Kyle merasa lega karena Luana tak merajuk lagi, dia lantas meraih ponselnya dan berbicara dengan Nathan melalui panggilan telepon."Iya, tolong bawakan salep pereda nyeri ke sini."Tak lama kemudian, Nathan datang dan menyerahkan apa yang diminta oleh Kyle. Di tengah ring tinju tersebut, dengan telaten, Kyle pun mengobati pipi Luana yang sebenarnya tidak apa-apa, tapi gadis itu terus menangis dan mengeluh sakit."Tidak usah menangis lagi, Luanaaaaa."Kyle berkata dengan nada gemas. "Sakit tahu."Cemberut, Luana menjawab. "Iya, tahu kalau sakit, tapi jangan menangis terus."Kyle tertawa geli melihat gadis tersebut, kini pipi sebelah kirinya sudah terobati dengan baik."Mau bagaimana lagi, sakit.*Luana masih saja cemberut, sepertinya gadis itu benar-benar marah kepada Kyle karena sedari tadi terus saja mengobrak abrik hatinya.Dimulai dari datang tiba-tiba ke rumah, memasakkan makanan, mengecup bibir dengan alasan membersihkan bibir yang kotor, menghukumnya jadi guling .... Semua i
"Bos, Anda ini tidak sedang bercanda, 'kan?"Luana bertanya seraya menggeleng tak percaya. "Tidak. Aku serius, kamu ini kan mager banget, aku harus kerja ekstra keras buat mengubah kamu agar tidak mager lagi," jawab Kyle santai, pandangannya mengarah ke depan tapi senyum lebar terkembang di bibirnya."Maksud saya, anda serius akan membayar saya berjuta-juta hanya agar mau latihan lari dengan Anda?"Luana bertanya, menatap bos-nya lekat-lekat, memastikan bahwa bos-nya tersebut tidak sedang bercanda."Ya, tentu saja tidak bercanda. Dan kalau seminggu ini kamu berhasil latihan lari dengan baik tanpa bolong, aku akan kasih kamu lima puluh juta."Kyle menjawab tegas. Mendengar itu, Luana tentu saja seketika mengangguk.Lima puluh juta hanya dengan menemani bos-nya berlari?"Saya mau!!!" seru Luana berapi-api.Dia bisa mengirimkan uang itu ke neneknya, nenek dan kakeknya yang sejak kecil merawat Luana itu pasti akan sangat senang mendapat uang sebanyak lima puluh juta dari Luana. Luana
Luana tidak tahu betapa paniknya Kyle sekarang, pria itu benar-benar khawatir gadisnya keracunan."N-nasi goreng," jawab Luana ragu-ragu.Seketika ekspresi wajah Kyle melunak saat mendengar itu, dia lega karena Luana rupanya tidak masak sesuatu yang aneh."Nasi goreng? Itu bukan masak, Luanaaaa."Kyle menjawab dengan gemas. Kalau saja mereka dekat, saat itu juga mungkin Kyle akan mencubit pipi Luana karena gemas."Tetap aja saya sudah berusaha berubah, Bos. Nasi goreng buatan saya sangat enak lho. Tadi saya niru resepnya di YouTube, serius enak sekali," ucap Luana penuh semangat."Ohya? Kalau begitu saat aku pulang besok, coba buatkan aku nasi goreng yang kata kamu enak itu," tantang Kyle yang saat ini sedang membayangkan Luana yang imut ketika sedang bersemangat seperti ini."Boleh, boleh. Jangan minder ya kalau ternyata nasi goreng saya lebih enak daripada masakan Anda."Luana menjawab dengan sombongnya, yang membuat Kyle tertawa tanpa suara. "Oke."Keduanya sama-sama tersenyum, m
