Share

Chap 6 Tentang Arshia

Setelah Shia mengembalikan kunci mobil pada Teresa di ruangannya, langkahnya membawanya menuju lift yang membawa ke lantai 5. Menyusuri koridor yang tenang, ia akhirnya sampai di depan pintu ruangan lavender. Dengan langkah hati-hati, Shia membuka pintu itu.

Ruangan tersebut terasa hening, terasa tenang dengan warna-warna lembut dan lampu yang redup. Namun, perhatian Shia segera tertuju pada sosok pria yang terbaring di ranjang. Dante, seorang pria yang baru dikenalnya, terlihat rapuh dalam seragam pasien. Perban di kepala dan infus yang terpasang di tangan kanannya menyiratkan bahwa Dante tengah melewati masa sulit.

Shia mendekati ranjang, mengambil tempat di kursi di sampingnya. Tatapannya terkunci pada wajah Dante yang tertutup oleh matanya yang tenang. Mata biru Shia memperhatikan setiap detail, mencoba membaca ekspresi yang mungkin ada di balik ketenangan itu. lalu Shia nampak menilai perawakan Dante.

Rupa pria itu sangat menawan. Rambut hitam yang terlihat lembut, Rahang kokoh, hidung mancung, alis yang tajam serta kedua mata yang terpejam dengan bulu mata lentik itu membuatnya terlihat sempurna, terlebih usia pria itu yang Shia kategorikan sebagai pria yang benar-benar matang. Dia bertanya-tanya bagaimana bisa sosok sempurna seperti Dante memiliki sifat seorang bajingan.

Shia menggelengkan wajahnya, menyadarkan dirinya pada kenyataan. Pandangannya menyusur kearah kamar inap, dia menghela napas. Teresa sudah menjebaknya untuk mengeluarkan biaya yang besar, ruang inap ini tergolong kelas VIP dengan fasilitas yang lengkap AC, Televisi serta sofa yang terlihat empuk.

Shia menumpukan kepalanya pada ranjang, mengistirahatkan dirinya yang terlalu lelah. Lelah mencari siapa sosok Dante yang menadapi hasil nihil. Nyatanya Shia tidak berhasil menemukan wanita yang bersama Dante tadi pagi.

Kedua mata biru Shia mulai tertutup hingga akhirnya wanita itu terlelap dalam mimpi. Hampir 3 jam tertidur. Shia meregangkan tubuhnya yang pegal karena tidur dengan posisi yang salah.

Setelah merapikan sedikit penampilannya. Atensinya kembali tertuju pada pria yang masih memejamkan mata di depannya. Pria itu masih sama, tidak bergerak dan hanya tertidur dengan tenang. Hanya suara dari alat medis yang terdengar menandakan detak jantung pria itu yang berdetak.

“Sebenarnya kapan kau akan sadar?” Tanya Shia entah kepada siapa

“Aku ingin meninggalkanmu, tapi entah mengapa aku merasa harus bertanggung jawab, padahal bukan aku yang mencelakaimu. Justru kau sendiri yang memilih celaka”lanjutnya. Kini Shia tertawa kecil menyadari tingkahnya “Hei paman..” Seru Shia “Padahal kau pasti akan marah jika ku panggil dengan sebutan paman”

Shia melirik jam yang melingkar ditangannya. Pukul 3 sore. Suara getar ponsel membuat Shia terusik. Menatap sang penelpon, Shia menekan tombol hijau untuk menjawabnya.

“Apa kamu tidak berpikir untuk pulang?”

“Aku akan pulang” Balas Shia dengan nada malas

“Apa kamu tidak tau ayahmu masuk rumah sakit” Shia terkejut dengan berita yang didengarnya. Ayahnya masuk rumah sakit. Bagaimana bisa? Jelas-jelas kemarin malam dia masih mendengar suara ayahnya di telpon

“Ada apa dengannya?” Tanya Shia dengan datar berusaha meredam sedikit rasa khawatir yang timbul.

“Datang dan lihat sendiri.” ucap Lily Eriskon, sepupu Shia dengan santai.

TUT

Panggilan diputuskan oleh Shia. Shia menatap Dante lalu menghela napasnya gusar.

“Aku harus pergi ke Milan sekarang. Kau tenang saja aku akan kembali” ucap Shia pada Dante.

MILAN, ITALIA

Di rumah sakit yang berbeda dari sebelumnya Shia melangkah dengan sedikit berlari. Membuka salah satu pintu dan melihat sepasang ibu dan anak yang duduk di sofa sambil memainkan handphonenya. Pandangannya beralih pada seorang pria paruh baya yang terbaring dengan selang kecil yang menempel di hidungnya.

“Tante Ilya, sebenarnya apa yang terjadi?” ucap Shia membuat kedua wanita itu menoleh.

"Dia stress karena putri tunggalnya selalu menyalahkannya atas kematian sang ibu dan tidak pulang sejak kemarin" celetuk Lily tanpa keraguan. Kalimatnya menusuk seperti pedang, dan Shia merasa tajamnya seperti kilat yang menyambar di udara. Lily langsung mendapat pelototan tajam dari Shia dan cubitan kecil dari tante Ilya sebagai teguran.

"Shia, maafkan Lily. Dia memang suka berbicara seenaknya" ucap tante Ilya dengan ekspresi tidak enak. Shia, yang sudah mengenal watak sepupunya itu, hanya menahan geram di balik senyum tipis yang dia berikan untuk tante Ilya. Dia paham bahwa saat-saat sulit seperti ini memang tidak memerlukan kehadiran seorang provokator.

