Ketika perhatian dan juga ranjang panas Taka (sang partner kerja) justru selalu menyambutnya dengan segala cinta. Akankah Wisang memilih hengkang dari Dimas yang terus menyia-nyiakan dirinya? Atau .... dia akan tetap bertahan dengan terus menjadi partner Taka? Sebagai wanita kedua yang ada dalam hidup Taka dan tetap menjadi Nyonya Dimas. Baca terus kemelut jiwa Wisang, wanita muda nan cerdas dan seksi yang terjebak dalam hasrat terlarang dengan sang partner.
Lihat lebih banyak“Kau? Sedang apa disini?” tanya Taka dengan mata melebar menatap seorang wanita berbalut dress formal dengan balutan cardigan denim yang memberi kesan lebih kasual yang tengah berdiri di hadapannya.
“Papa sudah pulang?” sahut seorang anak remaja bernama Ghenta itu menyahutnya.“Ya, dan kalian sedang apa?” tanya Taka kembali mengulang tanyanya.“Papa, ini Mrs Dini yang menjadi Guru Pengajarku. Papa sudah menyetujuinya kan dan kami sudah dua pekan mulai belajar. Jangan katakan Papa melupakannya,” ucap Ghenta panjang lebar.”Oh, begitu ya. Maaf sayang, Papa bukannya lupa hanya kaget karena Mrs Dini yang kamu katakan ini adalah Tante Wisang istrinya sahabat Papa. Kau ingat Om Dimas?” jawab Taka sambil menyodorkan tangannya kepada Wisang.“Really? Mrs Dini adalah istri Om Dimas?” ucap Ghenta sangat terkejut mengetahuinya.Dan wanita yang disebut keduanya itu pun mengangguk sambil tersenyum.“Waah, asyik dong,” seru Ghenta yang memang merasa nyaman belajar dengan Wisang menjadi sangat antusias.“Baiklah, tapi bukankah sekarang kau seharusnya sudah berangkat berenang?” ucap Taka lagi.“Papa,” keluh Ghenta sambil menuruti pria itu dan pamit pergi setelahnya.Sementara itu Wisang masih berada di halaman depan bersama Taka. Mereka menunggu taksi yang dipesan Wisang. Namun sampai jeda cukup lama, nyatanya taksi pesanan Wisang tak kunjung sampai.“Sudah hampir malam, biar aku antarkan saja,” ucap Taka mengambil inisiatif.“Tidak perlu, aku bisa pulang naik ojek. Jangan merepotkan,” ucap Wisang merasa tidak enakan.“Tidak masalah, justru aku yang tidak enakan karena aku dengar kau sering pulang dari sini sampai cukup malam mengajari Ghenta. Andai aku tahu lebih awal, mungkin aku akan meminta mundur jadwalnya lebih sore. Maaf ya, aku tidak mau Dimas memprotes nantinya,” ucap Taka sambil membukakan pintu mobil untuk Wisang.“Terima kasih, tenang saja karena Dimas tidak akan peduli,” ucap Wisang sambil melangkah masuk ke dalam mobil.Hujan deras mendadak turun mengguyur kota ini. Mereka baru saja meninggalkan halaman rumah dan hujan turun langsung sangat lebat disertai gemuruh petir yang menggelegar.“Taka, maaf … Bisakah berhenti dulu di sana, aku harus membeli sesuatu,” ucap Wisang sambil menunjuk sebuah kedai makan yang berada di depan mereka.“Tentu,” jawab Taka sambil menepikan mobil setelahnya.Pria itu diam-diam memperhatikan Wisang, wanita itu melangkah keluar dengan menggunakan sebuah payung yang diberikan oleh Taka.Tak berselang lama, Wisang kembali dengan satu porsi makanan di tangannya.Tidak ada perbincangan di sepanjang perjalanan ini setelahnya.“Lampu rumahmu mati?” tanya Taka ketika menyadari jika lampu di rumah Dimas itu gelap sementara di kanan dan kiri rumah tersebut menyala terang benderang.“Tidak ada orang di rumah, jadi belum ada yang menyalakan saklarnya. Oh ya, terima kasih ya sudah mengantarkanku pulang,” ucap Wisang sebelum bergegas turun dari mobilnya Taka.Kini tanda tanya besar memenuhi benak Taka. Ingatannya kembali kepada sore tadi dimana dia menelepon Dimas untuk sebuah urusan. Taka mendengar sangat jelas jika saat dia menelponnya itu Dimas mengatakan dirinya sedang berada di rumah. Bukan itu saja, Taka bahkan mendengar suara perempuan di dekat Dimas.