"Kenapa kamu bersembunyi? Ada apa? Ada yang berbuat jahat sama kamu? Kamu di mana sekarang? Luana? Jawab aku."Kyle bertanya dengan panik melalui panggilan telepon. Luana hanya menggeleng-geleng, sekali lagi mengintip untuk mencari orang yang tadi mengikuti dirinya.Seorang pria dengan hoodie dan setelan serba hitam.Tampak sangat mencurigakan. "Tidak tahu, tapi saya takut sekali. Saya merasa kalau ada yang ngikutin saya, Bos. Saya takut sekali. Sekarang saya bersembunyi di taman dan ... dan mencari keberadaan orang itu.""Mengikuti kamu? Kamu yakin?" tanya Kyle memastikan, karena dia mengira mungkin saja orang yang mengikuti Luana adalah bodyguard yang dia sewa untuk menjaga gadis itu."Y-yakin. Saya ... saya berhasil mengambil fotonya, Bos," jawab Luana dengan bibir bergetar."Kirim padaku. Cepat," perintah Kyle dengan tegas.Saat Kyle melihat sosok berhoodie yang dikirim Luana, tahulah dirinya kalau pria itu bukanlah bodyguard yang dia sewa.Wajahnya menegang.Siapa yang sedang m
Nathan yang awalnya menelepon ke sana kemari, akhirnya mendapatkan telepon.Terdengar suara Nathan yang sedang berbicara dengan seseorang. "Baik. Di mana posisinya sekarang? Pingsan?"Mendengar ucapan seseorang di sebrang, Nathan berhenti bicara, menatap Kyle dengan sedikit kepanikan di wajahnya."Baiklah."Nathan segera menutup telepon dan melaporkan ke Kyle apa yang dia dengarkan di telepon. "Tuan Muda, orang yang Anda tugaskan mengawasi Luana, ditemukan pingsan tak jauh dari rumah Luana, entah siapa pelaku yang ada di balik semua ini, sepertinya mereka tahu kalau Anda menugaskan orang untuk mengawasi Luana," lapor Nathan dengan hati-hati. "Sialan!"Kyle tak bisa menahan diri untuk tidak mengumpat. Pikirannya berpacu. Siapa?Kyle tak menemukan jawaban tentang siapa yang kira-kira melakukan semua ini. Kalau orang suruhannya sampai dibuat pingsan, bukankah itu artinya kejadian ini sudah terencana?"Aku sangat menyesal kenapa membiarkan dirinya lari pagi seorang diri," ucap Kyle
Luana membuka mata, terkejut dan segera terduduk.Matanya mengerjap beberapa kali sambil memijat keningnya yang terasa berputar-putar, memandang ke segala arah karena tempat itu begitu asing di matanya.Sekarang dia ada di mana?Saat tengah kebingungan mencerna situasi, Luana mendengar sebuah suara dari arah sampingnya. "Sudah bangun, Cantik?"Sapaan seorang pria yang duduk tak jauh dari tempatnya berbaring, membuat Luana segera menoleh dengan alis bertaut."D-di mana saya?"Pria itu hanya tersenyum dan berjalan mendekat, saat Luana mengenali sosok tersebut, yang dia kira Kyle karena wajahnya yang sangat mirip, tiba-tiba langsung cemberut."Bos! Bagaimana bisa sih Anda menjahili saya seperti ini!" protesnya dengan wajah kesal."Menjahili kamu?"Gio yang kini berdiri di depan Luana, balas bertanya dengan tak mengerti.Dia bingung kenapa gadis ini bersikap seperti itu. Sedangkan Luana, yang tak tahu bahwa dia salah orang, terus berteriak kesal. "Ah, menyebalkan! Anda selalu seperti i
"Saya... saya sepertinya harus pergi," ucap Luana terburu-buru, begitu menyadari bahwa pria di depannya adalah orang asing, bukan bosnya, Kyle! Dia berniat menjauh dari Gio, tapi sesuatu yang tak terduga terjadi. "Eupppph."Bibir Luana tiba-tiba disumpal oleh Gio dengan bibirnya, segera gadis itu mendorong tubuh Gio sekuat tenaga."Aduh!"Gio mengeluh, memegangi pantatnya yang sakit. "Siapa pun Anda, Anda tidak boleh menyentuh saya! Saya sudah menjadi milik Kyle!" teriak Luana seraya mundur ke belakang dan menutup bibirnya."Lucunya, kamu baru sadar ya kalo salah orang?"Gio tertawa geli, menatap Luana dengan gemas. "Tidak, ehm, maksud saya iya."Luana menutup wajahnya karena tak tahan menanggung malu."Tapi kamu tidak bisa keluar dari sini tanpa seizinku," ucap Gio dengan gelengan tegas."L-lalu saya harus bagaimana? M-maafkan kelancangan saya. Saya ... t-tolong biarkan saya keluar dari sini."Luana mengatakan itu dengan ekspresi memohon. "Tapi aku butuh makan," jawab Gio dengan
