Setelah Shia mengembalikan kunci mobil pada Teresa di ruangannya, langkahnya membawanya menuju lift yang membawa ke lantai 5. Menyusuri koridor yang tenang, ia akhirnya sampai di depan pintu ruangan lavender. Dengan langkah hati-hati, Shia membuka pintu itu.
Ruangan tersebut terasa hening, terasa tenang dengan warna-warna lembut dan lampu yang redup. Namun, perhatian Shia segera tertuju pada sosok pria yang terbaring di ranjang. Dante, seorang pria yang baru dikenalnya, terlihat rapuh dalam seragam pasien. Perban di kepala dan infus yang terpasang di tangan kanannya menyiratkan bahwa Dante tengah melewati masa sulit.
Shia mendekati ranjang, mengambil tempat di kursi di sampingnya. Tatapannya terkunci pada wajah Dante yang tertutup oleh matanya yang tenang. Mata biru Shia memperhatikan setiap detail, mencoba membaca ekspresi yang mungkin ada di balik ketenangan itu. lalu Shia nampak menilai perawakan Dante.
Rupa pria itu sangat menawan. Rambut hitam yang terlihat lembut, Rahang kokoh, hidung mancung, alis yang tajam serta kedua mata yang terpejam dengan bulu mata lentik itu membuatnya terlihat sempurna, terlebih usia pria itu yang Shia kategorikan sebagai pria yang benar-benar matang. Dia bertanya-tanya bagaimana bisa sosok sempurna seperti Dante memiliki sifat seorang bajingan.
Shia menggelengkan wajahnya, menyadarkan dirinya pada kenyataan. Pandangannya menyusur kearah kamar inap, dia menghela napas. Teresa sudah menjebaknya untuk mengeluarkan biaya yang besar, ruang inap ini tergolong kelas VIP dengan fasilitas yang lengkap AC, Televisi serta sofa yang terlihat empuk.
Shia menumpukan kepalanya pada ranjang, mengistirahatkan dirinya yang terlalu lelah. Lelah mencari siapa sosok Dante yang menadapi hasil nihil. Nyatanya Shia tidak berhasil menemukan wanita yang bersama Dante tadi pagi.
Kedua mata biru Shia mulai tertutup hingga akhirnya wanita itu terlelap dalam mimpi. Hampir 3 jam tertidur. Shia meregangkan tubuhnya yang pegal karena tidur dengan posisi yang salah.
Setelah merapikan sedikit penampilannya. Atensinya kembali tertuju pada pria yang masih memejamkan mata di depannya. Pria itu masih sama, tidak bergerak dan hanya tertidur dengan tenang. Hanya suara dari alat medis yang terdengar menandakan detak jantung pria itu yang berdetak.
“Sebenarnya kapan kau akan sadar?” Tanya Shia entah kepada siapa
“Aku ingin meninggalkanmu, tapi entah mengapa aku merasa harus bertanggung jawab, padahal bukan aku yang mencelakaimu. Justru kau sendiri yang memilih celaka”lanjutnya. Kini Shia tertawa kecil menyadari tingkahnya “Hei paman..” Seru Shia “Padahal kau pasti akan marah jika ku panggil dengan sebutan paman”
Shia melirik jam yang melingkar ditangannya. Pukul 3 sore. Suara getar ponsel membuat Shia terusik. Menatap sang penelpon, Shia menekan tombol hijau untuk menjawabnya.
“Apa kamu tidak berpikir untuk pulang?”
“Aku akan pulang” Balas Shia dengan nada malas
“Apa kamu tidak tau ayahmu masuk rumah sakit” Shia terkejut dengan berita yang didengarnya. Ayahnya masuk rumah sakit. Bagaimana bisa? Jelas-jelas kemarin malam dia masih mendengar suara ayahnya di telpon
“Ada apa dengannya?” Tanya Shia dengan datar berusaha meredam sedikit rasa khawatir yang timbul.
“Datang dan lihat sendiri.” ucap Lily Eriskon, sepupu Shia dengan santai.
