Merasa pusing karena aroma yang sangatkaya dari Richard, yang kurasakan untuk pertama kalinya, aku lupa bahwa saat ini hanya mengenakan rok dan memperlihatkan dadaku tanpa penghalang apa pun. Hanya saja, tatapan Richard yang menyapu tubuhku, menyebabkan semburan jus cinta mengalir dari bawah.Kepalaku menjadi panas dan erangan basah keluar dari mulutku. Richard mendekat ke arahku yang terengah-engah, menekan tubuhnya ke tubuhku. Tangannya yang besar dan meraih kedua pergelangan tanganku dan mendorongnya atas. Menguncinya di sana. "Kamu terlihat sangat cantik hari ini, Jeany."Richard mengatakan hal itu dengan suara bersemangat, lantas membungkukkan badannya dan menggigit dadaku. "Ah! Aduh! R-Rich, apa yang...!"Richard hanya tertawa dan menjilat dadaku, menimbulkan sensasi kesemutan yang membuat aku seperti melayang. "Apanya yang apa, Jeany?"Dia malah bertanya dengan suara main-main dan menggigit dadaku lagi. Sehingga aku seketika berteriak dan menjambak rambutnya. Bukannya ma
Richard baru pulang saat dini hari, terlalu terlambat untuk melanjutkan aktivitas yang sebelumnya mereka lakukan. Situasi di rumah sakit tidak sesederhana yang dia bayangkan dan Richard terjebak di ruang operasi selama berjam-jam. Begitu masuk kamar, dia melihat bagaimana istrinya yang dan sangat cantik, tengah tertidur dalam posisi duduk di sofa. Sepertinya Jeany berusaha menepati janji untuk tidak tidur, sehingga menunggu Richard di sofa. Tapi karena ini sudah terlalu lama, dia pasti tertidur sebab terlalu lelah menunggu. "Manis sekali," gumam Richard, tersenyum lebar dan berjalan cepat menuju ke arah Jeany. "Sayang, aku sudah pulang."Richard mengatakan hal itu sambil duduk bertumpu lutut di depan Jeany, dia mendongak dan mengelus lembut pipi Jeany, merasa sangat senang karena setelah bertahun-tahun hidup tersiksa dengan mimpi buruk saat ditolak dan diabaikan Jeany, kini wanita itu ada di depannya dan dengan setia menunggu dia pulang. "Sakit kalau lama-lama tidur seperti ini,"
"Ha, Jeany...."Dia duduk di antara.kedua kaki Jeany dan menyiksa tubuh bagian bawah wanita itu dengan gerakan yang lebih biadab dari sebelumnya.Richard.membuka area berdaging itu lebar-lebar dan tanpa ampun mencubit dan menggaruk klitoris yang tersembunyi di dalamnya, berulang kali memasukkan dan menarik jari tengahnya yang tebal ke dalam.lubang yang berdenyut itu. Berbeda dengan tangan kurus wanita, tangan pria berperawakan tebal mampu meremas dan meremukkan daging sensitif di dalamnya hanya dengan memasukkan satu jari di antara Iabia.Klitoris yang bergairah dan ereksi dihancurkan di sana-sini di bawah tangan Richard,.memberikan sensasi yang lebih erotis. Saat dia gemetar karena kenikmatan yang memusingkan, Richard tersenyum bahagia. "Aku merasa senyaman ini bahkan ketikakamu sedang tidur... seberapa baik perasaankujika kamu terjaga, Jeany?"Richard menggumamkam sesuatu dan tertawa pelan. Namun, tangan yang menggosok klitoris Jeany tidak menunjukkan tanda-tanda berhenti."Istri