Sementara itu, di ruangan Kyle. "Tentang orang yang mengikuti Luana. Kamu sudah memastikan siapa orang menyuruh pria berpakaian hitam tadi melakukan ini?"Kyle yang kini duduk di ruangan rapat setelah meeting bisnis, bertanya malas kepada Nathan, sekretarisnya. Dia sama sekali tak tenang sejak Luana menghilang tadi pagi, memang tidak lama, hanya dua jam setelah itu dia sudah mendapatkan balasan pesan dari Luana, tapi tetap saja, Kyle merasa telah melewatkan sesuatu.Kyle pun dengan cepat menyelesaikan urusannya dan bermaksud segera pulang untuk menemui Luana sebelum red moon dimulai dan dia tidak bisa keluar ke mana pun."Sudah, Tuan. Bisa dipastikan dia adalah orang suruhan Jasmine, karena tim IT kami melihat pin yang dipakai orang itu seperti milik pengawal pribadi keluarga Jasmine."Kyle mengangguk puas atas pekerjaan Nathan tersebut."Baik, terima kasih laporannya, Nathan."Meski sudah menemukan siapa yang dini hari tadi mengikuti Luana secara tidak begitu diam-diam, tapi entah
"S-selingkuh?" Lyodra terkejut luar biasa saat mendapat pertanyaan seperti itu dari Jamie. Dia juga bingung, bagaimana bisa Jamie bilang kalau dia selingkuh, padahal di antara mereka tak ada hubungan apa-apa? Ah, apa itu artinya bagi Jamie mereka punya hubungan khusus? Haruskah dia senang dengan perkembangan tak terduga ini? Jamie yang melihat Lyodra bengong seperti orang bodoh, berjalan cepat mendekati gadis itu dan menyingkirkan tangan Jupiter dari tubuh Lyodra, lalu menarik gadis itu mendekat ke arahnya. "Jadi ini alasan kamu nggak bales chat aku seharian? Karena bermain-main dengan pria mentah kayak dia?" bisik Jamie yang kini menggenggam tangan Lyodra begitu erat. Karena Jamie yang datang dan menarik badan Lyodra menjauh dari Jupiter, membuat posisi mereka seperti sedang berpelukan sekarang. Jarak di antara mereka sangat dekat sampai Lyodra bisa mencium aroma Jamie, hal itu membuat Lyodra tidak fokus. Pikirannya jadi melayang-layang tak tentu arah. "Lyodra," panggil Jamie
Kejadian saat dia SMA masih sangat membekas jelas di kepala, seperti baru terjadi kemarin. Di mana Jupiter, satu-satunya orang yang dia andalkan dan percaya, malah meninggalkan Lyodra saat gadis itu dalam keadaan terpuruk karena masalah keluarga. Puncaknya saat dia disekap sang ayah beberapa hari, Lyodra memohon pertolongan pada Jupiter dengan menelepon dan mengirim chat padanya, tapi Jupiter malah membentak Lyodra dan menyuruh gadis itu menyelesaikan urusannya sendiri. Sejak saat itu, rasa cinta Lyodra pada Jupiter seketika menghilang, dia merasa semua pria sama berengseknya dengan sang ayah. Sampai ketika dia nekat lari ke kantor Jamie dan meminta tolong pada pria yang baru dia kenal tersebut, saat itu Lyodra yang sudah kehilangan semua harapan, bahkan pasrah jika Jamie menjual tubuhnya atau apa pun. Namun, Jamie malah menolong dirinya, membawa dia ke rumah sakit, menolong ibu Lyodra dan membebaskan gadis itu dan ibunya dari siksaan sang ayah, bahkan menuruti permintaan Lyod