TUT
Panggilan diputuskan oleh Shia. Shia menatap Dante lalu menghela napasnya gusar.
“Aku harus pergi ke Milan sekarang. Kau tenang saja aku akan kembali” ucap Shia pada Dante.
MILAN, ITALIA
Di rumah sakit yang berbeda dari sebelumnya Shia melangkah dengan sedikit berlari. Membuka salah satu pintu dan melihat sepasang ibu dan anak yang duduk di sofa sambil memainkan handphonenya. Pandangannya beralih pada seorang pria paruh baya yang terbaring dengan selang kecil yang menempel di hidungnya.
“Tante Ilya, sebenarnya apa yang terjadi?” ucap Shia membuat kedua wanita itu menoleh.
"Dia stress karena putri tunggalnya selalu menyalahkannya atas kematian sang ibu dan tidak pulang sejak kemarin" celetuk Lily tanpa keraguan. Kalimatnya menusuk seperti pedang, dan Shia merasa tajamnya seperti kilat yang menyambar di udara. Lily langsung mendapat pelototan tajam dari Shia dan cubitan kecil dari tante Ilya sebagai teguran.
"Shia, maafkan Lily. Dia memang suka berbicara seenaknya" ucap tante Ilya dengan ekspresi tidak enak. Shia, yang sudah mengenal watak sepupunya itu, hanya menahan geram di balik senyum tipis yang dia berikan untuk tante Ilya. Dia paham bahwa saat-saat sulit seperti ini memang tidak memerlukan kehadiran seorang provokator.
“Kalian bisa pergi, aku akan menjaganya” ucap Shia setelah mendudukkan dirinya pada kursi.
“Tentu, jika Robert sudah sadar kabari tante yaa” Ucap Ilya dengan ramah, keduanya meninggalkan ruangan itu.
Dalam kamar itu hanya tersisa Shia dan Robert. Ditatapnya tangan pria itu yang terlihat ramping. Sebenarnya sejak kapan ayahnya terlihat lebih kurus dan lelah. Sejenak Shia mengingat kenangan beberapa tahun silam, ketika dia selalu berada digendongan sang ayah dengan rasa bangga.
Namun semua itu berubah ketika ia melihat hal keji yang diperbuat ayahnya. Semua perasaan bangga itu musnah dan berubah menjadi benci ketika sang ibu memilih pergi setelah mengetahui kenyataannya.
“S..Shia” Suara serak dan sentuhan pada tangannya menyadarkan Shia.
“Kenapa Daddy bisa berada dirumah sakit?” Shia menatap Robert yang membuka matanya dengan sayu serta suara yang terbata. Ingin rasanya wanita itu menangis namun, rasa bencinya sudah terlalu dalam terhadap sosok yang ia sebut ayah. Dia hanya bersikap baik demi mengamankan posisi pewaris keluarga Clarikson.
Shia menatap tangan yang menyentuhnya. Pikirannya kembali melayang kapan terakhir kali ia berinteraksi dengan sang ayah. Mungkin 6 tahun yang lalu. Ketika ia masih tinggal di mansion yang penuh tipuan itu.
“Setelah melihatmu dengan benar, kamu semakin mirip dengan ibumu” ucap Robert lagi.
“Ya, karena aku putrinya” jawab Shia membuat Robert mengulas senyum tipis.
“Bagaimana keadaanmu selama diluar?” Tanya Robert
“Daddy bertanya seolah ini pertama kalinya kita bertemu setelah berpisah”
“Sejak kau memutuskan berdamai dengan Daddy, ini pertama kalinya kita berbicara santai, Shia. Apa Daddy harus selalu berada dirumah sakit agar kau selalu seperti ini” Ucap Robert yang mendapatkan tatapan datar Shia.
“Jangan berbicara lagi, istirahatlah dengan benar agar tidak merepotkan” senyuman Robert kini semakin lebar. Jika orang lain mungkin ia akan marah ucapannya terpotong namun jika itu putrinya tentu saja ia senang. Bukankah ucapan itu merupakan perhatian kecil yang diberikan putrinya.