"Hmm, bagaimana, ya? Apakah kalian bertengkar semalam?"Mayes memandangku dan bertanya, sehingga dengan panik aku segera menggeleng, takut jika Mayes menemukan kejanggalan dalam hubungan pernikahan antara aku dan Richard. "Bertengkar? Itu tidak mungkin!" sanggahku, segera mengambil air di gelas dan ku minum sampai habis untuk menyingkirkan panik. Mayes sepertinya mengawasi seluruh tindak tandukku, tapi untungnya tidak bicara apa-apa. "Oh, lalu kenapa Anda bertanya kondisi tuan tadi malam pada saya, Nyonya?"Mayes memasang ekspresi polos, tapi aku benar-benar jadi ragu sebenarnya dia tidak lah se polos itu. Aku juga curiga kalau sebenarnya Mayes bukanlah di pihakku. Yah, dia anak buah siapa? Tentu saja Mayes akan selalu di pihak Richard. "Tidak, tidak ada apa-apa," jawabku sambil mengibaskan tangan, berusaha terlihat tak bermasalah sama sekali dan memasang wajah cuek. Entah kenapa saat ini aku takut menunjukkan kelemahan di depan Mayes. Apalagi mengingat fakta bahwa dia sangat be
"Tapi apa, Rich? Apa aku harus memakai masker atau bagaimana, agar tidak dilihat pria lain?"Suara jernih Jeany mengalir melewati earphone yang terpasang di telinga Richard, membuat pria yang sedang duduk di depan meja kerjanya itu secara reflek tersenyum. Suara istrinya sangat manis, sampai-sampai membuat Richard yang sedang pusing karena pekerjaan yang tak ada habisnya, merasa rileks sedikit. Richard sangat senang mendengar suara Jeany di pagi hari, tapi alih-alih menjawab pertanyaan istrinya dengan lembut, Richard malah berbicara dengan suara kaku untuk menutupi kegembiraannya. "Hm, tidak usah. Dandanlah secantik mungkin, aku sedang sangat capek karena pekerjaan jadi aku tidak mau melihat dirimu kucel saat ke sini.""B-baiklah! Aku akan dandan secantik mungkin!"Jeany menjawab dengan gugup, sedangkan Richard langsung menggeleng. "Tidak, tidak. Jangan terlalu cantik, yang biasa saja. Mengerti maksudku, kan?""M-mengerti, Rich," jawab Jeany, yang membuat Richard tertawa tanpa suar
"Huuh, kenapa dia sangat berhati dingin?!" sungutku saat membaca balasan pesan dari Richard, setelah aku mengirim gaya dandananku yang akan pergi ke rumah sakit tempat dia bekerja untuk mengantar makan siang.Bagaimana tidak? Bukannya menjawab bagus atau apa, Richard hanya menulis balasan satu kata: 'oke'. Ya! Hanya itu! "Rasanya kecantikanku yang paripurna ini benar-benar tak terlihat di mata pria dingin seperti Richard," dengusku sambil cemberut. Dia tadi mengatakan bahwa aku tidak boleh kucel karena dia sedang pusing dengan pekerjaan, menyuruh dandan yang cantik tapi tidak terlalu cantik, lalu, setelah usaha kerasku untuk berdandan agar stress nya mereda, dia tak memuji sama sekali dan hanya bilang oke. "Aaah, aku lupa. Aku kan menikah dengan manusia robot. Mana sadar dia dengan kecantikanku?"Aku mencoba menghibur diri dengan mengatakan hal itu dan mulai berangkat menuju rumah sakit, tapi setiap kali ingat bagaimana dia menjawab sangat singkat dan seperti tanpa jiwa, aku mere
Itu adalah ciuman yang manis.Terlebih lagi karena rasanya sudah lama sekali, padahal baru kemarin kami berciuman."Uhh."Erangan keluar secara spontan di sela-sela bibir yang remuk. Itu karena lidah kami bergesekan dengan kasar.Nafas yang kusut begitu manis. Bibir Richard begitu panas sehingga aku tidak tahan saat dia menekanku tanpa ragu-ragu."Tunggu, tunggu. Rich, sebenarnya apa.... "Aku belum selesai bicara atau bertanya tentang bagaimana situasinya jadi berubah seperti ini, tapi seperti sebelumnya, Richard kembali menyerang ku dengan ciuman yang dalam dan luar biasa. "Haa."Erangan teredam terdengar tepat di depanbibirku. Itu adalah Richard. Bukan hanya aku, tapi Richard sepertinya juga bersemangat dan bersemangat dalam ciuman ini. Aku ingin melihat bagaimana ekspresi dan wajah Richard saat ini. Karena itu aku sengaja memiringkan kepalaku ke belakang dan menjaga jarak darinya.Aku ingin tahu dia sedang marah atau apa karena tiba-tiba mengusir dokter cantik itu keluar dan m