Di hari pertama Lyodra bekerja di cabang perusahaan yang terletak di kota kecil nan sejuk itu, suasana kantornya jauh berbeda dari kantor pusat. Bangunannya lebih sederhana, suasananya tenang, dan orang-orang di sana tampak lebih santai tapi tetap profesional. Namun Lyodra tidak bisa sepenuhnya menikmati suasana baru itu. Rasa kecewa karena dipindahkan secara tiba-tiba, dan Jamie yang tidak sempat memberinya semangat dan pelukan terakhir sebelum berpisah padahal sudah berjanji, masih menyisakan luka di hati. Ia mencoba bersikap biasa saat memasuki ruangannya. Beberapa staf menyambutnya dengan ramah, membuatnya sedikit lega. Saat ia sedang meninjau beberapa berkas yang baru diberikan oleh kepala operasional cabang itu, suara ketukan pintu disusul seseorang masuk ke ruangannya. "Permisi... Kamu Lyodra, ya?" Lyodra mendongak, dan matanya melebar seketika. Di hadapannya berdiri seorang pria jangkung dengan mata teduh dan senyum yang tak asing lagi. "Jupiter?" lir
Di kamar yang remang dengan cahaya lampu meja yang temaram, udara terasa lebih hangat dari biasanya. Jamie duduk di ujung ranjang, sementara Lyodra bersandar di bahunya. Tangan mereka saling menggenggam, diam-diam mencari kehangatan dari satu sama lain, seolah dunia luar tak lagi penting."Aku masih nggak percaya kita akan di titik ini," bisik Jamie, jarinya menyapu pelan rambut Lyodra yang jatuh di pipinya.Lyodra menatapnya, matanya teduh tapi penuh gelombang perasaan yang tak terucap. "Om, aku bersedia melakukan apa pun untukmu. Jadi, jangan mundur, ya?" pinta Lyodra, menggenggam erat kemeja Jamie. Ketegangan di antara mereka bukan jenis yang membuat canggung. Sebaliknya, itu semacam gravitasi halus yang menarik mereka lebih dekat. Ciuman mereka, awalnya ragu-ragu, perlahan berubah menjadi lebih dalam, lebih berani. Jemari Jamie menyusuri punggung Lyodra, sedangkan Lyodra membalas dengan menarik Jamie lebih dekat, hingga jarak di antara mereka nyaris lenyap sepenuhnya.Suara
Lyodra membalas ciuman itu dengan ragu—lembut, gugup, tapi jujur. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan, namun ia tahu satu hal: ia telah menunggu saat ini seumur hidupnya. Dan ketika Jamie akhirnya melingkarkan tangan ke pinggangnya, mendekap tubuh mungil itu dalam pelukannya, jantungnya berdetak kencang, nyaris meledak. Ciuman itu tak lagi ringan. Tak lagi main-main. Tapi penuh rasa. Penuh penyesalan. Penuh kebutuhan yang tak terucap. Mereka seolah melarikan diri dalam satu titik kecil itu—dalam ciuman yanpg mencampurkan ketulusan, keraguan, dan hasrat yang selama ini mereka pendam terlalu dalam. Namun di sela napas mereka yang mulai terengah, Jamie menyadari sesuatu. Ini bukan tentang panasnya momen. Ini tentang Lyodra—tentang gadis kecil yang tumbuh di sisinya, yang kini menatapnya dengan mata penuh cinta dan keyakinan. Dan saat itulah Jamie melepaskan ciuman itu perlahan. Menatap Lyodra dalam diam, jemarinya menyapu lembut rambut gadis itu yang sedikit berantakan. Napas m
"Om, aku habis ini pisah lagi sama Om. Itu sangat menyedihkan. Aku bahkan nggak bisa tidur memikirkan hal itu. Aku udah pisah sama Om tiga tahun, dan sekarang pisah lagi. Om bisa bayangin gimana perasaan aku, kan? Aku pengen nyimpan ini buat kenang-kenangan. Dengan lihat rekaman ini, aku akan kuat di tempat kerja baru...." Kalimat itu keluar lirih, namun menggetarkan ruang di antara mereka. Mata Lyodra tampak berkaca-kaca, berkilau dalam cahaya lampu apartemen yang temaram. Suaranya bergetar, seperti menahan tangis yang terlalu lama dipendam. Wajahnya tak lagi genit, tak lagi manja—melainkan tulus, mentah, dan penuh luka yang belum sempat sembuh dari perpisahan sebelumnya. Dan Jamie tahu, ini bukan sekadar dramatisasi. Bukan manuver rayuan seperti biasanya. Ini adalah rasa takut—takut kehilangan lagi, takut merindukan tanpa bisa menjangkau, takut merasa sepi di tempat asing tanpa satu pun wajah yang familiar. Selama ini Lyodra memang cerewet, keras kepala, manja, bahk