 “Kalian bisa pergi, aku akan menjaganya” ucap Shia setelah mendudukkan dirinya pada kursi.

“Tentu, jika Robert sudah sadar kabari tante yaa” Ucap Ilya dengan ramah, keduanya meninggalkan ruangan itu.

Dalam kamar itu hanya tersisa Shia dan Robert. Ditatapnya tangan pria itu yang terlihat ramping. Sebenarnya sejak kapan ayahnya terlihat lebih kurus dan lelah. Sejenak Shia mengingat kenangan beberapa tahun silam, ketika dia selalu berada digendongan sang ayah dengan rasa bangga.

Namun semua itu berubah ketika ia melihat hal keji yang diperbuat ayahnya. Semua perasaan bangga itu musnah dan berubah menjadi benci ketika sang ibu memilih pergi setelah mengetahui kenyataannya.

“S..Shia” Suara serak dan sentuhan pada tangannya menyadarkan Shia.

“Kenapa Daddy bisa berada dirumah sakit?” Shia menatap Robert yang membuka matanya dengan sayu serta suara yang terbata. Ingin rasanya wanita itu menangis namun, rasa bencinya sudah terlalu dalam terhadap sosok yang ia sebut ayah. Dia hanya bersikap baik demi mengamankan posisi pewaris keluarga Clarikson.

Shia menatap tangan yang menyentuhnya. Pikirannya kembali melayang kapan terakhir kali ia berinteraksi dengan sang ayah. Mungkin 6 tahun yang lalu. Ketika ia masih tinggal di mansion yang penuh tipuan itu.

“Setelah melihatmu dengan benar, kamu semakin mirip dengan ibumu” ucap Robert lagi.

“Ya, karena aku putrinya” jawab Shia membuat Robert mengulas senyum tipis.

“Bagaimana keadaanmu selama diluar?” Tanya Robert

“Daddy bertanya seolah ini pertama kalinya kita bertemu setelah berpisah”

“Sejak kau memutuskan berdamai dengan Daddy, ini pertama kalinya kita berbicara santai, Shia. Apa Daddy harus selalu berada dirumah sakit agar kau selalu seperti ini” Ucap Robert yang mendapatkan tatapan datar Shia.

“Jangan berbicara lagi, istirahatlah dengan benar agar tidak merepotkan” senyuman Robert kini semakin lebar. Jika orang lain mungkin ia akan marah ucapannya terpotong namun jika itu putrinya tentu saja ia senang. Bukankah ucapan itu merupakan perhatian kecil yang diberikan putrinya.

Keheningan tercipta selama beberapa saat. Shia memainkan handphonenya mengirimkan sebuah pesan untuk Teresa agar menjaga Dante.

“Pulanglah Shia” Robert kembali berucap memecahkan keheningan yang bercampur kecanggungan itu.

“Aku sudah pulang” Jawab Shia acuh

“Bukan negara. Melainkan rumah, kembalilah ke Mansion jika ingin posisimu aman” ucap Robert dengan sedikit ancaman

“Dad, aku berada disini untuk perusahaan Clarikson bukan untuk membantu Daddy dengan bisnis kotor itu. Jika daddy memintaku untuk menjadi seperti Mommy. Maaf saja aku tidak sudi” Tolak Shia tajam

“Shia kau putriku”

“lalu?”

“Clarikson masih ada di nama akhirmu”

Shia berdecih, ia tau apa yang akan terjadi selanjutnya jika Robert sudah berbicara tentang nama Clarikson sialan yang melekat di nama belakangnya. Yang sialnya, itulah kehormatan terakhir yang perlu dia jaga sesuai dengan pesan terakhir sang mommy.

 “Sepertinya anda sudah sehat, kalau begitu aku akan pergi” Putus Shia dengan langkah yang menjauh meninggalkan Robert yang menatap kepergian Shia dengan nanar.

Shia mengemudikan mobilnya pada kawasan perumahan lalu menghentikan mobil itu saat tiba di apartemen minimalis miliknya. Menjatuhkan tubuhnya pada kasur dan memejamkan mata guna mengusir lelah yang dirasanya. Ia baru tersadar mengapa hari ini terasa sangat melelahkan baginya. Lebih melelahkan daripada saat ia melakukan dfriting.

Apa karena penerbangannya dari Amerika ke Milan? Atau karena kesibukannya mencari siapa Dante sebenarnya? Atau mungkin.. karena pertemuannya dengan sang ayah yang cukup mengusik posisi Arshia…

Entahlah, Shia tidak tau. Dia hanya merasa perlu membersihkan dirinya saat ini.

Shia melangkah ke kamar mandi. Membersihkan tubuhnya yang terasa lengket. Bagai tanaman yang disiram. Air yang mengalir membahasinya membuatnya kembali merasa hidup.

Cukup membutuhkan waktu 30 menit, Shia menyelesaikan acara mandinya. Ia keluar dari kamar mandi menggunakan bathrobe berwarna hitam.

Shia mendudukan dirinya didepan meja rias mengoles wajahnya dengan rangkaian skincare lalu mengeringkan rambut coklatnya dengan hairdryer. Meskipun ia tidak tertarik dengan dunia orang cantik sepertinya yang suka berbelanja tapi dia suka merawat dirinya sendiri.

TING

Notifikasi pesan masuk membuat Shia menghentikan aktifitasnya. Dia beranjak mengambil handphone yang tergeletak di ranjang. Sebuah pesan dari Teresa membuatnya melepas bathrobenya dan berganti pakaian.

From : Teresa Tylor

“Dia sudah sadar”.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status