"Kenapa selalu... saja!"Richard mengumpat pelan dan meninggalkan tubuhku, merapikan kemejanya dan beranjak berdiri. "Apakah... panggilan operasi darurat lagi?" tanyaku dengan pipi memerah karena malu, segera duduk dan merapikan bajuku yang acak-acakan akibat tindakan Richard. "Entahlah," jawab Richard, menghela napas panjang dan berjalan ke arah pintu. Dia tampak berbicara dengan seseorang di luar dengan ekspresi serius untuk beberapa waktu yang lama, lalu setelah selesai, Richard berjalan ke arahku dengan kening berkerut, terlihat jelas bahwa dia sedang sangat badmood sekarang. "Terima kasih atas kiriman makan siangnya, Jeany. Aku ingin berlama-lama denganmu di sini tapi ada urusan mendadak yang tidak bisa aku abaikan begitu saja," ucap Richard seraya menekan keningnya dengan jari, terlihat sedang sangat pening. "Tidak apa-apa, Rich. Kamu pasti sibuk dengan banyak pekerjaan," jawabku, yang merasa sangat canggung setelah beberapa pertukaran panas kami di sofa tadi. "Kalau begit
Kejadian saat dia SMA masih sangat membekas jelas di kepala, seperti baru terjadi kemarin. Di mana Jupiter, satu-satunya orang yang dia andalkan dan percaya, malah meninggalkan Lyodra saat gadis itu dalam keadaan terpuruk karena masalah keluarga. Puncaknya saat dia disekap sang ayah beberapa hari, Lyodra memohon pertolongan pada Jupiter dengan menelepon dan mengirim chat padanya, tapi Jupiter malah membentak Lyodra dan menyuruh gadis itu menyelesaikan urusannya sendiri. Sejak saat itu, rasa cinta Lyodra pada Jupiter seketika menghilang, dia merasa semua pria sama berengseknya dengan sang ayah. Sampai ketika dia nekat lari ke kantor Jamie dan meminta tolong pada pria yang baru dia kenal tersebut, saat itu Lyodra yang sudah kehilangan semua harapan, bahkan pasrah jika Jamie menjual tubuhnya atau apa pun. Namun, Jamie malah menolong dirinya, membawa dia ke rumah sakit, menolong ibu Lyodra dan membebaskan gadis itu dan ibunya dari siksaan sang ayah, bahkan menuruti permintaan Lyod
Di hari pertama Lyodra bekerja di cabang perusahaan yang terletak di kota kecil nan sejuk itu, suasana kantornya jauh berbeda dari kantor pusat. Bangunannya lebih sederhana, suasananya tenang, dan orang-orang di sana tampak lebih santai tapi tetap profesional. Namun Lyodra tidak bisa sepenuhnya menikmati suasana baru itu. Rasa kecewa karena dipindahkan secara tiba-tiba, dan Jamie yang tidak sempat memberinya semangat dan pelukan terakhir sebelum berpisah padahal sudah berjanji, masih menyisakan luka di hati. Ia mencoba bersikap biasa saat memasuki ruangannya. Beberapa staf menyambutnya dengan ramah, membuatnya sedikit lega. Saat ia sedang meninjau beberapa berkas yang baru diberikan oleh kepala operasional cabang itu, suara ketukan pintu disusul seseorang masuk ke ruangannya. "Permisi... Kamu Lyodra, ya?" Lyodra mendongak, dan matanya melebar seketika. Di hadapannya berdiri seorang pria jangkung dengan mata teduh dan senyum yang tak asing lagi. "Jupiter?" lir