"Ly, aku ada di depan." Notifikasi itu menyala di layar ponsel Lyodra. Jantungnya langsung berdetak kencang, seperti alarm yang membangunkan rindu yang selama ini ditahan dengan susah payah. Ia bangkit dari sofa, tak sempat merapikan rambut, lalu berlari menuju pintu dengan langkah yang terburu-buru dan penuh harap. Begitu pintu terbuka, ia menemukan Jamie berdiri di sana. Pria itu masih mengenakan jaket gelap yang sedikit basah oleh udara malam, dengan senyum kecil yang membuat segalanya dalam diri Lyodra bergetar. "Om!" serunya, lalu tubuh mungilnya melompat ke pelukan pria itu tanpa ragu. Rasa rindu, kagum, dan cinta yang selama ini ia pendam tumpah ruah dalam pelukan yang hangat dan begitu erat. Tak ada lagi batasan. Tak ada lagi jabatan atau status. Di hadapan Jamie, Lyodra hanyalah seorang gadis yang sedang jatuh cinta dengan seluruh nyawa dan keberaniannya. "Aduh, antusias sekali. Seperti menyambut suami pulang kerja saja kamu." Jamie mencubit pelan hidung Lyodra,
"Permintaan? Permintaan apa...."Lyodra bertanya dengan gugup. Sementara itu, ujung jari Jamie menyentuh bibir Lyodra, membuat gadis itu berdebar kencang. "Om, Om mau—" "Boleh?" bisiknya, begitu dekat. Lyodra yang nyaris tak bisa bernapas, bertanya. "B-boleh apa?" Jamie tak menjawab. Ia hanya mengusap bibir merah muda Lyodra perlahan, sensual, membuat gadis itu menggigit bibir bawahnya sendiri demi menahan suara yang nyaris lolos, dia lantas berbisik dengan nada rendah. "Mau aku cium, Ly?" Jantung Lyodra berdentum seperti genderang perang. Matanya membulat, pipinya panas membara. Lyodra menahan debaran jantungnya yang menggila, sangat yakin jika bos-nya itu akan segera mencium dirinya. "T-tentu. Om bersedia nyium aku? Tanpa aku minta?" "Kalo kamu mengizinkan." Suara Jamie nyaris seperti desahan. "Aku.. aku mau, Om." Akhirnya, akhirnya dia bisa merasakan hal yang selama ini selalu Lyodra impikan! Berciuman dengan Jamie. Dengan lembut, Jamie mencengkeram pinggang Lyodr
"Tuan, pekerjaan saya sudah selesai. Apakah sudah nggak ada yang perlu dikerjakan lagi? Bolehkah saya pulang sebelum malam semakin larut, Tuan?"Lyodra masuk ke dalam ruangan Jamie untuk pamit pulang setelah dia lembur untuk menyelesaikan pekerjaannya sebelum pindah ke tempat kerja baru."Silakan," jawab Jamie seraya menunjuk ke pintu keluar. Lyodra mengangguk meski masih merasa belum rela meninggalkan Jamie.Seharian ini Lyodra merasa senang bukan main karena Luna yang licik itu akhirnya mendapatkan balasannya.Dia juga terus memikirkan permintaan apa yang akan dia ajukan ke Jamie, tapi karena bingung meminta apa, dia belum meminta apa pun.Merasa sayang jika harus menggunakan 3 permintaan itu untuk hal remeh."Anda juga, istirahatlah, Tuan."Akhirnya Lyodra memutuskan mengatakan hal tersebut dan mulai membuka pintu untuk keluar."Baiklah."Jamie yang tampaknya sedang sibuk, hanya mengendikkan bahu seraya sedikit mendongak menatap Lyodra yang kini sudah berdiri di dekat pintu."Ohya,