“Apa yang terjadi?” gumam Taka sambil memutar balik mobilnya meninggalkan halaman rumah sahabatnya itu.Keesokan harinya, di jam yang sama seperti kemarin.Taka baru sampai di rumah, dan dia melihat Wisang tengah bersama dengan Ghenta di ruangan tamu dengan setumpuk buku pelajaran anaknya itu.Ingin meyakinkan sesuatu, Taka kemudian meraih ponselnya dan berjalan menjauh dari ruangan tamu karena tidak ingin pembicaraannya itu didengar oleh Wisang dan juga Ghenta.Taka : “Hallo, Dim, Lo dimana?”.Dimas : “Hai Brother, aku baru balik nih. (Iya sayang sebentar ya, aku mandi dulu).” Terdengar suara di belakang Dimas.Taka : “Seriusan Lo dirumah?”Dimas : “Ya iyalah, masa di mana? Lagian ada apa sih Bro?”Taka : Enggak, aku cuma mau nanya. Istri Lu masih open jasa tutor gak sih? Aku butuh tutor untuk Ghenta.Dimas : “ Oh, itu aku gak tahu. Tar aku tanyain ya. (Siapa sih sayang?)”Suara wanita itu kembali terdengar dengan sangat jelasTaka : “Nah, itu ada Wisang kan? Tanyain deh.”“Tut … Tut … Tut… “Telepon justru terputus membuat Taka yang sedari tadi melihat Wisang tengah mengajari Ghenta di ruang tamu menjadi merasa gemetar penuh rasa kesal mencerna apa yang tengah terjadi dalam rumah tangga sahabatnya itu.Pukul enam sore.“Aku antar kamu pulang ya,” ucap Taka kembali menawarkan diri untuk mengantar Wisang.“Tidak perlu, tuh taksi sudah datang,” jawab Wisang.Namun pria ini justru membayar taksi itu dan membatalkan orderan Wisang tersebut.“Naiklah, aku ingin mentraktirmu makan,” ucap Taka yang entah memiliki keberanian dari mana untuk melakukan semua ini yaitu melibatkan diri dalam persoalan rumah tangga sahabatnya.Setengah jam berlalu, mereka kini sudah duduk berhadapan pada meja makan sebuah restoran.“Apa kalian ada masalah?” tanya Taka dengan begitu saja.Wisang menggelengkan kepalanya perlahan.“Syukurlah, bisa kau telponkan Dimas? Ponselku mati sementara ada urusan penting yang ingin aku tanyakan,” ucap Taka sambil menyodorkan ponselnya yang memang mati karena sebelumnya sudah di off-.kan.Terlihat raut wajah Wisang menjadi gusar. Wanita itu meneguk salivanya berulang kali karena bingung.Sementara Taka, dia semakin meyakini sesuatu.“Aku … “ ucap Wisang tergagap.“Kau tidak punya nomor Dimas kan?” ucap Taka menebak.Seketika itu juga air mata Wisang mengalir deras dengan tanpa suara. Wanita itu tak bisa mengendalikan emosinya saat menyadari jika sampai saat ini setelah dua tahun pernikahannya dengan Dimas dia bahkan tidak pernah tahu nomor ponsel suaminya itu.Taka menggenggam erat tangan Wisang untuk mencoba menenangkan wanita itu.“Maaf, tidak seharusnya aku mengatakan semua ini kepadamu. Terlebih, kalian bersahabat. AKu sungguh minta maaf,” ucap Wisang ketika mereka berada di perjalanan pulang.“Ciit!”Taka menepikan mobilnya di tepian jalan yang cukup lengang. Pria ini memutar tubuhnya menghadap ke arah Wisang.“Jangan pura-pura kuat! Kau tidak sehebat itu menyembunyikannya! Itulah kenapa kau tidak keberatan saat Ghenta menghabiskan waktu malam mu dengan tugas-tugasnya dan itulah alasan kalimatmu yang mengatakan jika ‘dia tidak akan peduli?” ucap Taka sambil meraih Wisang ke dalam pelukannya.