Di kamar yang remang dengan cahaya lampu meja yang temaram, udara terasa lebih hangat dari biasanya. Jamie duduk di ujung ranjang, sementara Lyodra bersandar di bahunya. Tangan mereka saling menggenggam, diam-diam mencari kehangatan dari satu sama lain, seolah dunia luar tak lagi penting."Aku masih nggak percaya kita akan di titik ini," bisik Jamie, jarinya menyapu pelan rambut Lyodra yang jatuh di pipinya.Lyodra menatapnya, matanya teduh tapi penuh gelombang perasaan yang tak terucap. "Om, aku bersedia melakukan apa pun untukmu. Jadi, jangan mundur, ya?" pinta Lyodra, menggenggam erat kemeja Jamie. Ketegangan di antara mereka bukan jenis yang membuat canggung. Sebaliknya, itu semacam gravitasi halus yang menarik mereka lebih dekat. Ciuman mereka, awalnya ragu-ragu, perlahan berubah menjadi lebih dalam, lebih berani. Jemari Jamie menyusuri punggung Lyodra, sedangkan Lyodra membalas dengan menarik Jamie lebih dekat, hingga jarak di antara mereka nyaris lenyap sepenuhnya.Suara
Lyodra membalas ciuman itu dengan ragu—lembut, gugup, tapi jujur. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan, namun ia tahu satu hal: ia telah menunggu saat ini seumur hidupnya. Dan ketika Jamie akhirnya melingkarkan tangan ke pinggangnya, mendekap tubuh mungil itu dalam pelukannya, jantungnya berdetak kencang, nyaris meledak. Ciuman itu tak lagi ringan. Tak lagi main-main. Tapi penuh rasa. Penuh penyesalan. Penuh kebutuhan yang tak terucap. Mereka seolah melarikan diri dalam satu titik kecil itu—dalam ciuman yanpg mencampurkan ketulusan, keraguan, dan hasrat yang selama ini mereka pendam terlalu dalam. Namun di sela napas mereka yang mulai terengah, Jamie menyadari sesuatu. Ini bukan tentang panasnya momen. Ini tentang Lyodra—tentang gadis kecil yang tumbuh di sisinya, yang kini menatapnya dengan mata penuh cinta dan keyakinan. Dan saat itulah Jamie melepaskan ciuman itu perlahan. Menatap Lyodra dalam diam, jemarinya menyapu lembut rambut gadis itu yang sedikit berantakan. Napas m
"Om, aku habis ini pisah lagi sama Om. Itu sangat menyedihkan. Aku bahkan nggak bisa tidur memikirkan hal itu. Aku udah pisah sama Om tiga tahun, dan sekarang pisah lagi. Om bisa bayangin gimana perasaan aku, kan? Aku pengen nyimpan ini buat kenang-kenangan. Dengan lihat rekaman ini, aku akan kuat di tempat kerja baru...." Kalimat itu keluar lirih, namun menggetarkan ruang di antara mereka. Mata Lyodra tampak berkaca-kaca, berkilau dalam cahaya lampu apartemen yang temaram. Suaranya bergetar, seperti menahan tangis yang terlalu lama dipendam. Wajahnya tak lagi genit, tak lagi manja—melainkan tulus, mentah, dan penuh luka yang belum sempat sembuh dari perpisahan sebelumnya. Dan Jamie tahu, ini bukan sekadar dramatisasi. Bukan manuver rayuan seperti biasanya. Ini adalah rasa takut—takut kehilangan lagi, takut merindukan tanpa bisa menjangkau, takut merasa sepi di tempat asing tanpa satu pun wajah yang familiar. Selama ini Lyodra memang cerewet, keras kepala, manja, bahk
"Ly, aku ada di depan." Notifikasi itu menyala di layar ponsel Lyodra. Jantungnya langsung berdetak kencang, seperti alarm yang membangunkan rindu yang selama ini ditahan dengan susah payah. Ia bangkit dari sofa, tak sempat merapikan rambut, lalu berlari menuju pintu dengan langkah yang terburu-buru dan penuh harap. Begitu pintu terbuka, ia menemukan Jamie berdiri di sana. Pria itu masih mengenakan jaket gelap yang sedikit basah oleh udara malam, dengan senyum kecil yang membuat segalanya dalam diri Lyodra bergetar. "Om!" serunya, lalu tubuh mungilnya melompat ke pelukan pria itu tanpa ragu. Rasa rindu, kagum, dan cinta yang selama ini ia pendam tumpah ruah dalam pelukan yang hangat dan begitu erat. Tak ada lagi batasan. Tak ada lagi jabatan atau status. Di hadapan Jamie, Lyodra hanyalah seorang gadis yang sedang jatuh cinta dengan seluruh nyawa dan keberaniannya. "Aduh, antusias sekali. Seperti menyambut suami pulang kerja saja kamu." Jamie mencubit pelan hidung Lyodra,
