Setelah beberapa menit, akhirnya Arumi pun selesai menyusui Syahila. Tangannya mengepal kuat memikirkan apa alasan yang bisa ia gunakan untuk mengulur waktu."Sudah selesai, Nyonya?" tanya baby sitter yang baru saja masuk ke dalam kamar itu.Arumi pun langsung menoleh. "Sudah," jawabnya.Kemudian baby sitter itu pun mendekat ke arah Arumi. "Saya ditugaskan oleh Tuan Abi untuk membantu Anda berkemas," ujarnya.Sesaat kemudian Arumi pun mengangguk. "Tapi aku ingin ke kamar mandi dulu, tidak apa-apa kan? Soalnya perutku seperti melilit ini," ujarnya sembari berakting meringis menahan sakit."Iya Nyonya, tidak apa-apa. Saya akan mengatakan ini pada Tuan," jawab baby sitter sembari mengambil alih Syahila.'Sayang, kita bertahan dulu ya,' batin Arumi sembari menatap ke arah bayi mungilnya yang sedang tertidur lelap.Dan kemudian ia pun segera melangkah mencari kamar mandi di kamar itu. Sepuluh menit berlalu, saat ini Arumi terus berada di dalam kamar mandi dan duduk
Beberapa menit berlalu, saat ini Satria, Abi dan Arumi pun sampai di lantai paling atas tempat di mana Rena berada."Syahila," panggil Arumi karena mendengar putri kecilnya itu sedang menangis kencang."Ren, berikan bayinya," ucap Abi sembari mencoba melangkah ke arah Rena, tetapi langsung berhenti ketika Rena mengangkat tangannya, memberi tanda agar dia berhenti."Aku berubah pikiran," ucap Rena."Berubah pikiran apa, kami sudah membawa Abi ke sini," sahut Satria dengan tangan yang mengepal kuat.Rena pun mengganti pandangannya pada Satria. "Sat, kamu seharusnya tidak ikut campur dalam urusan rumah tanggaku ini. Aku beri kamu kesempatan untuk pergi dari sini, aku hitung sampai tiga. Satu … dua ti—""Aku tidak akan ke mana pun. Serahkan bayinya dan kamu bisa pergi dengan Abi ke mana pun yang kamu mau," tukas Satria."Kenapa kamu selalu bertingkah dominan? Di sini aku bosnya, bukan kamu!" teriak Rena.Sesaat kemudian tangisan Syahila terdengar makin kencang."Mbak, tolong beri
Tiga bulan berlalu. Perlahan perasaan Arumi mulai membaik, walaupun terkadang ia masih suka melamun dan tiba-tiba menangis sendiri ketika teringat dengan putri kecilnya."Hayo … ngelamun lagi," ucap Nita yang baru saja datang ke taman kecil samping cafe. Ia kemudian dengan santai duduk di samping Arumi yang sedari tadi terus menghadap bunga."Apa ada pesanan lagi?" tanya Arumi sembari mengusap air matanya."Tidak ada, semuanya sudah beres," jawab Nita. "Kamu ingat dengan Syahila lagi?" tanyanya.Arumi menghela napas panjang. "Ya … mau bagaimana lagi. Tadi malam aku mimpi gendong dia," jawabnya."Ar, kamu pasti tahu aku mau ngomong apa. Jadi aku nggak akan ngomong itu lagi, soalnya kata-kata mutiaraku udah habis buat menghibur kamu." Nita berseloroh.Arumi pun menoleh sembari tersenyum kecil. "Iya … aku nggak akan sedih lagi. Ini sudah tiga bulan lebih 'kan?" Ia menirukan ucapan Nita ketika terakhir kali menghiburnya."Nah, gitu baru bener," sahut Nita sembari mencubit ge
Sesaat kemudian pintu yang baru saja diketuk oleh Arumi tersebut pun terbuka. Ia menatap seorang laki-laki yang keluar dari sana."Loh, bukannya kamu sedang keluar negeri?" tanya Arumi sambil menatap kekasihnya tersebut menggunakan kaos oblong dan celana pendek biasa."Sejak kapan kamu menjadi dekat dengan Aris?" tanya Satria yang terdengar seperti sedang mengintrogasi.Arumi langsung memutar bola matanya. Ia sudah sangat terbiasa dengan kecemburuan Satria yang agak berlebihan."Istrinya tidak senang saat mendengar kamu mengajaknya liburan, kamu mengerti?" Satria berdalih agar Arumi tak marah karena dia cemburu lagi.Mata Arumi membola. "Dia punya istri?"Sesaat kemudian terlihat Aris keluar lewat pintu lain."Ris, kamu punya istri?" tanya Arumi langsung.Aris pun tersenyum canggung. Dia tadi mendengar dengan jelas kebohongan apa yang Satria katatakan. "Iya Nyonya," jawabnya."Lah, harusnya kamu ajak juga istri kamu, jadi kita bisa liburan bersama," ucap Arumi sembari t