Keheningan tercipta selama beberapa saat. Shia memainkan handphonenya mengirimkan sebuah pesan untuk Teresa agar menjaga Dante.
“Pulanglah Shia” Robert kembali berucap memecahkan keheningan yang bercampur kecanggungan itu.
“Aku sudah pulang” Jawab Shia acuh
“Bukan negara. Melainkan rumah, kembalilah ke Mansion jika ingin posisimu aman” ucap Robert dengan sedikit ancaman
“Dad, aku berada disini untuk perusahaan Clarikson bukan untuk membantu Daddy dengan bisnis kotor itu. Jika daddy memintaku untuk menjadi seperti Mommy. Maaf saja aku tidak sudi” Tolak Shia tajam
“Shia kau putriku”
“lalu?”
“Clarikson masih ada di nama akhirmu”
Shia berdecih, ia tau apa yang akan terjadi selanjutnya jika Robert sudah berbicara tentang nama Clarikson sialan yang melekat di nama belakangnya. Yang sialnya, itulah kehormatan terakhir yang perlu dia jaga sesuai dengan pesan terakhir sang mommy.
“Sepertinya anda sudah sehat, kalau begitu aku akan pergi” Putus Shia dengan langkah yang menjauh meninggalkan Robert yang menatap kepergian Shia dengan nanar.
Shia mengemudikan mobilnya pada kawasan perumahan lalu menghentikan mobil itu saat tiba di apartemen minimalis miliknya. Menjatuhkan tubuhnya pada kasur dan memejamkan mata guna mengusir lelah yang dirasanya. Ia baru tersadar mengapa hari ini terasa sangat melelahkan baginya. Lebih melelahkan daripada saat ia melakukan dfriting.
Apa karena penerbangannya dari Amerika ke Milan? Atau karena kesibukannya mencari siapa Dante sebenarnya? Atau mungkin.. karena pertemuannya dengan sang ayah yang cukup mengusik posisi Arshia…
Entahlah, Shia tidak tau. Dia hanya merasa perlu membersihkan dirinya saat ini.
Shia melangkah ke kamar mandi. Membersihkan tubuhnya yang terasa lengket. Bagai tanaman yang disiram. Air yang mengalir membahasinya membuatnya kembali merasa hidup.
Cukup membutuhkan waktu 30 menit, Shia menyelesaikan acara mandinya. Ia keluar dari kamar mandi menggunakan bathrobe berwarna hitam.
Shia mendudukan dirinya didepan meja rias mengoles wajahnya dengan rangkaian skincare lalu mengeringkan rambut coklatnya dengan hairdryer. Meskipun ia tidak tertarik dengan dunia orang cantik sepertinya yang suka berbelanja tapi dia suka merawat dirinya sendiri.
TING
Notifikasi pesan masuk membuat Shia menghentikan aktifitasnya. Dia beranjak mengambil handphone yang tergeletak di ranjang. Sebuah pesan dari Teresa membuatnya melepas bathrobenya dan berganti pakaian.
From : Teresa Tylor
“Dia sudah sadar”.
