memeriksa dan sejenisnya.Akan tetapi, ketenangan itu tidak berlaku untuk Arumi ketika ia harus pulang bekerja dan berkumpul dengan Cheri yang makin hari, makin meresahkan saja di matanya.'Bagaimana ini, apa aku pergi saja dari tempat ini,' batin Arumi yang kini seperti terkena penyakit was-was karena harus memikirkan kejadian-kejadian itu setiap hari."Kamu kenapa?" tanya Cheri yang saat ini sedang duduk sarapan bersama dengan Arumi.Arumi tersentak. "Ah, nggak apa-apa," sahutnya sembari tersenyum canggung."Lah, apa pekerjaanmu sulit?" tanya Cheri di sela-sela mengunyah makanannya sembari terus menatap penuh perhatian pada wajah Arumi yang terlihat kusut."Nggak. Masih gampang-gampang saja, kemarin aku buat onde-onde sama lapis modern," jawab Arumi sembari t
"Ada apa, Ar?" tanya Nita yang masih ada di dalam panggilan tersebut."Tidak ada apa-apa. Sudah dulu, nanti kita bicara lagi," jawab Arumi yang kemudian dengan terburu-buru mematikan panggilan tersebut.Setelah itu, Arumi pun kembali berkonsentrasi pada laki-laki yang baru saja mencolek punggungnya. "Pak … eh, maksudku Tuan Abi kok bisa ada di sini?" tanya Arumi sembari menatap laki-laki tampan di depannya itu."Apa ada yang salah?" tanya Abi balik. "Eh, tidak-tidak. Tidak ada yang salah kok. Saya cuma kaget saja, kok bisa tiba-tiba gitu," jawab Arumi sembari menggaruk-garuk pelipisnya yang tidak gatal."Aku tidak sengaja lewat sini, lalu aku melihat kamu," jawab Abi sembari mengulas senyum hangat di wajahnya. 'Tidak sengaja lewat sini, apa maksudnya?' batin Arumi yang tentu saja merasa aneh dengan jawaban dari Abi tersebut. Akan tetapi, tentu saja ia tidak mungkin membantah atau mendebat bosnya untuk masalah kecil seperti ini."Ah, iya Tuan," sahut Arumi singkat sembari melirik ke
Beberapa jam berlalu, saat ini Arumi tengah berjuang sekuat tenaga agar dapat menyelesaikan pesanan tersebut tepat waktu."Tinggal dua jam," gumam Arumi sembari menatap nanar lima nampan besar berbagai jenis kue tradisional yang ditata rapi di atas sebuah meja panjang.Benar, waktu kurang dua jam, sedangkan Arumi dan timnya baru bisa menyelesaikan lima dari sepuluh nampan dengan setiap nampan berisi tujuh jenis kue tradisional yang berbeda."Bagaimana ini," gumamnya sembari menatap ke arah jam dinding, dengan tangan yang masih memegangi mixer untuk mengaduk adonan.Ingin rasanya ia menangis. Ia tak punya cukup orang dan juga bahan baku untuk membuat kue-kue tersebut di dapur. Ia ingat betul kalau kemarin ia melihat masih banyak persediaan bahan baku, tetapi entah kenapa hari ini bahan-bahan tersebut seolah hilang separuhnya. "Gin, di mana Pak Abi?" tanya Arumi dengan setengah berteriak pada Gina yang saat ini sedang mencetak kue