“Tidak Taka, aku baik-baik saja,” ucap Wisang tapi kembali dengan tangisan yang mengalir deras dari kedua sudut matanya.Taka tak bisa mengerti apa yang mengendalikan dirinya saat ini. Tapi dia tak sanggup melihat Wisang menanggung beban ini sendirian.Dia meraih wajah wanita itu dan mengusap lembut setiap sudut matanya Wisang dengan desiran aneh yang Taka sendiri tidak bisa memahaminya.Dua bola mata beradu cukup lama. Desiran hebat tak hanya menyentuh relung hatinya Taka, tapi juga Wisang.Mata wanita itu memejam perlahan saat deru nafas Taka semakin menyapu hangat kulit wajahnya.Taka menyentuh bibir itu sangat lembut dengan menggunakan kedua bibirnya, seperti tengah menyentuh bunga mawar tanpa ingin menghancurkan kelopaknya.Sentuhan lembut itu begitu singkat, tapi sanggup membuat Wisang begitu mendesir hebat.Rangkulan pun dilepaskan, tubuh keduanya merenggang dan Taka kembali melajukan mobilnya ke arah rumah Dimas.Mengantarkan Wisang hingga ke pintu gerbang rumahnya.Angin malam menyelinap dari celah-celah jendela kontrakan kecil itu, membawa aroma hujan yang belum sempat turun. Wisang berdiri di dekat jendela, menatap lampu jalanan yang berpendar redup, seolah menggambarkan pikirannya yang kusut dan tak bersuara. Taka duduk bersila di atas kasur, menatap punggung Wisang yang seperti menjauh—meski jaraknya hanya beberapa langkah dari tempatnya. "Aku lelah, Tak," ucap Wisang lirih, tapi cukup jelas untuk menggetarkan dada Taka. "Aku pikir... aku bisa jadi kuat di mana pun kita berada. Tapi nyatanya, aku tetap jadi bahan bisik-bisik. Di perusahaan dulu, di yayasan, bahkan sekarang di sekolah. Seakan... kehadiranku dalam hidupmu adalah beban." Taka berdiri, langkahnya pelan. Ia memeluk punggung Wisang dari belakang, menggenggam erat pinggangnya. "Jangan bilang gitu. Kamu bukan beban. Kamu... satu-satunya alasan aku bertahan di semua kesulitan ini." Tapi Wisang melepaskan pelukannya. Perlahan, tapi pasti. "Tapi aku nggak merasa cukup, Tak. Bahk
Langit sore itu redup, seolah semesta ikut bersekutu dengan kekacauan yang menggulung hati Wisang. Angin menerpa dedaunan pepohonan di halaman sekolah dengan kasar, menciptakan irama yang ganjil—tak tenang, tak damai. Ia berdiri di dekat pagar sekolah, menatap mobil-mobil yang melintas di kejauhan dengan pandangan kosong."Kamu nggak masuk ke ruang guru?" suara Taka dari belakangnya terdengar lirih.Wisang menoleh pelan. Senyum yang terukir di wajahnya begitu tipis, seperti bayangan dari sebuah kebahagiaan yang mulai rapuh."Nggak, aku cuma butuh udara," jawabnya pendek.Taka mendekat, berdiri sejajar. Beberapa detik mereka diam. Ada ruang hening yang biasanya terasa nyaman, tapi kali ini, sunyi itu terasa seperti celah besar yang menganga."Tentang Nara... aku—""Sudah," potong Wisang pelan. "Aku tahu kamu nggak salah. Aku tahu kamu nggak pernah bermain api. Tapi, Tak, semua ini mulai terasa berat buatku."Taka menatap wajah yang begitu ia cintai itu dengan sorot penuh luka. "Aku ngg
Suasana di sekolah terasa agak berbeda. Nara terlihat santai berjalan masuk ke ruang guru, sambil membawa tas besar berisi dokumen dan beberapa peralatan sekolah untuk anaknya, Deno.Di ruang guru, Wisang dan Taka sedang sibuk mempersiapkan materi kelas. Saat Nara masuk, mata beberapa guru langsung tertuju padanya, bisik-bisik kecil mulai terdengar.Nara tersenyum manis ke arah Wisang, tapi ada kilatan saingan di matanya.“Bu Wisang, kabar baik ya? Aku dengar kamu sekarang Wakil Kepala Sekolah. Keren! Anak-anak pasti beruntung punya ibu guru sekaligus wakil kepala yang perhatian seperti kamu.”Wisang mengangguk sopan. “Terima kasih, Bu Nara. Semoga bisa menjalankan tugas dengan baik.”Nara menatap Taka yang sedang menyiapkan laptopnya. “Tak, anakmu udah siap-siap ke sekolah? Aku nanti antar Deno, ya. Biar mereka bisa berteman.”Taka mengangguk pelan. “Iya, nanti kita atur jadwalnya.”Siang Hari – Kelas 1ANara berdiri di samping meja guru saat Deno masuk ke kelas. Beberapa anak menata