Shia menatap sosok pria yang terduduk di ranjang pasien. Mata yang tertutup itu kini terbuka. Pandangan mereka bertemu, netra abu-abu gelap dengan kesan dingin itu menyapanya. Shia cukup tertegun, sosok Dante yang sekarang berada didepannya berbeda dengan tingkah pria itu sebelumnya yang terkesan menyebalkan. “Siapa?” suara serak itu menyadarkan Shia. Dante tidak mengenalinya. “Kau baik-baik saja?” Tanya Shia balik dengan langkah mendekat. Bersamaan dengan tangannya yang menuangkan segelas air dan menyerahkan pada Dante yang masih bersandar pada kepala ranjang. Dante melirik Shia dengan kening berkerut. Maniknya bersitatap dengan manik biru gelap milik Shia. Tentu saja pria itu sadar dirinya kini pasti berada di sebuah rumah sakit dan mengenakan seragam pasien. Namun bagaimana dirinya bisa berada disini. Merasakan tenggorokan yang kering. Dante meraih gelas yang disodorkan oleh Shia dan meminumnya hingga tandas. “Kau ingat ses-“ PRANK “ARGHH” Gelas kaca yang dipegangnya jatuh d
Los Angeles, USBRAK..“ITU BUKAN MAYATNYA!!” teriak seorang pria sambil menggebrak meja kerjanya, membuat dokumen yang tersusun rapi kini berhamburan ke lantai.“Apa kalian bisa menjelaskan apa yang terjadi” Tanya pria itu dengan desisan tajam. Dua orang yang berada didepannya menunduk takut. Saling menyenggol untuk menentukan siapa yang berbicara.“Apa kalian mendadak bisu.” Ucapnya dengan dingin.“I-itu jebakan.. kami dijebak” jawab Frank selaku pemimpin kompotan dengan takut-takut. Pria itu hanya diam seolah menunggu kelanjutan cerita yang ingin didengarnya.“Benarkah? Ceritakan padaku jebakan seperti apa yang dibuat olehnya”“Bom yang kami tembakan pada mobil itu berhasil meledak, saat kami ingin mendekat, tiba-tiba kami semua pingsan dan saat bangun sudah berada didepan gerbang” Ucap Frank dengan badan bergetar.“Kami rasa ia sudah mati tuan. Mo
Setelah mengantar Dante menuju kamar, Shia kini berkutat di dapur, sebenarnya sudah cukup lama dia tidak memasak bagi orang lain, dengan sedikit kaku ia mulai mengaduk telur dengan beberapa potong wortel dan bumbu lalu mendadarnya dilanjutkan dengan cornet. Shia mengangkat dan meyusun keduanya diatas roti tawar. Menuangkan saos dan mayonnaise lalu menutup kembali dengan roti dan memotong roti tersebut menjadi dua bagian berbentuk segitiga. Senyum tipis tertera di bibirnya ketika melihat bentuk sandwice buatannya. Tidak buruk pikirnya.“Kau memasak?” Tanya DanteShia menoleh, menatap Dante yang shirtless hanya menggunakan celana selutut yang baru di belinya tadi. Rambut hitam pria itu terlihat basah begitu pula dengan aliran air yang mengalir membasahi tubuh atletisnya yang memiliki roti sobek disana.‘astaga’ Shia terdasar“Gunakan bajumu” Ucap Shia yang otomatis membalikkan tubuhnya.Dante ters
Di apartemen, Dante duduk di sofa dengan tatapan yang tertuju pada televisi yang menampilkan berita, dia tersenyum tipis begitu melihat berita salah satu keluarga ternama“Dia rajin sekali mencari sensasi” celetuknya asal. Dante mematikan televisi itu, dia berjalan kea rah kamar yang berhadapan dengan kamar miliknya.Tanpa berpikir dua kali Dante membuka pintu kamar itu. “Jadi ini kamarmu, little tigris” gumamnya saat melihat bagian dalam kamar itu.Dante melangkah masuk. Kamar ini terlihat lebih kelam dengan warna dinding abu-abu dan juga beberapa lukisan abstrak yang didominasi warna hitam yang menghiasi dindingnya. Berbeda dengan kamar miliknya yang dilapisi cat dinding putihDante melangkahkan menuju lemari kaca berisi piala yang menarik perhatiannya. Piala penghargaan atas prestasi wanita itu di bidang akademik dan 4 mendali serta belasan piala kejuaraan drift yang di dapat 2 tahun terakhir.Netra abu-abu itu tera