PLAKK!Suara tamparan keras membuat semua orang yang ada di depan toko kue yang baru buka tersebut terkejut."Issh," desis gadis yang wajahnya memerah akibat tamparan tersebut."Kamu kan yang namanya Arumi?" tanya wanita yang baru saja melayangkan tamparan tersebut dengan nada tinggi.Plakk! Sebuah balasan pun langsung disuguhkan oleh Arumi."Enak?" "Kurang ajar!" teriak wanita tersebut sembari ingin kembali membalas.Namun Arumi dengan cepat mengelak, hingga membuat wanita tersebut hampir terjungkal karenanya. "Hahaha!" Tawa pun menggema di tempat itu.Kemudian dengan cepat langsung saja Arumi mencengkeram kerah baju wanita yang baru saja bermain tampar-tamparan dengannya itu. "Siapa kamu?" tanyanya sengit."Aku ...," ujar wanita tersebut sembari meneteskan air matanya.'Apa dia stres?' pikir Arumi karena merasa aneh dengan tingkah wanita yang tak dikenalnya sama sekali tersebut. 'Eh, tapi dia tahu namaku, jadi seharusnya bukan orang stres kan?' Sesaat kemudian ....Ssst! Sebuah
Namun bukannya menjawab, salah satu dari keempat orang yang kini ada di depan toko pun maju selangkah dan bertanya, "Apa Anda Nona yang semalam?" 'Jadi dia laki-laki semalam,' batin Arasy sembari terbengong melihat laki-laki paruh baya yang bertanya padanya itu. 'Astaga, sial sekali hidup ini,' pikirnya karena mengira kalau keperawanannya diambil oleh laki-laki tua yang mungkin lebih tepat menjadi ayahnya itu."Kenapa?" sergah Arumi."Tuan kami ingin memberikan uang ini untuk membayar kerugian Nona," ujar laki-laki tersebut sambil mengulurkan sebuah amplop tebal.'Jadi bukan dia,' pikir Arumi sembari mengamati keempat laki-laki berkemeja hitam tak jauh di depannya itu bergantian. "Di mana orangnya, bawa aku bertemu dia!" ujarnya sembari mengambil amplop tebal tersebut dengan kasar.Dua laki-laki di belakang laki-laki berumur itu pun langsung maju selangkah, tapi ditahan dengan cepat oleh laki-laki tersebut. "Mari ikut saya, Nona," ujarnya sopan.Arumi pun mengikuti langkah laki-laki
Arumi pun bergegas pergi ke arah sumber suara tersebut sambil berkata, "Aku tid—" Namun suarannya langsung tercekat ketika tahu siapa orang yang ada di dalam ruangan yang baru saja diinjaknya."Ar," panggil laki-laki yang ada di dalam ruangan tersebut ketika melihat Arumi. Sadar dengan laki-laki yang sedang menatapnya, kemudian Arumi pun menoleh ke arah wanita paruh baya yang sedang merokok dengan santai di ruangan itu. "Buk, apa yang Ibuk rundingkan tadi dengan Mas Nizam? Seratus juta apa?" tanyanya meminta kejelasan."Dia mau menikahimu," jawab wanita paruh baya tersebut. "Aku memberi dia syarat seratus juta kalau mau membawamu pergi, tapi sepertinya dia keberatan.""Dia sudah benar kalau tidak mau menikahiku," debat Arumi lalu kembali menoleh ke arah laki-laki yang sudah menjadi kekasihnya selama setahun ini."Tunggu Ar, aku bukan tidak mau menikahimu," sanggah Nizam sambil berdiri dari kursinya."Sudahlah Mas, ibumu sudah mengatakan semuanya," pungkas Arumi.Nizam tersentak mend
Setelah lebih dari lima menit meninggalkan tempat tadi dengan penuh ketegangan, akhirnya Satria yang saat ini sedang membonceng Arumi pun mulai bersuara."Ada apa ini sebenarnya?" tanya Satria sembari melirik kaca spion motor sportnya."Nanti aku ceritakan, yang penting sekarang kita ke warung kopi yang aku tunjukan dulu," jawab Arumi sembari berpegangan erat pada pinggang Satria karena Satria membawa motornya cukup kencang.Setelah itu Arumi pun menunjukkan jalan ke tempat yang ia katakan. Dan entah kenapa, tanpa protes Satria mendengarkan setiap perkataan Arumi tanpa tahu dengan pasti ke mana ia dan Arumi akan pergi."Di depan berhenti," ucap Arumi setelah lebih dari sepuluh menit berada di boncengan Satria.Satria pun mengikuti perkataan Arumi dan memarkirkan motornya di halaman sebuah warung kopi yang terlihat cukup ramai pelanggan itu."Ayo!" ajak Arumi sembari menarik tangan Satria seperti yang ia lakukan sebelumnya."Katakan dengan benar, apa yang sebenarnya terjad