"Permintaan? Permintaan apa...."Lyodra bertanya dengan gugup. Sementara itu, ujung jari Jamie menyentuh bibir Lyodra, membuat gadis itu berdebar kencang. "Om, Om mau—" "Boleh?" bisiknya, begitu dekat. Lyodra yang nyaris tak bisa bernapas, bertanya. "B-boleh apa?" Jamie tak menjawab. Ia hanya mengusap bibir merah muda Lyodra perlahan, sensual, membuat gadis itu menggigit bibir bawahnya sendiri demi menahan suara yang nyaris lolos, dia lantas berbisik dengan nada rendah. "Mau aku cium, Ly?" Jantung Lyodra berdentum seperti genderang perang. Matanya membulat, pipinya panas membara. Lyodra menahan debaran jantungnya yang menggila, sangat yakin jika bos-nya itu akan segera mencium dirinya. "T-tentu. Om bersedia nyium aku? Tanpa aku minta?" "Kalo kamu mengizinkan." Suara Jamie nyaris seperti desahan. "Aku.. aku mau, Om." Akhirnya, akhirnya dia bisa merasakan hal yang selama ini selalu Lyodra impikan! Berciuman dengan Jamie. Dengan lembut, Jamie mencengkeram pinggang Lyodr
"Tuan, pekerjaan saya sudah selesai. Apakah sudah nggak ada yang perlu dikerjakan lagi? Bolehkah saya pulang sebelum malam semakin larut, Tuan?"Lyodra masuk ke dalam ruangan Jamie untuk pamit pulang setelah dia lembur untuk menyelesaikan pekerjaannya sebelum pindah ke tempat kerja baru."Silakan," jawab Jamie seraya menunjuk ke pintu keluar. Lyodra mengangguk meski masih merasa belum rela meninggalkan Jamie.Seharian ini Lyodra merasa senang bukan main karena Luna yang licik itu akhirnya mendapatkan balasannya.Dia juga terus memikirkan permintaan apa yang akan dia ajukan ke Jamie, tapi karena bingung meminta apa, dia belum meminta apa pun.Merasa sayang jika harus menggunakan 3 permintaan itu untuk hal remeh."Anda juga, istirahatlah, Tuan."Akhirnya Lyodra memutuskan mengatakan hal tersebut dan mulai membuka pintu untuk keluar."Baiklah."Jamie yang tampaknya sedang sibuk, hanya mengendikkan bahu seraya sedikit mendongak menatap Lyodra yang kini sudah berdiri di dekat pintu."Ohya,
Langit mendung siang itu tak berbeda dengan suasana hati Lyodra.Gadis itu duduk di ruangannya, menatap kosong berkas-berkas di meja yang bahkan belum sempat ia sentuh sejak pagi.Sudah hampir seminggu sejak rumor menyakitkan itu menyebar luas—tentang dirinya yang katanya menjual tubuh demi bisa menjadi sekretaris Jamie.Meski Jamie membelanya habis-habisan, dan Luke bahkan menyelidiki siapa dalang di balik rumor itu, tetap saja bisik-bisik kecil di lorong, pandangan sinis di pantry, dan tawa mengejek di belakang punggungnya membuat Lyodra nyaris menyerah.Namun siang ini, segalanya akan berubah.Jamie melangkah masuk ke ruangannya dengan langkah tenang namun pasti. Di tangannya, ia membawa map cokelat yang sudah terlihat usang. Lyodra menoleh, lalu berdiri kaku saat Jamie mendekat.“Lilu,” panggil Jamie pelan, namun penuh ketegasan. “Kamu sudah siap?”Lyodra mengangguk ragu. “Saya… saya masih belum yakin, Tuan. Maksud saya, apa kita benar-benar harus membalas Luna? Bukankah itu akan