Gerakan Shia yang membongkar belanjaannya terhenti, tatapannya mengambang “Aku tidak lagi memiliki alasan untuk melakukannya” Shia mengedipkan matanya, tersadar jika dia kembali mengingat kenangan lama“Sudahlah, makan saja ini. Aku membelinya di restoran favorit ibuku”Shia membuka kotak makanan di depannya. Lalu memakan pasta itu dengan tenang. Baru satu suapan ucapan Dante justru membuat suapannya terhenti“Dimana ibumu?” Shia mengulas senyum tipis lalu menatap Dante“Di tempat yang jauh”“Kapan terakhir kali kau bertemu dengannya?” Tanya Dante yang tanpa disadar membuka luka lama yang Shia rasakan“enam atau tujuh tahun yang lalu mungkin, aku hampir lupa” Ucap Shia nyaris seperti gumaman“Kau tidak ingin menemuinya?”“Mungkin suatu saat” balas Shia lalu kembali menyuapkan pasta ke mulutnya namun tidak bisa dipungkiri rasa sesak m
Shia terbangun ketika merasakan cahaya matahari yang mengusik tidurnya. Tangannya terangkat mengambil kain yang berada di kepalanya. Tunggu… jangan bilang Dante merawatnya??“Kacau sekali kau Shia..” Shia berdecak, dia tidak mengingat apa yang terjadi semalam.Gadis itu bangkit dan beranjak menuju kamar tempat Dante berada. Shia mengetuk pintu, sayangnya tidak ada jawaban hingga membuat Shia membuka pintu dengan pelan. Ia menatap Dante yang masih tertidur di atas ranjang dengan tubuh tertutup selimut.Shia mendekat, tangannya terulur hendak membangunkan Dante, namun tiba-tiba tangannya ditahan oleh Dante. Tanpa bisa Shia tebak, Dante membalikkan posisi mereka. Kini Shia berada di bawah Dante.Dada bidang pria itu terlihat menggoda namun tidak dengan tatapan Dante yang tajam. Ketika menyadari bahwa sosok di bawahnya adalah Shia dengan cepat dia bersingut menjauh.“Keluar” suara Dante terdengar berat dan serak. Shia masih terdiam, kesadarannya belum kembali. Dante mengalihkan pandangann
Los Angeles, US PLAK.. BUGH.. "Sangat mengherankan bahwa kamu tidak memberi tahu kami ketika Dante menghilang, Han!" ucap seorang pria paruh baya dengan kemarahan kepada ajudan putranya Situasinya menjadi lebih sulit ketika mereka baru saja pulang dari liburan mereka dan tiba-tiba dihadapkan pada kenyataan pahit bahwa putra sulung mereka menghilang tanpa kabar. "Maaf Tuan, saya tidak bisa menemukan keberadaan Dante" kata Han sambil menahan rasa sakit di bibirnya yang robek akibat tinjuan Jason padanya. "Maaf? Bisakah permintaan maafmu menghidupkan kembali Dante?" ucap Lyran, adik Dante, dengan mata yang berkaca-kaca. PLAK.. Satu tamparan melayang pada pipi Han, membuat wajah ajudan muda itu semakin terasa sakit. Kali ini pelakunya seorang wanita paruh baya yang baru saja tersadarkan dari keadaan syoknya. Untuk sesaat, wanita itu tidak bisa mempercayai apa yang baru saja didengarnya. "Kenapa kamu tidak menghubungi kami, Han?! Apa kamu meremehkan kami?" Wanita paruh baya yang me
Sudah terhitung hari ke lima sejak Dante menghuni Apartemen milik Shia, keduanya semakin dekat dan kadang bercanda. Selama itu juga Shia menjelaskan sesuatu yang Dante tidak mengerti untuk memacu ingatan pria itu. Bahkan Shia juga mengatakan bagaimana dirinya bertemu Dante dengan sangat menyebalkannyaHari ini adalah hari pemerikasaan pria itu. Awalnya Dante tidak mau namun setelah perdebatan panjang yang tidak berguna, Dante pasrah dan menurut, saat ini pria itu sedang menunggu Shia yang bersiap di dalam kamarnya.“Apa kita harus pergi?” Tanya Dante setelah melihat Shia keluar dari kamarnya dengan celana jeans panjang dan kaos hitam polos dengan model v neck, rambut gadis itu diikat satu dan sedikit berantakan membuatnya menampakkan kesan bad girl.“Kau tidak ingin pergi?” tanya Shia ketika melihat Dante masih membaringkan tubuhnya di sofa ruang tamunya. Dante memilih diam, dia mengabaikan Shia.“Kita sudah membicarakan ini Dante, kumohon jangan merepotkan ku” ucap Shia. mendengar it