Senin Pagi – Rapat Mingguan GuruHari itu semua guru dikumpulkan untuk rapat mingguan. Topiknya: “Etika dan Profesionalisme dalam Lingkungan Kerja.”Waka Kesiswaan membuka sesi dengan berita mengejutkan.“Ada kabar bahwa beberapa guru kita menjalin hubungan pribadi yang lebih dari sekadar rekan kerja. Kami ingin mengingatkan pentingnya menjaga profesionalisme dan batasan.”Seluruh ruangan menjadi bisik-bisik penuh spekulasi.Taka dan Wisang, duduk berjauhan seperti biasa, tetap menunjukkan wajah tenang.Tapi di bawah meja, Bu Wisang mengetik pesan di HP-nya:"Kamu cerita ke siapa soal kita?”"Nggak cerita ke siapa-siapa. Tapi mereka pasti mulai curiga.”“Makanya, mendingan kita tetap rahasiain dulu aja, kan?"“Atau justru kita harus jujur aja. Biar nggak ada fitnah.”Setelah rapat bubar, mereka bertemu di ruang guru yang sedang sepi.“Tak, aku tahu kamu orang yang terbuka. Tapi hubungan kita ini... bukan hal yang harus diumumkan juga, kan?” kata Wisang pelan, sambil memeriksa map nila
Hari itu, geng 5C sedang mengintai dari balik jendela perpustakaan. Target mereka: Pak Dypram Mahessa.“Lihat deh, beliau lagi rapat, tapi...” bisik Laras sambil memegang kertas catatan operasi.“…beliau sering nengok ke HP, terus senyum-senyum sendiri,” tambah Putri.Adit menyipitkan mata. “Aku yakin, ada wanita misterius di balik senyuman itu.”Fino mengangguk bijak. “Bisa jadi... mantan cinta lama? Atau LDR? Atau janda beranak satu?”“Kenapa harus janda?” tanya Laras heran.“Drama lebih kuat,” jawab Fino mantap.Setelah Rapat – Koridor Sunyi, Lalu Tiba-Tiba...Pak Dypram keluar dari ruang rapat. HP-nya berdering. Ia menjawab sambil berjalan.“Iya... maaf, tadi masih rapat. Iya, hari Sabtu bisa. Nggak, aku nggak lupa. Aku udah simpan tanggalnya, kok.”Geng 5C menyandarkan diri ke dinding.“Catat. Hari Sabtu. Janjian,” ujar Laras.“Kayaknya bukan sama tukang servis AC, ya?” celetuk Putri.Adit memicingkan mata. “Mungkinkah... beliau punya kekasih?”“Dosa besar kalau kita nggak cari t
Saat Pulang SekolahLaras dan geng 5C sudah menyiapkan rencana tahap ketiga: Operasi Ngopi Berdua di Kantin.“Pak Taka suka kopi hitam. Bu Wisang suka teh tarik. Kalau kita bisa dudukin mereka di meja yang sama di kantin guru, terus tinggalin dua gelas itu di sana… BAM! Chemistry akan meledak!” ucap Laras penuh keyakinan seperti ahli strategi perang.Adit menyambar, “Tapi gimana caranya biar mereka duduk bareng tanpa curiga?”Putri mengangkat tangan, “Gampang. Suruh Pak Taka ke kantin buat ambil kue titipan anak-anak. Terus bilang ke Bu Wisang kalau ada guru yang mau konsultasi soal puisi di kantin.”---15 Menit Kemudian – Kantin GuruTaka masuk dengan langkah santai, dahi berkerut melihat ada teh tarik dan kopi hitam di meja kosong. Ia baru mau duduk saat—Wisang muncul dari pintu lain, juga tampak heran. “Pak Taka?”Mereka saling tatap. Lalu perlahan duduk.“Ini... ulah anak-anak lagi, ya?” ujar Wisang sambil tersenyum geli.Taka menyeruput kopi, pura-pura santai. “Mungkin. Tapi sa
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen